Sabtu, 25 Oktober 2008

NOVEL UNTUK PENYAIR

Rahmi Hattani*

Aku berjalan di bawah remang-remang cahaya. Bahuku sengaja kubiarkan terbuka mengkilap, terkena sorot lampu jalanan kota. Aku melangkahkan kaki di jalan yang mulai sepi kendaraan. Panjang rambutku melambai-lambai ditiup angin. Dinginnya udara wengi sama sekali tidak membuatku terganggu. Justru malamlah yang membuatku mengerti kehidupan. Akan makna kepahitan. Dan bersama malam pula, aku lebih memahami dunia ini.

Dengan mengenakan rok pendek yang menampakkan betis serta paha putih yang mulus, baju tanpa lengan potongan dada rendah, dandanan agak menor. Aku melalui kehidupanku yang baru aku rasakan jika malam telah tiba. Sudah dua tahun aku menjalani hidup seperti ini. Menjajakan tubuh, daya tarik pada setiap laki-laki yang mau membeli untuk dinikmati.

Di jalanan ini aku dan teman-temanku biasa mangkal, tapi aku kurang suka jika hanya berdiri di tepi jalan saja. Aku lebih memilih berjalan menyusuri sepanjang trotoar sampai kelelahan, dan akhirnya berhenti lalu balik dengan teman-temanku.

Kami menjalani hidup seperti ini dengan alasan berbeda-beda, dan kebanyakan dari kami disebabkan tuntutan materi. Aku sendiri dikarenakan pengalaman pahit yang menimpaku beberapa tahun silam. Ayah tiriku menjual aku pada rekan bisnisnya. Sedangkan ibuku sama sekali tak bisa berbuat apa-apa. Karena beliau juga pernah mengalami hal serupa, akhirnya aku lari dari rumah, turun ke jalan menjadi wanita malam. Aku berhenti kuliah, dan tinggal bersama teman-temanku di bantaran kali Code.

Aku duduk di trotoar, mengeluarkan sebuah buku kecil dari dalam tasku, dan mulai menulis. Beginilah, jika tak ada laki-laki yang datang atau mampir di jalanan untuk digoda. Aku memilih duduk di trotoar mengguratkan puisi; puisi tentang kehidupan.

”Ayu, kok kamu rajin banget nulis-nulis, emang kamu nulis apa?” temanku Ningsih bertanya, sambil ikut-ikutan duduk di atas trotoar. Aku langsung menutup buku yang ada di tanganku. Dan kembali memasukkannya ke dalam tas.

”Hmmm..bukan apa-apa kok, eh..ada yang mendekat tuh” spontan aku dan Ningsih langsung berdiri, pasang tampang manis ditambah genit, layaknya kebanyakan pelacur jalanan.
”halo mas...mau kemana?” Ningsih terlebih dahulu menyapa, sambil mengusap bahu laki-laki yang umurnya kira-kira setengah umur ayah tiriku.

Laki-laki itu tersenyum dan memegang tangan Ningsih, sementara itu aku diam saja. Di antara kami memang sudah berlaku kesepakatan, siapa terlebih dulu merayu, maka yang lain tak boleh mengganggu. Aku hanya memasang senyuman liar.

”temani aku malam ini ya,?” kata lelaki itu menawarkan.
”oh..tentu saja, aku akan temani Mas malam ini, kita kemana?” tanpa pikir panjang Ningsih langsung naik motor berboncengan dengan lelaki itu menuju arah utara. Aku melambaikan tangan sambil tersenyum ke arahnya.

Kembali aku duduk melanjutkan tulisan yang tadi sempat tertunda. Belum sampai sepuluh kata aku menulis, tiba-tiba sebuah mobil berhenti tepat di depanku, aku langsung berdiri. Sangat jarang pelacur jalanan seperti kami dipakai orang-orang kaya. Paling-paling yang membayar kami hanyalah tukang ojek yang kesepian atau juragan becak. Makanya kali ini aku agak kaget, atau mungkin ini laki-laki lebih memilih pelacur-pelacur murah seperti kami.

Kaca depan mobil terbuka. Tampak wajah laki-laki muda menatap ke arahku. Ia memperhatikan seluruh tubuhku, terutama bagian dadaku yang sebesar semangka muda, tersenyum kearahku. Aku pun membalas senyuman itu.
”mau temani aku malam ini?” ia bertanya sambil mengelus pipi kiriku.
”tentu saja” dengan tampang genit aku langsung naik mobil itu. Lantas meluncur ke arah Kaliurang.

Selama di mobil aku diam saja.
”siapa nama kamu?” laki-laki itu bertanya sambil meraba-raba lututku, dia mengelus-ngelus pahaku, sementara tangan kanannya tetap berada di balik kemudi.

Aku tersenyum, rupanya laki-laki ini selain tampan juga baik, tapi mana ada orang baik yang suka tidur sama pelacur, aku berpikir ia baik karena mau menanyakan namaku. Ah, sebatas itukah kebaikan manusia? Hanya menanyakan nama seorang pelacur?

Aku langsung menepis pikiran itu, dan berpikir soal uang yang nantinya kuperoleh dari dia. Mudah-mudahan cukup untuk membeli novel Eijhi Yosikawa-Musashi, novel yang sudah lama aku idamkan, tetapi belum sanggup membelinya karena tidak punya uang sama sekali. Penghasilanku dalam satu malam hanyalah cukup untuk membeli make-up, dan makanku setiap hari.

”kok melamun?” laki-laki itu mengagetkanku. Aku tersentak dan kembali merasakan sentuhan lembut tangannya di pahaku.
”siapa namamu” laki-laki itu kembali mengulangi pertanyaaannya.
”Ayu, mas” aku berkata sambil tersenyum. Laki-laki itu membalas senyumanku.

Aku selalu berusaha menikmati setiap sentuhan yang di berikan laki-laki pada tubuhku, aku berpikir harus menikmatinya, bagaimanapun ini pilihan hidup yang telah kutentukan. Aku memilih menjauh dari kehidupan keluargaku yang pahit. Setelah ayah tiriku menjualku, aku langsung minggat dari rumah, tidak pamitan pada siapapun, tidak pada ibu, pembantu, tukang kebun apalagi ayahku.

Aku memilih tinggal bersama teman-temanku di bantaran kali Code, di gubuk. Kedekatanku dengan mereka diawali sejak aku kecil, ayah dan ibuku memang orang yang pernah tinggal di sana selama puluhan tahun. Namun ibu tidak tahan, dan meninggalkan ayah kandungku sambil membawaku yang masih dalam kandungannya. Ibuku selalu bermimpi jadi orang kaya.

Dan akhirnya ia menikah dengan Om Frans. Setelah aku lahir, ibu tidak menutupi bahwa Om Frans adalah ayah tiriku. Singkatnya ibu menikah dalam keadaan hamil delapan bulan, sesuatu yang dilarang agama. Ibu sempat menunjukkan kepadaku, bahwa ayah kandungku tinggal di gubuk bantaran kali Code. Aku pun jadi sering ke sana, tetapi orang-orang di bantaran kali Code mengatakan, bahwa ayahku meninggal beberapa minggu setelah kepergian ibuku. Ayahku sangat terluka batinnya, dan mabuk-mabukkan sampai meninggal sebab tertabrak mobil.

”kamu masih kuliah” kembali laki-laki itu membuyarkan lamunanku.
”nggak mas, aku sudah berhenti” masih dalam tampang genit aku menjawab.
”kenapa berhenti? Apa karena biaya?” aku heran pada laki-laki satu ini. Belum pernah aku mengobrol seperti ini, dengan laki-laki yang ingin memakai tubuhku laksana perahu. Laki-laki ini memang beda pikirku. Jarang sekali aku ngobrol dengan pelangganku, kecuali soal tarif atau cara-cara bercinta.
”bukan karena biaya, tapi ada masalah lain” aku menjawab datar, sambil terus menikmati sentuhan-sentuhannya di lututku.

”oh.. maaf aku menyinggung perasaanmu” laki-laki itu tersenyum. Aku seolah tak percaya, apa masih ada orang sebaik ini pada pelacur jalanan macam aku? Atau mungkin aku sendiri yang terlalu menganggap rendah diri ini, dan beranggapan setiap orang pasti benci dengan pelacur.

Di jalan Kaliurang yang semakin mendaki. Mobil itu memasuki halaman sebuah hotel, tampak beberapa mobil di parkiran. Malam sudah larut. Lampu di halaman hotel menerangi sekelilingnya, seperti matahari di siang hari. Aku turun dari mobil diiringi laki-laki itu, dia berperawakan tinggi dan kekar, aku tertarik dengan tubuhnya, spontan aku langsung membayangkan diriku berada dalam renggukannya di atas ranjang.

Kami memasuki hotel, ia menggandeng tanganku, jantungku berdegup kencang, dari sekian banyak laki-laki yang meniduriku, mereka tidak pernah menggandeng tanganku, yang ada malah mereka langsung melingkarkan tangannya di pinggang atau punggung sambil sedikit menyentuh buah dadaku.

Kami mampir sebentar di meja resepsionis, mengambil kunci kamar dan langsung berjalan menuju lantai dua hotel tersebut. Aku berpikir bahwa laki-laki ini pasti berasal dari luar kota, karena dia sudah memesan kamar duluan. Kami berjalan di antara deretan kamar-kamar, baru tiga kali aku tidur di hotel mewah seperti ini, selama aku menjadi pelacur. Karena pelacur jalanan sepertiku, paling-paling melayani laki-laki di losmen, pantai, bahkan pernah sekali di pinggir kali Code. Dan tentu saja di bayar murah.

Kami memasuki sebuah kamar. Aku duduk di ranjang, melepas sepatu dan mulai membuka kancing-kancing baju. Tanpa kusadari laki-laki itu memandangku.
”mandi dulu Ayu” aku mengangkat wajahku dan menatapnya, begini lembutkah perlakuanmu terhadap pelacur, bisikku dalam hati. Ia tersenyum ke arahku. berjalan mendekat, merangkul tubuhku yang hanya mengenakan bra dan rok pendek, mencium rambutku. Aku tidak pernah menemui laki-laki yang meniduriku berbuat seperti ini terhadapku. Biasanya mereka langsung menelanjangiku, dan langsung bersetubuh tanpa mereka tahu bahwa aku belum terangsang sama sekali, makanya tidak jarang daerah selangkanganku berdarah, dan mereka menganggap bahwa aku masih perawan.

Tapi semua itu aku jalani dan nikmati dengan sepenuh hati, bagaimanapun ini pilihan hidup. Aku harus menikmatinya. Aku membalas lumatan bibir laki-laki itu, lama aku tidak menyentuh lidah laki-laki, karena beberapa minggu terakhir ini aku selalu bertemu dengan laki-laki yang selalu menginginkan mulutku berada di selangakangan mereka. Laki-laki itu melepas ciuman dan pelukannya...

”kita mandi bareng aja Ayu” aku berdiri melepas rok, laki-laki itu juga berdiri melepas seluruh pakaiannya, dan menuntunku ke kamar mandi. Di kamar mandi, ia membuka pakaian dalamku dan mulai menggerayangi seluruh tubuhku. Lidahnya terasa lembut ketika berada di bagian-bagian tertentu tubuhku, sesekali aku menggelinjang kenikmatan. Selama aku menjadi pelacur, inilah persetubuhan paling nikmat yang aku rasakan. Dari kamar mandi berlanjut sampai di ranjang. Kami terus berguling satu sama lain, menghabiskan malam, sambil memuaskan nafsu birahi, sampai akhirnya kami sama-sama kelelahan dan akhirnya tertidur.

Aku membuka mata dan kaget, langsung bangkit dari tempat tidur, hari sudah siang, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Aku mengenakan pakaianku yang semalam, tanpa memperdulikan laki-laki itu yang sedang berdiri di depan cermin.

”mau kemana Ayu” aku menghentikan langkahku, begitu mendengar suaranya. Aku berbalik menatap ke arahnya.
”aku mau pulang mas, bukankah kita sudah selesai, atau mas mau nambah lagi” aku mencoba tersenyum, namun dalam benakku sudah terbayang anak-anak kali Code yang menunggu kedatanganku. Setiap harinya mereka belajar menulis puisi dariku.
”tidak, tapi aku belum memberikan hakmu” laki-laki itu melangkah ke sudut ruangan, mengambil tas memberikan sebuah amplop cokelat berisi uang kepadanya. Jantungku berdebar-debar menerima amplop itu, belum pernah aku menerima uang dari laki-laki yang meniduriku, dalam amplop seperti ini.

”biar aku antar kamu Ayu” aku kembali tergagap mendengar perkataan laki-laki itu. Aku benar-benar mimpi semalam bertemu dengan orang sebaik ini. Sekali lagi ia tidak seperti laki-laki lain. Bahkan ada laki-laki yang langsung meninggalkannya tanpa membayar sepeserpun, padahal mereka tahu sendiri bahwa aku ini adalah penjual tubuh sendiri.

”apa kamu keberatan” kembali aku mendengar suaranya. Aku tersentak kaget, salah tingkah, namun tidak kuasa menolak.
”tidak, aku tidak keberatan” aku berkata sambil memasukan uang itu kedalam tas. Laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya dan melangkah keluar, awalnya aku mengikutinya dari belakang, tapi ketika hendak menuruni tangga hotel, ia menggenggam erat tanganku. Sesuatu yang lain terbersit dalam hati, tapi aku tidak tahu itu apa.

Mobil meluncur di jalan Kaliurang. Sebenarnya aku berniat mampir di Gramedia, tapi aku ragu memintanya mengantarku ke situ.
”kamu tinggal dimana Ayu?” laki-laki itu bertanya memecah kesunyian.
”Kali Code Mas” aku menjawab datar.

Laki-laki itu tampak tenang mengendarai mobil. Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku minta di antar di gramedia saja. Tapi entah kenapa dari semalam sejak melihat dia, mulutku terkatup rapat. Akhirnya aku memberanikan diri membuka mulut.

”mas,” aku berkata gugup.
”iya, ada apa” laki-laki itu tetap tenang.
”a..aku turun di gramedia saja”
”katanya kamu tinggal di kali Code, kok turun di gramedia, apa kamu ada janji sama teman?”
”nggak mas, aku mau beli buku” seketika rasa gugupku hilang. Aku menarik nafas dalam-dalam.
”kamu suka baca ya?” laki-laki itu tersenyum, dan menatap kearahku. Aku tertawa kecil.

Kalau aku bilang iya, mana mungkin laki-laki ini mau percaya, mana ada pelacur suka baca. Makanya aku memilih diam saja. Dan rupanya laki-laki itu juga tidak menuntut jawabanku.

Mobil berhenti di depan gramedia, aku turun dan mengucapkan terima kasih. Aku kira, laki-laki itu akan langsung pergi. Tapi ternyata tidak, dia menemaniku masuk. Aku langsung menuju deretan buku sastra. Melihat-lihat novel, dan karya-karya penyair, aku tersentak melihat buku bersampul perempuan berbaju hitam bersayap putih, itu adalah buku salah satu penyair yang aku idolakan, aku langsung membelinya, juga tidak lupa membeli dua novel Pramoedya Ananta Toer-Rumah Kaca dan Bumi Manusia, kebetulan aku belum punya, dan novelnya Eijhi Yosikawa-Musashi. Aku pikir uang yang aku dapat dari laki-laki ini pasti cukup.

Tanpa aku sadari laki-laki yang sedang bersamaku terheran-heran melihat aku membeli buku-buku itu. Belum pernah dia melihat pelacur sepertiku membeli, apalagi membaca buku-buku seperti itu. Dia kagum ketika melihat uang pemberiannya yang aku gunakan untuk membeli buku, namun untung saja dia tidak bertanya macam-macam saat berada di dalam toko.

Kami keluar menuruni tangga gramedia, ketika sampai pada anak tangga paling bawah, aku berhenti dan hendak mengucapkan terima kasih karena telah di temani, selain aku berniat pulang sendiri. Namun baru saja aku membuka mulut, laki-laki itu sudah terlebih dulu bicara.
”kita makan dulu sambil ngobrol, aku traktir kamu” katanya sambil berjalan ke arah mobil. Tanpa bisa menolak, dan entah kenapa aku tidak bisa menolak, aku mengikuti langkahnya memasuki mobil.

Kami menuju arah malioboro. Dalam perjalanan, pikiranku kacau balau memikirkan tingkah laki-laki ini sejak semalam sampai siang bolong seperti ini. Bahkan ketika kami sedang bersetubuh, dia mengerti aku lelah, lalu berhenti sejenak tanpa aku minta, sangat berbeda dengan perlakuan-perlakuan lelaki yang selama ini meniduriku. Aku menarik nafas panjang. Sambil sesekali melirik wajah laki-laki itu, wajah itu begitu tenang, tidak sedikitpun terpancar kegenitan seperti yang selama ini aku dapati pada setiap laki-laki. Aku kembali menatap lurus ke jalanan, sekejap aku kembali ingat anak-anak di kali Code, pasti mereka sudah berkumpul digubukku, menungguku mengajari mereka membaca dan menulis puisi.

Mobil berhenti di depan sebuah restoran mewah. Aku dan laki-laki itu turun dan melangkah masuk. Kami memilih tempat duduk paling pojok, dan makan sambil berbincang-bincang soal diriku.
”aku mau tanya sesuatu kepadamu Ayu” aku tidak jadi menyuapkan makanan ke dalam mulutku.
”aku heran, orang seperti kamu masih suka membaca novel-novel kayak gitu”
”semua orang pasti akan heran ketika ada pelacur jalanan kayak aku yang suka baca”
”bukan begitu maksudku Ayu, tapi latar belakangnya, kenapa kamu sampai suka dengan karya-karya mereka” laki-laki itu menatapku, aku membuang mukaku ke arah jendela. Dan kembali menekuri meja yang penuh makanan. Sudah lama aku tidak bertemu dengan meja yang penuh makanan semacam ini, aku kembali ingat anak-anak dan tema-temanku di kali Code, mereka tidak pernah makan seenak ini. Aku kembali menarik nafas panjang, dan menatap ke arah laki-laki itu.

”aku dulu kuliah di Fakultas Sastra dan sangat mencintai karya-karya mereka, dengan berubahnya jalan hidupku bukan berarti berubah juga kecintaanku terhadap mereka, aku tetap menghormati dan menghargai karya mereka, karena dari merekalah aku belajar menentukan pilihan hidup yang mesti aku jalani” dengan suara agak pelan aku menjawab pertanyaanya.

Laki-laki itu menarik nafas panjang. Sebenarnya aku tidak suka jika ada orang yang bertanya-tanya tentang masalahku, aku kuliah dan lain-lain, bagiku itu sudah berlalu. Aku sudah menjadi diriku yang baru.

”antar aku pulang” aku berdiri dan langsung berjalan keluar di ikuti oleh laki-laki itu. Pelayan restoran itu menatap tubuhku yang hanya di balut rok pendek dan baju tanpa lengan dengan potongan yang memperlihatkan setengah buah dadaku.
***

Aku turun di jembatan kali Code. Laki-laki itu bertanya di mana rumahku, dan aku menunjuk deretan gubuk-gubuk tua yang berdinding kardus dan tripleks, wajahnya begitu tenang ketika melihat ke bawah. Aku menutup pintu mobil sambil mengucapkan terima kasih.

Di depan gubuk, tampak anak-anak sudah menunggu kedatanganku. Mereka langsung menyongsong bersorak gembira sekali, ada sekitar sepuluh anak yang suka belajar puisi kepadaku, mereka adalah anak-anak yang juga tinggal di gubuk-gubuk tua sama sepertiku, pekerjaan orang tua mereka macam-macam, ada yang bapaknya bekerja sebagai kuli bangunan, ibunya pelacur, pedagang asongan, bahkan pencopet.

”Mbak Ayu pulaaangg...”
”woi, Mbak Ayu pulang”
”Mbak Ayu sudah pulaaaaang...”
Anak-anak itu langsung mengerumuniku. Aku tersenyum melihat tingkah mereka.

”maaf ya, Mbak Ayu telat, kalian sudah lama menunggu?” kataku sambil membagi-bagikan permen dan kue yang aku bawa.
”iya Mbak, kami sudah lama di sini menunggu Mbak Ayu pulang” aku tersenyum dan mengacak-acak rambut Bayu anak paling kecil di antara mereka. Rata-rata anak-anak itu berumur tujuh sampai dua belas tahun.

”aku masuk ke dalam gubuk dan meletakkan buku di atas sebuah lemari tua peninggalan ayahku, dindingnya sudah reot di sana-sini karena tidak sanggup menampung buku-buku yang aku letakkan berjejer di dalam lemari itu, semuanya adalah novel-novel yang sering aku beli sewaktu masih kuliah.

Aku ke sebuah ruangan kecil yang hanya di beri sekat pembatas berupa kain lusuh, dan berganti pakaian, lalu keluar sambil membawa buku-buku puisi karangan beberapa penyair. Kami duduk melingkar di atas tanah yang beralaskan potongan-potongan kardus dan koran. Aku duduk di tengah-tengah lingkaran.

”hari ini kita jadwalnya belajar membaca kan, Nah, di antara kalian apa ada yang punya puisi sendiri untuk di baca?”
”ada Mbak” serentak anak-anak itu menjawab. Aku terkagum-kagum.
”jadi kalian sudah belajar menulis puisi?” mataku terbinar, menatap sekeliling anak-anak itu, mereka tersenyum. Salah satu dari mereka menjawab.
”kalau aku bikin puisi yang judulnya bintang Mbak” aku tersenyum melihat Yoyo yang mengancungkan kertasnya. Yang lainnya tertawa melihat ke arah Yoyo.
”Mbak, aku bikin puisi tentang sampah” kata yang lainnya lagi. Aku hanya bisa menatap bahagia pada anak-anak itu, dua tahun lamanya aku bergelut dengan mereka, mengajari mereka banyak hal. Aku hanya tidak ingin mereka menjadi anak-anak gelandangan yang tidak tahu akan makna kehidupan.

Makanya aku mengajari mereka menulis dan membaca puisi, menurutku dengan puisi mereka bebas menjadi diri mereka sendiri, tanpa mesti takut dengan kelaparan, kemiskinan, penderitaan yang selalu menemani mereka setiap hari. Aku ingin mereka menjadi anak-anak yang tegar dan mampu hidup di dunia yang serba kompleks ini.

Awalnya mereka sering mendatangi gubukku dan melihatku menulis, lama-kelamaan mereka minta di ajari, dan karena kebanyakan dari mereka tidak pernah sekolah, maka aku mesti mengajari mereka dari awal, mengenalkan huruf-huruf alfabet, lalu belajar merangkai huruf itu menjadi kata, kalimat, dan seterusnya menjadi sebuah puisi.

Karena aku sendiri berasal dari kuliah Fakultas Sastra, maka aku lebih mengakrabi mereka dengan kalimat-kalimat yang berbau sastra, dan akhirnya aku memutuskan untuk mengajari mereka menulis puisi. Anak-anak itu sangat senang sekali, akupun selalu mengusahakan agar tidak mengganggu waktu bermain mereka.

”Nah, sekarang siapa yang lebih dulu membacakan karyanya?” aku mengedarkan pandanganku ke arah anak-anak itu, namun tidak satupun di antara mereka yang mengacungkan jari.
”ayo siapa, jadi penyair itu harus berani, udah berkali-kali Mbak bilang lho, kalau mau jadi penyair itu harus berani, nggak perlu takut, karena nggak ada yang mesti di takuti, katanya mau jadi kayak Chairil Anwar, W.S. Rendra, Taufik Ismail, kok malu-malu” aku kembali memberikan dorongan kepada anak-anak itu. Satu hal yan memang sulit aku hadapi, adalah membangkitkan kepercayaan diri anak-anak itu.

”ya sudah, kalau begitu Mbak yang mengalah, Mbak yang akan baca duluan, karya Mbak sendiri, gimana setuju nggak??”
”setujuuuuu” serentak anak-anak itu menjawab.
”tapi kalian harus janji setelah itu, giliran kalian yang akan membaca” anak-anak itu mengangguk tanda setuju. Aku menarik nafas panjang dan mulai membacakan puisi yang baru aku tulis semalam....


Jalanan kotor, gelap, rumit dan becek
Tak ada ketenangan di sana,
Tak ada derai-derai tawa seperti disini

Di tepi air kali yang mengalir pelan
Bersama timbunan sampah dan kotoran manusia
Anak-anak itu berlari-lari, tanpa baju, tanpa sandal
Mengejar impian yang semakin jauh meninggalkan mereka

Spontan terdengar suaru tepuk tangan meriah dari anak-anak itu. Aku tersenyum menatap mereka, wajah mereka begitu berseri-seri.
”Nah sekarang giliran kalian, kan tadi udah janji setelah Mbak Ayu, trus kalian, ayo siapa yang duluan” salah seorang anak langsung maju dan membacakan puisinya. Bermacam-macam ekspresi yang mereka tunjukan, ada yang membacanya dengan lembut, mendayu-dayu, ada pula yang keras, di sertai mimik wajah yang keras pula, mungkin sekeras kehidupannya sehari-hari. Aku tidak dapat menahan tawa, melihat tingkah laku mereka, tapi dalam hatiku bangga, minimal aku telah mengajari mereka sedikit tentang dunia.

Tak terasa hari semakin sore, setelah mengucapkan terima kasih anak-anak itu membubarkan diri, mereka menyerahkan puisi-puisi yang mereka tulis kepadaku.
”kalau sama Mbak pasti disimpan baik-baik, kalo disimpan di rumah, ntar ilang, bapak suka ngobrak-abrik rumah, kalau lagi bertengkar sama ibu” kata Bayu. Aku menerima kertas-kertas itu dan menyelipkannya di antara buku catatanku. Lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Anak-anak itu langsung berlarian entah kemana. Aku duduk di atas tikar dan menyalin semua karya anak-anak itu pada buku catatanku. Selesai menulis, aku menatap keluar jendela, tampak malam sudah tiba. Di luar sudah gelap, aku bergegas mandi, berpakaian mini, meraih tas berwarna hitam, tas yang berisi buku catatan hari-hariku, dan kembali ke jalanan.

Sambil berdiri di bawah pohon Flamboyan di tepi jalan aku menatap ke langit. Tampak bintang-bintang yang bersinar terang, seolah menyapaku. Pastilah bintang itu telah menjadikan aku sebagai temannya, karena setiap malam ia selalu mendapatiku menatap ke atas. Aku tersenyum pada bintang itu.

Tiba-tiba aku merasakan sentuhan di bahuku. Aku menoleh, tampak lelaki setengah baya tersenyum, ia berdiri di sampingku. Rupanya malam ini ia minta di layani, segera dia membawaku ke losmen terdekat. Orang tua itu sangat perkasa, walaupun umurnya telah memasuki usia yang terbilang tua. Setelah puas ia memberikan beberapa lembar uang kepadaku, dan langsung pergi, aku kembali ke jalanan.

Tampak teman-temanku yang lain masih berada di tempat itu, ada yang sedang merayu pelanggan lalu pergi. Aku berdiri di bawa lampu jalan yang agak terang. Duduk di atas trotoar dan mulai menulis. Selesai aku buat satu bait puisi, sebuah sepeda motor berhenti di depanku. Lelaki yang mengendarai motor itu membuka helmnya dan tersenyum ke arahku, lalu mengajak aku pergi. Aku lupa memasukkan buku catatanku kedalam tas, dan terus menggenggamnya.

Kami berhenti di losmen dekat stasiun Tugu. Kami masuk ke sebuah kamar. Laki-laki itu menatapku penuh birahi, langsung saja ia menyuruhku melepas pakaian, demikian juga dengannya, aku meletakkan tas dan buku catatan di atas meja. Dia mulai menggerayangi seluruh tubuhku. Sampai akhirnya kami sama-sama sampai pada puncak tertinggi kenikmatan bersetubuh.

Laki-laki itu mengajak aku mandi bersama. Di kamar mandi dia kembali memperlakukan seperti apa yang dia lakukan sewaktu di atas ranjang.
”kamu memang hebat, tidak sia-sia aku membayarmu” katanya sambil menyodorkan uang kepadaku. Aku mengambil, meraih tas dan melangkah keluar losmen kembali ke jalanan. Tiba-tiba aku ingat laki-laki yang kemarin aku layani. Orangnya begitu baik, aneh, belum pernah aku menemui orang sebaik dia. Sayangnya aku tidak pernah menanyakan siapa namanya, dimana dia tinggal. Tapi bukankah aku hanya berhak memberinya kepuasan badani, aku tidak berhak menanyakan identitasnya. Aku naik becak, menuju jalanan tempat aku mangkal. Di sana masih ada teman-temanku yang lain. Tanpa terasa hari sudah menjelang subuh.. Aku pulang.

Pagi di gubuk rasanya seperti neraka. Aku mencari-cari buku catatanku, aku sudah mencarinya ke banyak sudut di gubuk tapi tak ada, bahkan aku sempat mengais-ngaisi tempat sampah yang terletak di samping kali, namun hasilnya tetap nihil. Aku hampir saja menangis, bagaimanapun seluruh kehidupanku tertulis dalam buku itu, buku itu adalah teman sejatiku. Aku duduk di atas tikar, mencoba mengingat-ingat di mana aku menaruhnya. Sepintas aku hampir saja putus asa. Karena tak mampu mengingat dimana aku menaruh buku itu.

Namun, aku langsung bangkit berdiri ketika aku ingat, bahwa aku lupa menaruh buku catatan itu dalam tas tanganku ketika lelaki itu mengajakku pergi. Aku kembali larut dalam ingatan perjalananku dengan lelaki itu semalam. Dalam hitungan sekian detik aku membayangkan, buku itu aku letakkan di atas meja di kamar losmen. Aku kembali terduduk lunglai, bagaimana mungkin buku itu masih ada di sana sampai kini, pasti petugas kebersihan di losmen itu, telah melemparkannya ke tempat sampah, karena mengira buku usang itu tidak berguna, begitu tahu itu hanyalah buku yang sudah sobek di sana sini, mungkin dianggapnya tidak di pergunakan lagi.

Oh, Tuhan aku tidak pernah membayangkan, bahwa itu akan terjadi. Tapi bagaimana caranya aku mendapatkan buku itu kembali? Aku sendiri tidak ingat dimana losmen itu, mengingat ada beberapa losmen yang ada di depan stasiun tugu. Aku juga tidak ingat, di kamar nomor berapa aku tidur.

Aku hanya bisa tersandar tak berdaya di dinding gubukku. Dan pasrah membiarkan buku itu pergi dari kehidupanku. Aku menarik nafas panjang. Hari semakin sore memasuki malam. Aku menatap langit dan bergumam, mulai malam ini aku tidak bisa lagi menuliskan puisi-puisi di atas buku itu. Aku mandi berganti pakaian, dan kembali ke pelukan malam.

Seminggu sesudah buku itu hilang, pada suatu malam seorang lelaki mengendarai motor berhenti tepat di hadapanku. Lelaki itu turun dari motor dan duduk di sampingku, di atas trotoar jalanan yang berdebu. Aku agak kikuk karena tidak biasanya seorang pelanggan datang dan mendekatiku dengan cara yang seperti itu. Lelaki yang duduk disampingku itu tersenyum dan menyapaku.


”selamat malam”. Aku mengangguk pelan, dan membalas salam itu. Ini bukanlah hal yang biasa aku temui pada lelaki yang datang mendekatiku. Ketika aku melirik, sesaat aku teringat bahwa aku pernah bertemu dengannya, tapi aku tidak ingat dimana dan kapan. Lelaki itu masih menatapku di bawah cahaya lampu jalanan yang remang-remang. Aku benar-benar merasakan sesuatu yang aneh, aku merasa laki-laki ini datang untuk maksud yang lain, bukan membeli tubuhku.

”kamu masih ingat aku?” suaranya memecah kesunyian. Aku mengangguk pelan. Lelaki itu tetap tersenyum.
”aku mau mengembalikan buku ini kepadamu” katanya seraya mengeluarkan sebuah buku usang berwarna coklat dari dalam tasnya.

”aku tergagap, ketika dia menyodorkan buku itu kepadaku. Sesaat aku merasa bahagia melihat barang yang selama ini aku cari ternyata masih ada. Aku merasa semangat hidupku bangkit lagi, setelah beberapa minggu tidak pernah menulis.. Aku mengulurkan tangan menerima buku itu.
”terima kasih” aku berkata pelan. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum.

”rupanya kamu lupa, bahwa aku orang yang mengajakmu tidur di losmen waktu itu, dan buku ini ketinggalan di atas meja, aku mengambilnya dan berniat mengembalikan kepadamu. Tapi maaf, aku sudah membaca keseluruhan isi buku ini, bahkan aku sudah merampungkannya dalam satu buku dan menerbitkannya. Tapi tetap dengan nama kamu, Ayu.

Bahkan sekarang buku itu menjadi perdebatan yang sengit di antara para sastrawan, mereka yang tak suka dengan buku itu mengatakan, bahwa apa yang kau tulis adalah sesuatu yang melanggar moral, bertentangan agama dan lain-lain, tapi sebagian sastrawan lainnya memuji karyamu, mereka kagum dengan keberanianmu, mengungkapkan apa yang selama ini kamu alami, kemudian menjadikan itu sebagai pelajaran hidup, sekaligus sudah waktunya membuka sesuatu yang tersembunyi, dan memaknainya sebagai jalan hidup tiap individu”

Aku diam mendengarkan lelaki itu. Dalam hati aku berbisik, bahwa aku tidak mengerti semua ini. Aku tidak pernah merasa menulis sebuah buku atau novel yang menceritakan tentang kehidupanku sendiri, dan menjadi kontroversi di antara para sastrawan.

”aku minta maaf karena telah lancang berbuat seperti itu, tapi niatku baik, aku tidak tahan membaca karya sebagus itu, tapi hanya menjadi konsumsi pribadi, makanya aku merampungkannya dalam sebuah cerita dan memberinya judul Novel Untuk Penyair. Sekali lagi aku minta maaf, jika kamu tidak suka, kamu berhak menarik seluruh Novel itu dari peredaran” sekilas tampak lelaki itu merasa bersalah. Aku menarik nafas panjang, dan mencoba mencari kata-kata yang cocok untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan saat ini.

”aku tak bisa berkata-kata, aku hanya merasa senang karena buku harianku, temanku melalui malam-malam telah kembali, aku tidak peduli entah berapa banyak orang yang membacanya dan memperdebatkannya. Yang pasti, aku tidak pernah merasa merusak moral masyarkaat atau menginjak-injak dunia kesusastraan dengan tulisan-tulisanku. Soal novel yang kau terbitkan berdasarakan isi buku ini, aku menghargainya, terima kasih. Apa boleh aku minta beberapa eksemplar untuk kubagikan pada anak-anak asuhku nanti?”

”oh..tentu saja boleh. Aku jadi merasa tidak enak hati, karena mestinya aku yang berkata seperti itu kepadamu” lelaki itu mengeluarkan beberapa buah buku dari dalam tasnya, dan memberikannya kepadaku.
”jika masih kurang nanti aku tambah” aku tersenyum menerima buku-buku itu. Sampulnya berwarna hijau, bergambar daun dan tertulis diatasnya Novel Untuk Penyair.

”terima Kasih” aku berkata dan bangkit berdiri. Lelaki itu ikut berdiri.
”eh..maaf, apa aku bisa minta waktumu besok?”
Aku menatap lelaki itu.
”iya bisa, ada yang bisa dibantu?” aku tersenyum.
”besok ada acara seminar bedah buku, novelmu ini yang mau dibedah dan aku sangat mengharapkan supaya kau bisa hadir, bagaimanapun orang-orang yang menyukai karyamu, ingin sekali bertemu dengan penulisnya langsung”

Aku mengangguk pelan, dan berkata.
”iya aku akan datang, dimana tempatnya”
”di salah satu hotel yang terletak dijalan Malioboro”
”baik, aku akan ke sana besok”
”iya, bagaimana kalau aku jemput kamu?”
”tidak usah, aku bisa pergi sendiri, sekali lagi terima kasih”

Aku langsung melangkahkan kaki pulang. Aku senang dan bahagia malam ini bukan karena banyaknya uang yang kudapat, tidak juga telah terbitnya sebuah buku, tapi karena buku harianku telah ditemukan. Sengaja aku pulang cepat, agar aku bisa tidur dengan tenang.
***

Ruangan itu cukup luas. Banyak kursi-kursi yang berjejer rapi, sebagian telah diduduki para undangan. Di bagian depan telah ditempatkan empat buah kursi dan sebuah meja panjang, tempat para narasumber yang nantinya memaparkan pandangan mereka, tentang novel yang katanya itu aku tulis. Sesaat aku tertawa dalam hati, membayangkan apa yang nantinya akan terjadi dalam ruangan ini. Aku masih berdiri di ambang pintu dan memperhatikan seluruh isi ruangan itu. Seorang lelaki menyapaku dan memberikan sebuah buku.

”maaf mbak, silakan masuk dan mengambil tempat duduk, karena sebentar lagi acaranya mau dimulai” aku mengangguk dan tersenyum.
Aku mengambil tempat duduk di deretan kursi paling belakang, sambil membuka-buka buku harianku. Selang beberapa waktu kemudian, ruangan itu mulai penuh, aku tidak tahu dari mana saja orang-orang yang kini hadir disekitarku. Empat kursi yang ada didepan juga telah diduduki oleh empat orang yang berpakaian rapi. Salah satu diantaranya adalah lelaki yang semalam datang menemuiku dijalan.

Acara dimulai dengan ucapan salam dan pengantar dari lelaki itu. Seterusnya giliran para narasumber yang berbicara, aku mendengarkan semuanya dengan rasa kagum. Bukan kagum pada diri sendiri, tapi kagum pada kenyataan hari ini, yang ternyata sanggup menunjukan kepadaku, bahwa apa yang dilakukan seorang pelacur juga berharga di mata dunia dan orang banyak.

Tiba pada sesi diskusi, aku agak gugup karena beberapa penanya, meminta untuk menghadirkan penulis aslinya ke dalam forum itu. Aku diam, jantungku berdegup keras mendengarkan perkataanya.

”kita disini meminta agar penulis yang sebenarnya bisa dihadirkan dalam ruangan ini sekarang juga, bagaimanapun novel ini telah menuai banyak kontroversi dan saya pikir penulisnya yang mesti bertanggung jawab atas semua itu. Bukan orang-orang yang mendukung karyanya, tetapi harus dia sendiri. Atau penulisnya tidak mampu bertanggung jawab, takut bertanggung jawab atas tulisannya, yang merusak moral dunia kepenyairan. Sekali saya meminta supaya penulisnya dihadirkan dalam forum ini, terima kasih”

Aku menunduk mendengar perkataan itu, jadi selama ini apa yang aku lakukan di anggap merusak moral. Aku menutup mata rapat-rapat, berusaha mencerna setiap perkataan yang dilontarkan para hadirin, terutama dengan mereka yang kontra dengan karyaku. Aku kaget ketika hampir seluruh isi ruangan itu mau membatalkan acara, jika penulis aslinya tidak dihadirkan.

Dalam hati aku tidak boleh membiarkan ini terjadi. Ketika sebagian yang hadir dalam ruangan itu mulai berdiri dan menuding ke arah dua orang pembicara yang mengagumi karyaku. Dari barisan kursi paling belakang aku berdiri mengancungkan tangan.

”maaf moderator, apa aku bisa bicara?” aku berkata dengan suara lantang, mengingat ruangan itu sudah cukup gaduh.
Lelaki yang bertindak sebagai moderator itu, tersenyum begitu mengetahui bahwa aku ada dalam ruangan itu. Karena dialah yang mengundangku, dialah yang mengembalikan buku harianku.

”iya silakan Mbak, maaf hadirin sekalian, saya harap tenang, karena ada yang ingin bicara” katanya seraya menunjuk ke arahku. Orang-orang yang tadinya berdiri, kini mulai duduk dan menatap kearahku.

”terima kasih,” aku menarik nafas panjang. Dan mulai berbicara.
”maaf saudara-saudara sekalian, jika saya terkesan memotong pembicaraan kalian, tapi saya pikir adalah suatu hal yang sangat tidak berguna jika hari ini kita memperdebatkan apa yang mestinya bukan menjadi perdebatan kita dalam forum ini. Kalau kemudian saudara sekalian meminta kehadiran Ayu penulis novel ini, untuk bertanggung jawab, maka saya akan bertanggung jawab untuk itu, saya akan bertindak sebagai Ayu yang kalian bicarakan dalam forum ini”.

”tunggu saudara!!” seorang lelaki yang duduk paling depan berdiri dan menunjuk ke arahku, ”kami menginginkan kehadiran Ayu yang sebenarnya, dan bukan kau, kami meminta pertanggung jawaban dari dia” lelaki itu duduk kembali.

”saya paham apa yang kalian maksud, jika kalian menginginkan Ayu yang sebenarnya, maka saya sarankan supaya kalian benar-benar tahu siapa sebenarnya Ayu yang kalian maksudkan, saya pribadi adalah Ayu, yang menulis dalam buku harian, dan seseorang merampungkan itu dalam sebuah novel yang kalian bicarakan saat ini. Saya merasa bukan Ayu yang kalian maksudkan, karena jujur saya mengatakan, bahwa novel yang kalian perdebatkan dalam ruangan ini adalah karya dari seorang pelacur jalanan yang tinggal di bantaran kali Code, dan itulah saya, diri Ayu yang sebenarnya. Bukan Ayu yang menulis fiksi alat kelamin yang kalian maksudkan hari ini. Apa yang dituliskan Ayu dalam novel ini adalah benar kehidupan dia sesungguhnya. Dan jikalau hal itu dianggap melanggar moralitas agama atau lainnya, dan kalian membutuhkan Ayu itu untuk bertanggung jawab, maka saya akan bertanggung jawab. Dan tolong katakan pada saya, pertanggung jawaban seperti apa yang harus saya lakukan, jika novel itu harus ditarik dari peredaran, maka saya akan melakukannya” aku berhenti menarik nafas sejenak.

Sesaat ruangan itu hening, semua mata tertuju kearahku, aku bisa merasakan sebagian mata yang menelajangiku dengan tatapan benci, sebagaian lagi menatap kagum ke arahku. Seorang lelaki berdiri dan berbicara.
”saya tidak sepakat kalau novel itu mesti ditarik dari peredaran” serentak tepuk tangan dari yang lainnya, juga yang menyatakan bahwa mereka tidak sepakat dan bersedia mendukungku.
”tidak ada yang salah dalam novel itu, tidak ada pelanggaran moral dalam novel itu, penyebutan alat kelamin yang berulang kali dalam novel itu, tidak dimaksudkan untuk melanggar moral, jadi tidak sepantasnya novel itu ditarik dari peredaran” kembali lelaki itu melanjutkan.

”setuju!!..setuju!!...”
Aku masih tetap berdiri. Sesaat aku sadar, bahwa sebagian dari orang-orang yang hadir dalam ruangan itu adalah laki-laki.

”maaf saudara-saudara, saya pikir ini sudah keterlaluan, cukuplah Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, yang menulis dan mengumbar alat kelamin, seks dalam karya-karya mereka, jangan lagi ada Ayu yang lain, yang menambah daftar perempuan penghuni neraka nanti, menulislah dengan sewajarnya, apalagi kau adalah perempuan yang nantinya menjadi ibu bagi anak-anakmu nanti, dan istri bagi suamimu, maka jadilah perempuan baik-baik” lelaki yang berjanggut dan mengenakan kemeja hitam itu menunjuk ke arahku. Aku tersenyum mendengarkan perkataannya.

”maafkan saya, jika karya saya mengganggu kehidupan atau jalannya pernapasan kalian, saya hanya ingin mengatakan, bahwa saya tidak mau lari dari kenyataan yang hari ini saya lihat, saya alami, apa yang saya tuliskan dalam novel itu adalah yang sesungguhnya. Kita yang hadir dalam ruangan ini harus paham, bahwa itulah gambaran dunia hari ini, ingat, jaman senantiasa berubah, penafsiran terhadap kenyataan juga mesti dirubah. Dan sampai detik ini saya belum tahu bagaimana caranya menjadi perempuan baik-baik seperti yang anda maksudkan, karena kenyataan yang saya hadapi mengajarkan bahwa, sesuatu yang baik memiliki tempat serta bentuknya sendiri dalam kehidupan, dalam kenyataan.

Saya akan bertanggung jawab, pada apa yang saya lakukan hari ini, tapi tidak pada orang-orang seperti saudara, tetapi pada gerak jaman dan sejarah yang selalu mengatakan, menunjukan kepada saya bagaimana kenyataan yang sesungguhnya. Saya tidak berani menyinggung soal moral yang saudara bicarakan hari ini, karena saya orang yang tidak paham moralitas, saya hanya ingin mengatakan, bahwa saya tidak melanggar sesuatu yang tidak saya pahami. Saya ucapkan terima kasih pada saudara yang sepenuhnya mendukung karya saya, semoga saudara tidak merasa rugi atau berdosa karena telah mengagumi karya dari perempuan jalang. Maaf, saya harus pergi segera, sekal lagi saya katakan, bahwa saya akan bertanggung atas karya saya, permisi” aku melangkahkan kaki ke luar.

Namun orang-orang yang berada di pihakku menghadangku di depan pintu, mereka meminta tanda tangan, mencegahku untuk pergi.
”Mbak Ayu, jangan pergi dulu Mbak, acaranya kan belum selesai,”
”Mbak Ayu nggak boleh kalah, Mbak nggak boleh mundur, mereka itu orang-orang yang nggak paham aja”
Aku tersenyum mendengar perkataan mereka.

”maaf saudara, ini bukan duniaku, saudara lebih paham soal itu. Aku perempuan jalanan, bukan novelis yang karyanya pantas menjadi kontroversi, aku punya dunia sendiri, tempat aku mengekspresikan diriku, terima kasih atas bantuan saudara sekalian”
Aku melangkah keluar, menuju jalanan, menyetop taksi dan kembali ke bantaran kali Code. Hari semakin siang, aku yakin anak-anak itu sudah menunggu kehadiranku.

Apa yang baru saja aku alami, sama sekali tidak membuatku merasa menang atau kalah. Aku menganggap itu, bagian dari kenyataan yang mesti aku hadapi hari ini. Di luar kenyataan yang aku jalani setiap malam. Dalam perjalanan pulang aku menggenggam erat buku harianku, dan berjanji akan tetap menjaganya. Aku sadar sudah waktunya, mempertanggung jawabkan apa yang aku lakukan pada dunia.

”kebebasan berpikir dan berpengetahuan merupakan hak setiap manusia. Karena alam pikiran juga bebas menentukan bentuk, seperti apa yang mesti berpijak. Akan tetapi, ketika bentuk-bentuk pikiran diejawantah ke dalam laku hidup atau tindakan, maka ia memiliki batasan hukum sendiri, kodrat sendiri, yang terkadang sulit diterima oleh nalar. Dan ini mesti dipahami, sebagai sebuah hukum keteraturan tingkah laku, bukan sebagai halangan bagi kita untuk berpengetahuan. Kebebasan yang sebenarnya adalah kebebasan berpengetahuan, bukan kebebasan bertindak, karena tindakan memiliki batasan dan kodrat hukumnya”

*) Manado, 2007

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae