Senin, 20 Oktober 2008

SEKUNTUM BUNGA REVOLUSI, X: I- XCI

Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=215


Sebelum jauh tulisan ini melangkah, ingin menyapamu terlebih dulu;
apakah mimpi perlahan mulai sirna, oleh sorot matahari menempa jiwa,
entah masih ada, malam-malam lembut terjaga alunan sejati rasa (X: I).

Yang datang terlambat tak seharusnya menghakimi sebelumnya
dengan ketentuan membuta, ingatlah bunga-bunga rontok sebelum mekar,
nalar mentah keluar terlalu dini, reranting menunggu lebat sayapnya (X: II).

Angin tanggung mempermainkan awan mengusir kabut pegunungan
sebinar fajar meremukkan tembang dangkal, terkumpulnya ragu segenggaman
melebihi lebatnya pepohonan di bukit barisan, kala hujan menderas
membasuh buah asam Jawa, rontok terhempas ke sebrang (X: III).

Bagaimana bimbang di belantara, sedang ia menerobos ilalang?
Dahan keras kan patah, yang terus melaju temukan makna tiada terkira
bagi penyetia takkan kecewa, dipenuhi kebutuhannya (X: IV).

Terpontang-panting diayun bayu membelah laut tenggelamkan gelisah,
perahu keyakinan ia tumpangi ringan melaju, menuju ujung-ujung waktu (X: V).

Jika sayap-sayap bertumpuk memberatkan kepakan, cabuti bulu-bulunya,
barangkali kecompang-campinganmu, sanggup menggedor kemampuan semu (X: VI).

Sudahkah diawali pergesekan ini, serasa salju tambah memikat panasnya
saat daging jari-jemari mengepal sekali dalam genggaman keyakinan (X: VII).

Kenanglah ikan-ikan Bethik bertubuh daging gurih
tersebab hidupnya melawan arus terus menerus (X: VIII).

Begitulah menyukai anak-anak memberontak,
hukum tidaklah sama untuk para pengelana (X: IX).

Ia berkata; wujud tintaku darah kematian, dan setiap torehan kata
usiaku dikurangi, serupa tercerabutnya nyawa di medan perang suci (X: X).

Adakah kesia-siaan pada ruang belum terisi sekalipun?
Ia berucap; inilah keindahan, ketinggian seni bagimu (X: XI).

Kesadaran pejuang mengikuti awan-gemawan gerilya,
aliran sungai menyusuri lekuk seluruh tubuhnya mencari makna,
menggelinjak bertemu akar pohon dari batin kutub kekuatan (X: XII).

Yang dijalankan berbeda, berjumpa hikmah dari kekenesan kerja
bertatap mata menyenangkan prasangka, akan duga ilmu abadi (X: XIII).

Maha karya syair takkan selesai di segaris-garis keningnya
oleh muda usianya, ketika mengenakan ikat kepala pujangga (X: XIV).

Ruh serupa bayangan melayang-layang membebani kesadaran,
meski menjauh takkan sanggup melupakan seluruh,
seumpama isyarat bertemu dilaksanakan titahnya (X: XV).

Inilah nyanyian kalbu mendaki ke pebukitan seribu
takkan habis walau jutaan kaki merayap di punggung malam (X: XVI).

Saat berkaca di telaga, rautnya secantik bidadari bersayap bangau,
kepakannya membelai pagi, polesan biru di leher awan jenjang (X: XVII).

Kau mengusik kediriannya lewat menjatuhkan pilihan bergetar
pada cermin cerlang memantulkan cahaya kalbu berdegupan (X: XVIII).

Tidak lagi awan teman kembara ketika menapaki tangga langitan
menuju batas daya demi kehadiranmu di panggung penciptaan (X: XIX).

Ia mainkan melodi hening, harpa menggema ke dasar biru lautan,
menggempur karang bolong, ingin menguasai kesunyian malam (X: XX).

Yang duduk dalam permenungan wengi-wengi kepadanya, ialah
mengapungkan kabut kasih sayang, pijakanmu sebijak nafas denyutan aksara
kepada bintang di ruang waktu, menjadikan penentu gerimis rebah (X: XXI).

Terbangmu uap anggur mengendap dari persembunyian,
kemabukan itu membentangkan jalan tidak terkira menjaga lautan
serta ikan-ikanmu ialah kebaikan utuh di hadapan masa (X: XXII).

Ingatlah sayang, abad cantik menikam-nikam,
seumur hidup berkali-kali gugur itu kesegaran diri terpenjara (X: XXIII).

Racikan jamu bermomok rindu sejarah, sejauh tarian sampurmu
merangkul timur-barat menerbangkan uap bersayap wengi menyirap (X: XXIV)

; abu lelembaran kertas menggenang di lautan hitam, gugur bunga pasir
dan karang mengabadikan prahara, kau muntah lahar airmata di sana (X: XXV).

Tiada mengambil cintamu pada yang lain, ia mencipta jaring laba-laba,
yang disinggahi bayu mengantarkan diri terjerat bebenang jalannya (X: XXVI).

Sia-sia tersunggkur sebelum menyamai kata, adakah hamparan rumput
berkeindahan dipandang? Sebab cemburu, dilihatnya tak lagi nyata (X: XXVII).

Ia mengajak penjaga wengi mengumpulkan udara pagi, ketika nyawamu
tanpa bayang menyekutui badai, benci sebelum temukan terdalam (X: XXVIII).

Mengecup kembang legenda akan gelisah kasihmu, urailah gejolak ragu
lewat menempuh jalan kesadaran perang suci, demi kehadiran waktu (X: XXIX).

Mengunjungi sahabat kecil, belajar nilai-nilai kehidupan,
kegilaan berkarya, serta nasib dikejar-kejar tutup usia (X: XXX).

Ia berjanji demi ilmu mendukung harapanmu bertaruh,
seumpama ayam jantan di gelanggang itu takdirnya (X: XXXI).

Aliran darah kesatria membelai tidak segan membantu perjuangkan
keyakinanmu, bersamanya datang menghirup aroma kebebasan (X: XXXII).

Malam-malam tak lagi mendukung, rasa sakit tiada mencipta daya,
maka pahatlah bongkahan masa merenungkan telaga lama,
ia balik dari pusaran memandang kesungguhan (X: XXXIII).

Kau tak bisa tenang tanpa sangkar langitan, dirinya dekapan angin bersalju,
timur-barat miliki lentera, terkurung dalam pelita renungan kembara (X: XXXIV).

Carilah padanan cahaya, manakala tertelan kabut lembah,
memudar bersamamu masih lekat bayangannya (X: XXXV).

Hasrat terkumpul dalam relung jiwa memberi lekang kelegaan,
ia nyala api pembakaran dalam malam-malam pembaharuan (X: XXXVI).

Ia dahaga di setiap menyisakan pahit senja, duka nestapa dibawa lari,
segelas minuman dari perasan mawar dipetik pada jalan kembara (X: XXXVII).

Di sini bergolak birahi sejati, menenggelamkan jiwa di lumpur semesta,
karamnya kapal ditakdirkan, warisan pemberontak menantang (X: XXXVIII).

Melengking sedari jarak tidak terduga, asmara menciptakan bara,
berseru dunia pemuda menyulap kayu-kayu berarang kesatria (X: XXXIX).

Belum sempurna senyuman, sedang lainnya telah kenyang kelelahan,
tidak cukup terkadang baik pada kebijakanmu yang semu, jawabnya (X: XL).

Seyogyanya tidak dipersalahkan menuang anggur hitam kebebalan,
melukis dentingan gelas senyuman pada sudut-sudut pesta tengah malam
dan lenggokan bidadari menawan mata menggairahkan sukma (X: XLI).

Segera terkatakan, ia berteriak di kala bumi tidak lagi berhasrat
serupa ketegaran tugu menegak setia pada pergantian musim-musim
melepaskan ruh perbendaharaan kata-kata paling rahasia (X: XLII).

Sebagian berucap tumbal keegoan sakit,
sedang kekasihnya tidak menyalahkan (X: XLIII).

Gemuruh gelak ombak menggemuruh di bathin rindu bertalu,
tersisanya nyawa diserahkan kepada waktu kelanggengan (X: XLIV).

Dinding-dinding kamar beku gelap ditumbui jamur pengab,
tiada lintasan bayangan, semuanya menyatukan perasaan (X: XLV).

Ketika nafas tangis tersumbat sesenggukan, jantung berdegup
rahasia terawat nyala pekat, ini pengaduan dalam peraduan (X: XLVI).

Kabut keganjilan menyulami ketinggain memekatkan telinga
dan kepekaan buntu, oleh bebatuan waktu tidak menentu (X: XLVII).

Malaikat sekelebat pedang mendayu nyawa
seiring tubuh lunglai kehabisan rayuan (X: XLVIII).

Siapa berkunjung berbeban mendapati tubuh memberat
atas serpihan pekabutan terkumpul dalam pertemuan (X: XLIX).

Waktu tak berwaktu, gemuruh ombak menggedor tanjung pesisirmu,
tenggorokan parau, tiada cukup hidup sekadar memanjangkan hayalan (X: L).

Oleh kegembiraan, bahaya lupa melumpuhkan penunggu,
tanda-tanda terus dipertanyakan dalam kesendirian terpencil (X: LI).

Memaksa ingatan kepada bunga kekupu terbang disertai bayu
menghapus perasaan penat sedari ruang tanpa lobang (X: LII).

Mengambili kelopak-kelopak sunyi akar-akaran terdalam,
tiada kehidupan selain nafas dicukupkan baginya seorang (X: LIII).

Diri tiada haus-lapar, nging dalam telinga terbalut kulit (X: LIV).

Semakin kusut mata cekung, suara serak oleh kepakan (X: LV).

Usahakan gelap dapat terbaca, tapi apalah daya kau memuntah
saat alunan seruling khusyuk memperdengarkan gejolak jiwa (X: LVI)

; menilik kefahaman menerima kebijakan, dan
kelelawar menerobos lebih dari hitam malam (X: LVII).

Jangan telan sebelum semut keluar buah, ada perbedaan jelas dirinya;
dia tirakat demi persembahan, sedangkan kau tak nikmat mengenyam (X: LVIII).

Penolakan itu sembelit perasaan sakit, secangkir racun oleh sang putri
untuk kekasihnya, pembunuhan tersebut mengagungkan cinta abadi (X: LIX).

Para raja memburu drajad mulia, lelangkah menyusuri pandangan kaki,
di pundak lelah mata memberat, pada gilirannya menemukan hikmah (X: LX).

Beradu pukul terserak-mendetak, keringat mengucur lainnya menguap,
menyelesaikan sejarah tanpa nisan, berlalu sama berlakunya racunmu (X: LXI).

Batu-batuan krucuk pecah terlempar, bagi saksi siksa akhir kelegaan,
yang sadar bersabar, akan tahu melewati jalan batu menuju pulang (X: LXII).

Gerak lincah tinta hitam lembut menelusup ke urat syaraf nun jauh,
segera bertemu keremangan masa lalu yang dekat kepadamu (X: LXIII).

Sedenyut racun terminum sungguh, tubuh membujur di lingkar bertalu,
dibopongnya ke puncak halimun, di luarnya terdengar dentingan air tuwong,
bisik-bisik liar-meliar menggerayangi, mencari cela-cela keluar (X: LXIV).

Yang menetapkah keheningan ialah jiwa dalam pemukiman,
menggigit batang sekerat di dalam nada nadi syahadat (X: LXV).

Ditariknya irama gelisa ke goresan lama, saat berjumpa
mengenang catu pernah sakit terjatuh dahulu (X: LXVI).

Ke dasar kekosongan, sukma berputar membebas,
nafas-nafas merangsek menuju perburuan keras (X: LXVII).

Dalam setiap kelupaan ada kemarahan memuncak,
menggedor tembok meruntuhkan dinding langit (X: LXVIII).
Gemawan beterbangan menuju pusaran maksud sampai
derasnya ke titik kesadaran, sebagaimana suara nan abadi (X: LXIX).

Kematian meninggalkan luka, harum kembang menguntum mekar di udara,
tubuh satu ke tubuh lainnya, lintang-lintang berkerlipan menghiasi langit (X: LXX).

Kehidupan menerima umpat di tengah kedekatan, tangan kasih bayu pantai
mendatangi butiran pasir mengombak kepada karang memendam cerita (X: LXXI).

Datang waktunya menulis juwita, ia taruh kerinduan di ujung pena,
menyiratkan tinta hitam sedari keseluruhan kehendak dirasa (X: LXXII).

Kesaksian tubuh-tubuh kembang pada bebatuan dinding candi,
setia memberi salam merayu reinkarnasi pengabdian nilai (X: LXXIII).

Kalimah wangi sebarkan kata suci, atas gebalau jiwa memutih,
menggubah nafas langit menembangkan kemakmuran (X: LXXIV).

Sepadan direngkuh hangat pelukan legenda dikunjungi ruh,
tidakkah merasakan, bahwa inti degupannya mengisi piala ganjilmu,
mencurahkan angin kerinduan berluapan kabut seluruh (X: LXXV).

Sengaja lembaran beriktikat menyetiai meski meragu temukan ujung,
sedang yang sambillalu gelisah, atas gravitasi penciptaan waktu (X: LXXVI).

Ini halilintar hati menyambar naungan nurani, gelegak ombak samudra
menampar pepintu goa pada dinding-dinding angkasa jiwa mulia (X: LXXVII).

Renungkan gurau ricik kebersamaan wewaktu, duduklah di sampingnya
dan ayunkan kakimu biar lengan berselendang menjamah tubuh (X: LXXVIII).

Puja-puji berlangsung agung, berkahnya mengingat tujuan mulia,
selayaknya batu candi dihiasi relief, saling mengisi ruang-waktu (X: LXXIX).

Datang membawa rindu berabad kepada setiap masa berjumpa,
masikah kau terpenjara oleh irama kehidupan sekalipun? (X: LXXX).

Ingatlah masa silam berhujan jalan, debaran rintik gerimis
terdengar tangisan tumpah, dari sambaran petir hadirkan kisah (X: LXXXI).

Pemahat memenjara jiwa-jiwa, sekejap memang jeruji serasa nikmat,
penghuninya tiada sia-sia, kau menanti tubuh cairnya
saat mentari malu-malu mengintip dunia (X: LXXXII).

Fahamilah bebatuan hidup, gunung-gemunung kangen bertemu kabut,
manakala rumput ilalang diguyur senandung kebersaaan hujan (X: LXXXIII).

Kesempatan kembara menghampiri basah mengurai tetesan sahaja,
penantian mengunjungi setiap ruangan menciptakan sunyi (X: LXXXIV).

Jika mengalir deras melayang ringan, gerimis tersedu lewat pucuk
rambut cemaramu, sedang rumput terawat embun pagimu (X: LXXXV).

Yang patah sebab hembusan bayu kering menghampar payah,
melangkah menghirup bau padi mematangkan gairah (X: LXXXVI).

Elusan gerimis memukau senyum jantungmu dipersiapkan,
menyemai bentuk warna menyetiai alam perubahan (X: LXXXVII).

Ia cukupkan ini dan esok bakal tersambung oleh tidak selalu
keindahan terpaparkan serta ingin kau ketahui semua (X: LXXXVIII).

Menjadikan nyala kasih sayang,
menjilat di bokor kelanggengan dalam kerajaan keabadian (X: LXXXIX).

Manakala awan berkehendak meneguhkan pertemuan, ruang waktu
jadi kenyataan, sedang hasrat berselimut segera terketahui kesadaran (X: XC).

Jiwa-jiwa merdeka bertarian dalam selubung ketinggian birunya cahaya
sematang malam dipanjatkan asap kemenyan mewangikan doa-doa beterbangan,
kelepak sayap lembutnya menarik maksud perjuangkan kedamaian abadi (X: XCI).
—-

*) Pengelana dari Lamongan, JaTim

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae