Sabtu, 28 Februari 2009

Dialog-dialog Menjelang Berangkat

Haris Firdaus
http://oase.kompas.com/

“Sebentar lagi, setelah pintu itu ditarik tutup dan kereta melaju, segalanya mungkin akan berubah.”

Aku mengatakannya dengan ragu-ragu, takut kau akan mengubah pendirianmu.
Tapi kau diam saja, seolah tidak akan terjadi apa-apa. Ada senyum di bibirmu yang bertekstur lembut itu, bersanding dengan kecuekan yang tidak dibuat-buat. Kau merapatkan jaketmu, memandang sekeliling, lalu menatapku dengan tatapan paling biasa yang pernah aku lihat. Tidakkah kalimatku barusan berarti sesuatu bagimu?

“Setelah semuanya berubah, penyesalan selalu datang bersama keterlambatan. Dan segalanya hanya tinggal kenangan yang tak bisa kita sentuh dengan tangan.” Kali ini dengan mendekatkan bibirku ke telingamu.

Kau tersenyum, lebih mirip ekspresi sebuah geli ketimbang mengerti atau coba menghayati kalimatku. Setelah itu, semuanya sama kembali: orang-orang masih berjalan, sejumlah pedagang mendekati kita, dan kau selalu melongok sebentar pada dagangan mereka lalu menolak dengan halus. Mereka pergi dan kereta yang akan membawa kita belum juga datang. Apakah perubahan kali ini akan kembali gagal?

Di antara semua kenangan yang pernah kita pahatkan pada celah ingatan masing-masing, aku selalu menyukai memori tatkala kita duduk berdua di sebuah bangku yang menghadap kolam besar dengan air berwarna hijau dan gelombang yang selalu mengalun. Pada sebuah siang yang ramah itu, kita akhirnya memutuskan untuk hanya duduk, memandang, dan saling diam. Seandainya ada juru potret di taman yang sepi itu, aku akan menyuruhnya mengambil gambar kita dari belakang sehingga yang terekam hanyalah punggung kita berdua yang berdempetan, kelihatan mesra dari belakang.

Tapi kita tidak pernah menemukan juru potret. Dan gambar punggung kita yang berdempetan, hanya muncul dalam bayanganku tatkala kita akhirnya tahu: memiliki sesuatu selalu berarti membawanya menuju sebuah perubahan. Sementara perubahan itu, tidak selalu menuju ke garis yang lebih baik dan kokoh. Di situlah pertaruhan terjadi, permainan dimulai, dan ke mana kita akan sampai, barangkali hanya akan diketahui setelah kaki kita berhenti mengayunkan langkah.

Ini kedengarannya sederhana. Tapi hidup selalu lebih rumit daripada kesibukan menghitung akar bujursangkar kwadrat. Perjalanan yang kita awali selalu merupakan petualangan yang kadang-kadang tanpa peta, penjelajahan tanpa penunjuk arah. Itulah kenapa aku mendambakan potret punggung kita yang berdempetan dan kelihatan mesra. Dalam potret yang semacam itu, aku selalu mengangankan keabadian: melihat dua punggung yang jejer, apa yang bisa kita ucapkan kecuali bahwa keduanya milik dari dua sosok yang saling mengintimi satu sama lain?

Aku selalu mengangankan hal itu justru karena tahu: kita tak menemukan juru potret di taman itu dan punggung kita berdua tak pernah benar-benar jadi diabadikan. Tidak ada yang abadi pada kita berdua. Sama sekali tidak ada.

Barangkali itulah yang membuatku cemas petang ini, tatkala kita menunggu kereta api yang segera membawa kita menuju muara yang sama sekali tak pernah kita perkirakan dengan persis. Kadang aku ingin memastikan kau memahami ini: perubahan yang kita jelang akan begitu drastis dan tak ada tempat untuk pulang.
###

Kau mengatakannya seolah-olah aku masih belum paham apa yang hendak kita lakukan. Tentu saja, kalimatmu itu punya begitu banyak arti untukku. Tapi saat ini, aku memilih mendiamkanmu, menatap sekeliling dengan cuek, lalu melihatmu dengan tatapan paling biasa yang aku miliki. Dengan semua gerik itu, aku ingin menyatakan padamu bahwa aku sama sekali tak terpengaruh oleh kalimatmu. Lagipula, bagiku, kalimat itu terasa sebagai omong kosong yang bodoh.

Di saat seperti ini, aku akan lebih memilih menghirup suasana stasiun. Kau amat tahu kalau aku menyukai stasiun, bukan? Aku berkali-kali mengatakannya padamu dan seharusnya kau tidak pernah melupakan itu. Aku tahu kau tidak pernah melupakan hal itu. Tapi untuk apa kau menyemburkan petuah soal perubahan itu?
“Apakah aku masih terlihat sebagai anak kecil?”

Akhirnya aku tidak tahan menanyakan itu. Kau bengong, seolah tidak sadar bahwa aku baru bertanya dengan metafora. Lalu diam kembali. Dan aku benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana mungkin kau, seorang yang tahu dengan presisi apa itu “metafora”, harus tergagap dengan permainan semiotik rendahan macam itu. Aku sungguh-sungguh tidak habis pikir. Dan stasiun ini semakin indah.

Di antara semua kenangan yang pernah kita miliki berdua, aku akan memilih satu yang menurutku paling bagus. Itu adalah masa ketika aku membaca tulisanmu soal kita dan stasiun. Tulisan ringkas yang penuh nuansa personal itu tentu saja tidak akan laku di koran—apalagi di halaman yang diberi label “Budaya” atawa “Seni”. Tapi aku tahu kau menulis bukan untuk dilabeli “Budayawan”—sebuah kata yang menurutmu amat menggelikan meski sampai sekarang aku tak pernah tahu di mana letak menggelikannya kata itu.

Aku menyukai tulisanmu itu walaupun kau mengatakan dengan sungguh-sungguh ada banyak kedodoran di dalamnya. Di sana dan di sini, katamu sambil menunjuk bagian-bagian teks yang kau maksud, masih terdapat celah yang sungguh celaka jika dibaca oleh orang yang jeli dan paham bagaimana cara menulis dengan benar. Dan aku bersyukur tak masuk ke dalam golongan orang yang semacam itu. Aku menyukai keintiman dan tulisanmu penuh dengan itu.

Dari semua bagiannya, aku amat senang tatkala kau mulai “mengobrak-abrik”—itu istilahmu sendiri, semacam pengganti bagi proses menafsirkan puisi dengan sekehendak hati dan demi kepentingan diri sendiri—puisi Sapardi Djoko Damono tentang percakapan di dalam kereta yang entah nyata atau tidak. Uh, aku menyukai frasa itu—“aku lirik”—meskipun susah memaknainya dan tentu saja kita tak bisa mengatakan bahwa frasa itu berarti “aku sedang melirik”, bukan?

Saat aku mengatakan itu kau hanya tersenyum. Sedikit malu-malu. Tapi aku tak pernah mengatakan yang sejujurnya padamu kenapa aku begitu menyukai tulisan itu. Kini, dengan tatapan mata, ya hanya dengan tatapan mata sebab itulah yang bisa kuperbuat saat ini, aku akan menyatakan alasan itu.

Kenapa aku menyukai tulisanmu itu? Sebab tulisanmu dipenuhi dengan pergulatan antara keasingan dan keintiman. Ya, ada satu kata tambahan di sini: keasingan.
###

Apakah kau masih terlihat seperti anak kecil?
Aku ingin sekali menjawab pertanyaan itu. Iya, itu kalimat berbunga yang mungkin ditaburi metafora sedikit. Tapi bagiku, semua tampak amat jelas: tendensimu, sinismemu. Dan aku tergagap justru karena pertanyaan itu begitu jelas datang kepadaku. Tidak ada selaput metafora di sana seperti laiknya selaput yang menyelubungi tiap lubang kemaluan perempuan yang belum pernah ditusuk kelamin laki-laki.

Aku tergagap justru karena pertanyaan itu begitu jelas. Dan oleh karenanya, kau tahu, kalimatmu itu amat menohok. Aku sempat membayangkan kata apa yang keluar jika aku benar-benar menjawab pertanyaan itu. Tapi bayangan itu segera pupus dengan cepat. Kalimatmu itu, akan kubiarkan menggantung tanpa jawaban. Eh, salah. Bukan kalimatmu yang kugantung. Tapi akulah yang kau gantung dengan kalimatmu. Tidakkah kau melihat kesakitan di sekujur leherku sekarang ini? Aku sangat ingin bertanya: apakah leherku mulai biru dan kelihatan kaku?

Ketika kesadaran itu terus merayapi otakku, leherku terasa makin sakit. Sangat sakit. Dan aku menyesal telah berpetuah di hadapanmu. Jika ada sesuatu yang paling tak kita butuhkan saat ini, maka itu adalah nasihat.

Aku pernah mengatakan ini padamu: aku selalu menyukai sebuah novel dengan huruf depan M yang berkisah tentang seorang gelandangan yang enggan berpikir. Gelandangan itu sama sekali bukan tidak bisa berpikir. Semata-mata, ia tak mau berpikir. Jika kehidupan jalanan adalah laku menerima nasib, kenapa mesti ada pikiran yang berontak? Jika kehidupan jalanan adalah dorongan untuk hanya memperpanjang nafas yang telah hampir sekarat, kenapa mesti ada gugatan dari gumpalan yang namanya otak?

Maka demikianlah, gelandangan kita yang bijak lagi bestari ini akhirnya memutuskan jadi manusia tanpa pikiran. Ia masih punya otak karena tak mungkin membuang gundukan itu tanpa mati. Ia masih membawa gundukan itu ke mana-mana. Tapi ia telah bersumpah demi langit demi bumi dan demi laut—mungkin karena ia tak percaya Tuhan—tak akan menggunakan gumpalan itu. Ia hanya akan berbuat. Melakukan sesuatu. Tanpa didahului pertimbangan—atau apapun yang punya kaitan dengan pikiran.

Tapi suatu hari, begitulah yang dikisahkan penulis berhuruf depan I yang mengarang novel dengan huruf depan M, si gelandangan kita itu bertemu dengan sesama gelandangan lain yang justru membawa pikiran ke mana-mana. Keduanya terlibat percakapan seru tapi penuh seteru: si gelandangan kita, seperti kebiasannya, bicara dengan kalimat-kalimat ringkas yang dijawab dengan kalimat-kalimat panjang nian berat dari gelandangan kawannya itu. Sebuah percakapan berat sebelah terjadi. Dan gelandangan kita akhirnya memutuskan membenci kawannya yang ia sebut sebagai manusia pikir itu—lawan dirinya yang ia sebut sebagai manusia berbuat.

Apakah aku sekarang berperan sebagai antagonis yang rewel dengan pikiran itu? Dan kau, di lubuk hatimu yang paling dalam, apakah kau sedang menertawakan aku pertama-tama, lalu diam-diam mulai memenuhi hatimu dengan kebencian terhadapku? Seandainya pun iya, aku harus masih bersyukur: kita bukan gelandangan. Setidaknya untuk saat ini.

Dan kereta itu lamat-lamat terdengar deru mesinnya. Lamat-lamat terlihat badannya. Kau mengambil tasmu, aku mencangklong tasku. Dalam hati aku berjanji padamu: begitu menjejakkan kaki di dalam kereta api itu, aku akan berhenti jadi manusia pikir. Aku akan bergabung bersama kaummu yang dipimpin gelandangan kita. Aku berjanji. Tapi jangan kau paksa aku mengucapkan janji itu. Cukup dengan tatapan mata kusampaikan janji itu padamu. Karena memang hanya itulah yang sampai saat ini bisa kulakukan.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae