Rabu, 12 November 2008

Bau Kematian

Jenny Ang
http://www.jawapos.com/

APA yang bisa kukenang dari seorang pria yang meninggal tadi pagi, yang jatuh telungkup dengan kedua tangan tertekuk di samping badannya yang basah karena siraman gerimis? Pemandangan itulah yang kulihat ketika aku membuka jendela flat-ku untuk merasakan gerimis yang jatuh dengan telapak tanganku. Aku berteriak dan berlari turun untuk menolong pria ini. Para penghuni flat bermunculan untuk mengetahui apa yang telah terjadi dan ternyata dia sudah meninggal. Ia meninggal begitu saja, dengan sekantong belanjaan yang berisi bahan makanan yang masih berserakan di sekitar tubuhnya. Kacamatanya pecah remuk tertimpa wajahnya sendiri. Kepalanya sedikit berdarah karena terbentur aspal yang keras. Tubuhnya masih terasa hangat ketika aku memeluknya. Aku tak kuat membopongnya meskipun aku ingin. Beberapa lelaki dewasa kemudian memindahkan tubuh pria ini ke sebuah bangku panjang di dalam bangunan flat dan aku mengantungi kacamatanya yang pecah.

Serangan jantung, kata seorang dokter yang tinggal di lantai bawah. Aku mengangguk maklum. Tidak heran, bagi pria-pria seusia kami, alasan apa saja bisa digunakan sebagai penyebab kematian. Segera aku menghubungi petugas sosial dan dalam beberapa menit mereka telah datang dengan membawa sebuah peti mati yang tak bisa disebut indah. Salah seorang petugas memegang pergelangan pria itu dan berseru keras: waktu kematian sembilan dua puluh! Sementara seorang petugas lainnya sibuk mencatat-catat di atas selembar kertas. Aku memaksa para petugas itu untuk mengganti baju pria ini dengan pakaian yang lebih layak dan aku sendiri yang membersihkan darah di kepalanya dengan hati-hati. Kusisir rambut peraknya dengan rapi dan terakhir kupakaikan kacamatanya yang pecah (Aku kuatir dia tidak bisa melihat dengan jelas di 'sana' tanpa kacamatanya ini). Dengan cekatan dan tanpa banyak bertanya, para petugas segera menaikkan peti yang berisi jasad pria ini ke dalam mobil. Aku segera naik dan ikut di dalamnya. Mobil mulai bergerak dan aku menatap pria yang terbaring rapi dalam rumah abadinya.

Tak ada bau kematian yang menyelimutinya. Aku menajamkan inderaku sekali lagi. Tak ada bau kematian di sini. Yang ada hanya aroma yang menyenangkan, sesuatu yang menguakkan kenangan masa kecil, di mana musim panas yang datang terasa sangat menyenangkan. Wangi yang mengingatkan aku di mana langit berwarna biru dan hujan tidak turun selama berminggu-minggu. Harum manis segar yang mengingatkanku akan sederetan selai di dapur ibu, yang diam-diam selalu kucelupkan jariku ke dalamnya karena tak tahan ingin mencicipinya. Bukan aroma dingin kelabu yang biasa menyelubungi kematian orang-orang seperti kami.

Mobil berhenti. Para petugas bergegas turun dan orang yang bertugas mencatat-catat terlihat masih sibuk menulis. Tak lama kemudian, dia menyuruhku membubuhkan tanda tangan di bawah tulisannya. Peti ditutup. Seseorang yang berpakaian seperti pendeta dengan sebuah kitab di tangannya datang menghampiri. Dia dan para petugas lainnya kemudian membopong peti mati tersebut menuju tanah lapang, di mana sebuah lubang menganga menunggu untuk diisi. Aku sempat tergoda untuk berpesan kepada mereka, alangkah baiknya jika aku mati nanti aku bisa dikubur di sebelah pria ini, tapi tak jadi karena kupikir ini bukan saat yang tepat. Gerimis masih setia mengikuti kami sampai akhirnya peti itu mulai diturunkan ke dalam liang kubur.

Doa yang paling umum mulai dilantunkan:

''Der HERR ist mein Hirte, mir wird nichts mangeln.'' Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.

''Er weidet mich auf einer...''

Dan bait-bait selanjutnya terdengar seperti gumaman yang ditujukan pada diri sendiri. Tak ada tangisan, tak ada penghiburan atau semacamnya. Ringkas dan cepat.

''Amen.''

Gundukan tanah basah di samping liang kubur mulai dikembalikan ke asalnya. Tentu saja, pada akhirnya tanah itu menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Selesai sudah. Kami membubarkan diri. Surat pernyataan kematiannya telah berada di saku mantelku. Apalagi yang bisa kulakukan? Pertama, mungkin aku akan berusaha menghubungi adik perempuannya yang tinggal di daerah bekas Timur untuk mengabari kemalangan ini. Kedua, aku akan mengunjungi kamarnya dan melihat apa saja yang ditinggalkan pria ini. Ketiga, mungkin aku akan mencari cara untuk mengenang pria ini. Pria yang hingga diturunkan ke dalam liang kuburnya belum dapat kurasakan bau kematiannya.

Aku tiba kembali di kamar flatku. Keadaanya masih seperti tadi sebelum kutinggalkan. Jendela yang terbuka kubiarkan tetap terbuka karena aku menyukai angin sisa gerimis yang dialirkannya. Aku menuangkan minuman kesayanganku ke dalam sebuah gelas lalu duduk terdiam menatap langit basah yang hanya sebingkai jendela. Aku mulai mengambil waktuku sejenak untuk mengenang pria itu.

***

TIGA hari yang lalu, aku masih bertemu dengan pria itu. Kala itu, kami sedang duduk-duduk di bar langganan sekadar untuk menghangatkan badan dengan segelas bir murahan. Tak ada aroma kematian yang dapat kucium darinya waktu itu. Ya. Tak banyak lagi kawan-kawanku yang tersisa. Aku sudah hidup selama 79 tahun dan teman-temanku banyak yang sudah mati. Dan, bagi aku yang masih diberi umur panjang ini, aku dapat merasakan apakah teman-temanku masih akan hidup lebih lama atau sebentar lagi akan mati. Orang lanjut usia seperti aku punya indera seperti itu. Ya. Tak ada bau kematian yang dapat kuendus ketika kami bercakap-cakap.

Kami sempat bertukar cerita. Ia berbagi kabar bahwa adik perempuannya akan mengunjunginya di akhir pekan ini. Telah lama ia tak bersua dengan adik satu-satunya itu, karena semasa muda, hidup mereka dipisahkan oleh sebaris tembok dingin. Dan, setelah keruntuhan tembok pun mereka hanya sempat bertemu sekali dua kali. Ia bercerita sambil mengangguk-angguk kecil tanda senang dan antusias sambil membetulkan kacamatanya yang selalu melorot.

Aku juga membalasnya dengan sebuah berita, bahwa sebentar lagi aku akan berangkat menuju pantai di Brazil, di mana matahari bersinar sepanjang waktu, dan gadis-gadis berwarna tembaga berseliweran di hadapanku. Apakah kamu akan bercinta dengan salah satu dari mereka, tanyanya. Aku menjawab, tentu saja. Aku akan bercinta dengan salah satu dari gadis-gadis berwarna tembaga itu. Dan kami akan bercinta sepanjang hari di bawah sinar matahari emas dan di atas hangatnya hamparan pasir yang kemilau.

Kami tertawa. Betapa menyenangkan bahwa kami masih berani merajut mimpi. Bagi pria-pria lanjut usia seperti kami, terkadang berita yang sederhana atau sekadar impian yang sudah pasti tak mungkin, sudah sangat menyenangkan kami. Ketika ia mengeluh tentang badannya yang sakit karena dinginnya cuaca, aku akan berkata; sabarlah. Musim panas akan datang sebentar lagi dan sakit-sakitmu akan hilang dengan sendirinya. Dan ia mengangguk-angguk tanda setuju seolah-olah yakin masih akan hidup hingga musim panas datang. Atau ketika aku mengeluh tentang harga tiket kereta bawah tanah yang semakin mahal, dengan mimik yakin dan serius ia berkata; tenanglah. Kelak aku kaya raya, akan kubelikan sebuah mobil khusus untukmu. Ya. Kami masih mengharapkan masa depan. Tetapi apalah yang pasti ada di masa depan selain kematian?

Minuman di gelasku tinggal separo. Apa lagi yang dapat kukenang dari seorang sahabat pria, yang telah dikubur dalam gerimis pagi tadi?

***

SEPULUH tahun yang lalu, kami bertemu di sebuah bangku taman. Kala itu, malam terasa lebih terang dari biasanya dan aku sedang berjalan-jalan menikmati angin musim panas. Ia datang begitu saja dan duduk mematung di sebelahku. Rambutnya berwarna keperakan dan semuanya mengarah ke belakang seolah-olah baru diterpa angin kencang. Kacamatanya melorot hingga ke puncak hidung. Tiba-tiba ia sudah bercerita tentang dirinya yang tak sempat meneteskan air mata ketika istrinya meninggal dua hari karena ia terlalu sibuk mengurusi pemakamannya. Dan aku bercerita bahwa aku baru saja berjalan-jalan dan tak punya istri yang meninggal untuk diurusi pemakamannya. Ia tertawa dan katanya itu adalah tawanya yang pertama dalam sebulan itu. Sejak itu kami sering bertemu dan saling berbicara. Setelah agak lama dan mulai saling mempercayai, kami berani membuka diri dan sering membicarakan dunia yang telah kami lewati. Tentang sebuah kekuatan mahabesar yang pernah dihimpun oleh seorang pria pendek berkumis persegi. Tentang semua perang yang telah kami lalui. Tentang kami yang sanggup segera berdiri dan bekerja menyingkirkan puing-puing kekalahan perang, hanya dengan tangan kosong dan alunan musik Beethoven. Kami juga berbicara tentang sebuah tembok dingin yang membelah sebuah kota menjadi dua negara. Tentang impian dan kenangan yang terputus di belahan sini dan sana. Tentang kehilangan kami dan apa yang telah kami hilangkan. Kami terus berbicara hingga mendapati mata kami mengalirkan air mata. Bukan, bukan, katanya sambil terisak-isak. Bukan aku yang terlalu sibuk mengurusi pemakaman istriku, tapi karena hatiku yang sudah lama kering dan membatu. Wajahnya memerah karena memendam emosi yang sangat.

Aku juga menangis. Aku tak tahu apa yang aku tangisi, tapi kupikir aku ingin menangis. Aku kemudian berdiri dan menunjukkan sebuah tato SS dengan sederatan angka di lengan kiriku. Aku pikir, baiklah kalau ternyata ia adalah musuhku dan harus membunuhku saat ini juga, tak masalah karena aku sebenarnya sudah sangat lelah dan ingin tidur saja. Sahabatku terperangah, dan dia berdiri seraya melepaskan mantel dan melemparkannya jauh, sebelum akhirnya menggulung lengan baju kirinya dan menunjukkan tanda yang sama kepadaku. Sejak itulah masa lalu kami mengalir deras bagaikan pintu air yang dibuka untuk mengalirkan kenangan pahit.

***

KAMI adalah tikus. Tikus-tikus yang diselundupkan dari Timur ke Barat. Bertahun-tahun kami menyelinap, mengorek, menggali, mengerat, dan menggigit. Bahkan kalau perlu kami tak segan untuk membunuh. Tak ada kata gagal dalam kamus kami. Kami sudah terbiasa bergerak dalam senyap dan gelap. Kami bergerak tanpa suara. Sepatu kami tak berjejak dan jari-jari kami tak bersidik. Tak seorang pun yang menyadari kehadiran kami dan kami seolah menguap begitu saja beserta sejumlah informasi rahasia. Kami adalah tikus. Tikus dengan sederetan angka. Kami tersebar di mana-mana. Di perkampungan yang paling kumuh hingga gedung yang paling mewah. Dari ceruk karang di tengah laut hingga celah dalam tebing yang paling tinggi. Di rumah sahaja seorang petani di pinggir desa hingga apartemen mewah seorang foto model di tengah kota. Kami licin dan pintar berkelit. Kami dapat meloloskan diri lebih cepat dari musang yang berlari. Kami sanggup mengingat sederetan kode asing dalam benak kami tanpa boleh menuliskannya selama berhari-hari. Kami sanggup tidur dengan mata terbuka lebar. Kami terus bekerja dan bekerja.

Segala yang ada di Timur telah digunakan untuk memeras kami. Aku telah meninggalkan kekasih yang kucintai, dengan janji kembali yang tak pernah kutepati. Bahkan aku tak pernah bisa mengingat wajahnya dengan jelas. Kenapa aku mampu mengingat itu semua sedangkan wajah orang yang kucintai tampak begitu samar-samar? Aku bahkan tak mampu mengingat siapa diriku sebenarnya. Pantulan wajahku pada cermin di pagi hari tampak begitu asing.

Sahabatku separo rela meninggalkan rumahnya di Timur, dengan harapan tidak ada yang mengganggu adik perempuannya selama ia mau berkerja sama. Ia, aku, dan ribuan tikus lainnya, bergiliran menyeberangi tembok dingin, dengan impian dapat memberi kehidupan yang lebih baik. Dengan secuil harapan untuk dapat menikmati udara yang lebih baik dan tidur yang lebih lelap di malam hari.

Tapi tembok itu kemudian runtuh. Semuanya berubah. Kami bukan tikus lagi. Tak ada alasan lagi untuk terikat pada Timur. Semua bersuka cita. Kami bebas. Seharusnya kami bergembira. Tapi kami terkejut. Kami berlarian kocar-kacir di bawah matahari. Kami diburu. Isi kepala kami menjadi sangat berharga. Mereka menjatuhkan kami dari ketinggian dengan harapan kepala kami akan pecah terburai. Mereka menabrak kami di tengah kegelapan malam dan melindas tubuh kami begitu saja. Bagi kami yang tertangkap hidup-hidup, mereka lantas mencoba membuka batok kepala kami dan mengorek-ngorek isinya. Mereka menjepit lidah kami dan berharap kami menyebutkan nama. Mereka menyetrum kemaluan kami dan memaksa kami menuliskan angka. Sisa-sisa dari kami yang ada di luar mencoba bertahan. Perlahan, kami akan dibiarkan mati sia-sia. Kami tak mampu lagi menggigit dan mengerat. Kami hanya mampu bertahan hidup dengan mengais dalam terang. Mengais dan terus mengais.

Kami begitu ingin menghilangkan masa lalu kami. Kami ingin melenyapkan sederetan angka di lengan dan membuang sebagian isi otak kami. Aku ingat, suatu ketika di musim dingin, sahabatku membujukku untuk menempelkan batang besi yang telah dipanaskan di perapian hingga merah membara ke lengan kirinya. Aku melakukannya dengan satu gerakan cepat dan erangan suaranya terdengar begitu miris memilukan. Ia kemudian melakukan hal yang sama terhadapku dan itu membuatku sadar, betapa kami ternyata sudah begitu tua. Sederetan angka menghilang dan digantikan bekas luka yang melepuh. Namun kami tetap tak menemukan cara untuk membuang sebagian isi kepala kami.

Aku menenggak habis minumanku dalam sekali teguk. Badanku sudah terasa lebih hangat. Jika tembok itu tidak hancur, pria itu masih hidup sampai sekarang. Dan aku tidak kehilangan seorang sahabat hari ini.

***

GERIMIS mulai turun lagi dan aku bangkit untuk menutup jendela. Senja mulai turun dan bersembunyi di balik gedung-gedung tinggi. Aku harus ke flat temanku, mencari sesuatu yang dapat menghubungkan aku dengan adik perempuannya. Aku turun dan melangkah keluar ke jalanan. Sepasang kekasih yang lewat berhenti sebentar untuk berciuman di bawah temaramnya sisa-sisa senja. Aku terus berjalan melintasi perkampungan yang padat, dengan gang-gang yang sempit dan air bekas cucian yang merembes ke jalanan. Hari sudah gelap dan gerimis seolah-olah hanya terjadi di bawah sorotan lampu jalanan ketika aku sampai di depan gedung flat sahabatku. Aku hendak melangkah masuk ketika seorang pria bergegas keluar dari gedung tersebut. Ia berhenti dan menatapku lama. Di tangannya ada sebuah buku kecil hitam yang selama ini kukenal sebagai buku catatan pribadi sahabatku. Kami saling berpandangan dan tiba-tiba aku merasa tubuhku gemetaran. Tanpa sadar tangan kananku merayapi lengan kiriku. Mata pria itu terlihat murung, tapi ia terus menatapku. Ia mengacungkan payung yang ada di tangan satunya ke hadapanku dan...

SSssshhh...

Sesuatu menyembur dari ujung payung dan mengenai wajahku. Dan sebelum tubuhku ambruk menyentuh tanah, hidungku mencium bau buah persik. Bau yang menyelimuti kematian sahabatku dan kematianku sendiri. (*)

Surabaya, 14 Oktober 2008

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae