Ahmad Muchlish Amrin
Secara umum, humanitas sastra berangkat dari spiritualisme kontemplatif sastrawan; mereka mengadakan pemberontakan terhadap nilai kemanusiaan yang dikebiri, kemudian muncul “sastra marxis” yakni karya sastra membela kaum proletar dan menolak kaum borjuis. Perbincangan semacam ini banyak dianalisis oleh Terry Eglation, Anton Lukacs.
Kita dapat melihat karya-karya para peraih Nobel mulai dari 1909 hingga tahun 2004 kemaren, misalnya karya-karya Gabriel Marcia Marquez, Frans Kafka, Luigi Pirandello, Brodsky, Rabindranath Tagore, Octavio Pazz, atau karya sastra Rusia yang terkumpul dalam antologi the Rusian Short Stories, disana terdapat Nicolai Gogol, Leo N Tolstoy, Maxim Gorky, Anton Cekov.
Semuanya punya paradigma kemanusiaan yang vulgar-demokratis. Bagaimana seorang Brodsky mempertahankan nilai religiositas Kristen di Rusia yang berkait kemanusian sehingga dia harus angkat kaki dari negerinya menuju Jerman. Atau pemberontakan Tagore terhadap pemerintah India, menyebabkan dirinya bertempat tinggal di penjara. Realitas pahit ini, terasa “manis” bagi sastra, sebab visi misi humanis sastra telah melampaui materialisme-hedonistik dan imprealisme-birokratik. Sastra dalam sejarahnya selalu melakukan emansipatori “spiritualisme humanis” yang kemudian diaksentuasikan dalam bentuk praksis.
Kenyataan semacam itu penting dilirik oleh khazanah kesusastraan Indonesia, sebab paradigma kesusastraan kita masih semu. Artinya totalitas berkesusastraan kita perlu dipertanyakan. Meminjam bahasanya Zainal Arifin Thaha (2003), berkesusastraan tanpa kepujanggaan. Di negeri kita ini, karya sastra yang pro-humanis masih dapat dihitung dengan jari.
Misalnya tetralogi Pramoedya Ananta Toer, calon peraih Nobel tahun kemaren; satu-satunya menjadi kebanggaan Indonesia masa kini, (mengapa saya menulis masa kini?) Sebab sejak Lekra dilibas oleh Manikebu tahun 1960-an, oleh Undang-undang penghapusan Komunis di Indonesia, Pram sebagai tokoh Lekra juga ikut ke-bridel aturan “otoritarianisme” sehingga mulai tahun itu karya Pram dilarang beredar di Indonesia. Bahkan distributor karya-karya Pram, jika ketahuan aparatur negara, bisa diseret ke penjara; dianggap menyalahi aturan negara. Namun walaupun itu terjadi, dia masih eksis berkarya; mengkritik birokrasi secara vulgar, mengkritik nilai-nilai dehumanitas dengan keras dan tajam. Sehingga Pram sendiri masuk dalam tahanan. Begitukah wajah Indonesia merespon sastra?
Sejak Gusdur (KH. Abdurrahman Wahid, red) membuka kran demokrasi di Indonesia; ia mempersilahkan sosialis-komunis hidup di Indonesia. Sejak itu, Pramoedya Ananta Toer menjadi seorang sastrawan agung, karena kegigihannya mengibarkan emansipatori humanis serta mengaksentuasi nilainilai tertutup (closed) yang berkembang di Indonesia. Bahkan kenyataan paling menggetarkan perasaan saya, ketika Agam Wispi, seorang pejuang Lekra meninggal di panti jompo Belanda tahun 2003 kemaren. Sejak tahun 1960-an, dia bertugas sebagai wartawan di China, mendengar dalam negeri terjadi keributan (tentang pembredelan Lekra dan penumpasan komunis), dia tidak pulang ke Indonesia, hanya menyelamatkan nyawanya dari otoritarianisme pemerintah.
Dia keliling ke berbagai negara, pada akhirnya terkapar di panti jompo Belanda. Pada tahun 1999 dia masih sempat diundang ke Indonesia untuk membacakan karya-karyanya di Jakarta, namun setelah itu, dia kembali lagi ke Belanda. Betapa pahit rasanya, ketika hanya menjadi tamu di tanah kelahirannya sendiri, ketika harus kembali lagi ke negeri orang yang jelas-jelas negeri pernah menjajah negerinya berabad-abad, memeras keringat nenek moyangnya, ambil hasil buminya, mengambil kekayaan rakyat secara paksa. Pedih!
Kedua tokoh saya sebutkan tadi merupakan pejuang kemanusiaan yang tangguh melalui mediasi sastra. Mediasi “tekstual” kemanusiaan menjadi bukti sejarah bahwa pada bangsa majemuk ini masih ada orang mampu memperhati kan nasib kemanusiaan secara bebas berdasarkan hak-haknya. Sehingga karya-karya agungnya memang betul-betul lahir dari rahimnya yang suci. Kita memahaminya, Sastra lahir dari kesunyian jiwa, rasa, hati dan setumpuk kegelisahan memotivasi sastrawan melakukan asketisme-esoteris dan religiusitas empiris melalui karya sastra.
Imajinasi mempunyai kedaulatan penuh dalam mengaksentuasikan nilai (value) dengan memanfaatkan kekuatan rasa dan rasionalitas untuk mengejawantahkan dirinya sebagai eksotisme-esoterik “Tuhan” dan semesta (cosmic). Sebab dunia imaginer sastrawan mampu menembus ruang-ruang tak terjangkau akal-material kecuali mereka menggunakan “indra batin” dalam bahasanya Dr. Naquib al-Atas, yang kemudian dirasionalisasikan akal menjadi bentuk pemikiran atau idealitas. Al-hasil–dituangkan dalam bentuk karya sastra.
Filsafat sebagai saudara kandung sastra memposisikan diri sebagai pembantu mengolah, menggali simbolisme alam sebagai makro kosmos; mengkaji “diri” secara subtantifnya sebagai mikro kosmos. Dari kajian-kajian itulah lahirlah karya sastra mengeksplorasi diri dan alam semesta serta relasional magnetiknya secara terus menerus mengadakan interaksi tak terbatas, baik bersifat irasional, rasional atau supra rasional.
Misalnya dalam buku Asrar-i Khudi dan Javid Nama karya Muhammad Iqbal, Aku (lirik) dalam puisi-puisi itu mengapresiasi bintang, planet, venus, saturnus, merkurius sebagai bentuk dari permenungan untuk menemukan sinyal-sinyal kuat yang menghubungkan antara eksistensi pribadi, ditemukan melalui refleksi dari diksi-diksi mikro kosmos yang kemudian diyakini dapat melahirkan makro-kosmos secara analitik.
Strukturalisme Sastra
Setiap struktur sastra, tentunya punya spirit, orientasi, paradigma spiritualitas-humanistik. Berhubung gencarnya arus globalisme modernitas, sastra Indonesia melahirkan tiga gerbong berpengaruh. Pertama, sastra mengandung superficial structure (struktur luar). Ideologi-ideologi luar dengan bebas menggerogoti khazanah sastra kita, mulai dari materialisme industrial dipengaruhi revolusi Prancis; dengan sebuah kejadian sosialisme Nazi sampai abad ini yang disebut “abad kebangkitan” sebagai spiritualisme barat.
Mereka telah bosan bersandingan dengan hal-hal bersifat mekanik dan akrobatik. Dari superficial structure ini, sastrawan melakukan internalisasi nilai (value internalization); mengeksplorasi seksualitas secara bebas dalam karya sastra yang kemudian melupakan nilai-nilai dasar kebudayaan kita. Tercermin dalam karya-karya Ayu Utami berjudul Saman, Garis Tepi Seorang Lesbian, karya Herlinatiens, Tuhan, Ijinkan Aku Jadi Pelacur, Adam Hawa karya Muhyiddin M Dahlan, Kuda Ranjang, karya Binhad Nurrohmad. Dlsbg.
Munculnya karya-karya itu merupakan mediasi untuk menguakkan rasa terkungkungnya dengan cara “vulgar” dan “bebas”. Sehingga publik menilai karya yang demikian sebagai “sastra lendir” (Jawa Pos, 2004). Sayangnya, karya begitu-begitu dianggap sebagai suatu lompatan ideologis dan kekuatan yang mampu menggugat zamannya. Padahal pengambilan diksi, metafora, penggambarannya sangat jorok dan glamour, sesuai dengan karakter modernitas yang hanya diukur rasionalitas, libidonomics, dan pemuasan birahi; apabila diberi peluang untuk maju ke depan, mereka (sastrawan lendir) tampil sofistik (genit). Kita lihat karya Dorothea Rosa Herliany yang juga dikutip Afrizal Malna dalam bukunya Sesuatu Indonesia, berjudul Nikah Pisau
Tapi inilah daratan dengan keasingan paling sempurna:
Tubuhmu yang bertaburan bulan-bulan kuabaikan
Sampai kurampungkan kenikmatan senggama
Sebelum merampungkanmu juga:Menikam jantung
Dan merobek dzakarmu dalam segala ngilu.
Realitas modernisme bukanlah sebuah kesempatan mengejakulasi dini dalam karya sastra, sebab karya sastra bukanlah idealisme situasional yang memancang ekspresi-ekspresi glamour. Bagi saya, modernisme ialah persaingan intelektual dengan segala aspek mediasi yang digunakannya mampu lebih bagus dan lebih baik dari era-era sebelumnya misalnya tentang hak-hak perempuan diperjuangkan Ibu Kartini, cenderung pada upaya penggalian intelektualisme dan pendidikan perempuan serta untuk menghilangkan image bahwa perempuan hanya bertugas di kasur, sumur dan dapur.
Modernisme dalam sastra diharap mampu memberikan mediasi lebih kontruktif terhadap pembacanya, bukan malah pembaca disuguhi dzakar dalam segala ngilu oleh Helvy, dengan puisinya tidak mencerdaskan itu. Dan memang sangat berbeda dengan karya Joko Pinurbo yang cerdas walaupun keliarannya nyaris sama dengan Helvy, bisa kita lihat dalam antologi Celana pada penggalan puisi yang berbunyi :
Konon, setelah berlayar mengelilingi bumi, Columbus pun
Akhirnya menemukan sebuah benua baru dalam celana
Dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.
Penggalan puisi jenaka dan falsafi di atas bukan semata-mata kekosongan dan ke-iseng-an dalam menulis sajak. Akan tetapi dia telah memeras kreatifitasnya secara mendalam melalui kontemplasi total, Joko Pinurbo telah menemukan dirinya dalam Celana sehingga burung-burung pertapa layaknya Stephen Hawking pun mampu khusyuk mencari identitasnya sebagai seorang tokoh postmodern yang canggih.
Kedalaman idealitas Joko Pinurbo dalam puisi itu sebab dikemas dalam bahasa jenaka dan mengeksplorasinya dengan diksi ‘celana’ beserta isinya. Dan pembaca telah mengenal Stephen Hawking akan tiba-tiba diingatkan puisi “pornoistik” Jokpin ini, dan jika pembaca masih belum kenal, ia pasti akan mencari dan bertanya-tanya “siapa Stephen Hawking” sebenarnya? disitulah letak kecerdasan dalam puisi konyol-cerdas Joko Pinurbo yang jauh berbeda dengan ke-konyol-an puisi Helvy Tiana Rosa
Kedua, Profound structure (strukrtur dalam). Dalam konteks ini, Sastrawan hanya memanfaatkan khazanah yang berkembang di Indonesia yakni mewarisi khazanah Hamzah Fansuri, Nuruddin ar-Raniri, dengan memilih bersikap dingin & religiusitas-imajined. Mereka kebanyakan berangkat dari khazanah sastra Islam sufistik, dalam bahasanya Abdul Hadi WM dan Kuntowijoyo disebut “sastra profetik” walaupun sedikit demi sedikit mereka mendasarkan pada beberapa tokoh di timur tengah, misalnya Jalaluddin Rumi, al-Hallaj, Rabi’ah al-Adawiyah dan Fariduddin Attar.
Potret sosial-spiritual dalam penciptaan karya sastra tentu menggelantung dalam imajinasi penulisnya ditinjau dari vita, visum at mores-nya sehingga karya sastra dirasakan sangat indah dan sejuk serta memberikan kesempatan pada apresiator atau pembaca sebagai rider merasionalisasikan, merenungi, berkontemplasi serta masuk dunia pengarang; berarti cita-cita provokasi atau harapan dicipta penulis pada pembaca melalui teks telah sampai ke relung hati paling dalam. Di sanalah sebenarnya letak kedalaman sebuah sastra sufistik-profetik sehingga dapat dikatakan “kunci” pencerahan.
Ada beberapa model sastra profetik yang fungsinya memberikan pencerahan dan menyadarkan bahwa manusia adalah makhluk theomorfis, dan tujuannya merealisasikan sifat-sifat ketuhanan dalam diri insan, serta mengingatkan bahwa perjalanan hidup ini juga merupakan perjalanan kerohanian. Ali Ahmad Said seorang penyair Palestina terkemuka menulis bahwa betapapun beban bangsa Pelestina sangat berat perjuangannya merebut kembali tanah airnya, namun tetap perjuangan itu mulia dan dalam perjuanganlah kita menemukan harapan.
Dengan semangat apokaliptik dia menandai zaman kita hidup ini, yaitu zaman otak dan benda-benda mengerikan, namun manusia masih tetap menyadari dirinya sebagai makhluk theomorfis atau kerohanian sehingga memiliki kemampuan berontak. Sebagaimana dalam sebuah puisi Hallaj :
Neraka kubawa dalam diriku dan aku berjalan
Kuhapus jalan-jalan dingin tak terbakar oleh api
Dan kubuka jalan-jalan baru tak berufuk
bagai udara dan debu
Langkahku membuat musuh-musuh dalam diriku terbangun
Namun neraka adalah bantalku tidur.
Sebuah potret sosial-transenden dalam puisi di atas cukup jelas sekali bagi manusia telah masuk di halaman religiusitas-theomorfis, dia pasti telah menghilangkan panasnya api, dinginnya angin, sentuhan ruang dan waktu. Seakan-akan kaki telah tak menginjak bumi, tidak tahu entah berada dimana? jalan-jalan semakin terang dan membentang, petunjuk semakin jelas, hanya kita sendiri terkadang enggan berusaha karena sifat malas melingkupi seluruh tubuh.
Sastra sufistik setidaknya diberikan tempat menari di tengah gelanggang kehidupan dengan harapan tanpa meninggalkan kepentingan-kepentingan sosial, berkenaan dengan kesejahteraan sosial. Betapa tidak senang dan tidak bertanggung jawab individu sastrawan ketika hanya menikmati romantisisme religiusitas dengan-Nya, namun membiarkan khalayak terkapar di bingkai-bingkai glamouritas kehidupan (egois).
Ketiga, Syntesis Meeting (pertemuan gabungan). Dari varian ini, sastrawan melakukan penggabungan antara internalisasi superficial structure dan eksternalisasi profound structure yang kemudian lahirkan aliran baru; merealisasikan struktur lama yang baik dan mengadopsi struktur baru yang lebih baik. Tercermin dalam karya-karya Emha Ainun Nadjib, D. Zawawi Imron, taufik Ismail, Acep Zamzam Noor.
Dengan itu dapat dibaca bahwa khazanah sastra kita termasuk khazanah sastra yang kaya dan dapat bergerak secara fleksibel, baik dalam aspek spiritualisme religius (religious of spiritualism) atau sosialisme humanis (sosialism humanist) atau bahkan menggabungkan diantara kedua disiplin itu menjadi sebuah aliran sastra lain dari yang lain. Tergantung pada kita, sampai dimana kecerdasan dan kecerdikan memberangkatkan imajinasi ke ruang-ruang yang lebih dahsyat dan tak terhingga. Wallahu A’lam.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar