Sutejo
Karya Darma, 2 Jan 1997
Berbicara tentang sastra Jawa sama memprihatinkannya dengan seni daerah yang lain, wayang orang (Solo-Jateng), seni nglawang (Bali), janger (Banyuwangi), ludruk (Surabaya-Jatim), dan sastra Madura.
Ada pameo yang sampai saat ini menarik untuk direnungkan. Sastra Jawa itu seperti nenek udzur yang mengidap aneka penyakit kronis yang hanya bisa disembuhkan oleh seorang dokter spesialis, begitulah Puja Sutrisna pernah menyinggungnya. Pameo itu pun rasanya naif jika menginginkan keajaiban dari tangan seorang dokter spesialis, mengingat iklim makro sastra Jawa yang demikian kompleks dan rumitnya.
Sejarah sastra Jawa barangkali memang tidak menguntungkan. Di zaman keraton, sastra Jawa dipatron oleh penguasa, karena itu sastra Jawa harus ‘’mendhem jero mikul dhuwur’’. Artinya, sastra harus mengabdi pada kepentingan keraton dan penguasanya. Pascakemerdekaan (dekade 60-an) sastra Jawa juga dikerjain Lekra. Kini, tidak punya ‘’orang tua’’ (media massa handal), dan yang memilukan, kian hari mulai ditinggal pembacanya.
Tak heran kalau Teeuw, pada sebuah seminar di Solo pernah berpesan bahwa untuk penggalian sastra Jawa menjadi tanggung jawab generasi sekarang jika tidak menginginkan orang asing mengambil keuntungannya.
Kalau dalam society Jawa, orang begitu meyakini falsafah perubahan cakra manggilingan, dan tak jarang pula mereka mengidentifikasikan sebagai satria pinandhita, maka tak layak kiranya kita untuk lebih suka kridha lumahing asta. Mestinya, wong Jawa merasa malu ketika dua setengah tahun lalu, dari negeri Pasundan, Ayip Rosyidi menganugerahkan ‘’lencana’’ Rancange kepada FX Pamudji (Nganjuk) dan Subagio Ilham Notodidjojo (Jakarta).
Pada hal komunitas wong Jawa sebagai pemilik sastra Jawa kuantitasnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan orang Sunda. Memprihatinkan memang. Tapi begitulah, sastra Jawa seperti terasing, teraliansi dari masyarakatnya. Dengan pekerja sastra yang tidak sedikit, dari Saripan Sadi Hutomo, Suparta Brata, Krisna Miharja, Kelik Eswe, Esmiet, Poer Adhie Prawoto, Andy Casiem Sudin, Irul Ea Budianto, Bonari, sampai Budi Palopo.
Penulis teringat akan pentas Budi Palopo beberapa bulan yang lalu di Taman Budaya Solo. Ketika itu –sejauh yang penulis tahu ketika menyaksikan pementasan- dari apa yang dilakukan Budi Palopo (performance sastranya) pantas mendapat acungan jempol. Setidaknya, hal tersebut dikatakan juga oleh kritikus sastra Jawa Poer Adie Prawoto (Solo) dan Mas Danu (Yogyakarta), dalam dialog usai pentas.
Lewat Budi Palopo, sastra Jawa bisa kembali memikat dan ‘’menakjubkan’’. Menampakkan ‘’roh’’ dan ‘’rah’’-nya yang asli. Begitulah paling tidak yang bisa penulis catat dari pentas sastra Jawa. Dalam pentas terakhir, di Taman Budaya Solo (18/5/1996), yang sebelumnya juga pernah dipentaskan di Dewan Kesenian Surabaya (25 November 1995), dia tunjukkan ‘’performancenya’’ sastra Jawa yang rancak. Dalam puisi dan ‘’performancenya’’-nya, Budi Palopo tampak sarat dengan simbol dan warna kejawen sehingga penonton diseret ke alam mistis, dikelabui dengan ruangan yang penuh bau kemenyan, juga ilmu ‘’sulap modern’’: lampu teplok nyala sendiri, dan boneka yang digantung tiba-tiba jatuh.
Gurit Rong Puluh, begitulah judul kumpulan geguritan yang ditampilkannya, sekaligus menjadikannya sebagai ‘’karya monumental’’. Berisi geguritan yang pernah dimuat di berbagai media: Jaya Baya, Surabaya Post, Jawa Anyar, dan Penyebar Semangat. Lelaki jebolan FMIPA ITS Surabaya ini, tampaknya sangat ingin mengembalikan sastra Jawa pada mantra, yang paralel dengan apa yang dilakukan Sutardji dalam sastra Indonesia.
Dengan begitu, barangkali ada lampu hijau buat sastra Jawa. Paling tidak kita bisa ‘’nguri-nguri’’. Persoalannya sekarang: siapa yang akan menyusul? Kurang lebih tujuh bulan sudah tak ada pentas sastra Jawa yang ‘’berarti’’. Kalau di sebagian pengamat, sastra Jawa dipandang manja karena dipatron oleh penguasa (karena itu harus mikul dhuwur mendem jero), maka kini setelah yatim piatu tentu dibutuhkanlah terobosan-terobosan baru biar tidak mati. Artinya, bagaimana kelangsungan sastra Jawa bisa langgeng. Biar tidak bernasib seperti ludruk, sastra Madura, seni nglawang (Bali) atau pun Janger (Banyuwangi).
Sastra Madura misalnya, yang telah melahirkan penyair seperti D. Zawawi Imron dan Abdul Hadi WM, kini kondisinya sangat memprihatinkan kalau tak mau dibilang mati. Dalam perjalanannya sastra Madura pernah punya Medan Bahasa (tahun 50-an) kemudian di tahun 70-an di Surabaya muncul majalah Ajibrata yang menyediakan rubrik buat sastra Madura yang diasuh oleh JS Antaka.
Demikian juga yang menimpa seni nglawang Bali. Aktivitas itu kini ‘’telah’’ hilang. Pada hal nglawang punya dimensi ekonomi, edukasi, dan pembinaan budaya, di samping nilai religi. Kegiatan seni itu biasanya dilakukan untuk menyambut hari Kuningan hingga Galungan. Akibat modernisasi di Bali, infrastruktur yang maju, jalan lurus beraspal hotmix seni nglawang pun tersingkir.
Jika tidak menginginkan bernasib seperti seni tradisional yang lain, maka lain kiranya untuk meredakan fungsi peran dan posisi sastra Jawa. Misalnya, melepaskan atribut ‘’kultur’’ Jawa, menghilangkan beban sastra Jawa sebagai mikul dhuwur mendhem jero, sehingga keinginan resurvivalisasi sastra Jawa bisa terealisir. Karena itu, perlu aktivis sastra yang mampu melakukan redefinisi, reinterpretasi, untuk direaktualisasikan secara evolutif-kualitatif. Dan penyair Budi Palopo barangkali bisa dijadikan sampel. Harapan akhirnya sastra Jawa punya daya pikat, kekuatan, dan massa untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Bukan sebaliknya, berkeluh kesah dan meratap-ratap karena rajin meramal tentang kematiannya sendiri.
*) Sutejo atau S.Tedjo Kusumo, penulis dikenal sebagai seorang cerpenis, staf pengajar Kopertis VII Surabaya, tinggal di Ponorogo.
Karya Darma, 2 Jan 1997
Berbicara tentang sastra Jawa sama memprihatinkannya dengan seni daerah yang lain, wayang orang (Solo-Jateng), seni nglawang (Bali), janger (Banyuwangi), ludruk (Surabaya-Jatim), dan sastra Madura.
Ada pameo yang sampai saat ini menarik untuk direnungkan. Sastra Jawa itu seperti nenek udzur yang mengidap aneka penyakit kronis yang hanya bisa disembuhkan oleh seorang dokter spesialis, begitulah Puja Sutrisna pernah menyinggungnya. Pameo itu pun rasanya naif jika menginginkan keajaiban dari tangan seorang dokter spesialis, mengingat iklim makro sastra Jawa yang demikian kompleks dan rumitnya.
Sejarah sastra Jawa barangkali memang tidak menguntungkan. Di zaman keraton, sastra Jawa dipatron oleh penguasa, karena itu sastra Jawa harus ‘’mendhem jero mikul dhuwur’’. Artinya, sastra harus mengabdi pada kepentingan keraton dan penguasanya. Pascakemerdekaan (dekade 60-an) sastra Jawa juga dikerjain Lekra. Kini, tidak punya ‘’orang tua’’ (media massa handal), dan yang memilukan, kian hari mulai ditinggal pembacanya.
Tak heran kalau Teeuw, pada sebuah seminar di Solo pernah berpesan bahwa untuk penggalian sastra Jawa menjadi tanggung jawab generasi sekarang jika tidak menginginkan orang asing mengambil keuntungannya.
Kalau dalam society Jawa, orang begitu meyakini falsafah perubahan cakra manggilingan, dan tak jarang pula mereka mengidentifikasikan sebagai satria pinandhita, maka tak layak kiranya kita untuk lebih suka kridha lumahing asta. Mestinya, wong Jawa merasa malu ketika dua setengah tahun lalu, dari negeri Pasundan, Ayip Rosyidi menganugerahkan ‘’lencana’’ Rancange kepada FX Pamudji (Nganjuk) dan Subagio Ilham Notodidjojo (Jakarta).
Pada hal komunitas wong Jawa sebagai pemilik sastra Jawa kuantitasnya jauh lebih banyak dibandingkan dengan orang Sunda. Memprihatinkan memang. Tapi begitulah, sastra Jawa seperti terasing, teraliansi dari masyarakatnya. Dengan pekerja sastra yang tidak sedikit, dari Saripan Sadi Hutomo, Suparta Brata, Krisna Miharja, Kelik Eswe, Esmiet, Poer Adhie Prawoto, Andy Casiem Sudin, Irul Ea Budianto, Bonari, sampai Budi Palopo.
Penulis teringat akan pentas Budi Palopo beberapa bulan yang lalu di Taman Budaya Solo. Ketika itu –sejauh yang penulis tahu ketika menyaksikan pementasan- dari apa yang dilakukan Budi Palopo (performance sastranya) pantas mendapat acungan jempol. Setidaknya, hal tersebut dikatakan juga oleh kritikus sastra Jawa Poer Adie Prawoto (Solo) dan Mas Danu (Yogyakarta), dalam dialog usai pentas.
Lewat Budi Palopo, sastra Jawa bisa kembali memikat dan ‘’menakjubkan’’. Menampakkan ‘’roh’’ dan ‘’rah’’-nya yang asli. Begitulah paling tidak yang bisa penulis catat dari pentas sastra Jawa. Dalam pentas terakhir, di Taman Budaya Solo (18/5/1996), yang sebelumnya juga pernah dipentaskan di Dewan Kesenian Surabaya (25 November 1995), dia tunjukkan ‘’performancenya’’ sastra Jawa yang rancak. Dalam puisi dan ‘’performancenya’’-nya, Budi Palopo tampak sarat dengan simbol dan warna kejawen sehingga penonton diseret ke alam mistis, dikelabui dengan ruangan yang penuh bau kemenyan, juga ilmu ‘’sulap modern’’: lampu teplok nyala sendiri, dan boneka yang digantung tiba-tiba jatuh.
Gurit Rong Puluh, begitulah judul kumpulan geguritan yang ditampilkannya, sekaligus menjadikannya sebagai ‘’karya monumental’’. Berisi geguritan yang pernah dimuat di berbagai media: Jaya Baya, Surabaya Post, Jawa Anyar, dan Penyebar Semangat. Lelaki jebolan FMIPA ITS Surabaya ini, tampaknya sangat ingin mengembalikan sastra Jawa pada mantra, yang paralel dengan apa yang dilakukan Sutardji dalam sastra Indonesia.
Dengan begitu, barangkali ada lampu hijau buat sastra Jawa. Paling tidak kita bisa ‘’nguri-nguri’’. Persoalannya sekarang: siapa yang akan menyusul? Kurang lebih tujuh bulan sudah tak ada pentas sastra Jawa yang ‘’berarti’’. Kalau di sebagian pengamat, sastra Jawa dipandang manja karena dipatron oleh penguasa (karena itu harus mikul dhuwur mendem jero), maka kini setelah yatim piatu tentu dibutuhkanlah terobosan-terobosan baru biar tidak mati. Artinya, bagaimana kelangsungan sastra Jawa bisa langgeng. Biar tidak bernasib seperti ludruk, sastra Madura, seni nglawang (Bali) atau pun Janger (Banyuwangi).
Sastra Madura misalnya, yang telah melahirkan penyair seperti D. Zawawi Imron dan Abdul Hadi WM, kini kondisinya sangat memprihatinkan kalau tak mau dibilang mati. Dalam perjalanannya sastra Madura pernah punya Medan Bahasa (tahun 50-an) kemudian di tahun 70-an di Surabaya muncul majalah Ajibrata yang menyediakan rubrik buat sastra Madura yang diasuh oleh JS Antaka.
Demikian juga yang menimpa seni nglawang Bali. Aktivitas itu kini ‘’telah’’ hilang. Pada hal nglawang punya dimensi ekonomi, edukasi, dan pembinaan budaya, di samping nilai religi. Kegiatan seni itu biasanya dilakukan untuk menyambut hari Kuningan hingga Galungan. Akibat modernisasi di Bali, infrastruktur yang maju, jalan lurus beraspal hotmix seni nglawang pun tersingkir.
Jika tidak menginginkan bernasib seperti seni tradisional yang lain, maka lain kiranya untuk meredakan fungsi peran dan posisi sastra Jawa. Misalnya, melepaskan atribut ‘’kultur’’ Jawa, menghilangkan beban sastra Jawa sebagai mikul dhuwur mendhem jero, sehingga keinginan resurvivalisasi sastra Jawa bisa terealisir. Karena itu, perlu aktivis sastra yang mampu melakukan redefinisi, reinterpretasi, untuk direaktualisasikan secara evolutif-kualitatif. Dan penyair Budi Palopo barangkali bisa dijadikan sampel. Harapan akhirnya sastra Jawa punya daya pikat, kekuatan, dan massa untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Bukan sebaliknya, berkeluh kesah dan meratap-ratap karena rajin meramal tentang kematiannya sendiri.
*) Sutejo atau S.Tedjo Kusumo, penulis dikenal sebagai seorang cerpenis, staf pengajar Kopertis VII Surabaya, tinggal di Ponorogo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar