Jumat, 28 November 2008

POTRET GANDA NAYLA—DJENAR MAESA AYU

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Djenar Maesa Ayu lewat dua antologi cerpennya, Mereka Bilang, Saya Monyet! (2003) dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) (2004), tak pelak lagi, telah berhasil menjejerkan namanya dalam deretan penting sastrawati Indonesia. Ia juga mengambil posisi khas yang domainnya tak banyak dimasuki sastrawan Indonesia lainnya. Kini, ia meluncurkan novel pertamanya, Nayla (Gramedia Pustaka Utama, 2005, 178 halaman).

Dalam Nayla, Djenar bagai berada dalam ruang yang membuatnya bebas bergerak. Ia leluasa mengumbar kemampuan teknik berceritanya. Ia bebas memanfaatkan tokoh-tokohnya untuk kepentingan dan tujuan apapun, termasuk untuk menumpahkan pesan ideologisnya tentang jender. Bahkan, posisi kepengarangannya sendiri merasa perlu dilegitimasi lewat tokoh rekaannya. Nayla ibarat sebuah pentas teater yang sutradaranya bisa seenaknya keluar-masuk dalam setiap babak atau adegan yang sedang berlangsung.

Begitulah, ketika pengarang merasa perlu menyampaikan pesan ideologis, Nayla yang sekolahnya pun tak jelas, tiba-tiba tampil dengan kecerdasan seorang feminis. Djenar memanfaatkan tokoh ini untuk mengungkapkan gugatannya tentang seks (hlm. 77—80) dan pelecehan seksual (hlm. 84—6). Dalam peristiwa yang lain, khasnya dalam cerpen karya Nayla Kinar “Laki-Laki Binatang!” (hlm. 38—42) yang berkisah tentang kepedihan tokoh Djenar dalam berhadapan dengan ibunya, Nayla—yang fiktif—memanfaatkan tokoh Djenar –yang faktual dalam novel Nayla dan fiktif dalam cerpen “Laki-Laki Binatang”—menjadi corong untuk memprotes tindak kekerasan dalam rumah tangga dan terjadinya pelecehan seksual. Dalam hal ini, pengarang dan tokoh rekaannya tak hanya bisa bertukar peran, tetapi juga bisa saling memanfaatkan untuk menyampaikan pesan ideologisnya. Dengan begitu, batas tegas antara teks dan pengarang, dihancurkan semata-mata demi kepentingan ideologi yang hendak disampaikan.

Boleh jadi, Djenar menyadari betul pentingnya sebuah pesan. Tetapi, ia juga tak ingin terjerumus pada pamflet propaganda. Maka harus ada siasat lain untuk membungkus pesan itu. Jadilah, tak terhindarkan, penghadiran hubungan antara pengarang dan teks, tak selesai sebatas teks. Ia mesti kontekstual, sekaligus intertekstual. Kematian pengarang, seperti disarankan Roland Barthes (“The Death of the Author”) tak berlaku lagi. Pengarang harus dihidupkan lagi. Di situlah beberapa kutipan cerpen “Menyusu Ayah” (hlm. 90—1) menjadi signifikan sebagai siasat mengecoh dan menyembunyikan Djenar, Si Pengarang, dalam menyampaikan fatwanya. Tokoh Nayla dan Djenar hadir secara fungsional.
***

Kisahnya sendiri sederhana. Berawal dari perceraian ayah—ibu. Nayla, ikut ibu. Didikannya yang telengas dan ajarannya untuk menguasai laki-laki, menceburkan Nayla pada serangkaian pengalaman traumatis. Ia kabur dan memilih ayah yang sudah kawin lagi. Hanya sesaat. Ayah meninggal, dan ibu tiri menjebloskannya ke panti rehabilitasi. Setelah tiga bulan, Nayla kabur. Menggelandang dalam kehidupan liar. Terdampar dalam ingar-bingar diskotek. Bercinta dengan sesama jenis –Juli, sambil sekali-kali menjajakan tubuh. Ia gagal mencari kebahagiaan, tetapi menemukan kehidupan lain di tengah para seniman.
***

Sesungguhnya, kisah Nayla ini tidaklah linear. Berkelak-kelok, melompat ke depan atau ke belakang, bahkan berdiri dulu di pinggir sambil berkisah tentang yang lain yang seolah-olah tak ada hubungannya. Jadilah, bangunan rangkai peristiwa hadir menyerupai serpihan fragmen-fragmen. Berserakan. Pembaca digiring pada kotak-kotak, mirip teka-teki silang. Atau ibarat puzzle dengan potongan-potongan gambar yang belum tersusun. Di sini, pembaca bebas menempatkan setiap potongan gambar menurut persepsinya. Meski begitu, mudah saja kita menelusurinya dan kemudian membingkainya kembali menjadi sebuah struktur, mengingat fokus keseluruhan cerita bertumpu pada diri tokoh Nayla.

Djenar begitu bebas melakukan eksplorasi naratif, meski terkesan tak berpretensi hendak bereksperimen. Di sana berbagai bentuk penceritaan hadir gonta-ganti. Kadang seperti satu peristiwa yang berdiri sendiri, padahal sesungguhnya saling mencantel yang bersumber dan bermuara pada satu tokoh: Nayla. Sebuah siasat dalam membangun struktur cerita yang kini bertebaran dalam novel-novel Indonesia. Lihat saja, Tabularasa (Ratih Kumala), Dadaisme (Dewi Sartika), Geni Jora (Abidah el Khalieqy), Cermin Merah (N. Riantiarno) atau Lelaki Harimau (Eka Kurniawan). Mereka juga memakai pola macam ini.

Teknik apa pun tentu saja boleh digunakan, sejauh ia fungsional dan mengundang tegangan. Tanpa itu, ia akan jatuh pada kesan rumit yang artifisial. Di samping itu, ia juga menuntut kecermatan dan usaha membersihkan pengulangan yang tak perlu. Nayla secara keseluruhan telah menunjukkan kesungguhan itu. Meski begitu, tak berarti semuanya baik-baik saja. Selalu ada risiko di belakang setiap pilihan, dan itu yang juga terjadi pada Nayla.

Keasyikan bermain dengan teknik, cenderung melalaikan hal lain. Djenar terkesan lupa pada karakterisasi, pada proses saat peristiwa masa lalu menjadi sumber malapetaka. Saya tak menemukan ruh dan semangat Nayla dalam “Menyusu Ayah” atau Nai Nai dalam “Payudara Nai Nai”. Nayla dalam Nayla adalah sosok perempuan yang punya masa lalu kelam, penurut karena dikuasai ketakutan, dan tiba-tiba menjelma sosok seorang “Djenar” yang cerdas, nekad, dan feminis. Sebagai usaha menerjemahkan gagasan Helena Cixous –jika ia terpengaruh oleh pemikirannya—yang menawarkan cara yang berbeda bagi penulis perempuan, tentu saja tak dilarang. Tetapi, ia menyimpan kejanggalan ketika problem ideologis dihadirkan dengan latar belakang psikologis, dan lalai pada proses perjalanannya. Bukankah penghancuran stigma tentang seks dan virginitas, sebenarnya –mula-mula— bersumber pada prinsip kenikmatan orang per orang yang lalu berkembang jadi psikologi sosial, mitos, dan wacana laki-laki yang semuanya berpangkal pada phallus sebagai simbol superioritas?

Dibandingkan cerpen-cerpennya yang lebih fokus pada satu titik persoalan, Nayla lebih problematik lantaran Djenar bermain dengan begitu banyak sayap. Di satu pihak, ia bisa terbang mondar-mandir sesuka hati, menclok dari problem yang satu ke problem lain. Di pihak lain, ia kadang lupa kembali ke sarang. Akibatnya, problem yang dihadapi Nayla, kurang dieksplorasi dan dieksploitasi secara maksimal. Padahal, Djenar punya kesempatan yang luas untuk melakukan itu. Bagaimanapun, novel bukanlah cerpen yang dipanjangkan. Kemampuan teknik narasi yang ditunjukkan Djenar secara piawai, mestinya dimanfaatkan untuk menukik lebih tajam pada proses dan berbagai persoalan yang menggelindingkan tokoh Nayla dalam peri kehidupan liar dan menyimpang.

Sesungguhnya, Nayla potensial menjadi monumen jika saja problem dunia-dalam tak ditinggalkan. Lihat saja, peristiwa-peristiwa yang dihadirkan di sana hampir semuanya menyimpan problem dunia-dalam. Tarik-menarik pengaruh ibu yang mengajari kekerasan (seksual), Om Indra yang juga mengajari sesuatu yang aneh, ayah yang tiba-tiba mati, ibu tiri yang munafik, Juli yang lesbian, dan tokoh-tokoh lain yang datang dengan berbagai problemnya sendiri. Di belakang itu, niscaya ada sejarahnya yang khas. Jadi, segala perilaku seksual yang menyimpang atau yang berlebihan, punya akar psikologis. Ia bisa lahir sebagai akibat yang datang dari masalah dalam atau luar rumah atau dari mana saja.

Sebagai novel pertama, Nayla telah menunjukkan penguasaan teknik narasi yang piawai. Di sana, kita juga melihat kualitas gagasannya yang liar, meski kali ini Djenar tampak lebih matang dan hati-hati. Bahwa kesan ketergesaan masih tampak di sana-sini, tentu saja itu tak mengurangi keasyikan kita menelusuri kisah Nayla, sambil coba mengisi teka-teki silangnya. Di balik itu, kita seperti disodori problem besar tentang seks dan penyimpangan seksual yang tanpa sadar nyaris setiap saat kita jumpai dalam kehidupan keseharian masyarakat. Djenar sekadar menyapa kita tentang itu.

(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok).

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae