Rabu, 12 November 2008

Jembatan Merah

Danarto
http://www.jawapos.com/

Setiap tanggal 10 November kami berbondong datang dari berbagai kota untuk berziarah ke Taman Makam Pahlawan Surabaya di mana ''Bidadari November'' kami kuburkan. Kami, berikut keluarga kami, berdoa penuh khidmat di kuburan seorang perempuan, pahlawan kami, yang sesungguhnya tak kami kenal yang kedudukannya sangat misterius sampai kami beranak-pinak di berbagai kota besar dan kecil di seantero pulau Nusantara ini.

Dewi ini, siapa pun dan apa pun namanya, tanpa sengaja atau disengaja, telah menyelamatkan nyawa kami, tujuh pejuang, yang sebenarnya tak cukup berjuang, punya banyak alasan untuk menghindar dari pertempuran karena tak punya peluru cukup, yang sesungguhnya tak punya keberanian cukup.

Hati orang siapa bisa menduga, bahkan Tuhan pun tidak (nah, ada gejala murtad). Tapi Tuhan tak bisa ditanya. Kita hanya bertatap wajah dengan diam. Ruang lengang, waktu pun beku. Tak bisa kita memaksa kalender bicara karena ia sudah banyak berujar tentang hari-hari penuh berkah atau penuh pertempuran, setahun lamanya. Hanya kita yang tak bisa menebak padahal seribu bahan dugaan dalam diri perempuan yang duduk di depan kami ini. Alangkah bodohnya kami ketika seorang di antara kami memaksanya mengaku: Kamu mata-mata musuh. Perempuan itu cuma diam bagai beban di pundaknya membenamkannya.

Memang banyak musuh kami: Jepang, Belanda, para pengkhianat, mata-mata, dan para komprador. Tapi kenapa perempuan di depan kami ini cuma diam saja? Dia tak membela diri? Apa dia stres? Apa dia pemberani? Apa dia menantang kami untuk menggunakan kekerasan?

Hari itu kami terjebak di dalam gedung-gedung yang sudah hangus terbakar di sekitar Jembatan Merah. Kami bertujuh: Jubair, Manua, Roy, Topo, Fadli, Nowo, dan saya, Gowo. Dengan empat bedil, tiga pistol, sebelas peluru, dan perut kosong, kami tak bisa lari karena kami sudah terkepung hampir tiga hari.

Kenapa Belanda-Belanda itu tak mau menyerbu kami? Seandainya mereka merangsek masuk, pasti kami keok. Apa mereka mau menyiksa kami dengan mati kelaparan?

Jangan-jangan perempuan ini hantu, begitu akhirnya pikiran kami menabrak jalan buntu. Ketika kami tak bisa ke mana-mana, perempuan itu begitu saja teronggok di ruangan, duduk diam mematung. Perempuan yang elok. Perempuan yang tak pernah tersentuh debu pertempuran. Perempuan yang selalu tersimpan di dalam kamar yang wangi. Kelihatannya begitu.

Kami bertujuh duduk di lantai mengelilingi perempuan itu. Sekali-kali Roy atau Nowo menjenguk lewat jendela menyigi tentara Belanda yang bersiaga di bawah dengan persenjataan lengkap. Juga panser.

''Kalau kamu bukan mata-mata, apa kamu bidadari?" tanya Jubair yang membuat kami tertawa.

''Baiklah,'' kata Manua, ''Kamu pasti dewi yang diutus para dewa untuk menguji kami.'' Ah, omongan yang bertele-tele.

''Perempuan yang bikin lapar,'' kata Topo yang membuat kami tak bisa menahan tertawa.

Tentu saja ketawa kami cekikikan saja. Kalau ketawa kami keras pasti kedengaran Belanda-Belanda yang di bawah itu. Betul-betul biadab, mereka mau menghukum kami dengan kelaparan. Mereka sangka kami akan menyerah karena lapar, betul-betul Londo-Londo itu minta ditempeleng. Nanti dulu. Tapi perempuan ini siapa? Jangan-jangan sundelbolong. Ah, si sontoloyo Roy selalu omongannya soal hantu melulu. Sedikit-sedikit gendruwo. Sedikit-sedikit wewegombel.

Tampang Roy sih persis Londo Didong. Tubuh jangkung, hidung mancung, kulit kurang garam alias albion, cerdas, kritis, ilmiah, pemberani. Tapi, minta ampun Kanjeng Nabi, otak demitnya ngudubilah, gendruwo melulu yang berjubel uyel-uyel di benaknya.

Pernah, pada suatu malam dalam sebuah pertempuran di hutan Mojokerto, Roy lari terbirit-birit dari rerimbun semak hanya karena merasa dipeluk kuntilanak. Ia marah ketika kami semua terbahak-bahak yang mengakibatkan Belanda mengetahui posisi kami dan menghujani kami dengan rentetan tembakan beruntun. Alhamdulillah, tidak ada yang gugur dalam pertempuran itu.

Pernah pula Roy kami hukum karena dalam pertempuran malam selalu bikin ribut. Kami semua marah lalu memerintahkan Roy sendirian untuk menyerbu sebuah kubu pertahanan darurat Belanda di kawasan Sidoarjo. Sedikit pun ia tidak takut. Malah ia sombong mempertontonkan keberaniannya. Kubu pertahanan Belanda itu ia obrak-abrik yang membikin Londo-Londo itu kalang-kabut dikiranya diserbu besar-besaran. Roy kembali dengan rampasan dua pucuk bedil dan satu pistol.

Lucunya, Roy suka bertempur di malam Jumat di mana menurut pikiran klenik kami dan sudah menjadi keyakinan masyarakat Jawa, di malam itu segala macam hantu bergentayangan. Roy punya seribu alasan untuk keluar di malam Jumat meski kami malas-malasan. Ada saja alasannya. Katanya, bertempur di malam Jumat itu penuh berkah. Bahkan ia berani pergi sendirian tapi ujung-ujungnya ia kembali lari tunggang-langgang karena merasa dihadang banaspati.

Lalu kami mengambil kesimpulan, meski ketakutan tapi Roy sebenarnya kasmaran sama hantu sampai ingin bertemu dengan lelembut itu setiap saat. Ha ha, Roy sungguh menjadi hiburan kami sehingga kami semakin sayang kepadanya.

Nah, sampai dengan munculnya sang bidadari di ruang menemani kami saat ini, Roy merasa dikabulkan doanya. Ia berjalan mengelilinginya menatap dengan takjub si ayu. Tentu saja kami tak membiarkannya memonopoli Venus itu sendirian. Mungkin karena perempuan ini cantik dan menggiurkan sehingga kami tidak rela kalau cuma Roy yang mengaguminya.

Dalam keadaan ketakutan, kami memujanya. Di saat maut begitu mendekat dalam kepungan pasukan Belanda, kami rela jatuh cinta kepada Afrodit ini. Ya, apa boleh buat.

Pada malam kelima pengepungan itu, kami semua jatuh tertidur karena kelaparan. Nowo dan Jubair yang kami tugaskan berjaga, tak sanggup mengganjal pelupuk matanya. Ketika kokok jago subuh membangunkan kami, tergagap kami karena sang bidadari lenyap. Kami memarahi Nowo dan Jubair karena kelengahannya berarti maut bagi kami.

''Kamu berdua harus dijatuhi hukuman mati,'' kata Topo sambil menunjuk dada Nowo dan Jubair. ''Tapi baiklah, kami nggak mau kalah sama Lincoln, kami penuh belas kasih pada kamu berdua.''

''Bangsat!'' maki Nowo dan Jubair bersamaan.

Saya tertawa. Sadar, kami ini gerombolan anak-anak muda, sekitar 19 dan 23 tahun, yang bertempur karena tak ada jalan lain, juga rasa malu pada para orang tua yang gigih berjuang melawan penjajah.

''He, lihat,'' teriak Roy sambil melongok keluar jendela.

''Alhamdulillah,'' desah Fadli setelah ikut menjenguk ke bawah.

Lalu kami ikut melihat ke bawah. Pasukan Belanda yang mengepung kami telah pergi. Bagaimana mungkin, kami yang sudah sekarat kelaparan ini sebenarnya sangat mudah digebuk, kok malah ditinggal pergi.

Satu, dua, tiga hari kemudian, ketika menyamar ke kota, saya dan Fadli melihat kerumunan orang di Jembatan Merah. Makin lama makin banyak orang berdatangan di jembatan itu.

Beberapa orang tampak sibuk di bawah jembatan. Ingin melihat apa yang dilakukan orang-orang itu, saya dan Fadli ikut turun ke bawah jembatan.

''Masya Allah,'' teriak Fadli sambil menyibak orang-orang itu.

Saya terkesiap sesaat tak bisa bernapas ketika melihat perempuan yang tergeletak di tepi sungai itu. ''Bidadari kami'' tewas dengan dada kirinya bersimbah darah. Secepatnya saya dan Fadli membopongnya pergi. Kami harus berlari kilat membopong jenazah batari menyusuri gang demi gang, jangan sampai terlihat serdadu Belanda. Di ruang yang hangus, kami baringkan ''dewi kami''. Fadli berlari menghubungi teman-teman sedang saya terduduk menatap ''bidadari penyelamat'' yang telah jadi mayat yang dengan ikhlas mengorbankan nyawanya untuk keselamatan kami. Air mata saya deras berlelehan mencoba memahami cerita singkat yang menggores sejarah perjuangan kami, anak-anak muda yang tak tahu apa-apa.

Atas kesepakatan bersama, kami menguburkan ''Bidadari November'' kami di Taman Makam Pahlawan pada malam hari. Di sebuah pojok tanah yang sedikit tak kami harapkan terlihat, dengan cekatan kami menggali dan memasukkan jenazahnya dan menimbuninya kembali, sementara Roy meraung dengan memukuli tanah di sisi kuburnya sambil mengaduh-aduh. Sambil berdoa sekenanya kami semua menangis tersedu-sedu sampai subuh. (*)

Tangerang, 10 Oktober 2008

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae