Haris Firdaus
http://oase.kompas.com/
“Sebentar lagi, setelah pintu itu ditarik tutup dan kereta melaju, segalanya mungkin akan berubah.”
Aku mengatakannya dengan ragu-ragu, takut kau akan mengubah pendirianmu.
Tapi kau diam saja, seolah tidak akan terjadi apa-apa. Ada senyum di bibirmu yang bertekstur lembut itu, bersanding dengan kecuekan yang tidak dibuat-buat. Kau merapatkan jaketmu, memandang sekeliling, lalu menatapku dengan tatapan paling biasa yang pernah aku lihat. Tidakkah kalimatku barusan berarti sesuatu bagimu?
“Setelah semuanya berubah, penyesalan selalu datang bersama keterlambatan. Dan segalanya hanya tinggal kenangan yang tak bisa kita sentuh dengan tangan.” Kali ini dengan mendekatkan bibirku ke telingamu.
Kau tersenyum, lebih mirip ekspresi sebuah geli ketimbang mengerti atau coba menghayati kalimatku. Setelah itu, semuanya sama kembali: orang-orang masih berjalan, sejumlah pedagang mendekati kita, dan kau selalu melongok sebentar pada dagangan mereka lalu menolak dengan halus. Mereka pergi dan kereta yang akan membawa kita belum juga datang. Apakah perubahan kali ini akan kembali gagal?
Di antara semua kenangan yang pernah kita pahatkan pada celah ingatan masing-masing, aku selalu menyukai memori tatkala kita duduk berdua di sebuah bangku yang menghadap kolam besar dengan air berwarna hijau dan gelombang yang selalu mengalun. Pada sebuah siang yang ramah itu, kita akhirnya memutuskan untuk hanya duduk, memandang, dan saling diam. Seandainya ada juru potret di taman yang sepi itu, aku akan menyuruhnya mengambil gambar kita dari belakang sehingga yang terekam hanyalah punggung kita berdua yang berdempetan, kelihatan mesra dari belakang.
Tapi kita tidak pernah menemukan juru potret. Dan gambar punggung kita yang berdempetan, hanya muncul dalam bayanganku tatkala kita akhirnya tahu: memiliki sesuatu selalu berarti membawanya menuju sebuah perubahan. Sementara perubahan itu, tidak selalu menuju ke garis yang lebih baik dan kokoh. Di situlah pertaruhan terjadi, permainan dimulai, dan ke mana kita akan sampai, barangkali hanya akan diketahui setelah kaki kita berhenti mengayunkan langkah.
Ini kedengarannya sederhana. Tapi hidup selalu lebih rumit daripada kesibukan menghitung akar bujursangkar kwadrat. Perjalanan yang kita awali selalu merupakan petualangan yang kadang-kadang tanpa peta, penjelajahan tanpa penunjuk arah. Itulah kenapa aku mendambakan potret punggung kita yang berdempetan dan kelihatan mesra. Dalam potret yang semacam itu, aku selalu mengangankan keabadian: melihat dua punggung yang jejer, apa yang bisa kita ucapkan kecuali bahwa keduanya milik dari dua sosok yang saling mengintimi satu sama lain?
Aku selalu mengangankan hal itu justru karena tahu: kita tak menemukan juru potret di taman itu dan punggung kita berdua tak pernah benar-benar jadi diabadikan. Tidak ada yang abadi pada kita berdua. Sama sekali tidak ada.
Barangkali itulah yang membuatku cemas petang ini, tatkala kita menunggu kereta api yang segera membawa kita menuju muara yang sama sekali tak pernah kita perkirakan dengan persis. Kadang aku ingin memastikan kau memahami ini: perubahan yang kita jelang akan begitu drastis dan tak ada tempat untuk pulang.
###
Kau mengatakannya seolah-olah aku masih belum paham apa yang hendak kita lakukan. Tentu saja, kalimatmu itu punya begitu banyak arti untukku. Tapi saat ini, aku memilih mendiamkanmu, menatap sekeliling dengan cuek, lalu melihatmu dengan tatapan paling biasa yang aku miliki. Dengan semua gerik itu, aku ingin menyatakan padamu bahwa aku sama sekali tak terpengaruh oleh kalimatmu. Lagipula, bagiku, kalimat itu terasa sebagai omong kosong yang bodoh.
Di saat seperti ini, aku akan lebih memilih menghirup suasana stasiun. Kau amat tahu kalau aku menyukai stasiun, bukan? Aku berkali-kali mengatakannya padamu dan seharusnya kau tidak pernah melupakan itu. Aku tahu kau tidak pernah melupakan hal itu. Tapi untuk apa kau menyemburkan petuah soal perubahan itu?
“Apakah aku masih terlihat sebagai anak kecil?”
Akhirnya aku tidak tahan menanyakan itu. Kau bengong, seolah tidak sadar bahwa aku baru bertanya dengan metafora. Lalu diam kembali. Dan aku benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana mungkin kau, seorang yang tahu dengan presisi apa itu “metafora”, harus tergagap dengan permainan semiotik rendahan macam itu. Aku sungguh-sungguh tidak habis pikir. Dan stasiun ini semakin indah.
Di antara semua kenangan yang pernah kita miliki berdua, aku akan memilih satu yang menurutku paling bagus. Itu adalah masa ketika aku membaca tulisanmu soal kita dan stasiun. Tulisan ringkas yang penuh nuansa personal itu tentu saja tidak akan laku di koran—apalagi di halaman yang diberi label “Budaya” atawa “Seni”. Tapi aku tahu kau menulis bukan untuk dilabeli “Budayawan”—sebuah kata yang menurutmu amat menggelikan meski sampai sekarang aku tak pernah tahu di mana letak menggelikannya kata itu.
Aku menyukai tulisanmu itu walaupun kau mengatakan dengan sungguh-sungguh ada banyak kedodoran di dalamnya. Di sana dan di sini, katamu sambil menunjuk bagian-bagian teks yang kau maksud, masih terdapat celah yang sungguh celaka jika dibaca oleh orang yang jeli dan paham bagaimana cara menulis dengan benar. Dan aku bersyukur tak masuk ke dalam golongan orang yang semacam itu. Aku menyukai keintiman dan tulisanmu penuh dengan itu.
Dari semua bagiannya, aku amat senang tatkala kau mulai “mengobrak-abrik”—itu istilahmu sendiri, semacam pengganti bagi proses menafsirkan puisi dengan sekehendak hati dan demi kepentingan diri sendiri—puisi Sapardi Djoko Damono tentang percakapan di dalam kereta yang entah nyata atau tidak. Uh, aku menyukai frasa itu—“aku lirik”—meskipun susah memaknainya dan tentu saja kita tak bisa mengatakan bahwa frasa itu berarti “aku sedang melirik”, bukan?
Saat aku mengatakan itu kau hanya tersenyum. Sedikit malu-malu. Tapi aku tak pernah mengatakan yang sejujurnya padamu kenapa aku begitu menyukai tulisan itu. Kini, dengan tatapan mata, ya hanya dengan tatapan mata sebab itulah yang bisa kuperbuat saat ini, aku akan menyatakan alasan itu.
Kenapa aku menyukai tulisanmu itu? Sebab tulisanmu dipenuhi dengan pergulatan antara keasingan dan keintiman. Ya, ada satu kata tambahan di sini: keasingan.
###
Apakah kau masih terlihat seperti anak kecil?
Aku ingin sekali menjawab pertanyaan itu. Iya, itu kalimat berbunga yang mungkin ditaburi metafora sedikit. Tapi bagiku, semua tampak amat jelas: tendensimu, sinismemu. Dan aku tergagap justru karena pertanyaan itu begitu jelas datang kepadaku. Tidak ada selaput metafora di sana seperti laiknya selaput yang menyelubungi tiap lubang kemaluan perempuan yang belum pernah ditusuk kelamin laki-laki.
Aku tergagap justru karena pertanyaan itu begitu jelas. Dan oleh karenanya, kau tahu, kalimatmu itu amat menohok. Aku sempat membayangkan kata apa yang keluar jika aku benar-benar menjawab pertanyaan itu. Tapi bayangan itu segera pupus dengan cepat. Kalimatmu itu, akan kubiarkan menggantung tanpa jawaban. Eh, salah. Bukan kalimatmu yang kugantung. Tapi akulah yang kau gantung dengan kalimatmu. Tidakkah kau melihat kesakitan di sekujur leherku sekarang ini? Aku sangat ingin bertanya: apakah leherku mulai biru dan kelihatan kaku?
Ketika kesadaran itu terus merayapi otakku, leherku terasa makin sakit. Sangat sakit. Dan aku menyesal telah berpetuah di hadapanmu. Jika ada sesuatu yang paling tak kita butuhkan saat ini, maka itu adalah nasihat.
Aku pernah mengatakan ini padamu: aku selalu menyukai sebuah novel dengan huruf depan M yang berkisah tentang seorang gelandangan yang enggan berpikir. Gelandangan itu sama sekali bukan tidak bisa berpikir. Semata-mata, ia tak mau berpikir. Jika kehidupan jalanan adalah laku menerima nasib, kenapa mesti ada pikiran yang berontak? Jika kehidupan jalanan adalah dorongan untuk hanya memperpanjang nafas yang telah hampir sekarat, kenapa mesti ada gugatan dari gumpalan yang namanya otak?
Maka demikianlah, gelandangan kita yang bijak lagi bestari ini akhirnya memutuskan jadi manusia tanpa pikiran. Ia masih punya otak karena tak mungkin membuang gundukan itu tanpa mati. Ia masih membawa gundukan itu ke mana-mana. Tapi ia telah bersumpah demi langit demi bumi dan demi laut—mungkin karena ia tak percaya Tuhan—tak akan menggunakan gumpalan itu. Ia hanya akan berbuat. Melakukan sesuatu. Tanpa didahului pertimbangan—atau apapun yang punya kaitan dengan pikiran.
Tapi suatu hari, begitulah yang dikisahkan penulis berhuruf depan I yang mengarang novel dengan huruf depan M, si gelandangan kita itu bertemu dengan sesama gelandangan lain yang justru membawa pikiran ke mana-mana. Keduanya terlibat percakapan seru tapi penuh seteru: si gelandangan kita, seperti kebiasannya, bicara dengan kalimat-kalimat ringkas yang dijawab dengan kalimat-kalimat panjang nian berat dari gelandangan kawannya itu. Sebuah percakapan berat sebelah terjadi. Dan gelandangan kita akhirnya memutuskan membenci kawannya yang ia sebut sebagai manusia pikir itu—lawan dirinya yang ia sebut sebagai manusia berbuat.
Apakah aku sekarang berperan sebagai antagonis yang rewel dengan pikiran itu? Dan kau, di lubuk hatimu yang paling dalam, apakah kau sedang menertawakan aku pertama-tama, lalu diam-diam mulai memenuhi hatimu dengan kebencian terhadapku? Seandainya pun iya, aku harus masih bersyukur: kita bukan gelandangan. Setidaknya untuk saat ini.
Dan kereta itu lamat-lamat terdengar deru mesinnya. Lamat-lamat terlihat badannya. Kau mengambil tasmu, aku mencangklong tasku. Dalam hati aku berjanji padamu: begitu menjejakkan kaki di dalam kereta api itu, aku akan berhenti jadi manusia pikir. Aku akan bergabung bersama kaummu yang dipimpin gelandangan kita. Aku berjanji. Tapi jangan kau paksa aku mengucapkan janji itu. Cukup dengan tatapan mata kusampaikan janji itu padamu. Karena memang hanya itulah yang sampai saat ini bisa kulakukan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar