Senin, 23 Februari 2009

Bayi Karet

A. Rodhi Murtadho
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Bayi karet telah lahir. Mengguncang seluruh percakapan di warung-warung. Memanaskan perdebatan di forum-forum diskusi pinggir jalan. Bahkan para anggota dewan melakukan rapat pleno untuk membahas isu meresahkan ini. Bayi karet. Mewaspadai ancaman politik. Meski juntrung kebenarannnya masih dipertanyakan.

Omongan merata terdengar di setiap telinga. Namun, mata belum menyaksikan. Wartawan-wartawan dengan sekuat tenaga dan secepat kemampuan menelusuri sumber isu. Tentu akan membawa para wartawan kepada bayi karet, pikir mereka. Berita heboh akan didapat. Bonus tinggi yang dijanjikan si bos bisa berada di tangan.

Bayi karet terdengar makin meluas. Bahkan sampai mancanegara. Obrolan isu. Pakar-pakar kesehatan membincangkan kemungkinan penyimpangan-penyimpangan pada struktur tubuh. Atau, pakar-pakar kerohanian membincangkan sisi lain dari anugerah, peringatan, dan bencana. Atau, pakar-pakar politik yang membincangkan kemungkinan ancaman yang lebih dari isu bayi karet. Atau, pakar-pakar hukum yang membincangkan kesahihan isu bayi karet. Atau, pakar-pakar budaya yang membincangkan kemungkinan cerita fiksi bayi karet. Atau, pakar-pakar ekonomi yang membincangkan nilai isu bayi karet. Atau, pakar-pakar pendidikan membincangkan pembelajaran dialogis.

Tak ada yang diwawancarai karena wartawan belum menemukan bayi karet. Meski sudah ekstra kerja keras. Belum ada gambar terpampang. Belum ada komentar langsung orang tuanya. Bayi yang konon bisa memanjangkan tangan dan kaki bahkan semua anggota badan. Ataupun jika dibanting malah memantul. Jika diinjak atau dilindas akan penyet sejenak sebelum akhirnya kembali ke bentuk semula.

Isu kehebatan bayi karet makin hari makin terkuak. Memanas. Makin geram ingin menyaksikan langsung. Telinga ingin mendengar ranum tangis. Tangan ingin mengelus mulus kulit dan mencubit molornya bayi karet. Menimang dan merasakan hangat ompol.

Sudah dua minggu bayi karet hanya menjadi percakapan. Namun pada hari kelima belas ada kabar yang menyentakkan setiap orang dan para wartawan. Dikabarkan bayi karet dilahirkan Suminah, istri Paijo. Sigap setiap orang memeriksa tetangga. Menanyakan nama yang selama ini belum mereka kenal. Para RT, lurah, camat, bupati, rumah-rumah sakit, gubernur, anggota dewan memeriksa nama-nama rakyat dan pasien. Ada jutaan nama Suminah dan Paijo.

Jalan setapak. Panjang menerobos sela-sela kumuh bangunan. Sesak. Kadang harus berhenti berjalan dan antri ketika bersimpangan. Ditambah rasa sengat di hidung. Sampah, bangkai tikus, bangkai kucing, tai dan pipis berserakan. Mungkin warga sudah bosan membersihkannya.

“Permisi, Pak! Bapak tahu rumah Paijo? Katanya ada di sekitar sini?” tanya wartawan berbaju biru. Ragu. Mengandalkan keuntungan.

“Rumah Paijo ada di ujung gang ini. Sampean lurus saja,” kata seseorang.

“Tapi, benar kan? Paijo ini memiliki bayi karet yang terkenal itu?” tanya wartawan berebut.

“Benar sekali. Nama anaknya Karet.”

Tanpa ambil ancang-ancang, para wartawan berloncatan berlari menyusuri gang sempit. Kamera dipersiapkan. Otak langsung berbunga mengais-ngais pertanyaan yang sudah lama terpendam. Jantung terpacu berdetak oleh gerak cepat tubuh. Nafas memburu tersengal. Aliran darah makin deras. Keringat bercucuran. Diacuhkan.

Rumah sederhana. Terlihat paling usang di antara rumah-rumah di sebelahnya. Berdinding kayu, berpagar kayu, berjendela kayu. Semua serba kayu. Rumah berarsitek kuno tegak berdiri. Meski sudah banyak retakan-retakan patahan dan lubang-lubang rayap. Genting juga sudah tak utuh. Retak dan gumpil.

“Permisi, Pak Paijo! Pak Paijo!” teriak wartawan-wartawan yang mengangkangi pintu. Menutup cahaya ke dalam rumah.

Kontan miris tangis bayi menyambut terdengar dari dalam rumah. Namun tubuh kering kurus yang nyembul keluar. Hitam legam. Bercelana pendek. Berkaos oblong. Bersandal jepit. Kumal. Jarang terawat. Terlihat masih muda namun pipi tampak ompong. Guratan-guratan tulang terlihat jelas. Kulit yang membungkus tubuh tampak sayu. Terlihat seperti tak berdaging.

“Ada apa, ya?” sambut Paijo bingung.

“Katanya bapak memiliki bayi karet, apa itu betul?” tanya wartawan berbaju coklat. Membuka percakapan.

“Ah, hanya bayi biasa saja. Adik-adik ini wartawan ya?”

“Iya, Pak. Kami ini wartawan. Boleh kami melihatnya?

“Oh, silahkan,” Paijo mengajak wartawan masuk ke ruang tengah, “Bu, ini adik-adik wartawan ingin bertemu dengan bayi kita, Karet.”

Perempuan paruh baya. Gemuk. Memakai daster yang tampak lusuh. Seperti berhari-hari tak dicuci. Muka tampak sayu berpenyakitan dan berhari-hari tak makan. Melankolis. Namun senyum menebar dan mengaburkannya. Ramah. Sedang menggendong seorang bayi yang merengek.

“Ini istri saya dan ini Karet, bayi kami,” Paijo menunjuk Suminah dan bayinya.

Bayi karet seperti penuh pengertian. Menghentikan tangis. Membiarkan suara-suara para wartawan dan orang tuanya berkuasa. Memecah sunyi.

“Jadi ini bayi karet yang banyak dibicarakan banyak orang. Seperti bayi biasa. Lantas, tentang kelebihan-kelebihan bayi karet ini, apa itu benar adanya?” tanya wartawan berjaket hitam.

“Maksud adik-adik?” tanya Paijo.

“Semua sifat karet melekat di tubuh bayi ini. Bisa memanjang. Bisa memantul...” penasaran wartawan yang berkaos hitam.

“Ah, orang-orang itu hanya membesar-besarkan saja. Bayi kami normal dan seperti bayi-bayi lain. Seperti kalian lihat sendiri,” elak Paijo.

“Tapi dari namanya saja, Karet. Pasti ada kisah dibalik nama itu. Atau mungkin memang benar kata orang-orang dan kalian sengaja menutup-nutupinya,” desak wartawan berjaket hitam.

Suminah dan Paijo saling pandang. Berisyarat melalui mata. Keduanya seperti saling bertanya. Menjawab dengan kerdipan yang dipercepat atau diperlambat. Kadang helaan nafas panjang melengkapi. Semua bibir seperti terkunci rapat. Paijo tiba-tiba menganggukkan kepala.

Suminah tiba-tiba melepas Karet dari gendongan dan membiarkannya terjatuh. Seperti dibanting. Para wartawan kaget dan spontan ingin menangkap bayi karet. Namun tangan tak sampai akibat jarak yang agak jauh. Suminah dan Paijo hanya diam. Tak ada usaha untuk menolong dan menangkap bayi karet.

Karet jatuh ke tanah dan memantul kembali ke gendongan Suminah. Tercengang para wartawan melihat pemandangan yang tak biasa mereka saksikan. Tak ada luka atau sekadar goresan di tubuh Karet.

“Bagaimana bisa begitu, Bu, Pak?” tanya wartawan berjaket hitam keheranan.

“Kami sendiri juga tidak tahu. Yang jelas ketika dukun beranak membantu istri saya, bayi ini terlepas dari gendongan. Bayi ini memantul seperti bola bekel. Makanya langsung kami beri nama Karet.”

“Tentu saja begitu adik-adik,” tambah Suminah, “sejak bayi ini di kandungan, alam tampak menjadikannya demikian.”

Lagi-lagi para wartawan tencengang. Berita baru dari narasumber. Belum diperbincangkan ketika isu muncul. Pengaruh alam terhadap kemunculan bayi karet. Tentu akan jadi topik panas untuk berita. Bonus berlipat-lipat akan teraih. Mungkin akan menggantikan gaji enam bulan kerja.

“Maksud Ibu?” celetuk keheranan wartawan berkaos hitam.

Suminah mengalihkan pandangan ke Paijo. Lagi-lagi saling berisyarat. Wartawan saling memandang. Menunggu anggukan Paijo yang berarti mengizinkan istrinya bercerita. Tak begitu lama, Paijo mengangguk.

“Sejak kandungan berusia tiga bulan, terjadi gempa. Tentu saja guncangan hebat yang saya rasakan dan otomatis bayi ini juga. Sebulan kemudian longsor bukit-bukit yang ada di belakang rumah tapi tak sampai menelan rumah ini. Mengharuskan saya harus berlari dan mengguncang-guncang bayi ini. Kebakaran di samping rumah saat usia kandungan lima bulan. Angin puting beliung yang hampir merobohkan rumah ini di usia kandungan enam bulan. Banjir sedada ketika usia tujuh bulan. Isu gunung Semeru akan meletus di usia kandungan delapan bulan. Tentu saja semua itu mengguncang tubuh, pikiran, dan hati saya. Harus sabar menghadapi.”

“Oh, karena sering adanya guncangan itu, bayi ini menjadi elastis?” tanya wartawan berbaju biru hendak memperjelas.

“Iya, kata orang-orang pintar seberang rumah, bayi ini beradaptasi terhadap alam selama di kandungan. Sering mengalami bencana alam. Jadinya bisa beradaptasi terhadap bencana alam apapun. Kami tak khawatir lagi jika bayi ini terjatuh karena akan memantul dan kembali ke gendongan seperti yang adik-adik lihat tadi. Jika nanti pun ada banjir, tentu bayi ini akan mengambang seperti pelampung.”

“Hebat banget. Pernahkah Pak Paijo bermimpi yang aneh-aneh sebelum Karet dilahirkan. Atau mungkin Ibu Suminah sendiri yang memimpikannya?” tanya wartawan berbaju biru menelusuri.

“Kalau itu Mas Paijo yang mengalaminya. Iya kan, Mas?” Suminah menjatuhkan pandangan lagi kepada Paijo.

“Ah, itu hanya kembang tidur. Tak usah dibesar-besarkan.”

“Tapi, kata dukun dan yang mengerti ilmu tafsir mimpi, anak ini memang disiapkan menjadi orang besar. Banyak dianuti orang-orang. Semacam pemimpin gitu,” imbuh Suminah di sela-sela raut malu Paijo menutupi.

Wartawan-wartawan seperti mendengar dongeng dari Suminah. Terantuk-antuk mengiyakan. Tak ada pertentangan dalam diri mereka mengenai kebenaran yang seharusnya dipertanyakan. Berita. Berita. Dan hanya berita. Meski kadang harus disiarkan melebihi batas akal manusia. Tetapi, para wartawan tak peduli dan ambil pusing. Hanya berita.

Suminah dan Paijo seperti sudah terbiasa. Memang sebelum kedatangan wartawan ratusan orang mendatangi mereka. Dan hanya itu-itu saja yang mereka ceritakan. Karet. Sebab itu, mereka tampak lancar dan gamblang seperti menjalankan skenario yang telah dipersiapkan dalam berakting dan bercerita.

Sebenarnya tak ada yang perlu dipertanyakan wartawan. Cerita yang terlantun dari mulut Paijo maupun Suminah sudah ramai dibicarakan di masyarakat. Hanya saja wartawan ingin mengecek langsung dari sumber kebenaran. Mendapat kepastian. Menyaksikan sendiri. Bonus berita baru mengenai alam dan Karet. Tentu takkan didapat jika wartawan hanya berdiam menunggu.

“Maaf, Bu. Saya kok jadi tertarik dengan cerita tentang Karet dipersiapkan menjadi orang besar. Maksud Ibu, Karet akan menjadi pemimpin bangsa ini,” tanya wartawan di tengah kelengangan yang sejenak tercipta.

“Kata para dukun sih begitu. Bayi ini sudah memenuhi kriteria menjadi pemimpin atau pejabat. Adik-adik sendiri tahu kan budaya keseharian para pejabat dan pemimpin negeri ini. Serba karet. Tangan karet, kaki karet, jam karet, janji karet, pengadilan karet. Nah, semua sifat karet itulah yang mungkin menyebabkan para dukun itu meramalkan. Karet inilah pemimpin masa depan negeri ini,” terang Suminah.

“Lantas kalian percaya dengan ramalan dukun itu?”

“Ya, kalau dibilang percaya, ya percaya. Kalau dibilang tidak percaya, ya tidak percaya. Kami ini apa sih, adik-adik. Hanya orang miskin. Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari saja susah apalagi bermimpi anak kami menjadi pemimpin bangsa ini. Tentu akan makin susah walau cuma bermimpi. Tapi bagaimanapun tak ada salahnya kan orang memiliki mimpi. Biarpun mimpi itu sangat jauh untuk dijangkau dan diwujudkan,” Paijo menanggapi dengan tenang.

Para wartawan tampak merasa terenyuh dengan pengakuan Paijo. Sungguh di luar jangkauan prediksi para wartawan. Pengertian tentang kehidupan bagi Paijo tak sekumel tampangnya.

“Ya, memang. Tak ada yang bisa menghalangi orang untuk bermimpi. Dan tak ada salahnya orang bermimpi. Itu sah-sah saja kami pikir,” imbuh wartawan berjaket hitam menyahuti. Menghibur.

“Tapi menurut ciri-ciri yang bisa ditelusuri sekarang, Karet ini mungkin saja bisa menjadi orang nomor satu di negeri ini. Sekarang saja sudah menghebohkan masyarakat. Banyak dibicarakan orang-orang. Terkenal. Tentu dengan sedikit politik akan menjadikan Karet pemimpin yang dipuja-puja,” sahut wartawan berkaos hitam.

“Kalau dipikir-pikir, benar juga kata adik-adik ini. Kami baru memikirkannya sekarang. Kalau boleh tahu, seberapa terkenal anak kami ini sekarang?”

“Wah, sudah sampai mancanegara.”

“Uh, terkenal kamu, Nak. Tidak seperti Bapak dan Ibumu,” Paijo dan Suminah memandang Karet lekat-lekat sambil tersenyum.

Wartawan ikut tersenyum. Saling memandang. Tampak bahagia. Namun Karet hanya diam di tengah tawa. Seperti tak ada ekspresi wajah sama sekali. Bahagia, sedih, takut, marah, bingung tak terlihat. Beku pada kerdipan mata dan pandangnya.

“Kalau begitu, boleh kami ambil gambar Karet untuk dipampang di majalah, koran, televisi, dan seluruh media-media lain. Biar Karet makin terkenal.”

“Oh, silahkan. Silahkan!”

Kamera yang sudah dipersiapkan difokuskan pada Karet. Namun sebelum menjepret, Karet meronta. Tampak enggan diabadikan gambarnya. Tubuh Karet tiba-tiba memanjang. Tangan, kaki, leher dan semua bagian tubuh memanjang. Mencari pintu-pintu dan jendela-jendela untuk mengeluarkan kepala, kaki, dan tangan. Wartawan kebingungan hendak memotret. Kepala ada di balik pintu dapur, tangan di luar jendela, kaki menjulang keluar pintu depan. Kalaupun dipotret, hanya ada bagian tertentu dari tubuh Karet. Untuk memperoleh gambar utuh tubuh Karet tentunya harus menggabungkan bagian-bagian gambar yang diambil. Totalitas tubuh karet tak bisa didapat. Kalaupun dipotret dari jarak jauh, akan menjadi samar seperti rekaan.

Paijo dan Suminah memelas dalam pikir. Senyum kecut di muka. Mereka tahu kalau Karet enggan dipotret. Tak ingin terkenal semu semata. Sementara kebutuhan sehari-hari tidak terpenuhi. Harta ludes akibat bencana tak pernah dipikirkan. Orang-orang datang hanya bertanya tentang Karet dan kelebihannya. Pekerjaan Paijo yang tak pernah tetap, tak pernah dipertanyakan. Mengais rejeki dengan bercucuran keringat lebih dulu. Belum lagi harus mengobatkan Suminah karena penyakit kronis yang mendera.

“Pak, Bu, apa yang terjadi pada Karet? Kok molor tak karuan seperti ini.”

“Ini biasa dia lakukan jika merasa sangat kesal dan marah. Atau mungkin juga malu. Ini juga yang membedakan dengan bayi-bayi lainnya. Karet seakan sudah mengerti apa yang dibicarakan orang-orang dewasa. Mengerti keluh kesah orang-orang dewasa. Dan kami tak tahu, setiap ada orang datang kemari dan bertanya tentang dirinya, Karet selalu memanjang,” terang Suminah.

“Kok bisa begitu ya, Pak. Apa karet marah jika berita tentang dirinya disebarluaskan. Atau mungkin malu? Atau mungkin Karet tak suka dengan kehadiran kami berombongan seperti ini. Rame-rame dan bisa mengganggu ketenangannya?”

Hening tercipta. Tak ada secuil kata yang terlontar dari mulut Paijo dan Suminah. Pandangan mereka alihkan untuk menelusuri tubuh karet. Tersenyum pada mata kepala Karet di balik pintu. Pikir Paijo dan Suminah, jelas saja Karet marah. Kelu kesah orang tua yang serba susah tak pernah diungkap. Tak ada yang pernah menanyakan tentang perut, sudah terisi makanan atau belum. Tak ada yang pernah menanyakan jatah makan esok. Atau tentang susu yang sangat kurang. Mungkin karena Suminah sakit-sakitan dan jarang makan. Air susu tak lancar keluar. Yang jelas mungkin Tuhan menyiapkan karet memiliki perut karet. Setiap saat bisa diisi makanan dan setiap saat kuat jika tak ada makanan. Bayi karet bernama Karet dengan perut karet.

Malang, 4 Mei 2007

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae