Jumat, 28 November 2008

Rumah Gempa yang Menari

Idris Pasaribu
http://www.sinarharapan.co.id/

Angin Danau, masih terus mengelus-elus dedaunan bunga-bunga liar yang tumbuh di tepian danau. Seakan mengerti, bagaimana teriknya mentari siang itu. Walau orang-orang yang duduk di bawah tenda, seperti melupakan teriknya mentari, karena elusan angin danau.

Suara gondang sabangunan masih juga berkumandang. Sesekali suaranya tertelan angin di kejauhan, namun sesekali terdengar menyejukkan hati. Seakan membuat laju kapal motor kayu, terasa begitu lamban ingin cepat sampai di tepian danau. Para kerabat semua sudah berkumpul untuk peresmian sebuah rumah untuk ditempati.

Begitu turun dari kapal, langsung kaki terhentak dengan sendirinya, seirama ritme hentakan pukulan gondang. Para kerabat yang hadir, sudah mengelilingi halaman. Satu keluarga mendapat sebuah sapa. Sapa adalah piring yang terbuat dari kayu. Ada sapa besar untuk mampu menampung lima sampai enam orang untuk memakan makanan dari dalamnya. Seonggok nasi dan lauk-pauknya sudah terangkum dalam sapa. Dari sapa itulah mereka makan bersama. Sapa, sebuah gambaran kebersamaan sebuah keluarga, untuk makan bersama dari wadah yang sama.

Ama Ricardo, sengaja membuat pesta besar dalam peresmian rumahnya. Rumah kebanggaannya, yang semua terbuat dari kayu. Berbeda dengan rumah Ama Togar. Rumah beton dua lantai. Bertiang tinggi ala Spanyol, penuh dengan pernak-pernik modern, sesuai pesan almarhum ayahnya.

"Roh ku, aku bersamamu, ketika kau memulai membangun rumah adat. Adakan pesta peresmiannya sesuai dengan hukum adat yang berlaku bagi adat kita," pesan almarhum ayahnya.

Empat ekor babi yang dipilih tanpa cacat, disembelih. Rumah yang dibangun dengan mengambil kayu jenis pohon jior dari ladang yang ditanami oleh almarhum ayahnya, dua puluh lima tahun lalu.

Batang jior yang sudah tua itu dipilih untuk menjadi pasak dan tiang-tiang rumah. Pohon-pohon jior itu digergaji untuk dijadikan papan sebagai dinding.

Ama Ricardo membangun rumah tradisional itu dengan segenap hatinya. Diiringi dengan doa yang tiada henti-hentinya. Bersama kedua anaknya dia menebangi pohon jior dan mengangkatnya naik truk ke kampung. Setelah menjadi tiang dan papan sesuai ukuran, Ama Ricardo membenamkannya ke dalam lumpur berbulan-bulan lamanya. Kemudian papan dan tiang itu dicuci bersih, lalu disimpan di tempat penyimpanan yang aman dari hujan.

Bersama kaum tua dan kerabat, mereka membangun rumah itu. Tidak sekali dua kali Ama Ricardo diwajibkan memotong babi sebagai persyaratan. Saat membuat relief-relief yang mereka sebut gorga sudah ditentukan, mereka harus menyembelih lagi seekor babi. Warga kampung juga ikut dipanggil memakannya.

Belasan batu bulat, dipilih dari batu yang dianggap sudah berusia tua, diangkat dari lereng-lereng gunung. Belasan batu bulat itu diletakkan di atas tanah yang keras. Di atas batu-batu bulat yang keras itulah, tiang-tiang bangunan diletakkan. Tiang-tiang bangunan sengaja tidak ditanam ke dalam tanah.

"Horas... horas... horas!!!" demikian para hadirin mengibas-ngibaskan ulos yang mereka sandang.

Derngan ucapan horas tiga kali, sebuah pertanda, pesta peresmian rumah baru sudah usai. Para pengetua adat meminta agar musik gondang sabangunan kembali ditabuh dan ditiup sebagai acara perpisahan.

"Tuak belum habis. Tak salahnya kita mereguk tuak ini dengan beberapa buah tarian," kata salah seorang yang dituakan. Semua setuju. Ama Ricardo juga setuju.

Ketika menari tarian olop-olop, Ama Ricardo meneteskan air matanya. Dengan khusyuk dia panjatkan doanya: "Terima kasih, Tuhan. Engkau telah kabulkan cita-cita ayah dan ibuku untuk membangun rumah adat, sebagai pelestarian budaya kami."

Mulanya Ama Ricardo sedikit khawatir. Saat orang mulai merobohkan rumah-rumah adat yang sudah tua dan menggantinya dengan bangunan modern, pada saat itu pula, Ama Ricardo membangun rumah adat untuk tempat tinggal mereka. Susah bagi Ama Ricardo meyakinkan anak-anaknya untuk membangun rumah itu. Keempat anaknya menginginkan rumah mereka dibangun mengikuti bangunan modern. Ala Romawi kuno atau ala Spanyol dengan tiang-tiang ala antik. Ama Ricardo bersikukuh untuk mengikuti saran almarhum ayahnya. Terlebih ratusan pohon jior yang sudah ditanam ayahnya lebih 25 tahun lalu di perladangan mereka, diperuntukkan membangun rumah adat.

"Dulu aku sangat miskin, hingga tak mampu membangun rumah adat. Dengan segala tenagaku, aku menyekolahkanmu dan menanami pohon jior. Jangan kau kecewakan aku," begitu pesan almarhum ayahnya.

Perbedaan antara Ama Ricardo dengan Ama Togar memang seperti bumi dan langit. Di kampung itu, keduanya selalu bersaing. Bersaing dalam dagang, juga bersaing dalam pertanian, bahkan bersaing dalam prestise. Ama Togar juga dikenal sebagai tokoh dalam partai politik. Dia sangat ingin mengambil simpati masyarakatnya.

Dua bulan lalu, Ama Togar meresmikan rumahnya yang dua lantai itu dengan mendatangkan dua grup Trio penyanyi dan satu grup band dari Jakarta. Dia memotong seekor kerbau yang dimasak oleh sebuah perusahaan catering, juga didatangkan dari Medan. Ratusan piring dan gelas disewa dari Medan. Acara makannya, juga prasmanan, ambil sendiri. Boleh bertambah sesuka hati. Selain sop dan gulai serta rendang kerbau, juga ada masakan lainnya.

Setiap tamu boleh mengambil buah sebagai pencuci mulut sepuas-puasnya. Ada jeruk, marquissa, dan segala buah lainnya. Tamu juga bebas meminta es krim dengan berbagai rasa. Tinggal minta. Undangan, terasa sangat senang sekali, menghadiri peresmian rumah baru Ama Togar. Selain, makanan yang boleh ambil sebebasnya, yang hadir juga boleh meminum bir sepuas-puasnya sampai mabuk.

Tak pernah di kampung itu ada pesta meresmikan rumah baru, acaranya sampai tengah malam. Biasanya, berlangsung sejak pagi pukul 10.00 sampai sore saja. Beda dengan acara peresmian rumah Ama Togar. Dalam benak Ama Togar, acara harus jauh lebih mewah, lebih wah, dari acara yang dibuat oleh Ama Ricardo yang kampungan. Zaman sudah modern, tapi masih membangun rumah kuno. Musik kuno, hidangan kuno dan segalanya yang masih kuno.

Ketika siang, Ama Togar memang memakai grup musik tiup untuk mengiringi pesta adat peresmian rumah barunya. Seusai acara adat pada sore harinya, melalui sound system, Ama Togar dengan lantang mengumumkan, kalau malamnya sejak pukul 08.00 akan ada acara makan bersama yang disebut resepsi. Resepsi memasuki rumah baru itu, akan menghidangkan makanan khas, hidangan rumah makan yang terkenal di Medan. Selain itu, para tamu akan diiringi oleh dua grup Trio dari Jakarta yang sangat terkenal, juga sebuah grup band yang sedang populer. Pengumuman itu disambut dengan tepuk tangan yang riuh dari tetamu yang hadir.

Penyanyi Trio silih berganti menyanyikan lagu-lagu modern. Peralatan musik dan sound system-nya juga modern. Benda populer dari ibu kota itu juga melompat-lompat di atas pentas. Belum lagi penyanyinya yang meliuk-liukkan tubuhnya dengan pakaian yang ketat dan belahan dada yang membuat semua laki-laki jadi berahi.

Tiba-tiba dari kandang babi di belakang rumah, serentak menguik-nguik, kerbau dan lembu melenguh dan meronta-rona minta dibebaskan. Begitu juga ayam-ayam juga beterbangan kian kemari tak tentu arah. Dari berbagai arah, orang-orang pun berteriak-teriak: "Suhuuulll... suhuuulll... suuuuhhhuuull...!” Teriakan suhul secara spontanitas, biasanya diucapkan secara refleks, jika gempa datang.

Getaran itu semakin kencang dan kencang. Orang-orang berhamburan keluar rumah. Band yang sedang menyanyikan keriaan, tiba-tiba berhenti karena arus listrik terputus. Semua orang menjauh dari rumah Ama Togar yang dua lantai. Mereka mencari tanah yang lapang. Semua orang menyaksikan rumah Ama Ricardo, menari-nari di atas batu bulat, mengikuti irama gempa. Tak lama terdengar suara keras berderak. Rumah-rumah batu pada roboh. Termasuk rumah Ama Togar yang beton, kokoh dan kuat.
"Draaaakkkk... Bam!!!"

Semua rumah beton hancur. Batu-batu bata berserakan. Saat itu, dengan gemulainya, rumah Ama Ricardo menari dengan genitnya. Gemulai dan seakan melambaikan tangannya. Seusai gempa, banyak orang datang menumpang ke rumah Ama Togar. Dengan ikhlas dan senang hati Ama Togar dan istrinya serta anak-anaknya menampung mereka untuk sementara malam itu, menunggu esok mereka membangun tenda-tenda darurat.

Medan, 15 Agustus 2008

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae