Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=215
Sebelum jauh tulisan ini melangkah, ingin menyapamu terlebih dulu;
apakah mimpi perlahan mulai sirna, oleh sorot matahari menempa jiwa,
entah masih ada, malam-malam lembut terjaga alunan sejati rasa (X: I).
Yang datang terlambat tak seharusnya menghakimi sebelumnya
dengan ketentuan membuta, ingatlah bunga-bunga rontok sebelum mekar,
nalar mentah keluar terlalu dini, reranting menunggu lebat sayapnya (X: II).
Angin tanggung mempermainkan awan mengusir kabut pegunungan
sebinar fajar meremukkan tembang dangkal, terkumpulnya ragu segenggaman
melebihi lebatnya pepohonan di bukit barisan, kala hujan menderas
membasuh buah asam Jawa, rontok terhempas ke sebrang (X: III).
Bagaimana bimbang di belantara, sedang ia menerobos ilalang?
Dahan keras kan patah, yang terus melaju temukan makna tiada terkira
bagi penyetia takkan kecewa, dipenuhi kebutuhannya (X: IV).
Terpontang-panting diayun bayu membelah laut tenggelamkan gelisah,
perahu keyakinan ia tumpangi ringan melaju, menuju ujung-ujung waktu (X: V).
Jika sayap-sayap bertumpuk memberatkan kepakan, cabuti bulu-bulunya,
barangkali kecompang-campinganmu, sanggup menggedor kemampuan semu (X: VI).
Sudahkah diawali pergesekan ini, serasa salju tambah memikat panasnya
saat daging jari-jemari mengepal sekali dalam genggaman keyakinan (X: VII).
Kenanglah ikan-ikan Bethik bertubuh daging gurih
tersebab hidupnya melawan arus terus menerus (X: VIII).
Begitulah menyukai anak-anak memberontak,
hukum tidaklah sama untuk para pengelana (X: IX).
Ia berkata; wujud tintaku darah kematian, dan setiap torehan kata
usiaku dikurangi, serupa tercerabutnya nyawa di medan perang suci (X: X).
Adakah kesia-siaan pada ruang belum terisi sekalipun?
Ia berucap; inilah keindahan, ketinggian seni bagimu (X: XI).
Kesadaran pejuang mengikuti awan-gemawan gerilya,
aliran sungai menyusuri lekuk seluruh tubuhnya mencari makna,
menggelinjak bertemu akar pohon dari batin kutub kekuatan (X: XII).
Yang dijalankan berbeda, berjumpa hikmah dari kekenesan kerja
bertatap mata menyenangkan prasangka, akan duga ilmu abadi (X: XIII).
Maha karya syair takkan selesai di segaris-garis keningnya
oleh muda usianya, ketika mengenakan ikat kepala pujangga (X: XIV).
Ruh serupa bayangan melayang-layang membebani kesadaran,
meski menjauh takkan sanggup melupakan seluruh,
seumpama isyarat bertemu dilaksanakan titahnya (X: XV).
Inilah nyanyian kalbu mendaki ke pebukitan seribu
takkan habis walau jutaan kaki merayap di punggung malam (X: XVI).
Saat berkaca di telaga, rautnya secantik bidadari bersayap bangau,
kepakannya membelai pagi, polesan biru di leher awan jenjang (X: XVII).
Kau mengusik kediriannya lewat menjatuhkan pilihan bergetar
pada cermin cerlang memantulkan cahaya kalbu berdegupan (X: XVIII).
Tidak lagi awan teman kembara ketika menapaki tangga langitan
menuju batas daya demi kehadiranmu di panggung penciptaan (X: XIX).
Ia mainkan melodi hening, harpa menggema ke dasar biru lautan,
menggempur karang bolong, ingin menguasai kesunyian malam (X: XX).
Yang duduk dalam permenungan wengi-wengi kepadanya, ialah
mengapungkan kabut kasih sayang, pijakanmu sebijak nafas denyutan aksara
kepada bintang di ruang waktu, menjadikan penentu gerimis rebah (X: XXI).
Terbangmu uap anggur mengendap dari persembunyian,
kemabukan itu membentangkan jalan tidak terkira menjaga lautan
serta ikan-ikanmu ialah kebaikan utuh di hadapan masa (X: XXII).
Ingatlah sayang, abad cantik menikam-nikam,
seumur hidup berkali-kali gugur itu kesegaran diri terpenjara (X: XXIII).
Racikan jamu bermomok rindu sejarah, sejauh tarian sampurmu
merangkul timur-barat menerbangkan uap bersayap wengi menyirap (X: XXIV)
; abu lelembaran kertas menggenang di lautan hitam, gugur bunga pasir
dan karang mengabadikan prahara, kau muntah lahar airmata di sana (X: XXV).
Tiada mengambil cintamu pada yang lain, ia mencipta jaring laba-laba,
yang disinggahi bayu mengantarkan diri terjerat bebenang jalannya (X: XXVI).
Sia-sia tersunggkur sebelum menyamai kata, adakah hamparan rumput
berkeindahan dipandang? Sebab cemburu, dilihatnya tak lagi nyata (X: XXVII).
Ia mengajak penjaga wengi mengumpulkan udara pagi, ketika nyawamu
tanpa bayang menyekutui badai, benci sebelum temukan terdalam (X: XXVIII).
Mengecup kembang legenda akan gelisah kasihmu, urailah gejolak ragu
lewat menempuh jalan kesadaran perang suci, demi kehadiran waktu (X: XXIX).
Mengunjungi sahabat kecil, belajar nilai-nilai kehidupan,
kegilaan berkarya, serta nasib dikejar-kejar tutup usia (X: XXX).
Ia berjanji demi ilmu mendukung harapanmu bertaruh,
seumpama ayam jantan di gelanggang itu takdirnya (X: XXXI).
Aliran darah kesatria membelai tidak segan membantu perjuangkan
keyakinanmu, bersamanya datang menghirup aroma kebebasan (X: XXXII).
Malam-malam tak lagi mendukung, rasa sakit tiada mencipta daya,
maka pahatlah bongkahan masa merenungkan telaga lama,
ia balik dari pusaran memandang kesungguhan (X: XXXIII).
Kau tak bisa tenang tanpa sangkar langitan, dirinya dekapan angin bersalju,
timur-barat miliki lentera, terkurung dalam pelita renungan kembara (X: XXXIV).
Carilah padanan cahaya, manakala tertelan kabut lembah,
memudar bersamamu masih lekat bayangannya (X: XXXV).
Hasrat terkumpul dalam relung jiwa memberi lekang kelegaan,
ia nyala api pembakaran dalam malam-malam pembaharuan (X: XXXVI).
Ia dahaga di setiap menyisakan pahit senja, duka nestapa dibawa lari,
segelas minuman dari perasan mawar dipetik pada jalan kembara (X: XXXVII).
Di sini bergolak birahi sejati, menenggelamkan jiwa di lumpur semesta,
karamnya kapal ditakdirkan, warisan pemberontak menantang (X: XXXVIII).
Melengking sedari jarak tidak terduga, asmara menciptakan bara,
berseru dunia pemuda menyulap kayu-kayu berarang kesatria (X: XXXIX).
Belum sempurna senyuman, sedang lainnya telah kenyang kelelahan,
tidak cukup terkadang baik pada kebijakanmu yang semu, jawabnya (X: XL).
Seyogyanya tidak dipersalahkan menuang anggur hitam kebebalan,
melukis dentingan gelas senyuman pada sudut-sudut pesta tengah malam
dan lenggokan bidadari menawan mata menggairahkan sukma (X: XLI).
Segera terkatakan, ia berteriak di kala bumi tidak lagi berhasrat
serupa ketegaran tugu menegak setia pada pergantian musim-musim
melepaskan ruh perbendaharaan kata-kata paling rahasia (X: XLII).
Sebagian berucap tumbal keegoan sakit,
sedang kekasihnya tidak menyalahkan (X: XLIII).
Gemuruh gelak ombak menggemuruh di bathin rindu bertalu,
tersisanya nyawa diserahkan kepada waktu kelanggengan (X: XLIV).
Dinding-dinding kamar beku gelap ditumbui jamur pengab,
tiada lintasan bayangan, semuanya menyatukan perasaan (X: XLV).
Ketika nafas tangis tersumbat sesenggukan, jantung berdegup
rahasia terawat nyala pekat, ini pengaduan dalam peraduan (X: XLVI).
Kabut keganjilan menyulami ketinggain memekatkan telinga
dan kepekaan buntu, oleh bebatuan waktu tidak menentu (X: XLVII).
Malaikat sekelebat pedang mendayu nyawa
seiring tubuh lunglai kehabisan rayuan (X: XLVIII).
Siapa berkunjung berbeban mendapati tubuh memberat
atas serpihan pekabutan terkumpul dalam pertemuan (X: XLIX).
Waktu tak berwaktu, gemuruh ombak menggedor tanjung pesisirmu,
tenggorokan parau, tiada cukup hidup sekadar memanjangkan hayalan (X: L).
Oleh kegembiraan, bahaya lupa melumpuhkan penunggu,
tanda-tanda terus dipertanyakan dalam kesendirian terpencil (X: LI).
Memaksa ingatan kepada bunga kekupu terbang disertai bayu
menghapus perasaan penat sedari ruang tanpa lobang (X: LII).
Mengambili kelopak-kelopak sunyi akar-akaran terdalam,
tiada kehidupan selain nafas dicukupkan baginya seorang (X: LIII).
Diri tiada haus-lapar, nging dalam telinga terbalut kulit (X: LIV).
Semakin kusut mata cekung, suara serak oleh kepakan (X: LV).
Usahakan gelap dapat terbaca, tapi apalah daya kau memuntah
saat alunan seruling khusyuk memperdengarkan gejolak jiwa (X: LVI)
; menilik kefahaman menerima kebijakan, dan
kelelawar menerobos lebih dari hitam malam (X: LVII).
Jangan telan sebelum semut keluar buah, ada perbedaan jelas dirinya;
dia tirakat demi persembahan, sedangkan kau tak nikmat mengenyam (X: LVIII).
Penolakan itu sembelit perasaan sakit, secangkir racun oleh sang putri
untuk kekasihnya, pembunuhan tersebut mengagungkan cinta abadi (X: LIX).
Para raja memburu drajad mulia, lelangkah menyusuri pandangan kaki,
di pundak lelah mata memberat, pada gilirannya menemukan hikmah (X: LX).
Beradu pukul terserak-mendetak, keringat mengucur lainnya menguap,
menyelesaikan sejarah tanpa nisan, berlalu sama berlakunya racunmu (X: LXI).
Batu-batuan krucuk pecah terlempar, bagi saksi siksa akhir kelegaan,
yang sadar bersabar, akan tahu melewati jalan batu menuju pulang (X: LXII).
Gerak lincah tinta hitam lembut menelusup ke urat syaraf nun jauh,
segera bertemu keremangan masa lalu yang dekat kepadamu (X: LXIII).
Sedenyut racun terminum sungguh, tubuh membujur di lingkar bertalu,
dibopongnya ke puncak halimun, di luarnya terdengar dentingan air tuwong,
bisik-bisik liar-meliar menggerayangi, mencari cela-cela keluar (X: LXIV).
Yang menetapkah keheningan ialah jiwa dalam pemukiman,
menggigit batang sekerat di dalam nada nadi syahadat (X: LXV).
Ditariknya irama gelisa ke goresan lama, saat berjumpa
mengenang catu pernah sakit terjatuh dahulu (X: LXVI).
Ke dasar kekosongan, sukma berputar membebas,
nafas-nafas merangsek menuju perburuan keras (X: LXVII).
Dalam setiap kelupaan ada kemarahan memuncak,
menggedor tembok meruntuhkan dinding langit (X: LXVIII).
Gemawan beterbangan menuju pusaran maksud sampai
derasnya ke titik kesadaran, sebagaimana suara nan abadi (X: LXIX).
Kematian meninggalkan luka, harum kembang menguntum mekar di udara,
tubuh satu ke tubuh lainnya, lintang-lintang berkerlipan menghiasi langit (X: LXX).
Kehidupan menerima umpat di tengah kedekatan, tangan kasih bayu pantai
mendatangi butiran pasir mengombak kepada karang memendam cerita (X: LXXI).
Datang waktunya menulis juwita, ia taruh kerinduan di ujung pena,
menyiratkan tinta hitam sedari keseluruhan kehendak dirasa (X: LXXII).
Kesaksian tubuh-tubuh kembang pada bebatuan dinding candi,
setia memberi salam merayu reinkarnasi pengabdian nilai (X: LXXIII).
Kalimah wangi sebarkan kata suci, atas gebalau jiwa memutih,
menggubah nafas langit menembangkan kemakmuran (X: LXXIV).
Sepadan direngkuh hangat pelukan legenda dikunjungi ruh,
tidakkah merasakan, bahwa inti degupannya mengisi piala ganjilmu,
mencurahkan angin kerinduan berluapan kabut seluruh (X: LXXV).
Sengaja lembaran beriktikat menyetiai meski meragu temukan ujung,
sedang yang sambillalu gelisah, atas gravitasi penciptaan waktu (X: LXXVI).
Ini halilintar hati menyambar naungan nurani, gelegak ombak samudra
menampar pepintu goa pada dinding-dinding angkasa jiwa mulia (X: LXXVII).
Renungkan gurau ricik kebersamaan wewaktu, duduklah di sampingnya
dan ayunkan kakimu biar lengan berselendang menjamah tubuh (X: LXXVIII).
Puja-puji berlangsung agung, berkahnya mengingat tujuan mulia,
selayaknya batu candi dihiasi relief, saling mengisi ruang-waktu (X: LXXIX).
Datang membawa rindu berabad kepada setiap masa berjumpa,
masikah kau terpenjara oleh irama kehidupan sekalipun? (X: LXXX).
Ingatlah masa silam berhujan jalan, debaran rintik gerimis
terdengar tangisan tumpah, dari sambaran petir hadirkan kisah (X: LXXXI).
Pemahat memenjara jiwa-jiwa, sekejap memang jeruji serasa nikmat,
penghuninya tiada sia-sia, kau menanti tubuh cairnya
saat mentari malu-malu mengintip dunia (X: LXXXII).
Fahamilah bebatuan hidup, gunung-gemunung kangen bertemu kabut,
manakala rumput ilalang diguyur senandung kebersaaan hujan (X: LXXXIII).
Kesempatan kembara menghampiri basah mengurai tetesan sahaja,
penantian mengunjungi setiap ruangan menciptakan sunyi (X: LXXXIV).
Jika mengalir deras melayang ringan, gerimis tersedu lewat pucuk
rambut cemaramu, sedang rumput terawat embun pagimu (X: LXXXV).
Yang patah sebab hembusan bayu kering menghampar payah,
melangkah menghirup bau padi mematangkan gairah (X: LXXXVI).
Elusan gerimis memukau senyum jantungmu dipersiapkan,
menyemai bentuk warna menyetiai alam perubahan (X: LXXXVII).
Ia cukupkan ini dan esok bakal tersambung oleh tidak selalu
keindahan terpaparkan serta ingin kau ketahui semua (X: LXXXVIII).
Menjadikan nyala kasih sayang,
menjilat di bokor kelanggengan dalam kerajaan keabadian (X: LXXXIX).
Manakala awan berkehendak meneguhkan pertemuan, ruang waktu
jadi kenyataan, sedang hasrat berselimut segera terketahui kesadaran (X: XC).
Jiwa-jiwa merdeka bertarian dalam selubung ketinggian birunya cahaya
sematang malam dipanjatkan asap kemenyan mewangikan doa-doa beterbangan,
kelepak sayap lembutnya menarik maksud perjuangkan kedamaian abadi (X: XCI).
—-
*) Pengelana dari Lamongan, JaTim
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar