Keputusan Prambanan
Pengantar buku kumpulan cerpen dan puisi Gelora Api 26 karya Chalik Hamid
Asep Sambodja
kawandesa.wordpress.com
Pada 25 Desember 1925, bertepatan dengan hari Natal, para petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pertemuan kilat di Prambanan, Yogyakarta. Dalam pertemuan yang dipimpin Sardjono itu dihasilkan sebuah keputusan yang dikenal sebagai Keputusan Prambanan. Bunyi dari keputusan itu adalah, “Perlunya mengadakan aksi bersama, mulai dengan pemogokan-pemogokan dan disambung dengan aksi senjata. Kaum tani supaya dipersenjatai dan serdadu-serdadu harus ditarik dalam pemberontakan ini.” (Soe Hok Gie, 2005).
Sardjono yang mantan pimpinan Sarekat Islam (SI) Sukabumi ini berhasil menelurkan suatu keputusan yang maha penting di saat petinggi-petinggi PKI seperti Semaoen, Tan Malaka, Darsono, Ali Archam, Alimin Prawirodirdjo, Musso, Haji Misbach, dan Mas Marco Kartodikromo berada di daerah pembuangan dan atau berada dalam posisi yang sewaktu-waktu bisa diciduk dan dipenjara oleh kolonial Belanda. Intinya, keputusan rapat gelap di Prambanan itu adalah mengadakan suatu pemberontakan terhadap Belanda yang dijadwalkan pada 18 Juni 1926. Namun, karena berbagai alasan, pemberontakan itu baru meledak pada 12 November 1926 (Williams, 2003).
Pemberontakan terjadi secara sporadis di beberapa kota, seperti Jakarta, Solo, Boyolali, Tasikmalaya, Kediri, Pekalongan, Ciamis, Banyumas, Sawahlunto, Padang Panjang, Padang Sibusuk, Silungkang, Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan yang paling dahsyat terjadi di Banten. Yang menjadi target utama pemberontakan tersebut adalah para priyayi yang menjadi kaki tangan Belanda dalam menindas rakyat. Menurut Michael C. Williams (2003), Banten merupakan salah satu pusat utama pemberontakan. Dari 13.000 tahanan yang ditangkap pascaperistiwa 1926 itu, sebanyak 1.300 orang (10%) di antaranya berasal dari Banten.
Kenapa Banten begitu bergolak, padahal PKI Banten merupakan cabang ke-37 (terakhir) yang baru dibentuk Comite Central PKI? Kenapa pula banyak warga Banten yang berbondong-bondong masuk PKI? Gubernur Jawa Barat W.P. Hillen melaporkan bahwa jumlah anggota PKI Banten telah mengalami kemajuan yang dramatis hanya dalam tempo tiga bulan. Dari yang semula 1.200 orang pada November 1925 menjadi 12.000 orang (termasuk 500 perempuan) pada Februari 1926
(Williams, 2003: 40).
Dalam merekrut anggotanya, PKI Banten terlebih dahulu merekrut ulama aktivis SI yang pro-PKI dan jawara (bandit lokal) yang selalu tidak menaati peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial. Dengan melibatkan ulama yang dihormati warga dan jawara yang ditakuti warga itulah jumlah anggota PKI Banten meningkat tajam. Selain itu, aktivis PKI di lapangan juga menjanjikan pembebasan pajak kepada para buruh dan petani jika mereka berhasil mengenyahkan imperialis Belanda. Residen De Vries (dalam Williams, 2003) sendiri mengakui bahwa pajak merupakan persoalan utama yang sangat menggelisahkan rakyat banyak, termasuk
warga Banten.
Banten begitu antusias menyambut Keputusan Prambanan karena petani-petani Banten sudah memiliki pengalaman memberontak pada 1888 yang dipimpin Haji Wasid. Hanya saja, alasan pemberontakannya berbeda. Pemberontakan 1926 didorong oleh cita-cita ingin merdeka (meskipun belum terumuskan dengan baik), sementara pemberontakan 1888 disebabkan pejabat-pejabat pemerintah kolonial di Cilegon mengeluarkan sirkuler (surat edaran) kepada bawahannya untuk melarang pembacaan shalawat Nabi dan doa-doa lainnya secara keras-keras di masjid. Pemerintah kolonial juga menghancurkan menara masjid Cilegon dengan
alasan telah terlalu tua. Hal-hal yang dianggap sebagai penghinaan ini dijawab oleh rakyat banyak dalam bentuk pemberontakan yang bertujuan lebih luas lagi,
yaitu mengenyahkan kekuasaan Belanda dari daerah itu (Noer, 1996: 25).
Dalam pemberontakan PKI Banten yang terjadi pada 12 November 1926 hingga beberapa hari kemudian itu, hanya satu orang Belanda yang dibunuh, yakni Benjamin, seorang pegawai kereta api di Menes, Banten. Yang lainnya adalah para Wedana, Asisten Wedana, dan polisi. Sedangkan di pihak pejuang Banten yang ditangkap sebanyak 1.300 orang (Williams, 2003). Ricklefs mencatat bahwa secara keseluruhan, akibat pemberontakan 1926-1927 yang terjadi di berbagai kota di
Indonesia itu adalah 13.000 orang ditangkap, beberapa orang ditembak, 4.500 orang dijebloskan ke penjara, dan sebanyak 1.308 orang dikirim ke kamp penjara
yang terkenal mengerikan di Boven Digul, Irian (Ricklefs, 2005). Di Banten sendiri, 4 orang divonis mati, 9 orang divonis seumur hidup, dan 99 orang
dibuang ke Boven Digul, termasuk para ulama PKI Banten, seperti Tubagus K.H. Achmad Chatib, Tubagus H. Abdulhamid, K.H. Mohammad Gozali, Tubagus K.H. Abdul Hadi, Puradisastra (kakak Sukaesih), Alirachman (Aliarcham), dan Tubagus Hilman.
Kenapa pemberontakan itu gagal? Ada beberapa alasan yang menyebabkan gagalnya pemberontakan di Jawa pada 1926 dan Sumatera Barat pada awal 1927.
Pertama, tidak ada kesepakatan bulat di antara pimpinan PKI mengenai Keputusan Prambanan itu. Tan Malaka adalah salah satu pimpinan PKI yang menolak keputusan itu, karena menurutnya pemberontakan itu masih sangat prematur (Zara, 2007). Lebih lanjut, Tan Malaka yang juga menjadi Wakil Komunis Internasional
(Komintern) untuk Asia Tenggara memberikan alasan penolakannya; yakni a. Situasi revolusioner belum ada, b. PKI belum cukup berdisiplin, c. Seluruh rakyat belum berada di bawah PKI, d. Tuntutan atau semboyan konkret belum dipikirkan, e. Imperialisme internasional bersekutu melawan komunisme (Soe Hok Gie, 2005). Penolakan Tan Malaka ini didukung oleh Jamaludin Tamin, Subakat, dan Suprodjo. Grup Tan Malaka ini dicap oleh anggota komunis lainnya sebagai kaum Trotsky, yakni kaum yang suka memecah belah partai.
Kedua, banyaknya resersir (detektif/mata-mata Belanda) atau pengkhianat. Orang-orang yang dicap sebagai pengkhianat bisa berasal dari lingkungan partai (PKI) sendiri maupun orang-orang dari kelompok Sarekat Hijau atau Sarekat Idjo. Dalam peristiwa Banten, orang yang paling dikenal sebagai pengkhianat adalah R. Oesadiningrat, mantan pegawai Stasiun Kereta Api Tanah Abang yang juga kerabat Bupati Serang, Achmad Djajadiningrat. Oesadiningrat inilah yang pada mulanya memprovokasi para ulama dan petani untuk bergabung ke dalam PKI. Tapi, menjelang pemberontakan 1926 meletus, Oesadiningratlah yang menunjukkan kepada Belanda ulama-ulama yang terlibat dalam pemberontakan itu. Bahkan sebelum pemberontakan terjadi, penangkapan terhadap ulama-ulama PKI sudah dilakukan secara intensif. Ini pula yang menjadi titik kelemahan pemberontakan Banten 1926. Ketika para pimpinan PKI dan ulama pro-PKI ditangkap, yang memimpin
pemberontakan adalah para jawara. Sementara orang-orang Sarekat Hijau memang antek-antek Belanda tulen. Yang dirugikan dengan kehadirannya tidak saja
pejuang-pejuang PKI, melainkan juga pejuang-pejuang SI nasionalis. Organisasi Sarekat Hijau ini kelihatannya bersifat Islam, kostumnya sangat islami, tetapi
sebenarnya didirikan oleh pihak Belanda dengan maksud mengacaukan kalangan Islam sendiri (Noer, 1996).
Ketiga, sebelum pemberontakan terjadi, para pimpinan PKI yang juga ulama-ulama terkenal di Banten, seperti Kyai Achmad Chatib, Kyai Alipan, dan Tubagus Hilman sudah ditangkap Belanda. Senjata-senjata yang mereka beli dengan cara swadaya masyarakat juga berhasil disita Belanda. Dengan demikian, rakyat Banten berjuang dengan persenjataan yang minim dan tanpa komando. Sementara musuh yang dihadapi memiliki persenjataan modern dan sangat terlatih.
Meskipun demikian, semangat perjuangan yang dikobarkan PKI pada 1925-1926 itu merupakan turning point dalam sejarah bangsa Indonesia. Semangat revolusioner ini baru mendapatkan hasilnya yang konkret 20 tahun kemudian, yakni pada 17 Agustus 1945.
Citayam, 3 Januari 2010
Bibliografi:
Hamid, Chalik. 2008. Mawar Merah. Bandung: Ultimus.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Nurdiana. 2008. Jelita Senandung Hidup. Bandung: Ultimus.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Setiawan, Hersri. 2003. Aku Eks Tapol. Yogyakarta: Galang Press.
Soe Hok Gie. 2005. Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta: Bentang.
Williams, Michael C. 2003. Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten. Yogyakarta: Syarikat.
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan. 2008. Lekra Tak Membakar Buku. Yogyakarta: Merakesumba.
Zara, M. Yuanda. 2007. Kematian Misterius Para Pembaru Indonesia: Orang-orang Cerdas yang Mati di Tangan Bangsanya Sendiri. Yogyakarta: Pinus.
Dijumput dari: http://kawandesa.wordpress.com/2012/05/03/pemberontakan-12-november-1926/
Pengantar buku kumpulan cerpen dan puisi Gelora Api 26 karya Chalik Hamid
Asep Sambodja
kawandesa.wordpress.com
Pada 25 Desember 1925, bertepatan dengan hari Natal, para petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pertemuan kilat di Prambanan, Yogyakarta. Dalam pertemuan yang dipimpin Sardjono itu dihasilkan sebuah keputusan yang dikenal sebagai Keputusan Prambanan. Bunyi dari keputusan itu adalah, “Perlunya mengadakan aksi bersama, mulai dengan pemogokan-pemogokan dan disambung dengan aksi senjata. Kaum tani supaya dipersenjatai dan serdadu-serdadu harus ditarik dalam pemberontakan ini.” (Soe Hok Gie, 2005).
Sardjono yang mantan pimpinan Sarekat Islam (SI) Sukabumi ini berhasil menelurkan suatu keputusan yang maha penting di saat petinggi-petinggi PKI seperti Semaoen, Tan Malaka, Darsono, Ali Archam, Alimin Prawirodirdjo, Musso, Haji Misbach, dan Mas Marco Kartodikromo berada di daerah pembuangan dan atau berada dalam posisi yang sewaktu-waktu bisa diciduk dan dipenjara oleh kolonial Belanda. Intinya, keputusan rapat gelap di Prambanan itu adalah mengadakan suatu pemberontakan terhadap Belanda yang dijadwalkan pada 18 Juni 1926. Namun, karena berbagai alasan, pemberontakan itu baru meledak pada 12 November 1926 (Williams, 2003).
Pemberontakan terjadi secara sporadis di beberapa kota, seperti Jakarta, Solo, Boyolali, Tasikmalaya, Kediri, Pekalongan, Ciamis, Banyumas, Sawahlunto, Padang Panjang, Padang Sibusuk, Silungkang, Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan yang paling dahsyat terjadi di Banten. Yang menjadi target utama pemberontakan tersebut adalah para priyayi yang menjadi kaki tangan Belanda dalam menindas rakyat. Menurut Michael C. Williams (2003), Banten merupakan salah satu pusat utama pemberontakan. Dari 13.000 tahanan yang ditangkap pascaperistiwa 1926 itu, sebanyak 1.300 orang (10%) di antaranya berasal dari Banten.
Kenapa Banten begitu bergolak, padahal PKI Banten merupakan cabang ke-37 (terakhir) yang baru dibentuk Comite Central PKI? Kenapa pula banyak warga Banten yang berbondong-bondong masuk PKI? Gubernur Jawa Barat W.P. Hillen melaporkan bahwa jumlah anggota PKI Banten telah mengalami kemajuan yang dramatis hanya dalam tempo tiga bulan. Dari yang semula 1.200 orang pada November 1925 menjadi 12.000 orang (termasuk 500 perempuan) pada Februari 1926
(Williams, 2003: 40).
Dalam merekrut anggotanya, PKI Banten terlebih dahulu merekrut ulama aktivis SI yang pro-PKI dan jawara (bandit lokal) yang selalu tidak menaati peraturan yang dikeluarkan pemerintah kolonial. Dengan melibatkan ulama yang dihormati warga dan jawara yang ditakuti warga itulah jumlah anggota PKI Banten meningkat tajam. Selain itu, aktivis PKI di lapangan juga menjanjikan pembebasan pajak kepada para buruh dan petani jika mereka berhasil mengenyahkan imperialis Belanda. Residen De Vries (dalam Williams, 2003) sendiri mengakui bahwa pajak merupakan persoalan utama yang sangat menggelisahkan rakyat banyak, termasuk
warga Banten.
Banten begitu antusias menyambut Keputusan Prambanan karena petani-petani Banten sudah memiliki pengalaman memberontak pada 1888 yang dipimpin Haji Wasid. Hanya saja, alasan pemberontakannya berbeda. Pemberontakan 1926 didorong oleh cita-cita ingin merdeka (meskipun belum terumuskan dengan baik), sementara pemberontakan 1888 disebabkan pejabat-pejabat pemerintah kolonial di Cilegon mengeluarkan sirkuler (surat edaran) kepada bawahannya untuk melarang pembacaan shalawat Nabi dan doa-doa lainnya secara keras-keras di masjid. Pemerintah kolonial juga menghancurkan menara masjid Cilegon dengan
alasan telah terlalu tua. Hal-hal yang dianggap sebagai penghinaan ini dijawab oleh rakyat banyak dalam bentuk pemberontakan yang bertujuan lebih luas lagi,
yaitu mengenyahkan kekuasaan Belanda dari daerah itu (Noer, 1996: 25).
Dalam pemberontakan PKI Banten yang terjadi pada 12 November 1926 hingga beberapa hari kemudian itu, hanya satu orang Belanda yang dibunuh, yakni Benjamin, seorang pegawai kereta api di Menes, Banten. Yang lainnya adalah para Wedana, Asisten Wedana, dan polisi. Sedangkan di pihak pejuang Banten yang ditangkap sebanyak 1.300 orang (Williams, 2003). Ricklefs mencatat bahwa secara keseluruhan, akibat pemberontakan 1926-1927 yang terjadi di berbagai kota di
Indonesia itu adalah 13.000 orang ditangkap, beberapa orang ditembak, 4.500 orang dijebloskan ke penjara, dan sebanyak 1.308 orang dikirim ke kamp penjara
yang terkenal mengerikan di Boven Digul, Irian (Ricklefs, 2005). Di Banten sendiri, 4 orang divonis mati, 9 orang divonis seumur hidup, dan 99 orang
dibuang ke Boven Digul, termasuk para ulama PKI Banten, seperti Tubagus K.H. Achmad Chatib, Tubagus H. Abdulhamid, K.H. Mohammad Gozali, Tubagus K.H. Abdul Hadi, Puradisastra (kakak Sukaesih), Alirachman (Aliarcham), dan Tubagus Hilman.
Kenapa pemberontakan itu gagal? Ada beberapa alasan yang menyebabkan gagalnya pemberontakan di Jawa pada 1926 dan Sumatera Barat pada awal 1927.
Pertama, tidak ada kesepakatan bulat di antara pimpinan PKI mengenai Keputusan Prambanan itu. Tan Malaka adalah salah satu pimpinan PKI yang menolak keputusan itu, karena menurutnya pemberontakan itu masih sangat prematur (Zara, 2007). Lebih lanjut, Tan Malaka yang juga menjadi Wakil Komunis Internasional
(Komintern) untuk Asia Tenggara memberikan alasan penolakannya; yakni a. Situasi revolusioner belum ada, b. PKI belum cukup berdisiplin, c. Seluruh rakyat belum berada di bawah PKI, d. Tuntutan atau semboyan konkret belum dipikirkan, e. Imperialisme internasional bersekutu melawan komunisme (Soe Hok Gie, 2005). Penolakan Tan Malaka ini didukung oleh Jamaludin Tamin, Subakat, dan Suprodjo. Grup Tan Malaka ini dicap oleh anggota komunis lainnya sebagai kaum Trotsky, yakni kaum yang suka memecah belah partai.
Kedua, banyaknya resersir (detektif/mata-mata Belanda) atau pengkhianat. Orang-orang yang dicap sebagai pengkhianat bisa berasal dari lingkungan partai (PKI) sendiri maupun orang-orang dari kelompok Sarekat Hijau atau Sarekat Idjo. Dalam peristiwa Banten, orang yang paling dikenal sebagai pengkhianat adalah R. Oesadiningrat, mantan pegawai Stasiun Kereta Api Tanah Abang yang juga kerabat Bupati Serang, Achmad Djajadiningrat. Oesadiningrat inilah yang pada mulanya memprovokasi para ulama dan petani untuk bergabung ke dalam PKI. Tapi, menjelang pemberontakan 1926 meletus, Oesadiningratlah yang menunjukkan kepada Belanda ulama-ulama yang terlibat dalam pemberontakan itu. Bahkan sebelum pemberontakan terjadi, penangkapan terhadap ulama-ulama PKI sudah dilakukan secara intensif. Ini pula yang menjadi titik kelemahan pemberontakan Banten 1926. Ketika para pimpinan PKI dan ulama pro-PKI ditangkap, yang memimpin
pemberontakan adalah para jawara. Sementara orang-orang Sarekat Hijau memang antek-antek Belanda tulen. Yang dirugikan dengan kehadirannya tidak saja
pejuang-pejuang PKI, melainkan juga pejuang-pejuang SI nasionalis. Organisasi Sarekat Hijau ini kelihatannya bersifat Islam, kostumnya sangat islami, tetapi
sebenarnya didirikan oleh pihak Belanda dengan maksud mengacaukan kalangan Islam sendiri (Noer, 1996).
Ketiga, sebelum pemberontakan terjadi, para pimpinan PKI yang juga ulama-ulama terkenal di Banten, seperti Kyai Achmad Chatib, Kyai Alipan, dan Tubagus Hilman sudah ditangkap Belanda. Senjata-senjata yang mereka beli dengan cara swadaya masyarakat juga berhasil disita Belanda. Dengan demikian, rakyat Banten berjuang dengan persenjataan yang minim dan tanpa komando. Sementara musuh yang dihadapi memiliki persenjataan modern dan sangat terlatih.
Meskipun demikian, semangat perjuangan yang dikobarkan PKI pada 1925-1926 itu merupakan turning point dalam sejarah bangsa Indonesia. Semangat revolusioner ini baru mendapatkan hasilnya yang konkret 20 tahun kemudian, yakni pada 17 Agustus 1945.
Citayam, 3 Januari 2010
Bibliografi:
Hamid, Chalik. 2008. Mawar Merah. Bandung: Ultimus.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900-1942. Jakarta: LP3ES.
Nurdiana. 2008. Jelita Senandung Hidup. Bandung: Ultimus.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Setiawan, Hersri. 2003. Aku Eks Tapol. Yogyakarta: Galang Press.
Soe Hok Gie. 2005. Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta: Bentang.
Williams, Michael C. 2003. Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926 di Banten. Yogyakarta: Syarikat.
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan. 2008. Lekra Tak Membakar Buku. Yogyakarta: Merakesumba.
Zara, M. Yuanda. 2007. Kematian Misterius Para Pembaru Indonesia: Orang-orang Cerdas yang Mati di Tangan Bangsanya Sendiri. Yogyakarta: Pinus.
Dijumput dari: http://kawandesa.wordpress.com/2012/05/03/pemberontakan-12-november-1926/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar