Senin, 20 Oktober 2008

Emansipatori Humanis Sastra

Ahmad Muchlish Amrin

Secara umum, humanitas sastra berangkat dari spiritualisme kontemplatif sastrawan; mereka mengadakan pemberontakan terhadap nilai kemanusiaan yang dikebiri, kemudian muncul “sastra marxis” yakni karya sastra membela kaum proletar dan menolak kaum borjuis. Perbincangan semacam ini banyak dianalisis oleh Terry Eglation, Anton Lukacs.

Kita dapat melihat karya-karya para peraih Nobel mulai dari 1909 hingga tahun 2004 kemaren, misalnya karya-karya Gabriel Marcia Marquez, Frans Kafka, Luigi Pirandello, Brodsky, Rabindranath Tagore, Octavio Pazz, atau karya sastra Rusia yang terkumpul dalam antologi the Rusian Short Stories, disana terdapat Nicolai Gogol, Leo N Tolstoy, Maxim Gorky, Anton Cekov.

Semuanya punya paradigma kemanusiaan yang vulgar-demokratis. Bagaimana seorang Brodsky mempertahankan nilai religiositas Kristen di Rusia yang berkait kemanusian sehingga dia harus angkat kaki dari negerinya menuju Jerman. Atau pemberontakan Tagore terhadap pemerintah India, menyebabkan dirinya bertempat tinggal di penjara. Realitas pahit ini, terasa “manis” bagi sastra, sebab visi misi humanis sastra telah melampaui materialisme-hedonistik dan imprealisme-birokratik. Sastra dalam sejarahnya selalu melakukan emansipatori “spiritualisme humanis” yang kemudian diaksentuasikan dalam bentuk praksis.

Kenyataan semacam itu penting dilirik oleh khazanah kesusastraan Indonesia, sebab paradigma kesusastraan kita masih semu. Artinya totalitas berkesusastraan kita perlu dipertanyakan. Meminjam bahasanya Zainal Arifin Thaha (2003), berkesusastraan tanpa kepujanggaan. Di negeri kita ini, karya sastra yang pro-humanis masih dapat dihitung dengan jari.

Misalnya tetralogi Pramoedya Ananta Toer, calon peraih Nobel tahun kemaren; satu-satunya menjadi kebanggaan Indonesia masa kini, (mengapa saya menulis masa kini?) Sebab sejak Lekra dilibas oleh Manikebu tahun 1960-an, oleh Undang-undang penghapusan Komunis di Indonesia, Pram sebagai tokoh Lekra juga ikut ke-bridel aturan “otoritarianisme” sehingga mulai tahun itu karya Pram dilarang beredar di Indonesia. Bahkan distributor karya-karya Pram, jika ketahuan aparatur negara, bisa diseret ke penjara; dianggap menyalahi aturan negara. Namun walaupun itu terjadi, dia masih eksis berkarya; mengkritik birokrasi secara vulgar, mengkritik nilai-nilai dehumanitas dengan keras dan tajam. Sehingga Pram sendiri masuk dalam tahanan. Begitukah wajah Indonesia merespon sastra?

Sejak Gusdur (KH. Abdurrahman Wahid, red) membuka kran demokrasi di Indonesia; ia mempersilahkan sosialis-komunis hidup di Indonesia. Sejak itu, Pramoedya Ananta Toer menjadi seorang sastrawan agung, karena kegigihannya mengibarkan emansipatori humanis serta mengaksentuasi nilainilai tertutup (closed) yang berkembang di Indonesia. Bahkan kenyataan paling menggetarkan perasaan saya, ketika Agam Wispi, seorang pejuang Lekra meninggal di panti jompo Belanda tahun 2003 kemaren. Sejak tahun 1960-an, dia bertugas sebagai wartawan di China, mendengar dalam negeri terjadi keributan (tentang pembredelan Lekra dan penumpasan komunis), dia tidak pulang ke Indonesia, hanya menyelamatkan nyawanya dari otoritarianisme pemerintah.

Dia keliling ke berbagai negara, pada akhirnya terkapar di panti jompo Belanda. Pada tahun 1999 dia masih sempat diundang ke Indonesia untuk membacakan karya-karyanya di Jakarta, namun setelah itu, dia kembali lagi ke Belanda. Betapa pahit rasanya, ketika hanya menjadi tamu di tanah kelahirannya sendiri, ketika harus kembali lagi ke negeri orang yang jelas-jelas negeri pernah menjajah negerinya berabad-abad, memeras keringat nenek moyangnya, ambil hasil buminya, mengambil kekayaan rakyat secara paksa. Pedih!

Kedua tokoh saya sebutkan tadi merupakan pejuang kemanusiaan yang tangguh melalui mediasi sastra. Mediasi “tekstual” kemanusiaan menjadi bukti sejarah bahwa pada bangsa majemuk ini masih ada orang mampu memperhati kan nasib kemanusiaan secara bebas berdasarkan hak-haknya. Sehingga karya-karya agungnya memang betul-betul lahir dari rahimnya yang suci. Kita memahaminya, Sastra lahir dari kesunyian jiwa, rasa, hati dan setumpuk kegelisahan memotivasi sastrawan melakukan asketisme-esoteris dan religiusitas empiris melalui karya sastra.

Imajinasi mempunyai kedaulatan penuh dalam mengaksentuasikan nilai (value) dengan memanfaatkan kekuatan rasa dan rasionalitas untuk mengejawantahkan dirinya sebagai eksotisme-esoterik “Tuhan” dan semesta (cosmic). Sebab dunia imaginer sastrawan mampu menembus ruang-ruang tak terjangkau akal-material kecuali mereka menggunakan “indra batin” dalam bahasanya Dr. Naquib al-Atas, yang kemudian dirasionalisasikan akal menjadi bentuk pemikiran atau idealitas. Al-hasil–dituangkan dalam bentuk karya sastra.

Filsafat sebagai saudara kandung sastra memposisikan diri sebagai pembantu mengolah, menggali simbolisme alam sebagai makro kosmos; mengkaji “diri” secara subtantifnya sebagai mikro kosmos. Dari kajian-kajian itulah lahirlah karya sastra mengeksplorasi diri dan alam semesta serta relasional magnetiknya secara terus menerus mengadakan interaksi tak terbatas, baik bersifat irasional, rasional atau supra rasional.

Misalnya dalam buku Asrar-i Khudi dan Javid Nama karya Muhammad Iqbal, Aku (lirik) dalam puisi-puisi itu mengapresiasi bintang, planet, venus, saturnus, merkurius sebagai bentuk dari permenungan untuk menemukan sinyal-sinyal kuat yang menghubungkan antara eksistensi pribadi, ditemukan melalui refleksi dari diksi-diksi mikro kosmos yang kemudian diyakini dapat melahirkan makro-kosmos secara analitik.

Strukturalisme Sastra
Setiap struktur sastra, tentunya punya spirit, orientasi, paradigma spiritualitas-humanistik. Berhubung gencarnya arus globalisme modernitas, sastra Indonesia melahirkan tiga gerbong berpengaruh. Pertama, sastra mengandung superficial structure (struktur luar). Ideologi-ideologi luar dengan bebas menggerogoti khazanah sastra kita, mulai dari materialisme industrial dipengaruhi revolusi Prancis; dengan sebuah kejadian sosialisme Nazi sampai abad ini yang disebut “abad kebangkitan” sebagai spiritualisme barat.

Mereka telah bosan bersandingan dengan hal-hal bersifat mekanik dan akrobatik. Dari superficial structure ini, sastrawan melakukan internalisasi nilai (value internalization); mengeksplorasi seksualitas secara bebas dalam karya sastra yang kemudian melupakan nilai-nilai dasar kebudayaan kita. Tercermin dalam karya-karya Ayu Utami berjudul Saman, Garis Tepi Seorang Lesbian, karya Herlinatiens, Tuhan, Ijinkan Aku Jadi Pelacur, Adam Hawa karya Muhyiddin M Dahlan, Kuda Ranjang, karya Binhad Nurrohmad. Dlsbg.

Munculnya karya-karya itu merupakan mediasi untuk menguakkan rasa terkungkungnya dengan cara “vulgar” dan “bebas”. Sehingga publik menilai karya yang demikian sebagai “sastra lendir” (Jawa Pos, 2004). Sayangnya, karya begitu-begitu dianggap sebagai suatu lompatan ideologis dan kekuatan yang mampu menggugat zamannya. Padahal pengambilan diksi, metafora, penggambarannya sangat jorok dan glamour, sesuai dengan karakter modernitas yang hanya diukur rasionalitas, libidonomics, dan pemuasan birahi; apabila diberi peluang untuk maju ke depan, mereka (sastrawan lendir) tampil sofistik (genit). Kita lihat karya Dorothea Rosa Herliany yang juga dikutip Afrizal Malna dalam bukunya Sesuatu Indonesia, berjudul Nikah Pisau
Tapi inilah daratan dengan keasingan paling sempurna:
Tubuhmu yang bertaburan bulan-bulan kuabaikan
Sampai kurampungkan kenikmatan senggama
Sebelum merampungkanmu juga:Menikam jantung
Dan merobek dzakarmu dalam segala ngilu.

Realitas modernisme bukanlah sebuah kesempatan mengejakulasi dini dalam karya sastra, sebab karya sastra bukanlah idealisme situasional yang memancang ekspresi-ekspresi glamour. Bagi saya, modernisme ialah persaingan intelektual dengan segala aspek mediasi yang digunakannya mampu lebih bagus dan lebih baik dari era-era sebelumnya misalnya tentang hak-hak perempuan diperjuangkan Ibu Kartini, cenderung pada upaya penggalian intelektualisme dan pendidikan perempuan serta untuk menghilangkan image bahwa perempuan hanya bertugas di kasur, sumur dan dapur.

Modernisme dalam sastra diharap mampu memberikan mediasi lebih kontruktif terhadap pembacanya, bukan malah pembaca disuguhi dzakar dalam segala ngilu oleh Helvy, dengan puisinya tidak mencerdaskan itu. Dan memang sangat berbeda dengan karya Joko Pinurbo yang cerdas walaupun keliarannya nyaris sama dengan Helvy, bisa kita lihat dalam antologi Celana pada penggalan puisi yang berbunyi :
Konon, setelah berlayar mengelilingi bumi, Columbus pun
Akhirnya menemukan sebuah benua baru dalam celana
Dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.

Penggalan puisi jenaka dan falsafi di atas bukan semata-mata kekosongan dan ke-iseng-an dalam menulis sajak. Akan tetapi dia telah memeras kreatifitasnya secara mendalam melalui kontemplasi total, Joko Pinurbo telah menemukan dirinya dalam Celana sehingga burung-burung pertapa layaknya Stephen Hawking pun mampu khusyuk mencari identitasnya sebagai seorang tokoh postmodern yang canggih.

Kedalaman idealitas Joko Pinurbo dalam puisi itu sebab dikemas dalam bahasa jenaka dan mengeksplorasinya dengan diksi ‘celana’ beserta isinya. Dan pembaca telah mengenal Stephen Hawking akan tiba-tiba diingatkan puisi “pornoistik” Jokpin ini, dan jika pembaca masih belum kenal, ia pasti akan mencari dan bertanya-tanya “siapa Stephen Hawking” sebenarnya? disitulah letak kecerdasan dalam puisi konyol-cerdas Joko Pinurbo yang jauh berbeda dengan ke-konyol-an puisi Helvy Tiana Rosa

Kedua, Profound structure (strukrtur dalam). Dalam konteks ini, Sastrawan hanya memanfaatkan khazanah yang berkembang di Indonesia yakni mewarisi khazanah Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri, dengan memilih bersikap dingin & religiusitas-imajined. Mereka kebanyakan berangkat dari khazanah sastra Islam sufistik, dalam bahasanya Abdul Hadi WM dan Kuntowijoyo disebut “sastra profetik” walaupun sedikit demi sedikit mereka mendasarkan pada beberapa tokoh di timur tengah, misalnya Jalaluddin Rumi, al-Hallaj, Rabi’ah al-Adawiyah dan Fariduddin Attar.

Potret sosial-spiritual dalam penciptaan karya sastra tentu menggelantung dalam imajinasi penulisnya ditinjau dari vita, visum at mores-nya sehingga karya sastra dirasakan sangat indah dan sejuk serta memberikan kesempatan pada apresiator atau pembaca sebagai rider merasionalisasikan, merenungi, berkontemplasi serta masuk dunia pengarang; berarti cita-cita provokasi atau harapan dicipta penulis pada pembaca melalui teks telah sampai ke relung hati paling dalam. Di sanalah sebenarnya letak kedalaman sebuah sastra sufistik-profetik sehingga dapat dikatakan “kunci” pencerahan.

Ada beberapa model sastra profetik yang fungsinya memberikan pencerahan dan menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk theomorfis, dan tujuannya merealisasikan sifat-sifat ketuhanan dalam diri insan, serta mengingatkan bahwa perjalanan hidup ini juga merupakan perjalanan kerohanian. Ali Ahmad Said seorang penyair Palestina terkemuka menulis bahwa betapapun beban bangsa Pelestina sangat berat perjuangannya merebut kembali tanah airnya, namun tetap perjuangan itu mulia dan dalam perjuanganlah kita menemukan harapan.

Dengan semangat apokaliptik dia menandai zaman kita hidup ini, yaitu zaman otak dan benda-benda mengerikan, namun manusia masih tetap menyadari dirinya sebagai makhluk theomorfis atau kerohanian sehingga memiliki kemampuan berontak. Sebagaimana dalam sebuah puisi Hallaj :
Neraka kubawa dalam diriku dan aku berjalan
Kuhapus jalan-jalan dingin tak terbakar oleh api
Dan kubuka jalan-jalan baru tak berufuk
bagai udara dan debu
Langkahku membuat musuh-musuh dalam diriku terbangun
Namun neraka adalah bantalku tidur.

Sebuah potret sosial-transenden dalam puisi di atas cukup jelas sekali bagi manusia telah masuk di halaman religiusitas-theomorfis, dia pasti telah menghilangkan panasnya api, dinginnya angin, sentuhan ruang dan waktu. Seakan-akan kaki telah tak menginjak bumi, tidak tahu entah berada dimana? jalan-jalan semakin terang dan membentang, petunjuk semakin jelas, hanya kita sendiri terkadang enggan berusaha karena sifat malas melingkupi seluruh tubuh.

Sastra sufistik setidaknya diberikan tempat menari di tengah gelanggang kehidupan dengan harapan tanpa meninggalkan kepentingan-kepentingan sosial, berkenaan dengan kesejahteraan sosial. Betapa tidak senang dan tidak bertanggung jawab individu sastrawan ketika hanya menikmati romantisisme religiusitas dengan-Nya, namun membiarkan khalayak terkapar di bingkai-bingkai glamouritas kehidupan (egois).

Ketiga, Syntesis Meeting (pertemuan gabungan). Dari varian ini, sastrawan melakukan penggabungan antara internalisasi superficial structure dan eksternalisasi profound structure yang kemudian lahirkan aliran baru; merealisasikan struktur lama yang baik dan mengadopsi struktur baru yang lebih baik. Tercermin dalam karya-karya Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, taufik Ismail, Acep Zamzam Noor.

Dengan itu dapat dibaca bahwa khazanah sastra kita termasuk khazanah sastra yang kaya dan dapat bergerak secara fleksibel, baik dalam aspek spiritualisme religius (religious of spiritualism) atau sosialisme humanis (sosialism humanist) atau bahkan menggabungkan diantara kedua disiplin itu menjadi sebuah aliran sastra lain dari yang lain. Tergantung pada kita, sampai dimana kecerdasan dan kecerdikan memberangkatkan imajinasi ke ruang-ruang yang lebih dahsyat dan tak terhingga. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae