Rabu, 16 Juli 2014

W. S. Rendra dan Dami N. Toda dalam Kenangan

Yohanes Sehandi *
Flores Pos (Ende) 5-7 Agus 2010

W. S. Rendra dan Dami N. Toda adalah tokoh besar dalam sastra Indonesia modern. Rendra adalah sastrawan besar dengan spesifikasi menonjol sebagai penyair dan dramawan, sedangkan Dami N. Toda adalah sastrawan besar dengan spesifikasi menonjol sebagai kritikus sastra. Selain dikenal luas sebagai sastrawan Indonesia, Dami N. Toda adalah juga sastrawan NTT, kelahiran Desa Todo-Pongkor, Kabupaten Manggarai, Flore, NTT pada 29 September 1942.
Kedua tokoh besar dalam sastra ini telah meninggal dunia. W. S. Rendra meninggal pada 6 Agustus 2009 di Jakarta, sedangkan Dami N. Toda meninggal pada 10 November 2006 di Hamburg, Jerman. Keduanya berteman akrab sejak mengikuti pendidikan dan meniti karier di Yogyakarta tahun 1960-an, berlanjut di Jakarta tahun 1970-an.

Meskipun Dami kemudian bermukim di Jerman sejak 1980, menjadi dosen bahasa dan sastra Indonesia pada Lembaga Studi-Studi Indonesia dan Pasifik, Universitas Hamburg, Jerman, hubungan keduanya tetap terjaga. Latar belakang hubungan akrab itulah yang membuat Rendra datang di NTT/Flores pada 15-19 Oktober 2007, ikut mengantarkan “abu jenazah” almarhun Dami N. Toda ke Ruteng, Kabupaten Manggarai terus Desa Todo-Pongkor, tempat abu jenazah almarhum Dami N. Toda disemayamkan.

Artikel ini disusun untuk mengenang kedua tokoh besar di bidang sastra ini sekaligus menunjukkan hubungan akrab keduanya, baik hubungan pribadi maupun hubungan dalam berkarya sastra. Artikel berseri ini merupakan penyempurnaan artikel saya yang pernah dimuat berseri pada harian Flores Pos (terbitan Ende, Flores, NTT) pada tahun 2010 yang lalu.

Sastrawan Rendra datang ke NTT/Manggarai bersama istri Dami dan dua orang anaknya, mantan Gubernur NTT Ben Mboi, anggota DPR RI Benny K. Harman, serta sejumlah anggota keluarga. Dari Jakarta ke Kupang, lalu ke Ruteng, terus ke Todo-Pongkor, Manggarai. Di Todo-Pongkor, tempat kelahiran Dami Toda, abu jenazah kritikus sastra berbobot ini disemayamkan. Di Todo-Pongkor pun Rendra didaulat menjadi “Keraeng” (warga terhormat) dalam suku Todo-Pongkor, Manggarai.

Penyair Rendra mengikuti seluruh rangkaian prosesi abu jenazah teman dekatnya ini. Di Kupang dan Ruteng penyair ini membacakan sajak “Jalan Alam, Jalan Budaya, dan Jalan Manusia” yang secara khusus dipersembahkan untuk “menghormati” kritikus sastra Dami N. Toda. Di Ruteng, Rendra yang pada tahun 1960-an mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta dan tahun 1985 pindah ke Depok, Jawa Barat, dengan nama Bengkel Teater Rendra, ini juga memberi kesaksian dalam “Forum Lonto Leok” di Ruteng tentang kehebatan Dami dalam dunia pergulatan dan panggung sastra Indonesia modern (Pos Kupang, 12, 16, 19, 21 Oktober 2007; dan Flores Pos, 16, 19 Oktober 2007).

***
Siapakah Rendra? Nama lengkapnya Wilybrordus Surendra Rendra (disingkat W. S. Rendra) lahir pada 7 November 1935 di Solo Jawa Tengah, dalam keluarga dan lingkungan Katolik yang teguh, dan meninggal dunia dalam usia 74 tahun pada 6 Agustus 2009 di Jakarta.

Ayahnya bernama Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo, guru bahasa Indonesia dan bahasa Jawa di SD/SMP Katolik Kanisius, Solo, di samping sebagai dramawan tradisonal Jawa. Ibunya bernama Raden Ayu Catharina Ismadillah, seorang penari serimpi di Keraton Surakarta. Rendra menyelesaikan SD, SMP, SMA Katolik St. Yosef, Solo. Tahun 1955 kuliah pada Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta sampai Sarjana Muda (gelar BA). Tahun 1964-1967 mendapat beasiswa untuk belajar di American Academy of Dramatical Art, Amerika Serikat.

Penyair dan dramawan besar ini, dengan penuh kesadaran dan keberanian yang teguh, “memilih” jalan seni dan sastra sebagai perjuangan: //Aku mendengar suara/jerit hewan yang terluka/ada orang memanah rembulan/ada anak burung terjatuh dari sarangnya/orang-orang harus dibangunkan/kesaksian harus diberikan/agar kehidupan bisa terjaga//.

Di mata seorang guru besar filsafat Unika Atma Jaya dan STF Driyarkara, Jakarta, Alois A. Nugroho, Rendra adalah “suara lain,” katakanlah “suara hati nurani bangsa” yang sangat dibutuhkan bangsa ini. Rendra telah menyumbangkan “suara lain” atau alteritas, yang terkesan urakan dan bohemian bagi kehidupan dan aspirasi normal rata-rata manusia Indonesia. “Alteritas inilah yang memungkinkan manusia Indonesia lepas dari sikap one in one yang banal. Alteritas ini memampukan kita mengkritisi hidup yang normal” kata Alois Nugroho (Kompas, 8 Agustus 2009).

Bagi Rendra, seni tidak berhenti pada estetika, tetapi ia menjadi “seruan hati nurani” yang berfungsi kritis dan profetis. Apapun bentuknya, seni selalu “terlibat” dan kontekstual. Karya-karya sastra Rendra, baik berupa puisi maupun drama/teater, membuat orang “menjadi” tercenung, berefleksi, bercermin diri, atau berani mengkritisi lingkungannya, masyarakatnya, bangsanya, dan negaranya. Dalam puisinya yang berjudul “Sajak Sebatang Lisong” (1978) ia menggugah kesadaran kita: //Inilah sajakku//pamflet masa darurat/Apakah artinya kesenian/bila terpisah dari derita lingkuingan/Apakah artinya berpikir/bila terpisah dari masalah kehidupan//.

Rendra adalah sastrawan besar Indonesia modern yang paling komplit menciptakan hampir semua genre (jenis) karya sastra (kecuali novel), yang tidak dimiliki oleh sastrawan manapun di negeri ini. Beliau terkenal dengan puisi-puisi epik atau epika (syair panjang yang bercerita), yang antara lain, bercerita tentang orang kecil tertindas dan terlempar, serta kegetiran perjuangan mereka dari lembah kubangan kutukan alam, penindasan atau sistem sosial yang bobrok dam amburadul.

Beliau juga menciptakan, menerjemahkan, menyadur naskah-naskah drama/lakon, terutama drama/lakon klasik Yunani, sekaligus memainkannya di atas panggung lewat Bengkel Teater, sehingga dikenal luas sebagai dramawan besar Indonesia. Selain itu, almarhum menulis cerita pendek (cerpen) dan menulis esai atau kritik sastra dan budaya. Membawakan pidato kebudayaan yang khas, menggigit dan menggugat, benar-benar suara lain atau alteritas, yakni “suara hati nurani bangsa,” sebagaimana dikatakan profesor filsafat, Alois A. Nugroho.

Karya-karya sastra Rendra yang sempat saya telusuri dari berbagai sumber yang terserak, meliputi kumpulan puisi, naskah lakon/drama/teater sekaligus memainkannya, kumpulan cerpen, dan kumpulan esai/kritik sastra/kebudayaan. Tentu, masih banyak karya sastra Rendra yang luput dari penelusuran ini, karena saya mengalami kesulitan mendapatkan bahan-bahan tertulis yang terpublikasikan. Adapun rinciannya seperti berikut ini.

Pertama, kumpulan puisi dalam bentuk buku: (1) Ballada Orang-Orang Tercinta (1957); (2) Empat Kumpulan Sajak (1961); (3) Blues untuk Bonnie (1971); (4) Sajak-Sajak Sepatu Tua (1972); (5) Potret Pembangunan dalam Puisi (1983); (6) Nyanyian Orang Urakan (1985); (7) Disebabkan oleh Angin (1993); (8) Orang-Orang Rangkasbitung (1993), dan (9) Pantun Jurnalistik (1998).

Kedua, naskah lakon/drama/teater sekaligus memainkannya, antara lain: (1) Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954); (2) Bip-Bop Rambate Rate Rata (teater Mini Kata, 1967); (3) Mastodon dan Burung Kondor (1972); (4) Perjuangan Suku Naga (1975); (5) Sekda (1977); (6) Penembahan Reso (1986); (7) Oedipus Sang Raja (terjemahan karya Sophokles, 1969); (8) Selamatan Anak Cucu Sulaiman; (9) Hamlet (terjemahan karya William Shakespeare); (10) Macbeth (terjemahan karya William Shakespeare); (11) Lysistrata (terjemahan karya Aristophanes); (12) Menunggu Godot (terjemahan karya Samuel Beckket, 1969); (13) Oedipus di Kolonus (terjemahan karya Sophokles; (14) Antigone (terjemahan karya Sophokles); (15) Kasidah Berzanji; (16) Sobrat (2005), (17); Kereta Kencana ( terjemahan karya Ionesco); dan (18) Buku Harian Seorang Penipu (terjemahan karya Alexander Ostrovsky).

Ketiga, buku kumpulan cerpen: (1) Ia Sudah Bertualang (1963); (2) Dua Jantan; (3) Hutan Itu. Sedangkan kumpulan esai/kritik sastra/kebudayaan adalah: (1) Mempertimbangkan Tradisi (1983); (2) Tentang Bermain Drama; dan (3) Seni Drama untuk Remaja (1977).

Karya-karya Rendra tidak hanya dikenal di dalam negeri, juga dikenal di luar negeri. Sebagian karyanya telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa asing, antara lain dalam bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, Jepang, dan India. Ia juga aktif dalam mengikuti sejumlah festival internasional, antara lain: The Rotterdam International Poetry Festival (Rotterdam, Belanda, 1971, 1979); The Valmiki International Poetry Festival (New Delhi, India, 1985); Berliner Horizonte Festival (Berlin, Jerman, 1985); The First New York Festival of The Arts (New York, AS, 1988); Spoleto Festival (Melbourne, Australia, 1989); World Poetry Festival (Kuala Lumpur, Malaysia, 1992); dan Tokyo Festival (Tokyo, Jepang,1995).

***
Menurut Rendra, Dami N. Toda adalah tokoh sastra terkemuka di Indonesia dan dunia. Hasil karyanya lahir dari permenungan yang mendalam tentang sejarah pergolakan intelektual dan sentuhan rasa yang telah mengendap dalam lubuk hatinya. Karya sastranya telah memberikan pencerahan tentang peradaban manusia. “Dami Toda menulis secara jujur dan karenanya ia pantas mendapat penghormatan dari seluruh masyarakat Indonesia” tandas Rendra di hadapan peserta “Forum Lonto Leok” di Ruteng yang juga dihadiri oleh mantara Gubernur NTT Ben Mboi dan Bupati Manggarai Christian Rotok (Pos Kupang, 17 Oktober 2007; dan Flores, 17 Oktober 2007).

Kesediaan dan ketulusan Rendra datang ikut mengantarkan abu jenazah Dami Toda ke NTT/Manggarai ini, bisa saja menimbulkan pertanyaan di antara kita: ada apa hubungan antara Rendra dengan Dami Toda? Dan seperti apa hubungan itu? Meskipun secara umum dipahami bahwa kehadiran penyair besar Indonesia ini sebagai bagian dari bentuk solidaritas dan rasa hormat terakhir kepada sesama sastrawan yang mempunyai visi dan pandangan yang sama dalam berkarya. Namun, kalau ditelusuri lebih jauh ke belakang, ada sejarah panjang hubungan antara Rendra dan Dami N. Toda.

Rendra dan Dami N. Toda sudah saling mengenal dan berteman lama sejak di Yogyakarta. Setelah selesai Sarjana Muda (gelar BA) di Universitas Gajah Mada (UGM), Rendra mendirikan Bengker Teater di Yogyakarta tahun 1960-an. Dalam kurun waktu yang sama, Dami N. Toda kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM (dapat gelar BA) dan Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Yogyakarta (tidak tamat). Di kota inilah mereka bertemu.

Sebagai orang seni, Dami Toda yang juga punya bakat di bidang teater/drama, terlibat dalam Bengkel Teater milik Rendra. Dami N. Toda ikut dalam pelatihan dan pementasan lakon “Maria Zaitun” yang dipentaskan Bengkel Teater. Lakon ini diangkat dari pusi Rendra yang berjudul “Maria Zaitun” yang terdapat dalam Balada Orang-Orang Tercinta (1957).

Dalam “Forum Lonto Leok” di Ruteng pada 18 Oktober 2007, Rendra mengakui pertemanannya dengan Dami serta keterlibatan Dami dalam pementasan “Maria Zaitun.” Rendra menyatakan bahwa pertemanan dengan Dami terjadi sejak mahasiswa di Yogya. “Pertemanan kami begitu intens dalam dunia sastra dan budaya” cerita kenangan Rendra di hadapan peserta “Forum Lonto Leok” di Ruteng (Pos Kupang, 26 Oktober 2007).

Sebagai “sesama orang sastra” tentu saling mengenal adalah sesuatu yang wajar, apalagi tinggal dalam satu kota. Rendra terus menghasilkan karya-karya sastra kreatif (puisi) dan bermain drama lewat Bengker Teater, Dami N. Toda terus melakukan telaah/analisis/kritik sastra terhadap berbagai jenis karya sastra, termasuk karya-karya sastra milik Rendra.

Rasa hormat Rendra kepada Dami N. Toda semakin bertambah tatkala di Ruteng ia membaca buku karya ilmiah Dami berjudul, Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi (Nusa Indah, Ende, Flores, 1999). Buku sejarah budaya Manggarai ini menggambarkan pemikiran kritis Dami Toda sebagai bentuk “pencerahan/pelurusan” sejarah Manggarai yang telanjur dimanipulasi oleh kaum penjajah (Belanda) di masa lalu. Buku ini merupakan salah satu buku terbaik hasil penelitian sejarah kebudayaan daerah di Indonesia yang “mengandalkan” tradisi lisan atau bahasa tutur masyarakat lokal sebagai sumber utama penelitian dan menghasilkan karya ilmiah yang sangat berbobot.

Prof. Dr. Taufik Abdullah, Ahli Peneliti Utama, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang memberi “Prakata” pada buku yang diterbitkan oleh Penerbit Nusa Indah, Ende, ini memuji karya ilmiah yang berbobot ini. Menurut Taufik Abdullah, karya Dami N. Toda ini tidak hanya mengingatkan kita pada “sejarah” dari (salah satu) pulau-pulau yang terabaikan, tetapi juga yang tak kurang pentingnya adalah ia ingin menunjukkan betapa pentingnya memperhatikan “pulau-pulau sejarah” yang terabaikan. “Karyanya bukan saja mengisi kekosongan relatf dari pengetahuan kita tentang sejarah Flores, khususnya Manggarai, tetapi juga menunjukkan berbagai permasalahan historiografis yang harus diperhatikan” tandas Taufik Abdullah dalam “Prakata” buku tebal ini (1999, hlm. 8).

***
Dalam perjalanan panjang kariernya sebagai kritikus sastra Indonesia modern, Dami N. Toda memberikan perhatian khusus pada karya-karya W.S. Rendra, baik karya puisi maupun drama/teater, serta pementasan-pementasannya. Dari hasil penelusuran atau pelacakan yang saya lakukan terhadap karya-karya Dami N. Toda yang tersebar luas, yang secara khusus menelaah atau mengkritisi karya-karya Rendra, ditemukan minimal empat karangan atau tulisan Dami.

Pertama, tulisan Dami yang berjudul “Willy yang Mencari, Terluka, dan yang Berang: Studi Sajak-Sajak Terbaru WS Rendra” dalam majalah Horison (Nomor 1/Tahun 8, Januari 1973). Karangan ini dimuat kembali dalam buku Dami N. Toda yang berjudul Hamba-Hamba Kebudayaan (Sinar Harapan, Jakarta, 1984, hlm. 110-119, dengan judul yang dipenggal menjadi “Willy yang Mencari Terluka dan yang Berang”). Kedua, tulisan Dami yang berjudul “Suatu Coba-Coba untuk Sedikit Membahas Rendra” dalam harian Sinar Harapan (19 Juli 1973). Ketiga, tulisan yang berjudul “Aspek Rendra dalam Teater Indonesia: Kesadaran Teater Baru” dalam harian Sinar Harapan (24 Desember 1973). Karangan ini dimuat kembali dalam Hamba-Hamba Kebudayaan (1984, hlm. 34-40, dengan judul yang diubah menjadi “Teater Baru Indonesia”). Keempat, tulisan yang berjudul “Eksistensialisme dan WS Rendra” dalam majalah Horison (Nomor 5/Tahun 15, Mei 1980).

Yang menarik dari empat tulisan Dami N. Toda di atas adalah tulisan tentang “Teater Baru Indonesia.” Menurut Dami, sejumlah lakon/pementasan yang dilakukan Rendra setelah pulang dari Amerika Serikat tahun 1967, baik karya asli milik Rendra maupun karya terjemahan atau saduran lakon klasik Yunani, menunjukkan sesuatu yang “baru” dalam teater Indonesia modern, yang lain dari yang pernah ada sebelumnya. Karya-karya teater itu, antara lain: Bip-Bop Rambate Rate Rata (1968), Peristiwa Sehari-hari (1968), Pahlawan yang Kalah (1969), maupun karya-karya terjemahan atau saduran dari sastrawan asing yang disutradarai “khas Rendra,” seperti Oedipus Sang Raja (karya Sophokles, 1969), Hamlet dan Macbeth (karya William Shakespeare), dan Menunggu Godot (karya Samuel Beckett).

Menurut Dami, kehadiran teater atau drama Rendra di Indonesia, harus diakui sebagai “pembuka mata” untuk memahami pengertian teater yang sesungguhnya. Kehadirannya mempertanyakan kembali salah paham kita selama ini tentang teater atau drama yang senantiasa kita runut semata-mata secara “teks” dan “lakon mimesis belaka.”

Dami menyatakan bahwa Rendra menyadarkan kita tentang arti “aktor” di atas panggung, yang tidak hanya sekedar “mesin kata-kata” dan tata kostum serta asesoris pelengkap yang lain, tetapi karena “ekspresi konkret” yang ditampilkan oleh aktor itu sendiri di atas panggung. Dami N. Toda berpendapat, “kehadiran teater Rendra” lewat Bengkel Teater, yang antara lain lakon-lakonnya yang telah disebutkan di atas, menunjukkan sudah terjadinya “pembaruan” dalam teater Indonesia modern.

Di sini kritikus sastra Dami N. Toda menunjukkan sekali lagi kemampuan intelektual dan kematangan wawasan sastra budayanya yang luas dalam meyakinkan pendapat atau pandangannya, sebagaimana ia lakukan pada tahun 1970-an pada waktu ia “menemukan” Iwan Simatupang sebagai novelis besar Indonesia dan pada waktu ia “melambungkan” Sutardji Calzoum Bachri sebagai penyair besar dalam sastra Indonesia modern (lihat Yohanes Sehandi, “Dami N. Toda sebagai Kritikus Sastra,” dalam Pos Kupang, 23 Juni 2010).

Kehadiran teater baru Rendra ini memang mengundang tanggapan beragam dari berbagai pengamat/kritikus sastra/teater di Indonesia. Dami N. Toda sendiri menyebut teater baru Rendra ini sebagai Teater Puisi, Goenawan Mohamad menyebutnya Teater Mini Kata, Trisno Sumardjo menyebut Teater Abstrak, Subagio Sastrowardojo menyebutnya Teater Murni, dan Arifin C. Noer menamakannya Teater Primitif (lihat Dami N. Toda, Hamba-Hamba Kebudayaan, 1984, hlm. 39). Dalam perjalanan waktu, sebutan Teater Mini Kata yang dilontarkan Goenawan Mohamad menjadi lebih populer dikenal orang sampai dengan saat ini.

Karangan Dami N. Toda yang berjudul “Teater Baru Indonesia” sebagaimana telah disebutkan di atas adalah karangan yang menarik sekaligus menantang publik sastra Indonesia modern. Mengapa? Karena “kebaruan” atau “semangat kebaruan” teater Rendra bersama Bengkel Teaternya menjadi “modal dasar” bagi Dami dalam menyatakan sikap pandangannya tentang perlu hadirnya angkatan baru dalam sejarah sastra Indonesia.

Arus “kesadaran baru” dalam teater Indonesia yang dibawakan Rendra, ditambah dengan “fenomena baru” dalam novel-novel eksistensialisme Iwan Simatupang, serta munculnya “kreativitas baru” dengan menemukan kembali unsur “magis” dan “mantra” dalam puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, menjadi landasan yang kokoh dan kuat bagi Dami N. Toda untuk “memproklamasikan” hadirnya sebuah angkatan sastra/pujangga baru dalam sejarah sastra Indonesia, yang Dami N. Toda sebutkan sebagai Angkatan 1970-an.

Dalam ceramah panjang dan ilmiah yang berjudul “Peta Perpuisian Indonesia 1970-an dalam Sketsa” yang dibawakan Dami N. Toda pada Dies Natalis ke-5 Majalah Tifa Sastra (25 Mei 1977) di Jakarta, kritikus Dami N. Toda mengumumkan lahirnya Angkatan 1970-an dalam sastra Indonesia. Makalah yang sangat menarik itu dimuat kembali dalam buku Sejumlah Masalah Sastra (Ed. Satyagraha Hoerip, Sinar Harapan, Jakarta, 1982, hlm. 173-192).

Kalau dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia modern, nama Angkatan 1970-an menjadi “populer” dan “diterima” sebagaimana halnya dengan Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 45, dan Angkatan 66, itu tidak terlepas dari jasa besar “pencetus” Angkatan 1970-an dalam sastra Indonesia modern, yang tidak lain dan tidak bukan adalah kritikus sastra Dami N. Toda.

*) Pemerhati Bahasa dan Sastra Indonesia dari Universitas Flores, Ende

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae