Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
“Toeti Heraty adalah satu-satunya wanita penyair di tengah para penyair Indonesia mutakhir yang terkemuka.”[1] Demikian A. Teeuw mengawali komentarnya ketika memasuki topik pembicaraan Toeti Heraty di dalam konteks penyair Indonesia pasca-1966. Pernyataan kritikus sastra asal Belanda itu tentu bukan tanpa alasan. Ia memandang, kepenyairan wanita kelahiran Bandung, 27 November 1933 itu sangat khas. Oleh karena itu, ia punya tempat tersendiri di dalam peta kepenyairan Indonesia. Pendapat Teeuw yang terkesan melebih-lebihkan itu, menjadi sangat wajar manakala kita mencermati ulasannya atas sajak “Cocktail Party”. “Dari semua sajak yang saya sukai dan (saya) pilih untuk pembicaraan kumpulan ini barangkali sajak Cocktail Party-lah yang paling sulit dikupas.”[2] Selanjutnya, Teeuw mengatakan: “…barangkali sajak inilah yang paling rumit, yang paling banyak memerlu-kan analisa dan penafsiran di berbagai tingkat sekaligus.”[3]
Nada yang sama dengan ungkapan yang berbeda, dikemukakan pula Budi Darma dalam Kata Pengantar antologi Nostalgi = Transendensi.[4] Di akhir Kata Pengantar itu, Budi Darma mengatakan: “Toety Heraty sanggup menjadikan sajak-sajak dia benar-benar menjadi miliknya sendiri. Sebagai penyair dia merupakan sosok tersendiri. Dalam tulisan “Sajak-Sajak Toeti Heraty” (Horison, Oktober 1967, hlm. 308), Subagio Sastrowardoyo[5] juga menyatakan bahwa Toeti Heraty sanggup berdiri di luar arus, dan karena itu tidak sama dengan penyair-penyair lain.”[6]
Komentar kritikus-kritikus itu tentu saja boleh kita setujui, boleh juga tidak. Tak ada larangan untuk itu. Meskipun demikian, seperti juga penyair yang diizinkan untuk mengolah apapun menjadi miliknya sendiri, kita, pembaca dan penikmat sastra, juga punya hak yang sama. Perbedaan pandangan dan penafsiran atas sebuah teks sastra, dimungkinkan lantaran kompleksitas dan kuatnya ketaksaan yang melekat dalam diri teks sastra itu sendiri. Bahkan, di dalam karya-karya sastra apapun, terlebih lagi puisi, selalu terbuka peluang lahirnya penafsiran dan pemaknaan yang beraneka ragam, dan ketika karya itu dibaca ulang, sangat mungkin pula akan lahir makna baru yang tiba-tiba muncul dan mengganggu pikiran kita. Begitulah penafsiran dan pemahaman atas sebuah teks, sering kali sangat tergantung pada pengalaman pembacanya.
Dalam hal itulah, teks sastra menjadi sesuatu yang hidup, yang merepotkan kita mencari berbagai alat untuk membongkarnya, mengisi bagian-bagian yang terbuka, dan mengungkapkan apapun yang tersembunyi. Bahwa di dalam pelaksanaannya kita berhasil atau gagal, itu soal lain lagi. Kegagalan atau keberhasilan dalam konteks ini, tidaklah berhubungan dengan soal salah-benar, melainkan berkaitan dengan tingkat apresiasi dan latar belakang pengalaman masing-masing. Yang pasti, apapun yang kita kerjakan dalam memperlakukan teks sastra, hakikatnya tidak lain adalah pengejawantahan apresiasi kita selaku pembaca yang hendak menempatkan teks itu secara proporsional.
***
Antologi Nostalgi = Transendensi karya Toeti Heraty ini berisi 78 buah puisi yang dihasilkannya dalam kurun waktu lebih dari dua dasawarsa. Sebelum itu, ia telah menerbit-kan antologi Sajak-Sajak 33 (1973) dan Mimpi dan Pretensi (1982). Kiprah kepenyairannya sendiri telah dimulai sejak enam buah puisinya dimuat majalah Horison, Oktober 1967. Selepas itu, puisinya banyak dimuat di majalah Budaja Djaja (1968, 1970, 1974), Sastra (1969), Basis (1979), dan Zaman (1980).[7] Sejumlah besar puisinya yang terdapat dalam Nostalgi = Transendensi pernah dimuat di majalah-majalah tersebut.
Membaca dan mencoba mencermati antologi Nostalgi = Transendensi, kita seolah-olah dibawa oleh sebuah arus besar yang bernama kegelisahan; kegelisahan seorang pencari yang tak pernah jumpa; penanya yang tak pernah dapat jawaban; dan pemikir yang tak hendak berhenti berpikir. Sebagian besar, direfleksikannya lewat potret galau perasaan dan gagasannya yang terkadang sangat ironis, bahkan paradoksal; atau sekadar menumpahkan kegetirannya melalui gambar-gambar orang lain. Maka, pada saat tertentu, mungkin saja ia menempatkan dirinya selaku subjek, dan pada saat yang lain sekaligus juga sebagai objek, atau bertindak sepenuhnya sebagai subjek, meski objek yang diamatinya memantulkan kepedihan bagi dirinya sendiri.
Berbeda dengan penyair wanita sebelumnya, M. Poppy Hutagalung yang lebih ba-nyak menghasilkan sajak-sajak yang halus dan bersifat liris, atau sebagaimana dikatakan A. Teeuw, “lebih menunjukkan perasaannya yang lembut dan saleh ketimbang kreativitas kepenyairannya,” Toeti Heraty terkadang sengaja mempermainkan imajinasinya secara agak liar. Citra kewanitaan yang dilekatkan dalam diri aku liris, nyaris tidak pernah ditampilkan dalam gambaran yang lemah-lembut dan penuh pemaafan, melainkan dengan nada protes jika berhadapan dengan lawan jenis atau ironis jika memandang keterbodohan sejenisnya. Cara pengucapan Toeti Heraty pun sangat berlainan dengan penyair wanita sezamannya, semisal Isma Sawitri,[8] Diah Hadaning,[9] atau Susy Aminah Azis.[10]
Yang cukup menonjol dalam pengucapan Toeti adalah kentalnya kontemplasi dan perenungan atas masalahnya sendiri atau atas objek tertentu yang kadang-kadang justru membelit menjadi persoalannya sendiri ketika ia dikembalikan kepada pengalaman pribadi. Dalam sebagian besar puisinya, imaji yang dibangunnya menjadi sangat personal yang tidak jarang pula membangun perenungan filosofis. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan kita –pembaca– sering kali mengalami kesulitan untuk memahami puisi-puisi Toeti. Jika Teeuw[11] mengalami kesulitan memahami “Cocktail Party” lantaran ada tingkatan-tingkatan tertentu dalam proses pemahaman dan pemaknaannya, maka bagi saya justru karena kuatnya perenungan filosofis dan imaji personal yang menjadi alat ucapnya.
Kesulitan itu menjadi makin merepotkan ketika kita mencermati bentuknya. Tampak di sini, Toeti mengabaikan begitu saja ketentuan bait atau korelasi antar-larik. Ia lebih men-dahulukan gagasan. Boleh jadi, ia memperlakukan itu karena memang sengaja hendak mem-bebaskan gagasan dari ikatan-ikatan bentuk. Jadi, pemakaian enjambemen yang terdapat di sana-sini dalam sebagian besar puisi Toeti, tetap saja kurang begitu membantu ketika hendak menelusuri makna puisi bersangkutan. Bagaimana jelasnya persoalan itu? Mari kita telusuri!
***
Seperti telah disebutkan, antologi Nostalgi = Transendensi karya Toeti Heraty ini berisi 78 buah puisi. Secara tematis, ke-78 puisi itu mengangkat berbagai persoalan, meskipun keseluruhannya didominasi oleh tema yang menyangkut dan berkaitan dengan dunia wanita dengan berbagai problemnya. Dari ke-78 puisi itu, jika dikelompokkan berdasarkan cara pengucapan dan imaji yang hendak dibangunnya, maka kita akan menemukan bahwa sebagian besar (sekitar 60-an buah) puisinya menggambarkan suasana pikiran dan suasana hati.[12] Dalam beberapa puisinya, Toeti mencoba menggambarkan suasana pikiran atau suasana hati itu dengan memanfaatkan benda-benda alam, tetapi se-bagian besar dilakukan melalui pernyataan-pernyataan abstrak. Kesan yang kemudian mun-cul adalah sebuah ekspresi jiwa yang bersifat personal. Akibatnya, imaji yang dibangunnya juga cenderung bersifat personal.
Puisi pertama yang menjadi judul antologi ini “Nostalgi = Transendensi” misalnya sepintas lalu terkesan sebagai puisi yang mudah dipahami. Bahasanya enak dan setiap kata dalam urutan larik, disusun enteng seperti mengalir begitu saja. Tetapi, setelah pembacaan puisi ini selesai, timbul pertanyaan: “Lho, apa pesan yang hendak disampaikan puisi itu?” Nostalgi sama dengan transendensi/ sebuah penyimpulan yang sesungguhnya lahir dari proses panjang kegelisahan pikiran. Bagaimana kerinduan pada masa lalu, pada sesuatu yang sangat jauh, atau pada sesuatu yang mungkin sudah tidak ada lagi, diidentikkan begitu saja sebagai sesuatu yang bersifat rohani, gaib, dan abstrak (bersifat transenden). Dan kenyataan dalam hidup manusia memang demikianlah. Kita sering kali tiba-tiba saja merindukan sesuatu atau mengharapkan entah apa. Mengapa perasaan itu mendadak saja hadir dan mengganggu pikiran atau perasaan kita. Apakah kerinduan bisa direncanakan? Apakah perpisahan, baik yang direncanakan, maupun yang tidak direnca-nakan, dimaksudkan untuk menciptakan kerinduan? Semua merupakan sesuatu yang entah; tidak berjawab! Dan kepada kita, pembaca, penyair menyodorkan soalan itu melalui awal sebuah penyimpulan: Nostalgi sama dengan transendensi/
Larik-larik berikutnya: betul, ini permainan kata/lagi-lagi kata asing/tapi apa sih yang tidak asing/tapi itu hanya ilusi …. Seperti sebuah pertanyaan yang hendak dijawab dan dibenarkannya sendiri, penyair mencoba memberi argumen atas penyimpulan pada larik awal tadi. Tetapi kembali, argumen: betul, ini permainan kata/lagi-lagi kata asing, diterjang pula oleh soalan baru: /tapi apa sih yang tidak asing/ Di sini, kesan penyair yang seolah-olah bersoal-jawab sendiri itu, digugat kembali dan tampak penyair hendak memberi penyadaran, bahwa di sekeliling kita, terkadang keasingan atau munculnya sesuatu yang asing, bisa datang secara tiba-tiba, atau bahkan secara serempak. Ringkasnya, kehidupan manusia sering kali terpenjara oleh berbagai keasingan. Sampai di sini, kembali, penyair seolah-olah hendak memberi argumen yang lain: tapi itu hanya ilusi/ Ilusi sendiri –sesuatu yang berada di dalam pikiran atau angan-angan– juga sesungguhnya merupakan masalah lain lagi. Kita tidak tahu persis, mengapa kita tidak dapat menghindar dari ilusi. Jadi, penyair secara sadar hendak mengganggu kita dengan argumen yang sebenarnya bermakna pertanyaan.
Dalam larik berikutnya, penyair kembali mengajak kita kepada soalan awal tadi: kembali pada nostalgi/berarti kehilangan/yang dulu-dulu dibayangkan/hanya tidak mencekam lagi, karena/lembut dengan ironi// Mengapa mesti lembut dengan ironi? Memang, jarang sekali kita protes pada sesuatu yang bertentangan dengan harapan jika hal itu hanya terjadi dan diciptakan oleh pikiran atau angan-angan kita sendiri. Dan penyair merumuskannya dengan sangat padat lewat enjambemen pada larik-larik: karena/ lembut dengan ironi//
Dalam tiga larik bait terakhir, penyair terkesan tidak lagi hendak mempersoalkan ihwal nostalgi. Dikatakannya: saat kini yang berkilas balik/siapa tahu nanti …/kini –dulu– nanti, teratasi/bukankah itu transendensi? Sebuah penyimpulan baru dihadirkan, bersamaan dengan itu serangkaian soalan dimunculkan: siapa tahu nanti … Dan ketika kita dapat meng-atasi berbagai persoalan itu, tiba-tiba hadir pula pertanyaan: bukankah itu transendensi?
Demikianlah, “Nostalgi = Transendensi” telah menjajakan serangkaian pertanyaan yang titik berangkatnya sengaja dimulai lewat penyimpulan-penyimpulan. Dalam konteks ini, penyair menangkap esensi kehidupan dan mencoba merumuskannya. Tetapi ketika itu mengganggu dan menggelisahkan pikirannya, ia mengeluarkan kembali kesimpulan itu yang bermuara pada pertanyaan. Jadi ia berangkat dari kesimpulan dan berakhir dengan pertanyaan. Bahwa pertentangan-pertentangan itu terjadi merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari manusia. Itulah ironi! Banyak hal yang kita harapkan, dan sering kali kenyataan berbicara lain. Jika kenyataannya seperti itu, majas apa yang paling tepat untuk mengungkapkannya? Toeti memilih ironi. Dengan begitu, penyair ini tidak hanya mengangkat problem manusia yang ironis, perilaku kaumnya yang sering kali juga sangat ironis, tetapi juga memanfaat majas itu untuk alat pengucapannya sekaligus. Itulah salah satu kekhasan kepenyairan seorang Toeti Heraty.
Sebagian besar puisi dalam Nostalgi = Transendensi cenderung menggambarkan suasana hati dan suasana pikiran yang gelisah seperti itu. Tampak juga di sini, kematangan menangkap problem dunianya, problem citra sesamanya, dan problem kemanusiaan secara universal, disajikan dengan gaya yang demikian. Akibatnya, ironi tidak hanya menjadi sangat menonjol, tetapi juga berpadu dan menjadi bagian dari tema-tema puisi bersangkutan. Dalam hal yang menyangkut sikap dan usaha memahami dan memaknai kehidupan, penyair gagal menyembunyikan kearifannya. Lewat ironi yang disampaikannya, kita masih dapat menang-kap kearifan penyair dalam memandang berbagai masalah dan pengalaman di sekitar dirinya.
***
Bahwa puisi-puisi Toeti Heraty dalam Nostalgi = Transendensi didominasi oleh citraan yang menggambarkan suasana hati dan suasana pikiran, tidaklah berarti tidak ada sama sekali puisi yang menggambarkan suasana tempat dan peristiwa. Sekadar menyebut beberapa di antaranya, cermatilah puisi-puisinya yang berjudul “Wanita”, “Dua Wanita”, “Jogging di Jakara” dan “Balada Setengah Baya”. Keempat puisi itu, dapat dikatakan merupakan protes atau bahkan gugatan keras terhadap citra wanita yang dalam kacamata laki-laki selalu ditempatkan sebagai inferior. Yang menarik, penyair terkesan sekadar merekam atau memotret tanpa pretensi apa-apa. Sepertinya, penyair tidak hendak mela-kukan pemihakan, juga tidak mau menyampaikan fatwa-fatwa. Barangkali, ia sengaja se-kadar menyampaikan sebuah peristiwa atau mewartakan fakta yang justru telah menjadi pemandangan kita sehari-hari. Ia telah menjadi bagian dari kehidupan keseharian kaum wanita. Inilah ironi kehidupan, jika tidak dapat dikatakan sebagai sebuah tragedi kehidupan kaum wanita. Dengan perekaman dan pewartawan yang seperti itu, kita, pembaca, malah justru diganggu-gugat rasa kepeduliannya.
Perhatikan kutipan sajak di bawah ini yang memperlihatkan kepiawaian Toeti Heraty dalam membangun imaji dan menyodorkan ironi tematis.
hari ini minggu pagi kulihat tiga wanita tadi
berjalan lambat karena kainnya kain berwiru
meninggalkan rumah depan menuju jalan
terlentang antara pohon palma berderetan
jari hati-hati memegang wiru kataku
sedangkan tangan lincah mengelus rambut rapi
kenakalan kerikil menggoyahkan tumit selop tinggi
belum lagi angin melambaikan selendang warna warni
Dua bait puisi di atas (“Wanita” hlm. 29) menggambarkan tiga wanita di hari Minggu pagi, keluar rumah menuju jalan yang di pinggirnya berderet pohon palma. Dengan hati-hati ketiganya berjalan bersijingkat. Lalu apa yang terjadi ketika selop ting-ginya menginjak kerikil? Dan pada saat yang bersamaan angin melambaikan selendang-nya. Mengapa penyair mengatakannya dengan: kenakalan kerikil menggoyahkan tumit selop tinggi/belum lagi angin melambaikan selendang warna warni, dan bukan jatuh terjerembab gara-gara menginjak kerikil, lalu kainnya tersibak lantaran diterjang angin? Dalam hal ini, penyair sengaja menciptakan imaji yang merangsang kita, pembaca, untuk membayangkan apa yang terjadi lantaran kerikil dan angin.
Dalam bait-bait berikutnya puisi itu, asosiasi kita dibawa pada peristiwa yang menggambarkan kerepotan mereka membawa diri, tawar-menawar dengan tukang beca, dan perjuangan mereka mencapai tempat tujuan: arisan! Bagi ketiga wanita itu, itulah keriangan, keasyikan dan dinamika kehidupan mereka. Sebaliknya, bagi si aku liris, peristiwa itu, justru merupakan pilu yang tak tersembuhkan lantaran mereka tidak menyadari peranannya sebagai wanita, sebagai manusia. Sungguh ironis!
Ironi yang juga sangat kuat, dapat kita jumpai dalam puisi “Balada Setengah Baya”. Penggambaran perselingkuhan sepasang manusia setengah baya yang terjadi di sebuah penginapan –dua jam saja– dalam puisi ini, sungguh kaya dengan imaji: kondisi hotel yang memilukan, suasana di dalam dan di luar hotel yang tidak bersahabat, kencan yang berlangsung tergopoh-gopoh, dan akhirnya ditutup dengan kemafhuman si pelayan hotel: “tadi kamar sudah dibayar, ini kembalinya/sekalian handuk kami antar/lantas mau pesan minum apa?”//
Dalam puisi itu, penyair terkesan sekadar memotret peristiwa, suasana, dan tempat berlangsungnya perselingkuhan itu. Tetapi dunia persekitarannya tak ada yang peduli. Peristiwa yang sesungguhnya dapat dimaknai sebagai pelecehan terhadap perkawinan, harga diri manusia, dan ajaran agama itu, dianggap sebagai sesuatu yang sangat lumrah. Bahkan pelayan hotel pun tak punya hati untuk mempersoalkannya. Sungguh ironis.
***
Pembahasan ringkas puisi-puisi Toeti Heraty ini, tentu saja sangat tidak memadai. Meskipun begitu, duduk soalnya bukanlah di situ. Masih terlalu banyak pertanyaan yang niscaya bakal merepotkan kita jika kita mencermati puisi-puisi yang termuat dalam antologi ini. Hampir semua puisinya sangat enak dibaca, tetapi kembali, kita akan terkejut sendiri, betapa derasnya serangkaian pertanyaan menerjang kita manakala kita berusaha memahami pesan dan maknanya.
Jika kita hendak menempatkan antologi Nostalgi=Transendensi sebagai antologi puisi yang memberi penikmatan estetik, tentu saja antologi ini menawarkan banyak hal. Akan tetapi, sebagai antologi yang memberi pemahaman tematis, diperlukan pembacaan yang berulang-ulang. Dengan cara itu, kadang kala, puisi yang bersangkutan berbaik hati, membukakan jalan yang agak berkelak-kelok dan memberi pencerahan, dan mengajak kita menuju ke maknanya, meskipun dalam sejumlah puisi tertentu, diperlukan pula alat bantu lain yang bernama wawasan. Percaya atau tidak, silakan simak sendiri!
msm/23/11/2000
———————————————
[1] A. Teeuw, Sastra Indonesia Modern II, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989; hlm. 129.
[2] A. Teeuw, Tergantung pada Kata, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980; hlm. 78.
[3] Ibid.
[4] Budi Darma, “Sosok Toeti Heraty,” dalam Toeti Heraty, Nostalgi = Transendensi, Jakarta: Grasindo, 1995.
[5] Subagio Sastrowardoyo sendiri tidak mengatakannya di luar arus, melainkan di luar mainstream persajakan modern kita. Tulisan di Horison itu kemudian dimuat lagi dalam buku Subagio Sastrowardoyo, Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 180.
[6] Budi Darma, Loc. Cit., hlm. xiv.
[7] Periksa Ernst Ulrich Kratz, Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988, hlm. 350–351.
[8] Sajak-sajak Isma Sawitri sebagian besar masih bertebaran di berbagai majalah. Beberapa di antaranya termuat dalam sejumlah antologi bersama. Korrie Layun Rampan pernah mengulas serba sedikit puisi-puisinya dalam Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, hlm. 149–190. Dalam buku ini, Korrie juga membincangkan karya-karya 30 penyair wanita Indonesia, mulai dari Nursyamsu sampai Nenden Lilis. Di dalamnya ada juga pembicaraan puisi-puisi Toeti Heraty, terutama yang terdapat dalam Mimpi dan Pretensi (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), berisi 64 buah puisi.
[9] Diah Hadaning telah menghasilkan beberapa antologi, di antaranya, Surat dari Kota (mendapat penghargaan dari Gapena, Malaysia, 1980), Balada Sebuah Nusa (1979), Jalur-Jalur Putih (1980), Pilar-Pilar (1981), Balada Sarinah (1985), dan Sang Matahari (1986).
[10] Susy Aminah Azis menghasilkan beberapa antologi, di antaranya, Seraut Wajahku (1961) sebuah antologi yang masih memperlihatkan romantisisme, lalu Tetesan Embun (1977) dan Wajah Penuh (1980).
[11] A. Teeuw, Tergantung pada Kata, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980, hlm. 78–79.
[12] Mengenai puisi yang seolah-olah sekadar menggambarkan suasana, beberapa kritikus mema-sukkannya ke dalam kotak puisi suasana. Toto Sudarto Bachtiar dan Ajip Rosidi termasuk dua di antaranya yang kuat sekali penggambaran suasananya. Lantaran yang hendak digambarkan hanya suasana, maka puisi-puisi seperti ini, cenderung agak sukar dipahami. Imaji yang dibangun dalam puisi-puisi sejenis ini sulit dikaithubungkan dengan sesuatu. Itulah sebabnya, untuk puisi-puisi yang seperti itu, ada juga yang menyebutnya sebagai puisi gelap, yaitu puisi yang sukar ditangkap pesan dan maknanya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar