Dahta Gautama
http://www.lampungpost.com/
BETAPA modernisasi telah mengusung peradaban ke dalam dunia global, apa yang tak mungkin pada masa silam menjadi ada di peradaban terkini. Televisi, internet, ponsel, dan film, telah mengubah pola pikir masyarakat kita yang semakin tidak peka ini.
Di tengah arus globalisasi yang deras itu, apa yang bisa dilakukan sastra (puisi)? Hanya sebatas susunan kata-kata yang dipuitiskankah? Atau, cuma contoh tersantun yang menandakan bahwa hati nurani masih ada.
Para sastrawan (penyair) yang masih sudi menulis puisi di tengah kegetiran arus peradaban globalisasi, barangkali patut disebut sebagai pejuang penjaga nurani. Betapa tidak, di tengah maraknya sastra sampah (maaf, mungkin sebutan ini terlalu kasar, namun saya lebih suka menyebutnya demikian), masih ada penyair yang rela menyair dengan daya profetik yang lebih sopan meskipun satir dan getir.
Saya setuju dengan pendapat penyair Oyos Saroso, ia memperpanjang istilah yang telah populer terhadap para penulis perempuan terkini dengan sebutan "sastra wangi". Oyos menyebut beberapa nama perempuan penulis seperti Ayu Utami, Djenar Mahesa Ayu, Nukila Amal, Fira Basuki, Dewi Lestari, Dinar Rahayu, Rieke Diah Pitaloka, dan beberapa penulis perempuan lainnya sebagai jelmaan Enny Arrow dan Fredy Siswanto.
"Bila mereka menulis sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu," tulis Oyos Saroso HN dalam esai "Teks Sastra di Ladang Anggur" (Lampung Post, 7 November 2004), "mereka hanyalah penulis picisan yang hanya beda tipis dengan stensilan porno Enny Arrow." Tapi, apa mau dikata, apabila sastrawan besar seperti Sapardi Djoko Damono saja telah membabtis "penulis-penulis manis" itu dengan komentar yang sangat manis "pengarang perempuan terkini lebih bagus, daripada para pengarang pria."
Sungguh gampang untuk menjadi pengarang terkenal cuma dengan menulis tentang alat kelamin, dubur, dan senggama pada novel. Toko-toko buku pun diserbu para pencari tahu isi tulisan mereka. Ironis.
Lalu, ada apa dengan Binhad Nurrohmat? Yang saya tahu ia adalah jebolan sebuah pesantren. Itu artinya, nilai-nilai relegius seharusnya lebih tertanam dalam puisi-puisinya. Mengapa ia menulis kelamin dan tai dalam kumpulan puisi Kuda Ranjang? Sedang putus asakah ia karena karirnya di dunia kepenyairan biasa-biasa saja, sehingga ia harus atau terpaksa menempuh jalan pintas dengan menulis puisi yang isinya melulu kelamin, zakar, dan bokong?
Saya tidak terlalu terusik dengan puisi Binhad yang berjudul "Berak", bahkan ada penyair yang lebih dulu menulis puisi sebelum Binhad lahir, F. Rahardi, dan kerab "berjorok-jorok ria" dalam beberapa sajaknya. Seperti puisinya yang berjudul "Kontol Kambing." Tapi, setelah dibaca secara benar ternyata "Kontol Kambing" tidak sejorok dan senaif judulnya. F. Rahardi sekadar mengingatkan bahwa alat kelamin hewan tersebut ternyata lezat dijadikan makanan sejenis sate.
Namun, puisi Binhad yang berjudul "Berak" menurut saya adalah proses orang buang hajat di jamban. Ia secara detail melukiskan bentuk zakar, bokong, dan sisa kotoran manusia saat buang air besar. Tidak ada yang istimewa. Tidak ada nilai sastranya. Namun, di sinilah letak keunikan dari sajak-sajak Binhad dalam kumpulan Kuda Ranjang. Ia telah menulis kata-kata sampah. Bukankah, buang hajat (berak) adalah proses pembuangan sisa-sisa makanan yang notabene sampah di dalam lambung manusia. Sekali lagi, ironis! Mengapa harus sampah yang dibaca orang.
Menyikapi maraknya tulisan-tulisan sampah (jorok) dari para sastrawan muda tersebut dan nampaknya tulisan-tulisan mereka diminati masyarakat pembaca, masih adakah dari generasi sastrawan tua, lebih-lebih sastrawan muda untuk membendungnya?
Ternyata komunitas masyarakat sastra masih patut bersyukur karena masih banyak sastrawan (penyair) yang menulis puisinya dengan nurani yang tak terdedah. Masih ada puisi-puisi profetik yang terbungkus dalam gulungan bahasa-bahasa perih, miris, gelisah namun indah dan sastrawi.
Saya masih membaca karya-karya penyair itu? Yang menurut saya, sungguh sangat manusiawi bila masyarakat kita mau membacanya. Dari Lampung ada Isbedy Stiawan ZS, saya begitu terkesan dengan sajak profetiknya yang terbungkus dalam hal-hal yang justru kelihatan biasa-biasa saja dalam kehidupan keseharian kita. Dalam salah satu judul puisinya "Aroma Laut": kutulis puisi lagi/ketika aroma laut masih mengental/atau warna langit/ yang ranum masih bergetar/karena itulah tenaga bagi kata-kataku.
Dalam puisi tersebut Isbedy hanya bicara tentang laut. Sesungguhnya ia telah menulis sebuah makna dari rapuhnya daya manusia bila telah berhadapan dengan Yang Maha Pencipta. Melihat laut dan langit, ia seperti mencium aroma Tuhan, yang telah menggerakkan tenaganya untuk berkata-kata dalam doa. Puisi yang ramah, manusiawi, bernas, dan yang lebih penting lagi Isbedy berhasil sebagai penyair (sastrawan) tanpa harus "berjorok-jorok ria."
Penyair nasional dari Lampung lainnya yang begitu kental profetiknya adalah Budi. P Hatees dan Ahmad Julden Erwin. Puisi Budi P. Hatees yang berjudul "Rahasia Sunyi" seakan mengajarkan kepada kita untuk mengenal Tuhan melalui tangan-tangan ghoib-Nya. Berikut penggalan puisi tersebut: rahasia yang tersimpan/kedua bola matamu/adalah misteri kegaiban matahari melahirkan bayi/semua bersinar lembut/hariku/juga pintu-pintu/yang semakin membuka diri/kini tak ada lagi yang terentang/begitu lebar diantara kita/segalanya telah diucapkan/betapa berulangkali aku mencintaimu/mencintainya/keindahan dan kesedihan/yang ditawarkan dunia.
Budi P. Hatees berhasil memandang hidup dengan dunia yang penuh cinta. Di matanya hidup adalah warisan Illahi, penuh misteri. Diwarnai cinta tapi juga ada perih dan kesedihan. Ternyata dalam kepenyairannya Budi. P. Hatees tidak "ikut-ikutan" mengaksesoris puisi-puisinya dengan kata-kata tabu. Serupa dengan Isbedy Stiawan ZS, ia pun mampu menjaga kesinambungan karyanya dengan puisi-puisi yang sopan.
Selain Isbedy Stiawan ZS dan Budi P. Hatees ada Satmoko Budi Santoso, Abdul Wachid B.S, Wijang Wharek AM, Ari Setya Ardhi, Zhazie Al Azis Ys, Harta Pinem, Nurochman Sudibyo, Gunoto Saparie, Raudal Tanjung Banua, Faaizi L. Kaelan, Fauzi Absal, dan beberapa nama lainnya yang begitu konsisten dengan sajak profetiknya.
Ada beberapa penyair yang lebih duhulu konsisten dengan profetik, mereka berangkat dan menulis puisi profetik dari awal karir kepenyairannya. Untuk menyebut beberapa nama antara lain Abdul Hadi WM, (Alm) Hamid Jabbar, Subagio sastrowardoyo, Toto St Radik, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Mustofa W Hasyim, Piek Ardijanto Soeprijadi dan Kuntowijoyo.
Mari kita simak puisi Zhazie Al Aziz Ys yang berjudul "Satire Lanskap Kemanusiaanku": dimana lagi mesti kurintihkan/keperihan ini/setelah lelah menyumpahi nasib/yang memuntung/di layar-layar eloktronik/o, betapa bab-bab buku/dan pasal-pasal/telah mengorbankanku jadi manusia plastik/dimana lagi mesti/kumuntahkan khayalan kemanusiaanku/sedang pada kumuh cuaca/dan senyum perempuan malam/tak pernah kutemukan mata angin/o, mataanginku!
Al Azis, namanya memang tak secemerlang Binhad karena telah menulis puisi "Berak". Namun, kesungguhannya dalam memandang hidup patut kita kagumi. Sajak ini ditulisnya pada 1992, dua belas tahun lalu. Pada masa itu globalisasi yang tak sehebat saat ini telah mampu mempecundangi dirinya. Ia terkurung dan memuntung dalam layar-layar elektronik (televisi), padahal televisi swasta dan acara-acaranya tak sebombastis seperti sekarang ini. Namun, ia tetap menghikmati, bahwa apapun bentuknya, entah itu televisi, radio atau VCD dampaknya bagi tingkah laku manusia begitu hebat. Bab-bab buku dan pasal-pasal telah menjadikannya sebagai manusia plastik. Di sini, Al Azis sesungguhnya mempercayakan ada yang mesti manusia baca, yaitu kitab suci. Manusia, di mata Azis harus kembali ke khitahnya yaitu Tuhan.
Serupa dengan Al Azis, penyair Wijang Wharek AM namanya pun kurang begitu dikenal sebagai penyair. Padahal, pada dekade 1991-an penyair ini bisa dikatakan sebagai penyair yang paling produktif mempublikasikan puisi-puisinya di Harian Semarak Post Bengkulu dan di berbagai media massa di Sumatera. Saya mengenalnya saat bermukim di Bengkulu.
Puisi-puisi Wijang yang datar menurut saya cukup kuat. Terutama nuansa profetiknya. Membaca Wijang saya seperti membaca Abdul Wachid B.S. Meskipun tidak "setenar" F. Rahardi, Iwan Gunadi atau Binhad Nurrohmat, saya mengaguminya sebagai penyair yang gigih. Sama halnya saya mengagumi penyair asal Medan, Harta Pinem.
Saya terkesan pada puisi Wijang Wharek yang berjudul "Mengaji Subuh": menggigir hari dalam/selimut kabut/suara itu nyaring menggedor/daun pintu/siapa sepagi ini hadir/disitu/sebuah percakapan mendadak terkurung/dalam bahasa gagu/melimbung/aku tersadar gagap mengeja rahasia/alif lam mim-mu.
Mengapa puisi secemerlang itu tidak menghantarkan penulisnya ke menara gading? Ia hanya mampu bertengger di tangkai-tangkai tumbuhan merambat. Ya. Wijang selalu akan menyadari, dimana ia harus berdiri, duduk, tidur dan bertemu mimpi. Ia barangkali sesungguhnya sadar, bahwa puisi ditulis sepenuhnya hanya sebagai media untuk "menyayangi" Tuhan.
Seperti "Sampan Yang Berlayar" Harta Pinem: diam-diam sampanku berlayar/membawa kegelisahan ikan-ikan/melayarkan kesucianku/ke pucuk ombak/gemuruh badai menubruk sampanku/dari abad-ke abad/dilanda kecemasan/hingga hitam air lautku.
Inilah peradaban terkini itu. Penyair yang selalu dibayangi kecemasan. Harta Pinem juga merasakannya. Kegelisahan dilarung ombak peradaban. Kegelisahaan yang meng-abad, mungkin kegelisahan tersebut melebihi usia manusianya.
Lantas, mengapa, apabila yang terjejal hanya gelisah dalam nurani penyair, masih ada sastrawan (penyair) yang meluapkan kegelisahannya pada kalimat-kalimat yang tabu (menulis karya sastra seks)?
Namun, kebutuhan akan sastra propetik-supistik di era globalisasi tak akan terbendung. Di saat hati terdedah dan gundah gulana karena peradaban telah dengan sangat santunnya ditingkahi dengan tayangan-tayangan porno di televisi, baik itu berbentuk iklan atau sinetron. Atau film-film biru di piringan VCD, percayalah manusia akan kembali kepada khitahnya, yaitu bertahajud. Di tengah gegap-gempita duniawi, manusia akan "Tahajud Sunyi": ketika aku datang pada-Mu/jelaga itu/masih mendekam/dalam jantungku/sedang aku/sejak lama merindukan/cahaya rembulan/untuk menatap/kemolekan wajah-Mu (Budi P. Hatees). ****
*) Penyair dan penulis esai, tinggal di Bandar Lampung.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar