Jenny Ang
http://www.jawapos.com/
APA yang bisa kukenang dari seorang pria yang meninggal tadi pagi, yang jatuh telungkup dengan kedua tangan tertekuk di samping badannya yang basah karena siraman gerimis? Pemandangan itulah yang kulihat ketika aku membuka jendela flat-ku untuk merasakan gerimis yang jatuh dengan telapak tanganku. Aku berteriak dan berlari turun untuk menolong pria ini. Para penghuni flat bermunculan untuk mengetahui apa yang telah terjadi dan ternyata dia sudah meninggal. Ia meninggal begitu saja, dengan sekantong belanjaan yang berisi bahan makanan yang masih berserakan di sekitar tubuhnya. Kacamatanya pecah remuk tertimpa wajahnya sendiri. Kepalanya sedikit berdarah karena terbentur aspal yang keras. Tubuhnya masih terasa hangat ketika aku memeluknya. Aku tak kuat membopongnya meskipun aku ingin. Beberapa lelaki dewasa kemudian memindahkan tubuh pria ini ke sebuah bangku panjang di dalam bangunan flat dan aku mengantungi kacamatanya yang pecah.
Serangan jantung, kata seorang dokter yang tinggal di lantai bawah. Aku mengangguk maklum. Tidak heran, bagi pria-pria seusia kami, alasan apa saja bisa digunakan sebagai penyebab kematian. Segera aku menghubungi petugas sosial dan dalam beberapa menit mereka telah datang dengan membawa sebuah peti mati yang tak bisa disebut indah. Salah seorang petugas memegang pergelangan pria itu dan berseru keras: waktu kematian sembilan dua puluh! Sementara seorang petugas lainnya sibuk mencatat-catat di atas selembar kertas. Aku memaksa para petugas itu untuk mengganti baju pria ini dengan pakaian yang lebih layak dan aku sendiri yang membersihkan darah di kepalanya dengan hati-hati. Kusisir rambut peraknya dengan rapi dan terakhir kupakaikan kacamatanya yang pecah (Aku kuatir dia tidak bisa melihat dengan jelas di 'sana' tanpa kacamatanya ini). Dengan cekatan dan tanpa banyak bertanya, para petugas segera menaikkan peti yang berisi jasad pria ini ke dalam mobil. Aku segera naik dan ikut di dalamnya. Mobil mulai bergerak dan aku menatap pria yang terbaring rapi dalam rumah abadinya.
Tak ada bau kematian yang menyelimutinya. Aku menajamkan inderaku sekali lagi. Tak ada bau kematian di sini. Yang ada hanya aroma yang menyenangkan, sesuatu yang menguakkan kenangan masa kecil, di mana musim panas yang datang terasa sangat menyenangkan. Wangi yang mengingatkan aku di mana langit berwarna biru dan hujan tidak turun selama berminggu-minggu. Harum manis segar yang mengingatkanku akan sederetan selai di dapur ibu, yang diam-diam selalu kucelupkan jariku ke dalamnya karena tak tahan ingin mencicipinya. Bukan aroma dingin kelabu yang biasa menyelubungi kematian orang-orang seperti kami.
Mobil berhenti. Para petugas bergegas turun dan orang yang bertugas mencatat-catat terlihat masih sibuk menulis. Tak lama kemudian, dia menyuruhku membubuhkan tanda tangan di bawah tulisannya. Peti ditutup. Seseorang yang berpakaian seperti pendeta dengan sebuah kitab di tangannya datang menghampiri. Dia dan para petugas lainnya kemudian membopong peti mati tersebut menuju tanah lapang, di mana sebuah lubang menganga menunggu untuk diisi. Aku sempat tergoda untuk berpesan kepada mereka, alangkah baiknya jika aku mati nanti aku bisa dikubur di sebelah pria ini, tapi tak jadi karena kupikir ini bukan saat yang tepat. Gerimis masih setia mengikuti kami sampai akhirnya peti itu mulai diturunkan ke dalam liang kubur.
Doa yang paling umum mulai dilantunkan:
''Der HERR ist mein Hirte, mir wird nichts mangeln.'' Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku.
''Er weidet mich auf einer...''
Dan bait-bait selanjutnya terdengar seperti gumaman yang ditujukan pada diri sendiri. Tak ada tangisan, tak ada penghiburan atau semacamnya. Ringkas dan cepat.
''Amen.''
Gundukan tanah basah di samping liang kubur mulai dikembalikan ke asalnya. Tentu saja, pada akhirnya tanah itu menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Selesai sudah. Kami membubarkan diri. Surat pernyataan kematiannya telah berada di saku mantelku. Apalagi yang bisa kulakukan? Pertama, mungkin aku akan berusaha menghubungi adik perempuannya yang tinggal di daerah bekas Timur untuk mengabari kemalangan ini. Kedua, aku akan mengunjungi kamarnya dan melihat apa saja yang ditinggalkan pria ini. Ketiga, mungkin aku akan mencari cara untuk mengenang pria ini. Pria yang hingga diturunkan ke dalam liang kuburnya belum dapat kurasakan bau kematiannya.
Aku tiba kembali di kamar flatku. Keadaanya masih seperti tadi sebelum kutinggalkan. Jendela yang terbuka kubiarkan tetap terbuka karena aku menyukai angin sisa gerimis yang dialirkannya. Aku menuangkan minuman kesayanganku ke dalam sebuah gelas lalu duduk terdiam menatap langit basah yang hanya sebingkai jendela. Aku mulai mengambil waktuku sejenak untuk mengenang pria itu.
***
TIGA hari yang lalu, aku masih bertemu dengan pria itu. Kala itu, kami sedang duduk-duduk di bar langganan sekadar untuk menghangatkan badan dengan segelas bir murahan. Tak ada aroma kematian yang dapat kucium darinya waktu itu. Ya. Tak banyak lagi kawan-kawanku yang tersisa. Aku sudah hidup selama 79 tahun dan teman-temanku banyak yang sudah mati. Dan, bagi aku yang masih diberi umur panjang ini, aku dapat merasakan apakah teman-temanku masih akan hidup lebih lama atau sebentar lagi akan mati. Orang lanjut usia seperti aku punya indera seperti itu. Ya. Tak ada bau kematian yang dapat kuendus ketika kami bercakap-cakap.
Kami sempat bertukar cerita. Ia berbagi kabar bahwa adik perempuannya akan mengunjunginya di akhir pekan ini. Telah lama ia tak bersua dengan adik satu-satunya itu, karena semasa muda, hidup mereka dipisahkan oleh sebaris tembok dingin. Dan, setelah keruntuhan tembok pun mereka hanya sempat bertemu sekali dua kali. Ia bercerita sambil mengangguk-angguk kecil tanda senang dan antusias sambil membetulkan kacamatanya yang selalu melorot.
Aku juga membalasnya dengan sebuah berita, bahwa sebentar lagi aku akan berangkat menuju pantai di Brazil, di mana matahari bersinar sepanjang waktu, dan gadis-gadis berwarna tembaga berseliweran di hadapanku. Apakah kamu akan bercinta dengan salah satu dari mereka, tanyanya. Aku menjawab, tentu saja. Aku akan bercinta dengan salah satu dari gadis-gadis berwarna tembaga itu. Dan kami akan bercinta sepanjang hari di bawah sinar matahari emas dan di atas hangatnya hamparan pasir yang kemilau.
Kami tertawa. Betapa menyenangkan bahwa kami masih berani merajut mimpi. Bagi pria-pria lanjut usia seperti kami, terkadang berita yang sederhana atau sekadar impian yang sudah pasti tak mungkin, sudah sangat menyenangkan kami. Ketika ia mengeluh tentang badannya yang sakit karena dinginnya cuaca, aku akan berkata; sabarlah. Musim panas akan datang sebentar lagi dan sakit-sakitmu akan hilang dengan sendirinya. Dan ia mengangguk-angguk tanda setuju seolah-olah yakin masih akan hidup hingga musim panas datang. Atau ketika aku mengeluh tentang harga tiket kereta bawah tanah yang semakin mahal, dengan mimik yakin dan serius ia berkata; tenanglah. Kelak aku kaya raya, akan kubelikan sebuah mobil khusus untukmu. Ya. Kami masih mengharapkan masa depan. Tetapi apalah yang pasti ada di masa depan selain kematian?
Minuman di gelasku tinggal separo. Apa lagi yang dapat kukenang dari seorang sahabat pria, yang telah dikubur dalam gerimis pagi tadi?
***
SEPULUH tahun yang lalu, kami bertemu di sebuah bangku taman. Kala itu, malam terasa lebih terang dari biasanya dan aku sedang berjalan-jalan menikmati angin musim panas. Ia datang begitu saja dan duduk mematung di sebelahku. Rambutnya berwarna keperakan dan semuanya mengarah ke belakang seolah-olah baru diterpa angin kencang. Kacamatanya melorot hingga ke puncak hidung. Tiba-tiba ia sudah bercerita tentang dirinya yang tak sempat meneteskan air mata ketika istrinya meninggal dua hari karena ia terlalu sibuk mengurusi pemakamannya. Dan aku bercerita bahwa aku baru saja berjalan-jalan dan tak punya istri yang meninggal untuk diurusi pemakamannya. Ia tertawa dan katanya itu adalah tawanya yang pertama dalam sebulan itu. Sejak itu kami sering bertemu dan saling berbicara. Setelah agak lama dan mulai saling mempercayai, kami berani membuka diri dan sering membicarakan dunia yang telah kami lewati. Tentang sebuah kekuatan mahabesar yang pernah dihimpun oleh seorang pria pendek berkumis persegi. Tentang semua perang yang telah kami lalui. Tentang kami yang sanggup segera berdiri dan bekerja menyingkirkan puing-puing kekalahan perang, hanya dengan tangan kosong dan alunan musik Beethoven. Kami juga berbicara tentang sebuah tembok dingin yang membelah sebuah kota menjadi dua negara. Tentang impian dan kenangan yang terputus di belahan sini dan sana. Tentang kehilangan kami dan apa yang telah kami hilangkan. Kami terus berbicara hingga mendapati mata kami mengalirkan air mata. Bukan, bukan, katanya sambil terisak-isak. Bukan aku yang terlalu sibuk mengurusi pemakaman istriku, tapi karena hatiku yang sudah lama kering dan membatu. Wajahnya memerah karena memendam emosi yang sangat.
Aku juga menangis. Aku tak tahu apa yang aku tangisi, tapi kupikir aku ingin menangis. Aku kemudian berdiri dan menunjukkan sebuah tato SS dengan sederatan angka di lengan kiriku. Aku pikir, baiklah kalau ternyata ia adalah musuhku dan harus membunuhku saat ini juga, tak masalah karena aku sebenarnya sudah sangat lelah dan ingin tidur saja. Sahabatku terperangah, dan dia berdiri seraya melepaskan mantel dan melemparkannya jauh, sebelum akhirnya menggulung lengan baju kirinya dan menunjukkan tanda yang sama kepadaku. Sejak itulah masa lalu kami mengalir deras bagaikan pintu air yang dibuka untuk mengalirkan kenangan pahit.
***
KAMI adalah tikus. Tikus-tikus yang diselundupkan dari Timur ke Barat. Bertahun-tahun kami menyelinap, mengorek, menggali, mengerat, dan menggigit. Bahkan kalau perlu kami tak segan untuk membunuh. Tak ada kata gagal dalam kamus kami. Kami sudah terbiasa bergerak dalam senyap dan gelap. Kami bergerak tanpa suara. Sepatu kami tak berjejak dan jari-jari kami tak bersidik. Tak seorang pun yang menyadari kehadiran kami dan kami seolah menguap begitu saja beserta sejumlah informasi rahasia. Kami adalah tikus. Tikus dengan sederetan angka. Kami tersebar di mana-mana. Di perkampungan yang paling kumuh hingga gedung yang paling mewah. Dari ceruk karang di tengah laut hingga celah dalam tebing yang paling tinggi. Di rumah sahaja seorang petani di pinggir desa hingga apartemen mewah seorang foto model di tengah kota. Kami licin dan pintar berkelit. Kami dapat meloloskan diri lebih cepat dari musang yang berlari. Kami sanggup mengingat sederetan kode asing dalam benak kami tanpa boleh menuliskannya selama berhari-hari. Kami sanggup tidur dengan mata terbuka lebar. Kami terus bekerja dan bekerja.
Segala yang ada di Timur telah digunakan untuk memeras kami. Aku telah meninggalkan kekasih yang kucintai, dengan janji kembali yang tak pernah kutepati. Bahkan aku tak pernah bisa mengingat wajahnya dengan jelas. Kenapa aku mampu mengingat itu semua sedangkan wajah orang yang kucintai tampak begitu samar-samar? Aku bahkan tak mampu mengingat siapa diriku sebenarnya. Pantulan wajahku pada cermin di pagi hari tampak begitu asing.
Sahabatku separo rela meninggalkan rumahnya di Timur, dengan harapan tidak ada yang mengganggu adik perempuannya selama ia mau berkerja sama. Ia, aku, dan ribuan tikus lainnya, bergiliran menyeberangi tembok dingin, dengan impian dapat memberi kehidupan yang lebih baik. Dengan secuil harapan untuk dapat menikmati udara yang lebih baik dan tidur yang lebih lelap di malam hari.
Tapi tembok itu kemudian runtuh. Semuanya berubah. Kami bukan tikus lagi. Tak ada alasan lagi untuk terikat pada Timur. Semua bersuka cita. Kami bebas. Seharusnya kami bergembira. Tapi kami terkejut. Kami berlarian kocar-kacir di bawah matahari. Kami diburu. Isi kepala kami menjadi sangat berharga. Mereka menjatuhkan kami dari ketinggian dengan harapan kepala kami akan pecah terburai. Mereka menabrak kami di tengah kegelapan malam dan melindas tubuh kami begitu saja. Bagi kami yang tertangkap hidup-hidup, mereka lantas mencoba membuka batok kepala kami dan mengorek-ngorek isinya. Mereka menjepit lidah kami dan berharap kami menyebutkan nama. Mereka menyetrum kemaluan kami dan memaksa kami menuliskan angka. Sisa-sisa dari kami yang ada di luar mencoba bertahan. Perlahan, kami akan dibiarkan mati sia-sia. Kami tak mampu lagi menggigit dan mengerat. Kami hanya mampu bertahan hidup dengan mengais dalam terang. Mengais dan terus mengais.
Kami begitu ingin menghilangkan masa lalu kami. Kami ingin melenyapkan sederetan angka di lengan dan membuang sebagian isi otak kami. Aku ingat, suatu ketika di musim dingin, sahabatku membujukku untuk menempelkan batang besi yang telah dipanaskan di perapian hingga merah membara ke lengan kirinya. Aku melakukannya dengan satu gerakan cepat dan erangan suaranya terdengar begitu miris memilukan. Ia kemudian melakukan hal yang sama terhadapku dan itu membuatku sadar, betapa kami ternyata sudah begitu tua. Sederetan angka menghilang dan digantikan bekas luka yang melepuh. Namun kami tetap tak menemukan cara untuk membuang sebagian isi kepala kami.
Aku menenggak habis minumanku dalam sekali teguk. Badanku sudah terasa lebih hangat. Jika tembok itu tidak hancur, pria itu masih hidup sampai sekarang. Dan aku tidak kehilangan seorang sahabat hari ini.
***
GERIMIS mulai turun lagi dan aku bangkit untuk menutup jendela. Senja mulai turun dan bersembunyi di balik gedung-gedung tinggi. Aku harus ke flat temanku, mencari sesuatu yang dapat menghubungkan aku dengan adik perempuannya. Aku turun dan melangkah keluar ke jalanan. Sepasang kekasih yang lewat berhenti sebentar untuk berciuman di bawah temaramnya sisa-sisa senja. Aku terus berjalan melintasi perkampungan yang padat, dengan gang-gang yang sempit dan air bekas cucian yang merembes ke jalanan. Hari sudah gelap dan gerimis seolah-olah hanya terjadi di bawah sorotan lampu jalanan ketika aku sampai di depan gedung flat sahabatku. Aku hendak melangkah masuk ketika seorang pria bergegas keluar dari gedung tersebut. Ia berhenti dan menatapku lama. Di tangannya ada sebuah buku kecil hitam yang selama ini kukenal sebagai buku catatan pribadi sahabatku. Kami saling berpandangan dan tiba-tiba aku merasa tubuhku gemetaran. Tanpa sadar tangan kananku merayapi lengan kiriku. Mata pria itu terlihat murung, tapi ia terus menatapku. Ia mengacungkan payung yang ada di tangan satunya ke hadapanku dan...
SSssshhh...
Sesuatu menyembur dari ujung payung dan mengenai wajahku. Dan sebelum tubuhku ambruk menyentuh tanah, hidungku mencium bau buah persik. Bau yang menyelimuti kematian sahabatku dan kematianku sendiri. (*)
Surabaya, 14 Oktober 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 12 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar