Rabu, 10 September 2008

PELATARAN BUDI

KRT. Suryanto Sastroatmodjo

Masa telah makin memanjang, semenjak manusia gemar berakrab dengan binatang. Sepertinya torehan di dada pengembara, jika aku menyentil soal ini. Karena manusia acapkali harus berkiprah tentang muara-muara keberuntungannya, sebelum dia secara telanjang mengetuk pintu dapur rumahnya sendiri, untuk berhutang garam sesendok.

Barangkali, malah bukan berhutang, melainkan mencuri kentang segenggam, buat mengenyangkan perut yang keroncongan. Soalnya, banyak hal berubah; dan manusia merasa malu memasuki istananya sendiri dari arah depan. Dia lebih merasa dihargai, jika menyelinap dari pintu-pintu darurat, atau mendobrak jendela nan terkunci karena hanya hendak mengambil sesuatu yang kurang berarti. Adakalanya juga, karena hendak memasuki kamar pelayannya yang ayu dan masih perawan, untuk mengambil sesuatu yang susah diterangkan di sini. Atau, hanya untuk mencari sepucuk surat dari seseorang, yang begitu pentingnya sehingga disembunyikan oleh isterinya dalam lemari pakaian. Dan karena itulah ia terpaksa mengambilnya dengan cara yang aneh.

Adik Chistina yang rajin membaca!
Alangkah suntuk dan sumuknya dada, jika selama hari-hari kerja ini, kita menjadi robot melulu. Mungkin sekali, kau berkeberatan, jika abangmu ini menyebut demikian. Bukankah tahun ini dikau telah mencoba bekerja di suatu instansi, dengan resiko untuk ‘tercancang-tertemali’ di kursi selama berjam-jam, sehingga rasanya seperti kehilangan kebebasan yang semula dicecap secara leluasa. Akan tetapi, kalau dipikirkan secara luas, pekerjaan yang ditekuni selama jam-jam dan hari-hari, bahkan kemudian bisa mengangkat hargadiri seseorang itu, ternyata sebetulnya awal dari kemuliaan yang tiada terbatas. Tuahnya akan dirasakan oleh beberapa generasi yang terlibat secara tak langsung oleh tokoh-utama dalam kisah ‘tertemali di kursi’ nan menjemukan itu. Andai saya, bisa menjabarkannya, bisa dilukiskan semua itu seperti tembang yang titinadanya sangatlah laras dan mudah dilacak, setelah kita mendengar lengkingan nyanyian waranggana (biduanita Jawa), yang menyampaikan lagu tersebut ke tengah hadirin. Apa yang bisa terdungkap adalah semacam kelugasan dinihari.

Adik Christina yang kusayang.
Karena itu, abang yang dulu menyesalkan, kenapa adik secepat itu mengakhiri studi pada tingkat Sarjana Muda (padahal, masih duatahun yang harus adik jalani menuju tahapan penghabisan, bukan?) – hanya kauhadapi dengan sebuah senyum nan membekaskan lesung di pipimu. Abang juga belum dapat meraba kemauan adik yang sebenarnya, di balik cita-luhur yang diemban. Jadi, abang hanya menyampaikan pesan Ayahbundamu (yang karena tak sempat menyampaikan sendiri secara langsung, meminta tolong padaku untuk mengatakan hal itu padamu). Mereka punya gambaran, kalau studi dituntaskan, hasilnya akan lebih menggembirakan. Menguak cakrawala, karena hendak menyaksikan langit.

“Perempuan terusik oleh rambat-merambatnya umur, Bang,” ungkapmu waktu itu seraya menyisir rambut ponimu ke samping-menyamping. “Kalau seandainya aku peroleh gelar sarjana penuh di usia larut, tentunya akupun hanya beroleh jabatan yang melompong pada kantor yang telah sesak oleh pekerja-pekerja sebaya denganku, dan telah lebih dahulu melamar dengan bermodalkan ijazah SMTA dan Sarjanamudanya.” Lantas, seperti merenungi dini, dan menatap wajah di cermin, dikau bergumam: “Tiba-tiba saja, ketika kusadar telah duapuluhtiga tahun umurku, aku merasa, ada sesuatu yang tanggal dari diriku. Teman-teman sebayaku telah menikah, dan …” Aku mengelus rambutmu waktu itu.

Adik, adikku manis, Christina. Kau meratap dan sesambat – sebagaimana Ayahbundamu memprihatinkan soal itu, sewaktu aku sowan ke tempat tugasnya yang baru, di Bangkok, sebagai Konsul muda di ujung tahun lewat – “Adikmu itu, entahlah, Jang; belum juga punya pandangan yang serasi.” Lalu aku berbisik: “Kalau saja aku adalah pacarmu dulu-dulu, hari ini sudah kusunting.” Seribu sayang, Adikku. Aku sudah terlanjur bilang pada abangmu dan kakak tertua, bahkan di hadapan orangtuamu (kala kita masih bertetangga di Jakarta, tujuh tahun silam!), bahwa Dik Christina tetap akan kuanggap adikku sendiri. Aku toh harus bertahan dengan sikap semacam ini; tandang terpahat lebih cerah.

Adik Christina, yang kukenal sedari kecil.
Orangtuaku memang tergolong konservatif, kendati dia punya pergaulan luas, dan tampil di kalangan yang memujinya sebagai pengusaha yang sukses. Masih ingatkah Christina, duapuluhan tahun silam, waktu kita masih sama-sama cilik? Christina sangat senang dolan ke rumahku, sehingga lekat betul dengan ibu. Maklum, ibu sebenarnya merindukan seorang anak perempuan, setelah kehadiranku. Sayang, aku tiada kakak, tiada adik, ontang-anting, dan karena itu nakal-bengal dan suka mengganggu bocah-bocah di bawahku. Umurku sudah tujuh tahun masa itu, dan telah duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Dikau masih berumur duatahunan, dan kalau sampai sore tak pulang-pulang, maka ibuku memandikan dirimu bersama-sama dengan aku (yang masih suka dimandikan di ember besar dekat sumur yang jernih selalu).

Nah, tentu Christina ingat, kita sama-sama telanjang bulat, dan aku malu-malu berdiri dekat tiang sengget yang satu, sementara dikau tertawa-tawa lucu di arah lain. Ibuku dengan penuh kasih sayang menyabuni kita berganti-ganti dan kala itu, masih kuingat katamu seraya menuding kemaluanku: “Aduh, bulungnya Abang Lulu besaaal sekali. Hi, hi, hi, hi. Kenapa aku tak punya burung sepelti Bang Lulu…?” Aku tentusaja kemalu-maluan, seraya mengepit ‘burung’ku di antara paha dan ibu geli karena pertanyaan bocah yang teramat naif. Sungguh, Christina, kenangan yang tiada seberapa itu amatlah lama tersemat di benakku. Hingga aku kemudian bersekolah di kota lain, mondok dan lupa akan pertautan silaturahmi antara keluarga kita.

Adik Christina yang punya tatapan tajam.
Kemudian, kemudian sekali, abangmu yang menjadi dokter datang ke Yogyakarta, dan menemuiku di tempat kost, seraya menceritakan bahwa adiknya yang bungsu: Christina, kini meneruskan kuliah di kota itu. Dia berpesan, kalau ada waktu, datanglah di pondokannya di utara kota, karena adik kebetulan mondok di seorang keluarga dekat dari ibumu. Kujawab, aku banyak waktu luang sore hari; jadi aku siap untuk menjenguk. Bang Rusli juga menitipkan, agar aku ikut mengawasi kuliah sang adik.

Adik Christina.
Haruslah kuceritakan, Bang Lulu-mu ini telah mulai bekerja sejak tingkat dua, dan karena abang bekerja pada sebuah perusahaan suratkabar, maka jadwal-kegiatan abang tak selalu mengikat. Dengan demikian, secara lambat, namun tepat, abang dapatlah juga meneruskan kuliah hingga rampung. Tapi itu tak penting betul untuk kuceritakan. Aku meminta maaf, karena selama ini abang terus datang menemanimu, saban Sabtu petang, untuk berjalan-jalan dan nonton film. Keluarga Santosa, tempat adik mondok, sudah pula menganggapku sebagai anggota keluarga sendiri. Maka tanpa rikuh-rikuh, mereka mempersilahkan abang beberapa kali berbaring (dan tidur) di kamarmu. Malahan, adik Christina nampaknya juga punya anggapan demikian. Bukankah sering, setelah kita pulang nonton, pukul 21.00 malam, abang masih diperkenankan tidur di ranjang (yang adik tiduri). Tak jarang kita berbaring berdua dan bebas seperti pasangan-pasangan yang saling mencintai. Atau, kalau aku habis menjemput adik dari kampus, pukul 15.00 sore, tanpa canggung pula kita berdua mandi bersama, dan sejenak kita melepaskan ketegangan-ketegangan yang mengamuk dalam sukma.

Biasanya sehabis menikmati saat-saat bermesraan yang mengesankan, kulihat adik Christina bobok tenang dan nafasmu teratur sekali. Sesekali abang mengulum puting payudaramu yang lembut dan indah, atau mengecupi bulu-bulu kalong yang biru tipis dekat pusermu, menikmati ketelanjanganmu. Kendati kita tak pernah saling mengucapkan kata-kata sayang dan cinta sehari-hari, akan tetapi pada saat hanyut dalam api asmara, kudengar lembut desismu mengucapkan kepasrahan total, atau diriku sendiri yang berusaha mengajakmu. Atas segala lantunan surgawi itu, kita takkan mungkin melupakannya begitu saja. Tapi, apakah Dik Christina juga siap dan secara sadar mendenyutkan satu kefahaman, bahwa harus ada pertalian lebih kokoh antara kita ini? Atau semua ini hanya fatamorgana yang begitu hanyut, segera meredup di kehampaan?

Adikku, Adik Christina yang tabah.
Lalu, seperti tiba-tiba saja adik memutuskan untuk keluar dari Universitas yang begitu membanggakan itu, untuk memilih pekerjaan sebagai penerjemah di sebuah penerbitan. “Mengapa?” tanyaku waktu kita berbincang di beranda depan rumah keluarga Santosa, seusai kemesraan yang ulang-berulang kita resapi itu. “Mengapa tiba-tiba keluar? Keluargamu masih sanggup mentuntaskan studimu. Atau, kalau adik bersedia, Bang Lulu ini siap membantu apapun yang adik maksudkan. Bagaimanapun, kita harus merintis haridepan sejak kini.” Tanganmu mencuwil pucuk daun kompring di pot porselin merahmuda berhiaskan ularnaga itu. Lampu-duduk menyala dalam temaram, hingga wajahmu murung sekali. “Hilangkah kepercayaanmu terhadap diriku, Dik? Atau adik sudah punya pilihan hati yang lain, yang sanggup menggantikan orang yang siap mendampingimu?”

Dikau memandang sayu, tanpa makna. Lantas temungkul. Aku menelan ludah. Biasanya, tatapanmu yang demikian secepat itu meruntuhkan ketahananku, dan merengkuhmu secara tegap. Tapi malam itu, aku seperti tergagap dan kehilangan arah. Aku bersandar pada kursi goyang seraya menatap langit-langit. Kelana ini terlampau kering jadinya.

“Bolehkah adik mengucapkan sesuatu, yang abang dapat mengomentarinya?” Pasalnya, kemerdekaan batin teramat menuntut.
Silakan, sayangku. Silakan. Itulah yang kutunggu-tunggu selama ini.” Aku menghela nafas. Sungguh menderaslah air merayap.
“Ya, Bang Lulu. Aku harus segera siap mandiri. Itu harus, harus…” Laku mendekatkan temali lonceng dalam wirama sontak.
“Siapa yang mengharuskan? Beberapa tahun lagi, sempurna kesarjanaanmu, Dik.” Ragamhias perjalanan: Hidup pun tersapa.
“Tak perlu selama itu,” tukasmu dengan suara bergetar. Aku bangkit, memandangmu. Pertanda telah merawikan nyanyi yang samadi.
“Katakanlah, Dik. Itu semua perlu abang ketahui. Abang perlu memahaminya.” Seraya merenungkan kembali, di mana coretan merah.

Dikau berdiri seraya memutus tangkai kembang kompring itu. Daun hijautua itu putus, lalu kaugulung dan segera kaulemparkan padaku. Aku juga berdiri kemudian. “Bang Lulu. Aku benar-benar kecewa. Tak kuduga bahwa abang seorang pengecut. Abang ternyata hanya senang mempermainkan wanita!”

“Adikku, kau termakan hasutan orang-orang yang irihati. Ingatlah.”
“Tidak. Aku malahan dapat merasakan sendiri. Dulu, abang berjanji kepada orangtuaku dan saudara-saudaraku, bahwa kau akan tetap menjaga dan mendampingiku hingga aku tamat kuliah. Tapi abang telah mengingkarinya, bukan? Pamrih di hatimu telah mengkoyakkan kesucian prasetya. Kehormatanku telah abang rusak dan tiap saat, abang memperlakukan aku sebagai boneka permainan. Tapi pernahkah abang mengucapkan janji bahwa abang siap bertanggungjawab terhadap masadepanku? Nol, nol besar. Kau tak berbeda dengan lelaki jalanan yang mudah mengucapkan kata-kata muluk, tetapi sepi tanggungjawab…”

“Tapi, tapi, Dik. Kita lakukan semua itu atas dasar kerelaan diri masing-masing. Kita serahkan segalanya tanpa sesalan, bukan? Kita, kita, kita berdua.”
“Ah, aku tak sudi berbicara kasar padamu, Bang. Orang yang kukenal sedari kecil dan kupuja sebagai pelindung. Tapi abang menyianyiakan dan menyalahgunakan kepercayaan itu. Maka, daripada aku harus menyesal untuk keduakalinya, kini aku lebih baik cepat mandiri, punya pekerjaan tetap, berpenghasilan tetap. Dan tak usah menggantungkan hidup pada seorang lelaki.” Menjadi serpihan dari pori-pori kulit denyutan darah.

“Christina, dengar. Dengar! Aku toh siap untuk menerima tanggungjawab itu, kapanpun. Kapanpun kau menuntutku, atau keluargamu memintaku, Dik.” Sekali lagi, dan sekali lagi, menagihnya keras.
Dikau membanting asbak dan benda perak itu tepat mengenai daguku – sedemikian keras, sehingga gusiku berdarah; Aku minta diri. Aku malu! Bahwasanya, manusia bermuara di laut pula!

Adik Christina nan budiman.
Kemesraan pelan-pelan tinggal larutan hitam di mega gompal jauh di angkasa semayup. Yang tinggal hanyalah kuah kopi yang pekat serta pahit. Kalau kau kini duduk menekuni pekerjaan di kantormu yang modern serta tenang, kuharap sejenak kaukenang segala yang pernah kita alami. Kalau adik kini tertemali di kursi, dan hal itu kaurasa lebih tepat katimbang segera menyelesaikan studi tahap-akhir, baiklah. Kuhormati tekad-bijak seorang gadis yang memilih jalan sendiri, yang dianggapnya lebih terhormat. Akhirnya bakal menggulir sendi pelayaran musim bunga.

Kuakui, aku pengecut, dik. Sangat hina di matamu, bukan? Secara jujur, kukatakan bahwa selama aku berhubungan dengan Dik Christina dulu, sebetulnya aku sudah berkeluarga di kampung-kelahiranku, atas dorongan orangtua; dan memang aku sudah punya seorang anak yang berumur setahun. Aku merasa tersudut dan karena itu aku kejar Dik Christina, karena aku merasa, cinta kita tebal-mengental, hingga kelestarian lebih akan terpatri nanti. Maafkanlah, adik. Boleh-jadi seorang teman sekerjaku membocorkan kenyataan itu, dan adik merasa bahwa aku telah berbohong, mendustai, mempermainkanmu.

Tapi apapun masalahnya, aku tetap hormat dan setia padamu. Tulus tak ternoda oleh apapun. Abang juga masih tetap akan sowan kepada Ayahbundamu untuk sesuatu yang lebih luhur katimbang hanya oleh coklekan kasih yang patah. Tidak, adikku. Aku bukan mengucapkan selamat tinggal, melainkan selamat, selamat dan … selamat jumpa. Siapa tahu, pengampunan tiba kelak, dan kita jumpa kembali dengan hati yang lebih gumolong, lebih resik, tanpa pamrih yang keruh!
---
*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae