Rabu, 10 Maret 2021

PENGHILANGAN KATA DALAM KRITIK SASTRA INDONESIA (IV)

Jawaban untuk bagian A. Pengantar esainya (makalahnya) Sofyan RH. Zaid
 
Nurel Javissyarqi
 
IV
Leksikograf Indonesia, Wilfridus Josephus Sabarija Poerwadarminta pernah memakai nama samaran Ajirabas, Semplak, Sabarija. Salah satu tokoh sastra Indonesia yang ahli perkamusan bahasa Indonesia, Jawa, Kawi, dll. Dia hanya menulis satu puisi, tiga prosa, dua naskah drama, yang semuanya dimuat dalam majalah. Semasa kanak sekitar umur tujuh tahun, dia diajak orang tak dikenal (istilah sekarang diculik), kemudian dilepas (dibuang) di pinggiran kota Solo. Karena nalurinya tinggi, alam pikirnya mengikuti jalur kereta api ke arah barat, yang akhirnya mencapai desa Prambanan dengan keadaan tubuhnya pingsan lantaran kelelahan, tersebab sejauh jalanan dilaluinya hanya mengunyah batang tebu yang tumbuh sepanjang kebun tebu di lintasan kereta api. Kemudian ditolong kusir andong, diantar pulang ke rumahnya di jalan Gamelan, Jogjakarta. (wikipedia).
 
Poerwadarminta menguraikan kata “dalam” dengan tujuh tingkatan. Misal pertama; sungai ini dalam juga rupanya, atau rupanya sungai ini dalam juga. Di sini sudah lewati proses penjajakan, atau yang berkata telah mencoba menjajaki kedalaman sungai, dapat terjadi sampai pengetahuan dasar sungai. Dan bisa pula belum mencapainya, masih misteri dalam kepalanya berisi muatan penalarannya?
 
Misal kedua, piring dalam; tidak ceper (jeluk). Ketiga, sumur ini dalamnya lebih kurang tujuh meter; yang mana orang memberitakannya betul-betul telah mencapai dasar sumur, atau dapat memperkirakan kedalamannya. Contoh lain, perkataan ini dalam artinya; perihal itu bersangkut atas pengetahuan pun perselisihan tak habis usai atau persengketaan tak mudah diselesaikannya. Keempat, keluar dari dalam rumah; keluar ruangan, atau perpindahan dari dalam keluar, sesuatu yang muncul atau ditampakkan kondisi yang melekati kata “dalam.” Kelima, urusan dalam atau urusan di lingkungan sendiri; bagaikan istilah urusan dalam negeri. Keenam, membaca dalam hati; atau kegiatannya yang tidak tampak dari luaran, seperti misal ketujuh, penyakit dalam.
 
Dalam paragraf itu, pembaca bisa berdalam-dalam, atau bertambah dalam kalau menjangkaunya pelahan di kedalaman batin yang tenang ke dalam mendalami, meresapi, memasuki dalam-dalam setiap persoalan kalimat yang berkaitan kata “dalam.” Sehingga sanggup mendalamkan seluruh permasalahan berkait kata “dalam,” bukan malah membuang kata “dalam,” kala tidak sanggup mendalami pengertian kata “dalam.” Dengan memperdalam atau mendalamkan persoalan kata “dalam,” diharapkan menampilkan isi kedalaman kata “dalam,” sampai pikiran tidak hanya berkutat di pedalaman nalar sendiri, tapi juga bergumul penalaran lain meski berseberangan.
 
Keseluruhan kedalaman tersebut diharapkan, dan saya sekadar meletakkan dasar kata-kata di dalam itu, tidak lebih seperti air di dalam gelas. Atau bibirmu dalam lumatan bibirku, umpama ditinggikan sedikit menjadikan misal, susu macan dalam gelas kristal, dan rasanya penguraian sampai ke kedalaman ini agak komplit. Maka dipergeser pada temuan para kritikus mengenai cikal bakal bahasa Indonesi yang berasal dari bahasa Melayu, dan boleh pembaca menyebut melompat, toh tak sampai keluar dari kedalaman bahasa. Mungkin ini akibat penghilangan (kehilangan) kata “dalam,” lalu diajak mengikuti angin masa lampau menyusuri cikal-bakal bahasa Indonesia, menyibak daun-daun lawas sambil tajamkan indra pendengaran paling purba, meski selintasan kedipan mata, dan para pakar bolehlah menjajaki lebih ke dalam dari pengelana.
***
 
Kata “dalam” mungkin berasal dari kata “nDalem” yang dimasa lampau merujuk ke dalam kehidupan di lingkungan keraton, sikap priyayi, laku keturunan berdarah biru, semisal istilah keluarga ndalem, prilaku orang ndalem. Dimungkinkan, sistem lambang bunyi ujaran “ndalem” menghiasi alam bahasa Melayu Kuno dengan aksara Pallawa yang terdapat di Prasasti Kedukan Bukit (tahun 683 M), Prasasti Talang Tuo (tahun 684 M), keduanya berada di wilayah Palembang. Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat (tahun 686 M), Prasasti Karang Brahi (tahun 688 M), berada di antara Jambi dan Sungai Musi, atau di dalam masa-masa itu bahasa Melayu berbentuk bahasa Melayu Kuno telah digunakan sebagai alat komunikasi di jaman Sriwijaya
 
Kemudian diri saya dilempar menuju Prasasti Sojomerto (Sajamerta), peninggalan Wangsa Sailendra, yang ditemukan di Desa Sojomerto, Reban, Batang, Jawa Tengah, beraksara Kawi dalam bahasa Melayu Kuno, yang menurut perkiraan paleografi, ini berasal dari kurun akhir abad ke-7 awal abad ke-8 Masehi, lalu mendapati Prasasti Gandasuli, (832 M), menjumpai Prasasti Manjucrigrha Bogor (942 M), Prasasti Terengganu (1303 M). Sementara kritikus Maman S. Mahayana (MSM) hanya menyebut dua prasasti, Sajamerta dan Manjucrigrha (792 M) dalam bukunya “Bahasa Indonesia Kreatif” (Edisi Revisi) Penerbit Penaku 2015, h. 10.
 
Tatkala “kata” pertama diucapkan, didektekan menjelma “Iqro’ : bacalah.” Kata menjelajahi masa-masa lampau nun jauh sebelum terciptanya, sedurung (sebelum) kehadiran dunia seisinya serta keberadaan alam semesta, dan bukan meluncur tiba-tiba, karena kata-kata telah mendiami alam “surga yang dipercaya sebagai tempat asal-muasal kata,” Pidato Nobel Sastra Nadine Gordimer. “Ketika kata diejawantahkan dari bunyi menjadi rupa, dari didengar menjadi dibaca sebagai serangkaian tanda, dan selanjutnya sebagai naskah; dan bepergian pengembarai waktu…”
***
 
Pengembaraan paling sunyi teramat wingit senantiasa dirawat penulis, mereka pembuka pintu-pintu kata, keluar masuk jendela kata, disaat senja, malam hari, dikala detak jarum jam tengah malam, dini hari, sepertiga malam, fajar hingga terik menyengat; kata terus kembara dengan sifat-sifatnya, berkelana makna-makanya yang duniawi maupun Ilahi, kata terus bertahan hidup dalam setiap kondisi cuaca, musim, jaman, serta dari cengkeraman para penguasanya, dan kata-kata dibentuk sekaligus membentuk alat yang mampu menjelma kepandaian bicara pun retorika; para penyair juga agen-agen bahasalah yang merawatnya secara bijak, sehingga “kata” sanggup melintasi pelbagai generasi, melampaui jaman-jaman yang tidak terkira.
 
Nasib “kata” pernah tenggelam dalam kebisuannya, terkubur kelupaan lama, ada yang dibuang, dihilangkan, dicampakkan, namun sekaligus betapa menjadi buruk kehadirannya hingga dirasa menjijikkan, tetapi kembali serupa manusia merindu surga, tempat asal muasanya. Sedangkan prasasti sebagian ditemukan itu bukti “kata” dirawat demi tonggak kejayaan mendatang, seperti “kata-kata” mampu meramalkan masa datang atau kedirian “kata” ditakdirkan mampu melintasi pelbagai bencana alam pula perusakan manusia, “kata” terus menerobos kepala anak manusia serta menjadi mimpi buruk dalam hidupnya. Ini bukanlah kehendak mitos, meski bagian dari irisan dalam takdir “kata.”
***
 
Menyebut turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad Saw dalam Gua Hira’ (611 M) dengan tahun tertera pada Prasasti Kedukan Bukit (683 M) hanya berselisih 72 tahun, namun jauh sebelum itu, di atas ketinggian abad-abad sebelum masehi, manusia telah menancapkan jejak temuannya dalam waktu tidak sama di belahan-belahan dunia: “Mesir misalnya, prasejarahnya sudah berakhir dalam tahun 4000 SM. Dalam periode itu orang Mesir sudah mulai menulis. Di Pulau Jawa, kita harus menunggu 4 1/2 millennium (1 millennium = 10 abad) hingga manusia sepandai itu. Prasejarah pulau ini berakhir baru antara 300-400 SM. dengan datangnya orang Hindu.” (tengok bukunya H.J. Van Den Berg dan Baganding Tua S, dengan judul “Prasedjarah dan Pembagian Sedjarah Eropah,” Dinas Penerbitan Balai Pustaka Djakarta, 1958).
 
Antara di Mesir dengan perkembangan di pulau Jawa, kita temukan orang-orang jaman Aksial (sebelum 1600 hingga 900 SM). Atau dengan sketsa besar, betapa luar biasanya perkembangan nalar manusia menyetiai kata dan bahasanya, lantas di antara peristiwa itu, tanda, aksara, kata, bahasa, banyak sudah terkubur dalam perputaran perubahan dunia, tidak terkecuali aksara Jawa yang bahasanya paling muda tumbuh, telah mulai ditinggalkan bangsanya. Semua ini dapatlah dimaklumi, lantaran pergesekan rasa, benturan antar peradaban juga peristiwa bencana alam menggoyang derajat panji-panji temuan. Untuk bahasa melayu, sebagian terbitnya parasati di atas telah digoncang hebat bencana, atau prasasti-prasastinya kokoh berdiri jauh sebelum tragedi ledakan Gunung Tambora (1815), meletusnya Gunung Krakatau (1883) yang memisahkan pulau Jawa dengan Sumatera.
***
 
Dan untuk mencatat beberapa tonggak, keputusan, kebijakan dalam pelestarian bahasa Melayu, saya jumput dari bukunya MSM dicampur wikipedia, atau seyogyanya dimulai dari penelusuran di bawah ini, sebelum mencapai kehadiran makna Sumpah Pemuda:
 
Jan Huyghen (Huijgen) van Linschoten (lahir di Haarlem, Belanda, 1563 – meninggal di Enkhuizen, 8 Februari 1611) seorang penjelajah, pedagang, penulis, dan sejarawan Belanda beragama Kristen Protestan. Menjelang akhir abad ke 16, selepas kunjungannya ke wilayah Nusantara, menyatakan bahwa bahasa Melayu telah mashur di kawasan ini, dan dianggap sebagai bahasa sehormat-hormatnya serta sebaik-baiknya dari segala bahasa di Timur.
 
Jarak itu merentangi betapa bahasa Melayu bertahan hampir 1000 tahun, jikalau ditegok Prasasti Kedukan Bukit, dan serupa bahasa lain di seluruh penjuru dunia merupakan ramuan, serapan dari pelbagai bahasa, apakah oleh bahasa Belanda, Portugis, Arab, Cina, India dst, ke atas-bawah atau peleburan penyatuan, serta penambahannya sampai ujung pengertian, pun berkat pemakainya yang tersebar di kepulauan Nusantara, dikenal luas pribumi dari etnis-etnis non Melayu serta orang-orang asing yang datang ke kepulauan ini. Linschoten mengungkapkan “yang tidak berbahasa Melayu di Hindia-Belanda, dia tidak bisa turut serta seperti bahasa Prancis untuk kita.” (Itinerario 1596). Maka seyogyanya MSM memulai langkah penelusurannya di titik ini, mengenai bahasa Melayu yang kelak menjelma bahasa persatuan, Bahasa Indonesia (BI).
 
Pendeta Francois Valentijn yang bertugas di Ambon lebih dari dua windu (1685-1695, dan kembali lagi ke Ambon 1707-1713) mengungkap pandangannya mengenai bahasa Melayu di masa itu sebagai berikut: “Bahasa mereka disebut bahasa Melayu… Bahasa ini tidak hanya dipergunakan di daerah mereka, tetapi juga dipergunakan di mana-mana untuk bisa saling mengerti, dan untuk dipakai di mana pun di seluruh Hindia, dan di semua negara di Timur, seperti halnya bahasa Prancis dan Latin di Eropa… orang yang bisa bahasa itu tidak akan kebingungan, karena bahasa ini dikenal sampai dimengerti. Orang yang tidak bisa berbicara bahasa ini akan dianggap sebagai orang Timur yang kurang pendidikan.” dalam Beschrijvinghe van Malakka (Gambaran tentang Malaka). Sebelumnya Valentijn berpendapat mengenai bahasa Melayu: “Bahasa itu indah, bagus sekali, merdu bunyinya, dan kaya, yang di samping bahasa Portugis, merupakan bahasa yang dapat dipakai di seluruh Hindia sampai ke Parsi, Hindustan, dan negara Cina. Dan kita dapat mengetahui begitu populernya ‘kopi Jawa’ di Eropa saat itu.” Di sini Valentijn sampai mengeluhkan kecanduannya orang-orang Eropa terhadap benda hitam (biji kopi) dari Hindia.
 
Jan Jacob Rochussen, lahir di Etten 23 Oktober 1797, meninggal di Den Haag 21 Januari 1871) Gubernur-Jenderal Hindia Belanda ke 49, yang memerintah antara tahun 1845-1851. Setelah melakukan perjalanan mengelilingi Pulau Jawa tahun 1950, dia berkata: “Bahasa Melayu itu lingua france seluruh kepulauan Hindia ini, bahasa yang dipakai oleh sekalian orang yang masuk golongan bermacam-macam bangsa dalam pergaulannya bersama: orang Melayu dengan orang Jawa, orang Arab dengan orang Tionghoa, orang Bugis dengan orang Makasar, orang Bali dengan orang Dayak.”
 
[Sutan Takdir Alisjahbana, “Bahasa Indonesia,” Poedjangga Baroe, No. 5, I, November 1933, h 135, Maman S Mahayana (MSM), h. 17-19 dalam buku tersebut di atas]. Dan J.J. Rochussen mengusulkan agar bahasa Melayu ditetapkan sebagai bahasa pengantar yang dipergunakan di kepulauan Nusantara.
***
 
http://sastra-indonesia.com/2021/03/penghilangan-kata-dalam-kritik-sastra-indonesia-iv/

https://pustakapujangga.com/2018/05/kpk-deo-gratias-bedah-buku-mmki-di-fib-universitas-indonesia/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae