Musa Ismail
http://www.riaupos.com/
(Analisis Novel Megalomania karya Marhalim Zaini)
Megalomania merupakan novel kedua Marhalim Zaini yang memenangi Penghargaan Utama Ganti Award setelah Getah Bunga Rimba. Dari segi estetika bahasa, Megalomania agak tertinggal jauh dari Getah Bunga Rimba. Secara harfiah, megalomania adalah suatu kelainan jiwa yang ditandai oleh khayalan tentang kekuasaan dan kebesaran diri (KBBI, 2002:727).
Tokoh sentral dalam novel ini adalah Wak Madim. Di samping menderita megalomania, Wak Madim pun sebagai penderita insomnia. Dia adalah mantan politikus yang hedonis, menganggap tujuan hidup hanya kesenangan dan kenikmatan, feodalis, individualis, ingin seperti raja. Megalomania mengisahkan tentang kekuasaan tokoh sentral Wak Madim yang memudar setelah puluhan tahun berada seperti di puncak gunung pada zaman orde baru. Keberhasilannya duduk di puncak bukanlah dilakukan dengan kebenaran. Semua identitas dirinya dimanipulasi sedemikian rupa sehingga ia menganggap bahwa keberhasilan tersebut merupakan pemberian Tuhan karena ia ingin mengubah nasibnya. Dengan posisi strategis, Wak Madim mampu mengelola perekonomiannya, mendirikan beberapa perusahaan. Namun, di usianya yang mulai pension, justru ia kembali ke kampung. Sepertinya, ini merupakan penyakit lainnya, yaitu eskapisme. Kepulangannya ke kampung halaman, menimbulkan keheranan warga.
Ketika kecil, Wak Leman (ayahnya) terlalu keras mendidiknya. Sebatan rotan selalu mendarat di tubuh Madim kalau tak mau mengaji. Sampai-sampai bagi Madim, rotan sudah menjadi simbol kekuasaan yang menakutkan dan melahirkan trauma sejak kecil. Inilah awalnya sebab mengapa Madim lari dari kampung setamat SD dan memilih hidup di kota. Hidup di kota memerlukan keberanian. Apalagi buat seorang anak kecil bernama Madim. Ternyata, Madim memiliki keberanian itu. Bermacam keberanian yang dilakukan Madim kecil, terutama yang negatif sehingga menciptakan berbagai kekesalan di hati orang lain, termasuk Wak Leman. Pelarian Madim mengingatkan kita pada kisah Si Malin Kundang yang mendurhaka orang tuanya (ibunya).
Kembalinya Wak Madim ke kampung halaman memang agak mengejutkan warga. Pertama, terkejut karena tekun beribadah. Kedua, terkejut karena ia kembali setelah menjadi tua dan kedua orang tuanya telah tiada. Ketiga, terkejut karena ia meninggalkan segala kesenangan. Setelah beberapa lama di kampung, kegiatan-kegiatan sosial bernyawa lagi. Berbagai sumbangan diberikannya, baik kegiatan keagamaan maupun kegiatan sosial. Usaha Wak Madim menuai buah. Warga mulai hormat kepadanya. Tetapi, warga tak tahu persis mengapa Wak Madim justru pulang ke kampung halamannya. Namun, di kampung, Wak Madim diteror oleh kekasihnya dengan surat-surat yang berisikan tentang obsesi kekuasaan yang berkaitan dengan kepribadiannya. Keberadaan surat-surat itu pula yang membuat Wak Madim cemas dan membakarnya di tengah bilik. Di tengah kobaran api, seseorang memukul tengkuk Wak Madim sehingga ia tak sadarkan diri. Marhalim mengakhiri novel ini dengan sangat menarik, mengundang ribuan tanya, dan menyerahkannya kepada pembaca. Apakah Wak Madim hidup atau mati dalam kobaran api yang telah menghanguskan rumahnya atau tidak, kita diajak bermain dengan pemikiran-pemikiran.
Novel ini berlatar di suatu ceruk kampung. Kampung itu masih dililit kemiskinan, kebodohan, mistis, pola pikir yang masih rendah, dan masih jauh dari hiruk-pikuk kemajuan di kota. Semuanya serba alami. Kembalinya Wak Madim ke kampung ini, mengingatkan kita pada pasca-otonomi daerah. Setelah pemberlakuan sistem pemerintahan otonomi daerah, kekuasaan justru berpindah secara desentralisasi. Raja-raja kecil bermunculan di sana-sini hingga ke pelosok desa. Pemberlakuan otonomi daerah inilah yang mengingatkan kita tentang putra daerah pulang kampung. Semuanya ingin menguasai daerahnya masing-masing. Para megalomania ini berlomba-lomba berjanji membangun kampung mereka melalui partai-partai yang mereka kendarai. Peristiwa inilah yang ingin dilukiskan Marhalim Zaini dalam Megalomania.
Novel ini merupakan suatu kritikan sosial tentang kekuasaan. Melalui novel ini, selain ingin menggambarkan kondisi para penguasa saat ini, Marhalim juga ingin berpesan tentang hal-hal positif dan hal-hal negatif yang bisa ditimbulkan oleh sistem kekuasaan pada suatu pemerintahan pada kurun waktu tertentu. Kolase-kolase waktu itu terus menghimpit dan mengembangkan kekuasaan. Berbagai peristiwa bisa saja terjadi akibat dari kuku-kuku kekuasaan itu. Di dalam novel ini, kita akan tahu beberapa hal. Pertama, deskripsi orang-orang yang dikuasai nafsu biologis. Kedua, deskripsi orang-orang yang dikuasai dan menguasai kemiskinan. Ketiga, deskripsi orang-orang yang dikuasai dan menguasai perekonomian. Keempat, deskripsi orang-orang yang menguasai masyarakat kelas menengah ke bawah hingga tak berkutik. Kelima, deskripsi tentang orang-orang yang menguasai hak milik orang lain dengan sewenang-wenang. Semua deskripsi itu bermuara dari sistem perpolitikan di Negara kita. Sampai di sini, saya teringat perkataan pemikir Inggris, James Putzel dan Mick Moore (2000), bahwa sistem politik demokratis tidak otomatis berpihak kepada yang miskin. Alasannya, dalam sistem demokrasi yang ditandai kompetisi politik, suara kaum miskin sering tidak terwakili oleh aneka saluran politik yang ada. Juga suara kaum miskin, meski jumlah mereka besar, belum tentu menjadi ‘penentu’ program-program partai politik dalam Thinking Strategically About Politics and Poverty. Dari sini, kita tahu bahwa sistem kekuasaan yang merupakan sisi lain dari politik lebih mengarah kepada golongan tertentu, bukan kepada rakyat.
Kekuasaan begitu luas. Kekuasaan bagaikan hamparan gurun pasir yang bisa melahirkan bencana-bencana bagi kehidupan manusia. Kekuasaan akan melahirkan kelas sosial: tinggi-sedang-rendah. Kekuasaan akan membangun tembok-tembok penghalang yang merajut kesenjangan-kesenjangan dan inharmonisasi. Para penguasa pula, begitu cerdik. Sekebat deskripsi Marhalim tentang kekuasaan dalam Megalomania merupakan gambaran nyata kondisi lokal masyarakat Riau, khususnya di Kabupaten Bengkalis. Setting-setting jenius lokal ini begitu jelas dapat kita tangkap. Di samping sebagai bentuk ketidakpuasan, Marhalim pun hendak mengatakan bahwa sistem pusat kekuasaan para pemimpin kita sudah terlalu banyak mengandung dosa kepada rakyat. Begitu banyak kesenjangan terjadi di daerah ini. Semuanya merupakan akibat dari sistem kekuasaan yang sakit.
Ide-ide yang dituangkan Marhalim dalam Megalomania merupakan benturan-benturan dalam kehidupan nyata. Konflik-konflik yang dilakarkannya merupakan perseteruan psikologis melalui tokoh sentral Wak Madim. Semua konflik yang dijalin dalam novel ini berasal dari kekuasaan. Tampaknya, Marhalim memandang kekuasaan sebagai punca dari segala akibat yang menimpa kegetiran hidup masyarakat luas, baik di lingkungan berkeluarga, bermasyarakat, maupun berbangsa dan bernegara. Kekuasaan dalam novel ini tidak lain adalah benturan-benturan yang mendominasi kehidupan. Sebagai suatu bentuk benturan, kekuasaan terus menjalar bagai tirani yang mampu menghimpun kekuatan luar biasa terhadap pribadi dan golongan/kelompok tertentu. Keberadaan Wak Madim di kampung itu menunjukkan bahwa kekuasaan bisa diprovokasi secara pribadi meskipun melalui jalur kegiatan sosial dan budaya. Secara kelompok/golongan, dalam novel ini dilukiskan melalui tokoh Kepala Desa dan Toke Cina yang menguasai dan memonopoli sistem perekonomian.
Afrizal Malna menjelaskan bahwa sastra dalam konteks teologi estetika merupakan praktis keimanan dan benturan-benturan yang dihadapi penyair dalam realitas kehidupan. Sumarjo menambahkan bahwa sastra adalah proses pergumulan yang terjadi di masyarakat. Ia didesak dan didihadirkan atas dasar emosional atau secara rasional dari masyarakatnya.
Kekuasaan yang digambarkan Marhalim merupakan kekuasaan yang melahirkan kecemasan-kecemasan. Rasa takut, depresif, intimidasi, dan penjajahan ekonomi merupakan segelintir kecemasan yang dapat ditangkap dalam novel ini. Kecemasan ini merupakan akibat dari sistem kekuasaan yang sakit. Sebagai manusia, kita takkan pernah terlepas dari kuku kecemasan seperti ini. Kecemasan di dalam novel ini juga merupakan ketakutan tokoh-tokohnya akan terjadinya kekosongan kekuasaan. Karena pamornya di kota memudar, Wak Madim mulai takut kehilangan kekuasaannya sehingga ia pulang ke kampung halaman untuk membangun kembali kekuasaan itu di sana. Demikian pula konflik psikologis yang dialami Kepala Desa dan toke Cina yang menguasai perekonomian. Kata Heidegger dalam Hardiman, kecemasan sebagai kondisi mencekam di mana manusia berhadapan dengan ketiadaan (nicht). Akibat dari kecemasan akan ketiadaan/kekosongan inilah, melahirkan berbagai tindakan-tindakan yang tak bisa kita bayangkan.
Untuk menghindari dan melahirkan kecemasan itu, bagi Marhalim, orang rela saja menderita untuk mendapatkan kekuasaan sebab duduk di kursi kekuasaan adalah sebuah kenikmatan. Karena sudah diawali dengan penderitaan, maka obsesi berikutnya adalah kesenangan. Kekuasaan memang sering memberikan ruang lebih luas dan besar untuk mengatur segala sesuatunya. Kekuasaanlah yang membuat orang tak ingin turun ke bawah karena ia sudah sangat terikat dengan pandangan bahwa yang di bawah adalah yang lemah. Oleh sebab itu, kerap lahirlah sifat refresif dan malah kadang opresif, dan yang paling kerap tampak adalah sifat koruptif. Seorang Perancis, Foucult, mengatakan bahwa kekuasaan itu sesungguhnya menjalar dan meresap dalam segala bentuk jalinan relasi sosial, tanpa dapat dengan gampang dilokalisasi. Lalu, Milan Kundera mengatakan bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan manusia melawan lupa.
Dari novel ini, saya melihat Marhalim adalah kutu buku. Di samping penulis produktif, dia juga pembaca hebat. Tentu saja aktivitas membacanya ini sangat membantu dalam kreativitas dan produktivitas menulisnya. Dalam novel ini, kita akan menemukan berbagai rujukan sebagai kutipan untuk memperkuat filosofis muatan unsur instrinsiknya. Namun, kesan-kesan sebagai sebuah esai, opini, dan artikel akibat kutipan itu sama sekali tidak mengganggu keutuhan Megalomania sebagai sebuah novel. Justru sebaliknya, penghadiran referensi tersebut memperkaya dan memperkuat keberadaan muatan isi novel ini. Di dalamnya, kita akan menemukan pendapat Raja Ali Haji tentang pemerintahan. Kita juga akan menemukan pemikiran filsuf, budayawan, dan sosiolog Prancis, Foucult. Selain itu, ada pemikiran Richard Herzinger (pengarang buku Republik Ohne Mitte/Republik Tanpa Pusat) tentang otonomi dan kemerdekaan. Kita juga akan menemukan Kahlil Gibran, yaitu pandangannya tentang anak. Ada juga Alan Lightman, pengarang Einstein’s Dreams. Kita akan mengetahui pula pendapat George Orwell tentang struktur dalam masyarakat. Ada juga bait puisi berjudul “Tikus-tikus” karya Bibi Bacilio. Selain itu, ada pendapat Milan Kundera dan pemikiran Franz Kafka dalam cerpennya Metamorfosis. Semua pemikiran dan referensi itu mengalir bersahaja dalam bentuk isi surat yang ditulis tokoh ’’samar’’ yang dinyatakan Marhalim sebagai kekasih Wak Madim. Kehadiran referensi telah menjadikan Megalomania agak istimewa. Jika tidak, menurut saya, Megalomania tidak punya kekuataan apa-apa, hanya karya konvensional yang sudah sering kita baca.
Dalam kehidupan nyata, begitu banyak penyakit gila kekuasaan. Dalam rentetan berikutnya, begitu banyak pula penyalahgunaan kekuasaan. Akibat penyalahgunaan kekuasaan ini, semuanya menjadi sakit. Struktur dan sendi kehidupan menjadi lumpuh karena lari dari garis norma. Di samping memaparkan berbagai nilai moral, budaya, sosial, dan ketuhanan, novel Megalomania pun ingin mengajak pembaca ’’memberontak’’ dan ’’membunuh’’ sistem kekuasaan yang sakit di negeri ini. Mari bersama-sama, kita bunuh megalomania yang berakar dari dalam diri masing-masing. Dengan demikian, kemanusiaan akan terus hidup.***
*) Guru SMAN 3 Bengkalis. Sangat mencintai kreativitas menulis. Tinggal di Bengkalis.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar