Deepe
http://oase.kompas.com/
Malam itu, malam tahun baru. Semua orang merayakannya dengan meriah. Jalanan, restoran, cafe, pub, dan berbagai tempat hiburan penuh sesak dengan orang-orang yang berpesta pora. Kembang api, petasan, semua dinyalakan untuk menyambut datangnya fajar baru.
Tapi aku memilih berdiam di dalam kamar rumah kontrakanku yang sudah hampir lima tahun aku tempati. Aku memutuskan untuk tidak pergi kemana-mana malam itu. Bukannya tak ingin, siapa tak ingin bersenang-senang dan berpesta-pora. Hanya saja aku tidak suka dengan sifat ke sementaraannya.
Aku bukannya tidak bersyukur atas nikmat kesenangan yang disisipkan Tuhan dalam hidup kita. Tapi aku selalu merasakan kekosongan yang dalam saat piring dan gelas dibersihkan, dan musik serta suara tawa berubah menjadi kesenyapan. Sementara beban hidup tidak pernah berkurang, bahkan semakin membungkukkan punggung. Lagi pula, melepaskan kepenatan tidak harus dengan pesta teriring musik yang keras menghentak-hentak, dengan suara tawa dan canda berlebihan, ada banyak cara yang dapat dilakukan. Seperti yang aku lakukan ketika itu. Duduk menghadap jendela dengan segelas kopi di atas meja kecil. Menatap nanar dahan-dahan pohon jambu yang saling bergesekan, juga daun-daunnya yang gugur ditiup angin awal tahun yang basah dan menebarkan hawa dingin. Sebuah notebook bersampul merah di atas pangkuanku, sementara pena yang biasa ku gunakan untuk menulis mampir di mulutku.
Sebenarnya aku berniat menulis sebuah refleksi, semacam catatan hidup. Tetapi rasanya susah sekali menemukan kalimat yang tepat. Ini mungkin karena tidak ada lagi yang bisa aku tulis tentang hidupku. Apa yang istimewa dari hidupku? Dari waktu ke waktu, hari-hari berjalan biasa-biasa saja tanpa sesuatu yang istimewa. Aku masih tinggal di rumah kontrakan yang kecil ini. Masih bekerja sebagai pegawai rendah di sebuah instansi yang gajinya tak seberapa, untuk menambah penghasilan, aku biasanya menulis untuk media. Ah, ternyata susah sekali meraih kesempatan di kota sebesar dan seliar Jakarta ini.
“Kamu itu terlalu baik dan jujur. Orang baik tidak akan berhasil disini,” kata seorang temanku ketika ia menunjukan mobil baru hasil “proyek-proyeknya” yang entah apa.
Gila!, apa semua orang yang datang kemari lantas harus menjadi macan, serigala, atau singa yang tanpa belas kasih menerkam sesamanya? Kalau sudah begini aku jadi ingat kampung, dimana gotong royong dan kebersamaan masih menjadi hal utama, meski globalisasi sudah merambah ke berbagai sendi kehidupan. Ah, entah kapan aku akan kembali makan masakan bunda dan membantu ayah di sawah warisannya yang tak seberapa luas. Merasakan desiran angin pegunungan yang sejuk dan bermain air di kali, di belakang rumah kami.
Aku menghirup sedikit kopiku yang sudah mulai dingin. Sayup-sayup terdengar suara petasan dan sorak-sorai orang-orang yang berpesta menyambut tahun baru dari tanah lapang di seberang gang rumahku. Percikan kembang api sesekali terlihat menggantikan kerlip bintang yang sama sekali tak nampak malam ini. Ternyata langit lebih tahu situasi, atau kita yang sudah kehilangan nurani?
Malam semakin beranjak ke puncak. Aku masih duduk di depan jendela menatap guguran daun-daun jambu. Kopiku sudah dingin sama sekali, aku memutuskan untuk tidak meminumnya lagi. Pena yang tadi kuhisap-hisap telah berganti sebatang rokok. Udara semakin dingin dan basah.
Angin bertiup semakin lama semakin kencang. Aku menaikan jaketku hingga ke leher. Malam kian pekat, awan hitam bergulung-gulung. Dari kejauhan aku dapat melihat kilat sesekali menjilati langit disusul suara gemuruh guntur. Wah, tampaknya akan hujan malam ini, gumamku. Sorak-sorai orang yang berpesta tahun baru perlahan mulai menghilang.
Aku menghembuskan asap rokokku perlahan, sementara hujan mulai turun setetes demi setetes. Perlahan curahannya semakin deras seperti di tumpahkan dari langit. Air mulai masuk membasahi meja kecil di depanku, masuk ke dalam cangkir kopiku, dan menciprati notebookku yang masih ku pangku. Bergegas aku bangkit dari kursi dan menutup jendela. Menutup lagi satu babak hidup. Kupandangi curahan air yang turun di permukaan kaca. Kosong kembali melingkupi perasaanku. Aku menghela napas panjang. Kumatikan rokokku. Suara hujan yang benturan dengan genting rumah terdengar nyaring seperti nyanyian seriosa. Aku mematikan lampu. Naik ke atas ranjang dan memutuskan untuk tidur.
Aku terkesiap bangun dari tidurku, ketika terdengar suara guntur yang begitu kerasnya. Aku menekan saklar lampu tapi gelap tetap menyelimuti. Sial! Mati lampu. Dengan meraba-raba aku membuka laci di bawah meja, di samping tempat tidurku. Mencari sebuah senter kecil yang sudah lama tak terpakai.
Nah, ini dia! Seruku ketika aku menemukannya. Cepat-cepat ku nyalakan. Ah, ternyata benda ini masih berfungsi. Cahayanya yang remang menyinari setiap sudut kamar. Astaga! Ternyata air di dalam rumahku sudah setinggi mata kaki. Air mericik dari langit-langit kamar. Pasti genting-genting rumah ini sudah bergeser semuanya.
Dengan sigap aku mengambil tas ranselku dan memasukan semua barang-barang penting kedalamnya. Lalu ku tutupi tas itu dengan potongan kain seprei dan mengikatnya sedemikian rupa agar air hujan tidak merembes ke dalam. Ku sandang tas itu di punggungku lalu bergegas melangkah keluar kamar.
Kres, Bum! ... aku tersentak kaget lagi ketika terdengar suara sesuatu tumbang. Entah pohon, entah tiang listrik, pasti sesuatu yang besar. Aku ragu melangkah keluar rumah. Jantungku berdegup kencang. Aku takut. Benar-benar takut. Aku diam mematung di depan pintu.
Guntur sambar menyambar memekakan telinga. Angin bertiup semakin kencang dan tak tentu arah, melibas apa saja yang menghalanginya. Air hujan tumpah tak terkendali. Badai pagi ini benar-benar luar biasa.
Keadaan di luar lebih kacau lagi. Air sudah menggenang setinggi lutut dan terus naik volumenya. Orang-orang berjalan tersaruk-saruk dalam genangan air tak tentu arah. Mereka menuntun sepeda motor yang mogok, memanggul anak-anak mereka di pundak, mengotong orang-orang tua dan jompo, menenteng harta benda seadanya yang masih bisa dan mungkin mereka selamatkan.
Badai semakin menggila. Angin kencang menerbangkan tubuh-tubuh ringkih menggigil dan menghanyutkan mereka dalam aliran air yang deras. Sebentar-sebentar langit menjadi terang karena sambaran kilat, disusul suara guntur yang menggelegar seperti hendak meruntuhkan langit. Sorak-sorai kegembiraan tahun baru berubah menjadi teriak-teriakan histeris kepanikan berbau kematian. Wajah-wajah ceria dalam pesta pora beberapa saat yang lalu berganti kebingungan. Harapan yang mereka tanam dalam hati akan kebaikan hidup di masa depan sirna bersama air mata duka.
Aku masih termangu di halaman rumah yang tak seberapa lebar. Berpegangan erat pada tiang pagar. Pakaianku basah kuyup. Tubuhku menggigil, gigiku gemeretak menahan dingin. Aku kaget. Syok. Terpana dengan semua yang terjadi.
Tadinya aku berharap ini hanya mimpi. Tapi setiap kali guntur bergemuruh aku tersentak dan sadar bahwa aku, terperangkap di depan rumah kontrakanku yang sumpek. Di tengah badai awal tahun. Ketika nanti matahari terbit, ketika akhirnya badai ini berhenti, apa yang akan terjadi padaku?. Matikah aku?. Hidupkah aku?. Dan bagaimana aku akan melanjutkan hidup?.
“Hei, kau! Sedang apa bengong di situ. Cepat mengungsi!” Aku sadar dari lamunanku oleh teriakan itu. Ternyata air sudah mencapai pinggangku, Gila!. Aku tidak tahu harus pergi kemana. Tampaknya sudah terlambat untuk pergi ke tempat lain. Bisa-bisa aku mati tenggelam di tengah jalan. Ditengah kepanikan itu tiba-tiba terbersit ide di kepalaku, aku akan naik dan menyelamatkan diri di atap rumahku. Mudah-mudahan air tidak sampai ke atas.
Dengan tertatih-tatih aku berjalan melawan arus air yang deras. Berpegangan erat pada tiang pagar sampai ke tembok pemisah antara rumahku dan rumah sebelah yang tidak terlalu tinggi. Kuraih bagian atasnya, lalu perlahan-lahan aku angkat tubuhku. Pelan-pelan juga aku menitinya sampai tepat berada di batas antara tembok ini dengan atap rumahku. Ini bagian yang sangat sulit, jarak antara tembok pembatas dan atap rumah memang cuma sekitar 90 centimeter, tapi dalam keadaan licin seperti ini aku harus ekstra hati-hati. Apalagi tanganku sudah mulai mati rasa. Terpeleset sedikit saja aku pasti jatuh. Iya kalau aku langsung menghantam air, kalau menghantam tembok pembatas ini, habislah aku.
Aku menyingkirkan dua buah genting terlebih dahulu, agar aku bisa berpegangan pada kayunya. Aku menghentakan tubuhku sedikit, menahannya, lalu pelan-pelan mengangkatnya. Dengan hati-hati aku meniti jejeran genting licin itu. Setelah sampai di atas aku mengambil posisi duduk yang aman, menunggu dengan cemas akan nasibku. aku berdoa dengan segenap tenaga yang tersisa agar petir yang terus saja menyambar-nyambar tidak menghantam tubuhku sudah tak mampu lagi merasakan apa pun. Setiap detik mengantarkanku mendekati kematian karena rasa dingin yang teramat sangat. Dibawah sana orang-orang menggapai-gapai dalam luapan air bah, berteriak parau meminta bantuan. Mata mereka menatapku penuh harap, tapi apa yang bisa aku lakukan, aku sendiri sudah menyerah …
Badai perlahan-lahan mereda menyisakan rinai. Angin sudah tak lagi ganas. Azan subuh lamat-lamat menggema mengisi langit entah dari surau di mana. Pelan-pelan ku buka mata dan mendapati diriku masih disana, diatas rumah kontrakanku yang tenggelam sampai ke batas atap, sama seperti rumah-rumah lainnya. Kampungku telah berubah menjadi lautan kecil. Lapangan tempat pesta tahun baru beberapa jam lalu sudah tak terlihat lagi.
Tak ada lagi orang-orang yang hilir mudik mengungsi. Aku tidak tahu bagaimana nasib mereka. Hening menyelimuti bumi. Hanya terdengar suara arus air yang mengalir deras, membawa apa saja diatasnya. Aku tercenung, ketika tiba-tiba mataku melihat sesosok mayat mengapung tengkurap bersama kayu, tiang listrik, dan sampah. Mayat itu menggengam botol bir di tangan kanannya. Dari tato di lengannya aku tahu itu adalah Godam, preman pasar yang setiap bulan selalu memalak uang gajiku. Ah, akhirnya mati juga dia. Mudah-mudahan semua anak buahnya juga mati tenggelam, sehingga tidak ada lagi yang menggangguku. Aku menarik napas panjang lagi.
“Hei!” Tiba-tiba ada yang menyapaku. Ternyata tetangga sebelah rumah.
“Kau mengungsi di sini juga?”
“Aku tidak tahu harus kemana?” jawabku sekenanya.
“Tapi kau masih beruntung, bisa membawa sebagian barang. Aku tidak. Aku pergi menonton dangdut tahun baru, begitu pulang tahu-tahu rumahku sudah tenggelam. Satu-satunya yang tersisa, ya hanya pakaianku ini,” katanya sambil menunjuk pakaiannya yang basah kuyup.
Aku hanya tersenyum simpul. Badai sudah benar-benar berhenti. Rinainya pun sudah tak terasa lagi. Pagi sudah datang, tapi langit masih saja gelap. Sepertinya matahari tak akan muncul sampai pertengahan siang nanti, atau bahkan tidak akan muncul sama sekali. Mataku nanar mentap cakrawala luas yang gelap itu dengan perasaan yang sangat ajaib kosongnya*. Tubuhku menggigil hebat. Kapan aku turun dari sini?.
01/01/06
* Kalimat penutup yang di gunakan almarhum Mohammad Diponegoro dalam cerpennya “ perasaan yang sangat ajaib kosongnya “. Kalimat ini saya ambil dari cerpen Seno Gumira Aji Darma “Seorang wanita dengan tato kupu-kupu di dadanya.”dari buku kumpulan cerpen “Negeri Kabut.”
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar