Rabu, 07 Maret 2018

Membayangkan Bedah Buku MMKI di PDS H.B. Jassin

Nurel Javissyarqi *

Saya tak menyangka kalau buku “Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia” bakal dibedah di Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin. Jangan-jangan ini lamunan saja, karena kebetulan tengah baca ulang buku susunannya ‘Paus Sastra Indonesia’ yang bertitel “Kontroversi Al-Qur’an Berwajah Puisi,” Grafiti 1995, tentunya lagi berseberangan.
Bayangan ini menjulur pada peristiwa lampau “Ketika Jogja Menghakimi Jakarta,” karena lupa tanggal bulan tahun kejadiannya, saya telusuri di google, dimulai Jam 20.00 tanggal 28 Mei 2003 di Auditorium IAIN SuKa (UIN Sunan Kalijaga) Yogyakarta. Sebenarnya acara malam itu menggelar diskusi dua buku puisi terbitan Jendela dan Bentang Budaya, “Suatu Cerita dari Negeri Angin” karya Agus R. Sarjono, “Reruntuhan Cahaya” karya Jamal D. Rahman, yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Kebudayaan Akar Indonesia, moderatornya cerpenis Joni Ariadinata. Tapi sayang, titel tema yang menyimpang tersebut terkena hukum bandul menurut saya, yakni malahan “Jogja yang dihakimi Jakarta,” lantaran mental minder tua rumah yang masih terkungkung watak kedaerahan, kala melihat orang-orang dari pusat, letak pemerintahan RI, pintu gerbang NKRI, punjernya media-media massa Nasional beserta ornamen-ornamennya.

Sidang acara 15 tahun silam itu entah kenapa saya mengikuti, padahal sudah balik kampung ke Lamongan sejak awal 2002, mungkin ada jadwal lain yang patut dikunjungi. Dalam acara KJMJ, saya hanya datang seperti hadirin lain, atau bisalah disematkan sebagai pengamat sastra amatiran abadi. Mungkin bayangan saya ini kurang layak, sebab tidak lagi tinggal di Jogja, pun bukan roda penggerak kesusastraan di Ngayogyakarta secara umum. Dan seumpama “Buku Pertama MMKI: Esai-esai Pelopor Pemberontakan Sejarah Kesusastraan Indonesia” dibahas di PDS, ini hanyalah mimpi, impian pun tak sampai ke situ, maka jadilah ‘ngimpi’ nun jauh di sebrang angan, ataukah inilah takdirnya, selepas berlarut-larut mengerjakan tulisannya, tiada jemu membenahi berulang-ulang, mengekalkan kekisaran sekeliling pula menembus bebatas perkiraan, sambil ditemani berbatang rokok di sebelah wedang kopi pengusir penat. Dan firasat acara di PDS, serupa berkah kemurahan hati cerpenis Siwi Dwi Saputro, sang ketua proyek penulisan buku “Pada Detik Terakhir, Antologi Cerpen Duet” terbitan Bajawa Press 2017, serta komentar dari Tengsoe Tjahjono mengenai MMKI, sedang diri ini lunglai tiada mampu berbuat lebih, selaksa terlanjur syukur teramat jujur ‘matur suwon’ yang terdalam sebaik-baiknya.

Kenapa bayangan bedah buku tak sampai ke PDS? Sebab saya tetap merasa cuma pengelana yang kebetulan suka baca, atau ada segarit pesimis, kalau pandangan saya diuji sebegitu dekat dalam kehidupan ini, karena tidak mungkin digubris pendapat saya di masa-masa masih bernafas, olehnya diri selalu terbiasa menempatkan perihal yang tertulis baru diserap para pembaca setelah tiada, ketika sudah nyaman memandangi gemintang beredar di tengah malam tanpa kebisingan, seperti ramalan menyerupai bom waktu yang dihawatirkan penyair Mardi Luhung dalam beberapa kali obrolan. Namun demi menggenapi, buku-buku yang tidak dilirik itu rencananya dipersiapkan di hadapan sidang susastra, barangkali di depan para guru besar sebangsanya. Mendadak saya disergap hembusan angin tiba-tiba, suasananya nanti sunyi pengunjung, atau energi terterima belum mencapai kebulatan, ataukah ini harapan manis demi tegap melanjutkan, melancarkan serangan sekaligus menggali benteng parit-parit jebakan bagi perdebatan harmonis tentunya.

Mendung hitam ramalan Mardi kian menebal kental, saat saya menawarkan MMKI agar dibedah di STKIP Ponorogo kepada Doktor Sutejo, yang dengan nada bercanda dia berkomentar; “Tulisane wong edan!” Dilanjutkan jalan sambil tertawa renyah memandang saya yang pernah melakoni perjalanan hayat serupa “Wayang kelangan gapite” istilahnya, sewaktu bermukin di kantornya SSC. Tapi diselang masa setelah baca buku itu, dia menanggapi kalau tulisan saya teramat serius penggarapannya, dan barangkali penulis asli Kota Warok merasa kurang nyaman jika MMKI didiskusikan di kampusnya, dihawatirkan membikin persinggungan paham terhadap kritikus Maman S Mahayana pun Aming Aminoedhin, yang otobiografinya Presiden Penyair Jawa Timur akan diterbitkan SSC, dan kabar lain saat bertemu pemilik Pustaka Ilalang, Alang Khoiruddin berkomentar bahwa bukunya Aming itu sempat terbit secara terbatas. Lalu pikiran ini menerawangi sikap motivator ulung Sutejo seolah berucap; “Kau kan sudah sering mengisi acara di sini, maka cukuplah, dan saatnya ke tempat-tempat yang belum terjajaki bukumu sekaligus menjelajah.”
***

Sedikitnya tiga kali saya ke PDS H.B. Jassin, dua kali tak sempat mampir; Pertama membeli buku di dekatnya bersama cerpenis Teguh Winarsho AS setelah dari kantor surat kabar Suara Pembaruan untuk mengantarkan sebendel karya novelnya yang kemudian terbit di koran itu secara bersambung “Di Bawah Hujan” edisi 10 April 2000 - 7 Juni 2000. Kini penulis novel “Kantring Genjer-genjer, dari Kitab Kuning sampai Komunis,” PuJa, Februari 2007, menjadi bos penerbitan buku di Jogja berbendera Lafal Indonesia, Araska, Parasmu, Pinang Merah, dan diantara teman-teman yang karyanya diterbitkan ialah Sri Wintala Achmad, Abidah El Khalieqy, Otto Sukatno Cr, Mahmud Jauhari Ali. Saya jalan-jalan ringan sekitar PDS waktu itu, sambil kepul-kepulkan debunya sekalian mambayang suatu hari akan menggelar acara di situ (kalau tak keliru seturut kabar terdengar lamat-lamat, ‘Paus Sastra Indonesia’ sedang dirawat di Rumah Sakit, tapi tak terjenguk lantaran saya bukan siapa-siapa, kejadian ini hampir persis semasa saya dan rombongan Sanggar Alam asuhan pelukis Tarmuzie mengunjungi museum Affandi tahun 1990, tatkala beliau juga dirawat di RS). Dan keinginan menggelar kegiatan di PDS pelahan-lahan surut melarut pudar bersamaan kesuntukan diri memasuki alam teks tanpa pedulikan sekitar, ataukah dengan gerak menjauh, Gusti Maha Welas Asih mendekati batin Siwi, demi menyadarkan diri ini pada lamunan sempat buyar tenggelam di kesendirian. Hukum tarik-ulur inilah sandaran sekaligus motivasi dalam gua kesunyian, yakni tentu berjumpa orang-orang yang sepadan suntuk pula peroleh lebih dari perkiraan biasa.

Sekitar pertengahan September 2005 kembali ke Jakarta, ini dirunut tanggal 5 Oktober memasuki Ramadhan, dan di buku “Trilogi Kesadaran” halaman 331, adanya esai “Revolusi dan Sakit Gigi,” sungguhlah teringat penulisannya di kantor SPL (Serikat Petani Lampung), tempat adiknya kawan Y. Wibowo yakni Sigit, jaraknya berkisar 2 KM dari UNILA ke selatan, dan beberapa kali ke BaLam, bertemu para penulis, Udo Z Karzi, Asarpin, Oky Sanjaya, SW. Teofani dll. Sebelum ke Bandar Lampung, di Ibukota menemui Teguh yang kali itu sudah bermukim di Jakarta, tidak seperti paragraf di atas tinggal di Yogyakarta, lalu janjian dengan Binhad Nurrohmat bertemu di Taman Ismail Marzuki, ngobrol sana-sini, jalan-jalan di PDS pun tak lupa mencari buku-buku lawas, dan setelah dirasai cukup kami saling berpisah. Sebelum itu, saya titip kepada Teguh untuk mengurusi ISBN, sebab dimulai tahun 2004 saya telah terbitkan beberapa buku kelas stensilan; cover sablonan, dalamnya fotokopian (jejak ini terekam di bukunya Maman S Mahayana “Bermain dengan Cerpen, Apresiasi dan Kritik Cerpen Indonesia,” Gramedia, Juni 2006, pada catatan kaki di halaman 56; Sebuah fenomena menarik… Hak Cipta dilindungi Akal Budhi, ISBN: Insyaallah diridhoi allah SuBhaNahuwata’ala. Saya meminta tolong ke Teguh, selain mengusahakan ISBN PUstaka puJAngga, juga penerbit teman Lamongan, Alang Khoiruddin dengan Pustaka Ilalang, dan segeralah penulis kumpulan cerpen “Tato Naga,” Grasindo 2005, berhasrat membikin penerbitan berlabel Lafal Indonesia, kemudian ketiganya menemui takdirnya masing-masing. Di sebelah PDS itulah, saya masih mengidam rasa tidak untuk bedah buku, namun membaca puisi dengan rambut gondrong ikal memanjang seperti para pujangga tempo dulu.

Kedatangan ketiga di Ibukota untuk membedah buku “Trilogi Kesadaran; Kajian Budaya Semi, Anatomi Kesadaran, dan Ras Pemberontak” PuJa (PUstaka puJAngga), Okrober 2006, di toko kitab dekat kampus Universitas Indonesia. Dalam kesempatan itu, saya berkenalan dengan Donny Gahral Adian yang termasuk pembedahnya, di sana dia banyak mendukung pandangan buku tersebut, tidak lebih berpaham kalau filsuf Timur sebagaimana diri saya (saya hanya tersenyum, lalu berpendapat bahwa kampus-kampus besar di Indonesia, semisal UI, UGM, dll, sudah sepantasnya memiliki Mazhab Sastra, Mazhab Filsafat). Sebenarnya, acaranya tidak hanya mendiskusikan “Trilogi Kesadaran,” juga novel “Dazedlove; Reportoar Mahasiswi Demonstran,” Pustaka Ilalang, 2006, karya Rodli Tl, tapi penulisnya tidak hadir. Serampungnya acara, meluncur ke kontrakannya Teguh, di sana dikenalkan cerpenis Damhuri Muhammad yang tidak jauh dari tempatnya, lalu menuju ke kediaman kritikus Maman S Mahayana, atau kali kedua ke rumahnya di daerah Bojonggede, pertama selorong paragraf di atas, dan jalan sendiri mengantarkan bendelan puisi yang akan terbit bertitel “Kitab Para Malaikat,” PuJa, Desember 2007. Di padeponkannya, saya banyak menyerap pelbagai pengetahuan kepenulisan, menggali sungguh cerita para penyair di Jakarta, pula apa saja, sebab dia termasuk ‘loman’ tidak pelit dalam membagi-bagikan keilmuannya. Jadi teringat ungkapannya terhadap para penyair yang sok bergaya dengan kata-kata; penyair udik!

Barangkali decak gelombang laut tak pernah sama, dan saya bersyukur sempat berjumpa orang-orang penting dalam dunia sastra Indonesia walau setengah tak sengaja, atau kesengajaan selepas bersesuaian ombaknya. Sebelum dapati undangan baca puisi di acara Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Abdul Hadi WM di Paramadina 9-11 Juni 2008, saya tengah mendalami buku disertasinya “Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri,” Paramadina, Mei 2001. Undangannya dari Maman, sayangnya di baliho, di koran-koran pemberitaannya tiada nama Nurel, itu diri dimaklumi, sebab saya bukan siapa-siapa, atau bisa jadi lembar undangannya tersebut inisiatif kritikus, dan malam itu pembawa acaranya Acep Zamzam Noor, saya termasuk paling muda dari para pembaca puisi, ditutup Sutardji Calzoum Bachri. Selepas acara, kritikus produktif MSM berkata kalau diri saya dinaungi dewi fortuna, barangkali sebab sikap saya baca puisi tanpa mau diiringi musik, yang diakhirnya SCB berkata bahwa puisi yang baik, tanpa musik sudah baik. Dalam kesempatan berkumpul dengan para penyair, saya serap aura-auranya, dan di selang waktu berbeda, bertemu kembali beberapa dari mereka dalam suatu acara di TIM, sehingga ada kesempatan lagi menjajakinya, disaat itu berjumpa penyair seangkatan di Jogja, Akhmad Sekhu. Sebelum menghadiri acara di Paramadina, beberapa tamu luar kota berkumpul di rumah kritikus yang nantinya menerbitkan buku “Pengarang Tidak Mati, Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia,” Nuansa Cendekia, Juli 2012, di situlah awal kali mengenal Sutejo bersama Kasnadi dari bumi Batoro Katong, keduanya mengidap rasa penasaran atas keberadaan PUstaka puJAngga, karena sebelumnya melihat buku PuJa di Gramedia, dan lain kesempatan menuju Lamongan, yang membuat jiwanya terbakar menerbitkan karya-karyanya lebih jauh (baca esainya “Berkaca Menulis dari Nurel” pada bukunya “Inspiring Writer,” SSC dan Pustaka Felicha, 2010).

Ke lima menghisap Jakarta, menghadiri undangan sebagai peserta JILFest yang pertama di Kota Tua, 11-14 Desember 2008, ini pun atas rekomendasi kritikus MSM. Saya ‘kelingan,’ suatu hari Afrizal Malna sms, meminta beberapa puisi untuk dimasukkan ke program kegiatannya yang bertaraf Internasional juga, dan saya tak masuk seleksi, entah tahun berapa, yang jelas ketika almarhum Fahrudin Nasrulloh masih sehat. Dalam acara Jakarta International Literary Festival, saya berkenalan dengan sastrawan ampuh Putu Wijaya, dan memberanikan diri meminta tulisannya di blog pribadinya untuk diusung ke beberapa website saya kelola, syukurlah diberi izin seluas-luasnya. Dan saya ingat betul pendapatnya soal posisi kesusastraan Indonesia dalam kancah pergaulan susastra dunia adalah belum apa-apa. Dari situ, saya meloncat turun menggali banyak informasi melalui buku-buku lama, dll, meneliti tanggal usia waktu kejadiannya, dsb, ketika WS Rendra, Budi Darma, dst, di luar negeri, dan nyatanya suara terbanyak membesarkan kabar berita di dalam negeri semata. Lain itu, mempelajari kegiatan berkelas Nasional pula Internasional, tidaklah berpengaruh ke pribadi pengarang, atau karyalah lebih bisa berbicara. Sehingga, melihat politik sastra kian semrawut, saya tak heran atau keheranan pun tidak menyentuh pengelana. Oya, di JILFest itu juga bertemu Sihar Ramses Simatupang yang nantinya membongkar buku MMKI, dan semoga berjumpa penulis kelahiran Ngimbang, yang saya penasarani, Eka Budianta.
***

Setelah mengenang yang pernah terjadi, kini menyentuh judul bakal mengalami, atau bisa juga batal menjadi, lantaran manusia hanyalah wayang yang dimainkan Sang Dalang, mudahnya hati berbolak-balik, kelahiran serta ketiadaan di genggaman Tuhan Semesta Alam, atau saya kerap menikmati sesuatu itu berawal dari panggung belum digelar, pentas teater dimainkan, sampai berkemas-kemas menyudahi, semuanya pelajaran demi depan. Kekecewaan juga kegembiraan dunia perangainya sementara, tinggal rupa-rupa di linggiran pantai tepian jurang menawan, berharap bisa mengambil hikmah sebelum surutnya tembang. Jika bedah buku Edisi Revolusi dalam Kritik Sastra MMKI di PDS H.B. Jassin terlaksana, yang rencananya hari Senin 9 April 2018, Jam 15.00-18.00. Siwi beserta para panitia (Komunitas Deo Gratias), saya dudukkan di batin ini sebagaimana guru lukis Tarmuzie, almarhum KH. Abdul Aziz Masyhuri, almarhum guru nulis KRT. Suryanto Sastroatmodjo. Almarhum Gus Zainal Arifin Thoha, kritikus Maman S Mahayana, pula Sutejo, dst, atau orang-orang baik yang secara tak sengaja mengantarkan saya menafaskan harapan hampir punah. Atau barangkali, sudah tak mengharapkan selain bernikmat-nikmat berkarya, bersunyi-sepi menghisap madu kesendirian dalam ruang-ruang kata, ataukah sudah sangat lama, apakah baru memulai rasa yang dirasakan Albert Camus, “…aku menjadi seorang seniman, tanpa penolakan, tanpa persetujuan.” (Pengantar bukunya “L’Envers et l’Endroit” 1935-1936, terbitan awal 1937 di usianya 22 tahun, pengakuannya itu merujuk tahun 1935. Kalimat tersebut terdapat dalam terbitan ulangnya di tahun 1958, pada usianya yang ke 45, atau dua tahun sebelum mangkat).

Bisa jadi inilah selayang warna selendang absurdisme; “tanpa penolakan tanpa persetujuan,” sejenis berkeinginan menghapus kemapanan yang diterimanya, atau dia tidak mau kalah pamor dengan eksistensialisme Jean Paul Sartre, sang penolak Nobel Sastra, dapat terjadi juga serupa olok-olok, pula jauh keduanya lebih mempercayakan hakim penentu, yakni waktu bersegenap perangainya, dan saya sebagai pembaca seperti selampir masa nan tertunda, nafas-nafas dipompa jantung berguna, pula bisa peroleh sia-sibe menemui masa-masa kadaluarsa. Ingatlah pandangan Putu Wijaya, maka biasa sajalah, bro! Lewat ini, lebih mudah melalui tanpa dihantui apa saja selain dosa, dan tiada menemukan raut kewibawaan putus asa di atas panggung sandiwara, sebab semuanya sudah diserahkan disaat melangkah. Karena sudah memasuki paragraf sebelas, cukuplah! Lalu mari berdiskusi tanpa membawa rasa takut melebihi orang gila yang duduk di bawah gelantungan kabel listrik tegangan tinggi, atau bayi yang ditinggalkan orang tuanya di pinggir jalan, makna kata; marilah belajar sambil menghajar, dihajar demi terus belajar sampai ke liang lahat. Ah, jadi terngiang, ‘kata’ penutup pada kuliah umum yang tak boleh saya mengikutinya di STKIP Ponorogo, dari almarhum Prof. Dr. Ayu Sutarto; “Prek!”
***

5 Maret 2018
*) Pengelana waktu tinggal di dusun Pilang, desa Tejoasri, Laren, Lamongan.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae