Minggu, 18 Januari 2009

MAKNA KEMERDEKAAN DALAM SASTRA

W Haryanto*
http://www.surabayapost.co.id/

Taufiq Ikram Jamil, secara lantang pernah berujar, “Riau perlu merdeka, karena pusat telah mengekploitasi kekayaan wilayah ini” (dalam diskusi di TIM, 2004), pada saat yang sama, Sutardji Ch Bachri menimpali, “….yang diperlukan Riau bukan kemerdekaan politik, tetapi sastra Riau yang harus merdeka.” Makna ‘merdeka’ selalu relevan dan aktual dalam perjalanan budaya kita, bahkan setelah ‘nasionalisme’ kita mengalami pelbagai kendala, benturan, tafsir, juga deformasi.

Adakah makna “merdeka” punya nilai fungsional dalam sastra? frasa ini cukup menarik—jika kita berawal dari terminology, “kreativitas adalah pembebasan”, maka apapun yang memberi batas teritori adalah ancaman. Kreativitas, dimaksudkan sebagai ruang yang tak pernah selesai ‘diekspresikan’ dan menjadi jalan lain dari integrasi manusia ke dalam tata kelaziman. Maka, ia memiliki beberapa perwujudan, (i) sebagai metode untuk melepaskan suasana sentimental dan individual, (ii) pemberdayaan dan kejutan bagi kenyataannya yang massif. Maka, kreativitas mengkombinasikan “psikologi otomatis” dan pemberdayaan teknologi imajinasi.

Sebagai instrument kreativitas, sastra menawarkan daya cerna yang terbuka, obyektif, dan rasional terhadap pelbagai ketertutupan. Beberapa manifestasinya berupa liberalisme atau feminisme. Ini bersifat factual dan metodis—karena gejala-gejala ini juga merupakan efek dari kontruksi kolonialisme yang belum selesai. Ada asumsi unik, “karena kita terjajah oleh Belanda selama 350 tahun, maka kita butuh waktu 350 tahun juga memulihkan diri untuk terbebas.” Ini tidak bisa kita pungkiri, pelbagai kesadaran dan kerangka teoritis kita masih bergantung pada “ibu kolonialis” kita, yakni Barat (sebagai pengertian budaya dan politik).

Aktivitas-aktivitas besar kita berkait dengan kebudayaan menjadi mata rantai tak terputus dari tangan-tangan kolonialis, seperti yang ditunjukkan Komunitas Utan Kayu, Jaringan Islam Liberal, juga Freedom Institut. Ketiga ujud aktivitas sangat bergantung dengan kepentingan Barat di Indonesia, yakni dengan mengkampanyekan teori dan pemahaman Kolonial lewat pendekatan budaya, antara lain, Post-Kolonial, Post-Tradisional, dll. Maka, muncullah gejala “liberalisme” dalam kreativitas, novel “Saman” karya Ayu Utami yang menawarkan “kebebasan seksual” di tengah gejala munculnya militansi rasialisme di pelbagai wilayah mulai Sambas sampai Ambon.

Keberadaan sastra berbasis “seksual” adalah politik identitas, sebagai upaya eliminasi kesadaran kita terhadap bahaya rasialisme (sebagai agenda terselubung Barat pada Indonesia). Hal ini sangat bertolak belakang dengan fakta kesejarahan Eropa di tahun 40an, militansi rasisme Hitler justru memunculkan karya sastra yang menyampaikan kecemasan kreativitas terhadap bahaya kemanusiaan ini. Tengoklah karya “Malam Terakhir” karya Eile Weisel yang merekam dengan detail bencana kemanusiaan di tahun 40an. Kita juga menemukan karya serupa, “Sebatang Kara” karya Victor Hugo yang mendiskripsikan situasi sosial menjelang Revolusi Perancis. Maka, muncul asumsi, “Bencana Kemanusiaan selalu akan melahirkan karya-karya besar yang merefleksikannya.” Sementara, karya Ayu Utami, Jenar Mahesa Ayu, Binhad Nurrohmat—justru membentuk pola berseberangan, tak lagi menggugah daya kritis pembaca terhadap ancaman pada bahaya kemanusiaan, sebaliknya malah menempatkan identitas sastra pada paham liberalisme secara membabi-buta.

Seksualitas pada awalnya—sebatas gejala interaktif dalam kebutuhan yang semula bersifat "sakral-personal", kaum liberal memperalatnya menjadi aparat pertarungan semiotika mutakhir. Perspektif post-industrial secara efektif telah memungkinkan ujud budaya (di dunia ke-3) dimiskinkan fungsinya. Liberalisme memaanfaatkan kegoyahan structural budaya dunia ke-3 ini ke dalam kesadaran distruktif. Liberalisme mempertanyakan pelbagai pengaruh fundamental yang mendasari masyarakat dunia ke-3 dengan lingkungan abstraknya. Seksualitas dalam perspektif agraris—menempatkan individu ke dalam kontinuitas manusia ke alam simbolisasinya, maka “seks” menempati satu tahap tertinggi dalam transendensi masyarakat agraris. Komunitas Utan Kayu dengan pelbagai komponen interaktifnya, memakai metode liberalisme dengan berpijak pada prasangka didaktif dan memojokkan internalisasi kekayaan budaya dunia ke-3 ini.

Berbeda dengan liberalisme di Eropa, yang justru menyerang efek-efek kolonialisme dan fundamen ortodoksi Eropa yang mengancam kemanusiaan. Liberalisme Eropa inilah yang melahirkan maha-karya “Multatuli”, juga fragmen “Koeli” karya LLulofs—yang menjadi akar realisme dalam sastra Hindia Belanda. Sebaliknya, Liberalisme Komunitas Utan Kayu justru berpihak pada kolonialisme. Kaum liberal kita, seperti Jenar Mahesa Ayu, Ayu Utami, juga Nirwan Dewanto adalah "obyek-obyek" budaya yang gagal dan remeh dalam presentasi budaya global. Tak jauh beda dengan konfigurasi antara binatang dan suku-suku terasing; sebagai efek pemenuhan kebutuhan "barat" atas pakansi dan transisi seperti munculnya Vietnam Rose, penyakit kelamin yang terjadi akibat kebuntuan "rasionalisasi" ideologi western di kawasan Indo-china, antara komunis dan kapitalis. Tak ada yang dimenangkan. Tak ada yang dikalahkan. Segalanya cuma eksperimentasi, kegagalan budaya, dan kerancuan intelektualitas dunia Barat.

Seksual(isme) dalam apologi Binhad Nurrohmat, "sebagai upaya menyingkap kebobrokan masyarakat", dipahami lewat terminologi yang "celaka". Pertama, karena simpulan terbesar dalam seni, seyogyanya adalah temuan ilmiah yang mengispirasikan sebuah kemajuan peradaban (tengok pula "inspirasi" bapak Hereditas, Gregor Mendel, "bahwa kelak, bila terjadi ledakan penduduk, dunia ini butuh jumlah makanan yang sangat besar"; maka muncul aktivitas perkawinan silang tumbuhan). Kedua, kebutuhan emansipatoris dari kesadaran sastra adalah mengikat "sistem personalnya" kepada terbangunnya rangkaian proletariat (baca: Le Voyageur, Guillaume Apollinaire). Dan memang. Sastra kita terkini, patutlah diakui, cuma memuaskan style cacat masyarakat borjuis (hysteria seksual), senyampang dengan kritik Albert Camus tentang munculnya pragmatisme dalam kreativitas.

Makna kebebasan dalam sastra, bukan “kebebasan yang tak terbatas” yang tak memiliki tanggung jawab kultural. Kebebasan ini harus dikombinasikan dengan “moral dan intelektual”, bukannya mengembangkan pandangan pribadi yang narsis dan dangkal. Pertanyaannya, adakah relevansi antara “sensasi kebebasan” dan kreativitas? Maka, kita bisa memberi beberapa analisa, (i) kebebasan yang tidak berkenaan dengan komunikasi rasionalitas individu ke dalam system sosialnya. Euphoria semacam ini mengandung beberapa kendala eksternal, yakni berujud perspektif yang membatasi “individu” dari komunikasi social. Perspektif ini memandang kebenaran hanya bersifat eksistensial yang cenderung membangun prasangka terhadap gejala-gejala di sekitarnya. (ii) kebebasan akan memberi pengaruh langsung kepada internalisasi semua komponen individu kita. Perspektif ini lebih menekankan pada teknik penyajian dan bersifat kebenaran esensial. Perspektif ini menekankan pada pembuktian sosiologis, seluruh gejala-gejala yang diuji lewat analisa rasional.

Kemerdekaan kreativitas, tidak sekedar pada kemampuan internalnya—menyampaikan kebenaran tekstual, tetapi juga memperkaitkan dirinya pada dinamika psiko-sosial yang berkembang. Reproduksi sastra juga berkenaan dengan identifikasi wilayah kulturalnya, sehingga teks bisa dirujukkan untuk mengkritisi pelbagai gelagat budaya dan mengembangkan “penyadaran” tentang adanya manipulasi cultural. Terkait dengan ungkapan Sutardji Colzoum Bachri di atas, maka identitas sastra bisa diterjemahkan pada penguatan basis cultural ketimbang mempertanyakannya lewat kaca mata Liberalisme. Inilah relevansi antara kebebasan (kemerdekaan) sebagai basis psikologis dan refleksi kenyataan sosialnya, maka reproduksi tekstual bisa diuji secara rasional dan obyektif, dan melahirkan karya-karya yang “tidak kosong budaya” seperti model karya Yusakh Ananda, Ahmad Tohari, maupun Pramoedya Ananta Toer.

*)Direktur Penerbitan Dewan Sastra Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae