Senin, 02 Agustus 2021

TUJUAN APRESIASI SASTRA (5)

Djoko Saryono *
 
Dalam apresiasi sastra terjadi interaksi antara manusia-pengapresiasi dan sastra. Terjadinya interaksi ini berarti adanya perjumpaan aktif antara manusia-pengapresiasi dan sastra-yang-diapresiasi. Adanya perjumpaan memungkinkan berlangsungnya perjamuan dan percakapan imajinatif literer antara manusia-pengapresiasi dan sastra-yang-diapresiasi. Oleh karena itu, apresiasi sastra dapat dikatakan sebagai dunia-perjumapaan antara dunia-manusia dan dunia-kewacanaan literer. Selanjutnya, hal ini memungkinkan dibangunnya dunia-perjumpaan dan dunia-percakapan.
 
Sejalan dengan itu, pada kehadirannya sendiri apresiasi sastra sesungguhnya mempunyai satu tujuan saja, yaitu membangun dunia-perjumpaan yang memungkinkan adanya dunia-perjamuan dan dunia-percakapan sehingga terselenggara perjamuan-perjamuan dan percakapan-percakapan antara manusia-pengapresiasi dan sastra-yang-diapresiasi. Di dalam perjamuan dan percakapan inilah dunia-kewacanaan literer yang mutatis mutandis sastra bisa menawarkan, menyuguhkan, dan menghidangkan sesuatu kepada manusia-pengapresiasi. Sebaliknya, manusia-pengapresiasi boleh dan bisa menerima, mencicipi, dan memperoleh sesuatu itu. Sesuatu yang dimaksud di sini setidak-tidaknya dapat berupa empat macam, yaitu (i) pengalaman, (ii) pengetahuan, (iii) kesadaran, dan (iv) hiburan.
 
Pengalaman
 
Segala sesuatu yang dapat, boleh, dan mungkin dialami oleh manusia selama hidup di dunia fana ini dapat disebut pengalaman manusia. Pengalaman yang dimaksud di sini bukanlah pengalaman empiris, fisikal, dan kasat mata yang memerlukan tindakan jasmani, melainkan pengalaman nonempiris, nonfisikal atau metafisikal, dan tak kasat mata yang sesungguhnya hanya berkelebatan dalam rohani kita. Misalnya, ketika menonton permainan sepakbola, maka menonton sepakbola ini dapat disebut pengalaman manusia yang empiris, fisikal, dan kasat mata. Akan tetapi, ketika duduk mencangkung merenungkan sesuatu sehingga seakan-akan dalam suatu tempat penuh pergolakan, maka ini dapat disebut pengalaman manusia yang nonempiris, nonfisikal, dan tak kasat mata. Pengalaman terakhir ini merupakan pengalaman dalam kegiatan apresiasi sastra. Jadi, pengalaman dalam apresiasi sastra merupakan pengalaman rohaniah-batiniah manusia, bukan pengalaman jasmaniah. Bermacam-macam pengalaman rohaniah-batiniah manusia dapat dialami oleh pengapresiasi selama dan sesudah apresiasi sastra berlangsung, misalnya pengalaman literer-estetis, sosial-budaya dan sosial politis.
 
Pengetahuan
 
Pengetahuan berbeda dengan pengalaman meskipun sesudah melewati proses pengedapan dan pengonseptualan pengalaman bisa menjadi pengetahuan. Pengetahuan lebih konseptual, kognitif (baik tak sadar maupun sadar), dan diskursif dibandingkan dengan pengalaman yang naratif, ekspresif dan subjektif sekali. Dengan kata lain, pengetahuan merupakan hasil tahu manusia, sedang pengalaman merupakan hasil mengalami manusia; di sini terlihat bahwa pengetahuan melalui penyimpulan, sedangkan pengalaman melalui pencerapan.
 
Di samping menghidangkan pengalaman-pengalaman, apresiasi sastra juga menghidangkan pengetahuan-pengetahuan. Pengetahuan yang terhidang selama apresiasi sastra berlangsung merupakan penangkapan kognitif, konseptual, dan penyimpulan atas fenomena-fenomena karya sastra yang kita apresiasi. Dalam hubungan ini harus dipahami benar bahwa pengetahuan di sini bukanlah pengetahuan ilmiah, empiris-faktual dan sungguh-sungguh terjadi di masyarakat, melainkan pengetahuan yang merupakan tanggapan dunia sastra atas fenomena-fenomena kehidupan, harapan-harapan ideal manusia yang dipersepsi oleh sastrawan, dan citra-citra kehidupan yang kita inginkan atau das sollen kehidupan kita. Bisa saja pengetahuan yang diperoleh dalam apresiasi sastra benar-benar terjadi dalam masyarakat, namun hal ini lazimnya hanya merupakan resepsi dan persepsi individual dan tidak selalu demikian karena karya sastra pertama-tama tidak berurusan dengan kejadian nyata di masyarakat. Walaupun demikian, sastra yang baik senantiasa menyuguhkan pengetahuan yang tak pernah lepas dari masyarakat andai kata kita mampu memecahkan atau menafsirkan simbol-simbol kesastraan dan budaya yang terdapat di dalamnya. Sebagai contoh, andai kata kita mampu memecahkan simbol-simbol dalam Telegram (Putu Wijaya) tentu kita akan mendapatkan pengetahuan bahwa institusi-institusi sosial kita sekarang sedang mencair sebagaimana dilukiskan oleh ketidakmauan kawin Rosa dan Aku dalam cerita tersebut.
 
Selama dan sesudah apresiasi sastra berlangsung, setelah melakukan pengendapan, permenungan, penyimpulan, dan pengonseptualan apa yang kita apresiasi, kita bisa mendulang bermacam-macam pengetahuan. Nurani, rasa, dan budi kita bisa menjiwai, menghayati, dan menikmati bermacam-macam pengetahuan yang terangsangkan kepada kita. Diselaraskan dengan pengalaman yang bisa diperoleh dari apresiasi sastra, pengetahuan yang bisa diperoleh dari apresiasi sastra setidak-tidaknya berupa (i) pengetahuan literer estetis, (ii) pengetahuan kemanusiaan atau humanistis, (iii) pengetahuan religius-sufistis-profetis, (iv) pengetahuan magis-mitis, (v) pengetahuan filosofis, (vi) pengetahuan psikologis, (vii) pengetahuan sosial budaya, (viii) pengetahuan sosial politis, dan (ix) pengetahuan etis dan moral.
 
Kesadaran
 
Di samping menghidangkan pengalaman-pengalaman dan pengetahuan-pengetahuan, apresiasi sastra juga menghidangkan dan memberikan kesadaran kepada pengapresiasinya. Radar-radar penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan pengapresiasi diharapkan bisa mengirimkan sinyal-sinyal kesadaran kepada nurani, rasa, dan budi si pengapresiasi. Dengan demikian, pengapresiasi bisa memperoleh kesadaran tentang berbagai hal; tentang keindahan, kekejaman, ketidakmanusiawian, kebermaknaan hidup, hakikat hidup manusia, hakikat hidup bersama, kebobrokan dan kelicikan permainan kekuasaan, ketidakmampuan manusia berkelit dari belenggu tradisi budayanya, dan sebagainya.
 
Ketika mengapresiasi sastra, nurani, rasa, dan budi kita bisa memperoleh kesadaran betapa estetiknya, indahnya suatu karya sastra yang diapresiasi. Jika membaca kumpulan puisi Deru Campur Debu atau Aku Ini Binatang Jalang (Chairil Anwar), kita bisa sadar betapa indahnya bahasa puisi-puisi Chairil Anwar, betapa memikatnya pengungkapan perasaan Chairil Anwar. Sewaktu membaca larik-larik /Bukan kematian benar menusuk kalbu/Keridlaanmu menerima segala tiba/Tak kutahu setinggi itu atas debu/dan duka maha tuan bertahta/ dalam Nisan atau larik-larik //Kalau kau mau kuterima kembali/Dengan sepenuh hati//Aku masih masih tetap sendiri//Kutahu kau bukan yang dulu lagi/Bak kembang sari sudah terbagi// Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani// Kalau kau mau kuterima kau kembali/Untukku sendiri tapi//Sedang dengan cermin aku enggan berbagi// dalam Penerimaan kita dapat menyadari betapa indahnya susunan dan metafora kata yang dipakai oleh Chairil dan kental padatnya gagasan yang disampaikannya. Begitu juga sewaktu membaca kutipan Panembahan Reso karya Rendra, kita bisa dipukau oleh keindahan bahasa dan penataan gagasan yang demikian kental dan padat.
 
Pada waktu mengapresiasi sastra, kita juga bisa memperoleh kesadaran betapa kejamnya dan bengisnya penjajahan dan bentuk-bentuk penindasan lain. Andai kata membaca Lintang Kemukus Dini Hari secara khusuk dan kafah, kita bisa mendapatkan kesadaran betapa bengisnya dan kejamnya permainan-permainan politik dan kekuasaan dalam peristiwa tahun 1965 dan akibat-akibat peristiwa itu. Betapa tidak! Orang-orang yang tidak tahu apa-apa dan hanya karena mengikuti kegiatan kelompok PKI tanpa kesadaran harus menanggung akibat demikian besar: dikucilkan dari pergaulan dan tidak mendapatkan kemudahan hidup dalam masyarakat. Kita tiba-tiba menjadi sadar betapa kejam luar biasa dampak peristiwa tahun 1965 bagi banyak orang. Andai membaca Bumi Manusia kita disadarkan bahwa penjajahan dan penindasan dengan segala bentuknya selalu membawa ketidakbaikan dan kerusakan pada semua aspek kehidupan. Hukum menjadi berpihak, pendidikan menjadi tidak adil, kehidupan sosial terpolarisasi, curiga dan dendam kesumat merajalela, dan intrik-intrik di belakang layar tak terhindarkan. Demikian juga bila dibaca Sehari dalam Hidup Ivan Denisovich kita disadarkan bahwa kesewenang-wenangan dan sikap mentang-mentang (adigang adigung adiguna) karena memiliki akses politik dan kekuasaan demikian besar hanya membuahkan penderitaan dan kesengsaraan bagi manusia lain. Selain itu, hak-hak asasi manusia menjadi terabaikan pelaksanaannya dan terlanggar.
 
Kebobrokan dan kerapuhan institusi sosial dan pribadi-pribadi manusia pun dapat kita sadari adanya pada waktu mengapresiasi sastra. Karya sastra banyak menghidangkan, dalam arti merekam, menanggapi, dan menilai kebobrokan dan kerapuhan. Kalau dibaca Ladang Perminus (Ramadhan KH) secara sungguh-sungguh dan total, kita bisa sadar bahwa institusi-institusi sosial kita dan pribadi-pribadi kita sebenarnya bobrok dan rapuh. Dalam novel ini digambarkan direktur Perminus (Perusahaan Minyak Nusantara) melakukan korupsi secara besar-besaran demi kepentingan dirinya dan keluarganya dan institusi sosial yang berkepentingan dengan korupsi itu ternyata tidak berdaya sama sekali. Akibatnya, korupsi direktur Perminus terpetieskan atau tenggelam ditelan perubahan zaman. Demikian juga andai kata dibaca puisi Sajak Sebatang Lisong dan Sajak untuk Anak Muda karya W. S. Rendra, kita bisa menjadi sadar bahwa institusi sosial, politik, dan pendidikan bukannya mengembangkan generasi muda supaya siap menghadapi hidup, melainkan malah membelenggunya sehingga mereka menjadi generasi “angkatan gagap”, “terasing dari kehidupan”, dan “penganggur”. Kita disadarkan bahwa generasi muda belum diberi kesempatan untuk maju secara luas dan belum diberi wahana-wahana untuk mengembangkan diri secara mandiri, maksimal, dan beragam.
 
Hakikat manusia dan hidup manusia bisa juga disadari melalui apresiasi sastra. Sastra yang baik selalu menghidangkan permenungan tentang hakikat manusia dan hidup manusia di dunia. Bilamana diapresiasi puisi-puisi Emha Ainun Najib (misalnya Seribu Masjid, Satu Jumlahnya) dan cerpen-cerpen Danarto (misalnya dalam kumpulan Adam Ma’rifat dan Godlob) kita disadarkan bahwa manusia merupakan khalifah Allah di bumi dan karena itu hidup manusia harus diarahkan untuk beribadah kepada Allah semata-mata. Dalam puisi-puisi Emha diisyaratkan bahwa hidup manusia harus bersahaja, digunakan untuk tablig sosial, bersikap sederhana, dan penuh kepasrahan. Dalam cerpen-cerpen Danarto diisyaratkan bahwa hidup manusia harus dicurahkan untuk berusaha bersatu dengan Allah, berusaha manunggal-ing kawula Gusti, mencapai wihdat al wujud. Sementara itu, andaikata diapresiasi novel-novel Iwan Simatupang (Merahnya Merah, Kering, Ziarah, dan Kooong) kita disadarkan bahwa manusia pada hakikatnya bebas atau memiliki kebebasan. Dengan kebebasan itu hidup manusia diabdikan untuk mencari jati diri, kepenuhan makna, dan sebagainya. Pencarian itu bisa berupa pengembaraan, ziarah terus-menerus, dan menggelandang pada berbagai situasi tragis, absurd, irasional, dan kematian tak terpahami. Dalam hidup seperti inilah manusia akan menemukan hakikatnya. Ini berarti bahwa kita disadarkan bahwa tidak ada definisi pra-ada dan pasca-ada manusia; definisi manusia terletak pada hidupnya di dunia.
 
Sewaktu mengapresiasi sastra, kita sering pula disadarkan bahwa tradisi budaya sering tidak mengakomodasi gerak dan daya hidup manusia, tetapi justru membelenggunya. Sebaliknya, tradisi-tradisi baru sering mencabut manusia dari akar tradisinya sehingga dia mengalami dilematik hidup yang tragis. Pada waktu membaca Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), kita bisa memperoleh kesadaran bahwa tradisi budaya lama (Dukuh Paruk) telah menggilas manusia-manusia (masyarakat Dukuh Paruk khususnya tokoh Srintil) sehingga mereka tak berkembang. Hidup seperti dalam cagar manusia yang tinggal meluncur dan menggelinding mengikuti tradisi yang dibakukan oleh sesepuh (elite budaya). Hidup menjadi rutin dan tinggal menjalani nasib yang dianggap sudah digariskan oleh Allah. Sementara itu, ketika dibaca Belenggu (Armijn Pane), kita disadarkan bahwa tradisi budaya baru sering tidak akomodatif sehingga menimbulkan dilema sosial dan budaya bagi manusia. Sukartono, tokoh utama Belenggu, merupakan perwujudan manusia yang dilanda dilema kekosongan tradisi: ia sudah meninggalkan tradisi budaya lamanya dan menggenggam tradisi budaya baru, namun tradisi budaya baru itu tak bisa diterimanya secara sungguh-sungguh dan total serta tak berterima di masyarakat (sebagaimana disimbolkan dalam diri Sukartini dan Rochayah).
 
Sering juga kesadaran kita akan cairnya sistem sosial muncul pada waktu mengapresiasi sastra. Pada waktu membaca Telegram (Putu Wijaya), kita mendapati sebuah adegan di mana dua tokoh utamanya (Rosa dan Aku) yang sudah bercintaan demikian lama menolak kawin karena perkawinan hanya membawa rutinitas dan menghilangkan rasa cinta. Ini sesungguhnya menyadarkan kita betapa lembaga perkawinan telah cair maknanya dan nilai-nilai keluarga telah aus dilanda perkembangan-perkembangan baru dan pengalaman-pengalaman berkeluarga yang tidak enak. Demikian juga andai kata dibaca puisi Sutardji Calzoum Bachri (misalnya kumpulan O, Amuk, dan Kapak) kita mendapati begitu kuatnya unsur bunyi sehingga seolah-olah hanya permainan bunyi belaka yang hampa makna. Ini dapat pula ditafsirkan sebagai cermin betapa kehidupan kita hanya tinggal suara-suara saja, makna kehidupan sudah hilang. Dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara mungkin kita hanya berbicara saja yang sesungguhnya tidak ada maknanya. Di sini ada siratan makna bahwa kita mulai tidak percaya pada institusi sosial kita karena fungsinya telah macet.
    
Kesadaran-kesadaran lain sebenarnya selalu terhidang dalam apresiasi sastra. Dalam tulisan ini tidak dipaparkan semua kesadaran yang dimungkinkan dan dihidangkan apresiasi sastra. Dengan beberapa contoh kesadaran tersebut di atas diharapkan kita sudah bisa memahami bahwa apresiasi sastra bisa pula menghidangkan dan memungkinkan timbulnya kesadaran dalam diri kita. Kesadaran apa saja yang terhidang dan dimungkinkan kepada kita sebenarnya terpulang kepada diri kita sendiri. Andai kata radar-radar nurani, rasa, dan budi kita yang melandasi penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan begitu peka dan tajam, niscaya kita bisa mencicipi bermacam-macam kesadaran. Jika tidak, tentu saja tak diperoleh kesadaran. Karena itu, kadar penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan menentukan sekali dalam memperoleh berbagai kesadaran.
 
Hiburan
 
Apresiasi sastra tidak hanya menghidangkan pengalaman, pengetahuan, dan kesadaran (penyadaran?), tetapi juga hiburan (penghiburan?) karena sastra apa pun (puisi, fiksi, dan sastra-dramatik) yang digubah secara jujur dan sungguh-sungguh selalu menghibur; memancarkan sinyal-sinyal permainan yang menyenangkan dan menghibur. Sebuah dalil lama menyatakan bahwa seseorang yang membaca karya sastra mendapat kegunaan dan kesenangan karena sastra memiliki dulce et utile (kegunaan dan kesenangan). Johan Huizinga dalam Homo Ludens (1990:167) bahkan menegaskan bahwa “Poiesis (puisi) merupakan suatu fungsi permainan. Ia berlangsung dalam suatu ruang permainan mental, dalam suatu dunia yang diciptakan oleh jiwa bagi dirinya sendiri, di mana segala sesuatu menampilkan wajah berbeda dengan wajah dalam “kehidupan biasa”, dan dihubungkan satu sama lain oleh ikatan-ikatan yang lain daripada ikatan-ikatan logika”. Ditambahkan oleh Huizinga, ”Setiap puisi ... sekaligus ritus, hiburan dalam pesta, permainan pergaulan, kemahiran seni, ujian atau teka-teki yang harus dipecahkan, ajaran kebijaksanaan, bujukan, penyihiran, ramalan, nubuat, pertandingan”. Jadi, setiap sastra senantiasa menghidangkan hiburan dan kegiatan-kegiatan menggumulinya termasuk di dalamnya apresiasi sastra juga menghidangkan suatu hiburan bagi jiwa kita, batin kita.
 
Sudah tentu hiburan yang dihidangkan oleh apresiasi sastra berbeda dengan hiburan-hiburan modern yang dikemas dalam bisnis pertunjukan dan teknologi canggih. Pertunjukan sulap, sihir, musik, akrobat, dan sejenisnya memang menghidangkan hiburan. Namun, bukan hiburan seperti ini yang dihidangkan oleh apresiasi sastra. Apresiasi sastra menghidangkan hiburan mentalistis yang bermain-main dalam jiwa kita, batin kita. Kalau membaca Kabut Sutra Ungu (Ike Soepomo) kita merasa terharu, terpikat, terpukau, dan senang sehingga dari bibir terlontar kalimat tertentu, maka sesungguhnya kita telah terhibur. Kita telah menyantap hidangan hiburan sewaktu mengapresiasi Kabut Sutra Ungu. Pada saat membaca kumpulan puisi Potret Pembangunan dalam Sajak (W.S. Rendra), kita merasa senang, lega, dan puas, sesungguhnya kita telah terhibur sewaktu membacanya.
 
Dalam apresiasi sastra, sesungguhnya terdapat bermacam-macam hiburan. Apa saja macam hiburan dalam apresiasi sastra sebenarnya sulit diidentifikasi karena sifatnya subjektif, sangat bergantung pada kepekaan dan ketajaman nurani, rasa, dan budi pengapresiasinya. Meskipun demikian, kita bisa menduga beberapa gejala yang bisa menjadi hiburan atau menyuguhkan hiburan sewaktu apresiasi sastra berlangsung. Gejala-gejala yang bisa menghidangkan hiburan dalam apresiasi sastra yang dimaksud sebagai berikut. Pertama, kita bisa memperoleh hiburan ketika menghadapi atau menemui suatu fenomena yang parodis dan melecehkan. Sering kita merasa terhibur bila menemui sesuatu yang parodis dan melecehkan pada waktu mengapresiasi sastra. Kedua, sewaktu mengapresiasi sastra, kita bisa memperoleh hiburan karena sastra yang diapresiasi mempunyai kemerduan bunyi yang demikian tinggi atau ikonisitas begitu tinggi sehingga asosiasi kita terarah pada sesuatu yang lucu dan menggelikan. Ketiga, pada waktu mengapresiasi sastra, kita bisa memperoleh hiburan karena dihidangi oleh peristiwa-peristiwa absurd, tak masuk akal atau irasional, dan yang kabur antara kenyataan dan imajinasi. Kadang-kadang dihidangi juga simbolisasi-simbolisasi yang dalam kehidupan sehari-hari terasa aneh, tak mungkin, dan luar biasa. Keempat, sewaktu mengapresiasi sastra, kita bisa memperoleh hiburan karena sastra yang diapresiasi memiliki tema menggelikan, gaya ungkapnya polos sekaligus mbeling (nakal), dan melecehkan norma-norma literer-estetik yang mapan. Kelima, kita tampaknya juga sering seakan-akan memperoleh hiburan sewaktu membaca karya sastra tertentu yang bisa mewakili suasana batin kita atau pikiran-pikiran kita sendiri yang tidak mungkin kita sampaikan sendiri. Kita sering mempunyai suasana batin dan pikiran yang demikian menyesakkan dan tak mungkin diungkapkan sendiri, kemudian mencari saluran lain dan mendapatkannya sewaktu membaca atau mendengarkan pelisanan karya sastra tertentu baik puisi maupun fiksi. Anak-anak muda kita sering jengkel dan kesal dengan keadaan sosial politik negara kita dan mereka mendapatkan saluran kejengkelan dan kekesalan itu pada karya sastra tertentu, misalnya puisi Rendra.
 
Beberapa hal yang dikemukakan di atas sebenarnya sekadar beberapa pertanda fenomena apresiasi sastra yang bisa menghidangkan hiburan kepada pengapresiasinya; sekadar beberapa tengara keterhiburan kita selaku pengapresiasi. Pada akhirnya, hiburan apa saja yang bisa didulang sewaktu mengapresiasi sastra terpulang kepada kita atau pengapresiasinya: seberapa peka dan tajam nurani, rasa, dan budi kita atau pengapresiasi terhadap fenomena-fenomena hiburan; seberapa besar kadar penjiwaan, penghayatan, dan penikmatan kita atau pengapresiasi atas suatu karya sastra; dan seberapa banyak bekal yang kita miliki atau dimiliki oleh pengapresiasi.
 
Bersambung 6

*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga Internasional. http://sastra-indonesia.com/2021/08/tujuan-apresiasi-sastra-5/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae