Kamis, 24 Januari 2013

Buku Tentang Pemberontakan PKI 1926

Judul : Kemunculan Komunisme Indonesia
Pengarang : Ruth McVey
Penerbit : Komuntas Bambu, Jakarta, Januari 2010
Halaman : 674 halaman
Peresensi : Endi Biaro
opinibuku.wordpress.com
1

Tepat di awal Abad 20 (sekitar 1900-an awal), sejarah sosial di Hindia Belanda menggeliat kencang. Kurun waktu itu tanah koloni belanda di nusantara ini sibuk menjemput aneka inovasi, baik dalam bidang budaya, pemikiran, perdagangan, dan bahkan perangkat teknis (teknologi).

Di ranah budaya, misalnya, kaum priboemi sedang bergairah dengan hidangan hiburan “moderen”, seperti seni teater (dikenal dengan teater Stamboel), tayangan “gambar idoep” atau film, dan tumbuhnya elit-elit terdidik di kalangan ningrat dan kelas “atas”. Sementara di bidang pemikiran, bumi Hindia Belanda ramai dengan ide-ide baru, termasuk gagasan pembaruan ke-Islaman (terutama oleh SI, Muhammadiyah, dan dalam hal tertentu juga NU). Lantas di bidang teknologi, dengan pengaruh sosial yang meluas, adalah semakin kuatnya itikad kumpeni Belanda melakukan pembaharuan infrastruktur, misalnya jaringan kereta api, trem, dan pabrikasi (terutama industri gula).

Dalam celah perubahan sosial itulah komunisme masuk, awalnya oleh Sneevilt, Adolf Deboer dan puluhan Belanda atau Eropa lainnya. Ketika ISDV dibentuk (cikal bakal PKI), dari seratusan anggota, hanya tiga orang saja dari pribumi. Lalu dengan cepat merekrut anggota hingga mencapai angka seribuan. Tetapi yang mengejutkan, tanpa berlama-lama, PKI menyebar ke segala arah, hingga Ternate, Minangkabau, Solo, Banten, dan terutama Batavia.

Sejujurnya, fakta inilah yang bisa dijadikan pintu masuk, jika ingin menyelami proses perkembangan PKI yang sedemikian progresif-revolusioner. Betapa sebuah ide baru, di tengah rakyat yang terjajah dan (sebagian besar) buta hurup, yang mayoritas Islam, bisa menggerakan politik revolusioner dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (tak lebih dari 10 tahun PKI mampu melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Wong Londo). Tambahan lain, betapapun PKI adalah bagian dari eksperimen politik perlawanan terhadap penjajah Belanda, dan mengisi kekosongan gerakan rakyat yang saat itu masih mencari bentuk.

Tanpa mengenyampingkan peran sejarah Boedi Oetomo, Sarekat Islam, dan perserikatan kebangsaan lain di waktu itu, tetap saja tertinggal beberapa langkah dari PKI. Setidaknya dalam aksi-aksi real politik, seperti pemogokan, demonstrasi acak, boikot, atau bahkan propaganda serta agitasi yang terbuka.

PKI Populis

Meski sulit, terutama alam pemikiran Indonesia yang pekat dengan communistophobia (anti komunis!), kita bisa melakukan penalaran obyektif terhadap kontribusi PKI dalam sejarah sosial di tanah air. Minimal, dengan mencacah karakter gerakan yang mereka perlihatkan. Berbeda dari sebelumnya, seperti perlawanan perang Atjeh, perang Dipenogoro, Perang Maluku, dan Perang Paderi di Minangkabau, yang sempat menguras energi militer Belanda, toh, masih kental dengan spirit “regional-kultural”. Di sini, PKI berbeda (bahkan dengan Boedi Oetomo dan SI). Gerakan PKI, harus diakui, memiliki corak moderen, dengan mengusung gerakan yang bersifat internasional (misalnya dukungan cominteren Rusia, dan beberapa kelompok komunis di Eropa), ideologis, dan plural.

Buku Ruth McVey ini, yang berjudul Kemunculan Komunisme Indonesia, jelas-jelas membuka perspektif itu, yaitu sifat internasional PKI dan sekaligus dinamika nasionalnya (yaitu tumbuh geraknya di Indonesia). Dalam bagian Kata Pengantar, Ruth McVey tanpa ragu mengatakan: Pada 1924, PKI beranggotakan 1.000 orang, pada saat itu pula partai dipandang sebagai memiliki pengikut dan simpatisan terbesar di antara kelompok politik lain di Indonesia. Karena hubungan PKI tidak dibatasi hanya dengna kaum elite, tidak ada upaya membatas partai hanya untuk kalangan terdidik, dan melibatkan masyarakat moderen dan tradisional (halaman xxii).

Mari perlakukan keterangan itu untuk memenuhi interpretasi yang adil, misalnya dengan memancang acuan dari teori tafsir sosial dari Emile Durkheim, yang mengatakan bahwa “perlakukanlah fakta sosial sebagai perihal saja (thing)”. Panduan ini cukup aman dipakai, untuk memberi apresiasi terhadap PKI —terutama di frase awal sejarahnya.

Konteks kontribusi sejarah sosial PKI adalah proses paling awal yang memperkenalkan Indonesia dengan politik populis, disertai dengan kerja-kerja terorganisir. Jangan lupa, saat itu, faktor kepemimpinan PKI yang sesungguhnya sangat berkelas. Sneevilit, misalnya, adalah “alumni” serikat buruh PKI di Belanda, yang berpengalaman dengan teori-teori marxis dan terlatih mengorganisasi kekuatan. Juga Adolf Deboer, yang sangat militant, idealis, serta pandai merancang kampanye publik.

Buku Ruth McVey ini juga menyebut, bahwa tokoh-tokoh pertama PKI di Indonesia, meski sebagian besar digodok di Sarikat Islam, adalah orang-orang cerdas dan sangat intelektual, sehingga memiliki kharisma mendalam. Sebut saja, misalnya Semaun, Alimin dan Darsono, yang rata-rata memiliki kepandaian berbahasa (Perancis, Inggris, dan tentu saja Belanda). Modal itu, tentu memperlancar gerakan politik mereka dalam meraih dukungan massa.

Kontra Islam (?)

Bagian menarik lain, adalah strategi PKI memasang blok dari dalam (halaman 283) terutama di tubuh SI. Dalam perjalanan, taktik ini membuat PKI kian mengakar dan bahkan mampu memperoleh dukungan signifikan dari kalangan Islam multi corak (bukan hanya Islam Abangan dan sekuler, tetapi juga Islam Religius, seperti di Solo melalui Haji Misbach, di Banten, di Semarang, Palembang, dan Minangkabau via Datuk Batuah, dan tempat-tempat lain).

Terlalu gampangan bila menyebut pola-pola ini culas, jika tanpa disertai informasi bahwa semangat zaman waktu itu terlampau menjengkelkan bagi darah perlawanan yang bergolak. Daripada sebagai peralihan ideologis, perpindahan Tokoh Islam SI ke PKI, lebih banyak berpola kekecewaan dan ketidaksabaran. Lantaran melihat SI yang sudah memudar dan tidak lagi kuat sebagai organisasi perlawanan. Di sini berlaku petuah musykil, bahwa siapa cepat, siapa dapat. PKI saat itu adalah organisasi politik paling cepat bergerak dan memiliki keberanian untuk melakukan perlawanan terbuka. Meski demikian, adalah juga fakta bahwa perseteruan antara tokoh-tokoh Islam dengan PKI telah berlangsung lama dan tajam, misalnya di tingkat visi dan metode.

Perlu diperjelas, seperti uraian buku Kemunculan Komunisme Indonesia ini, saat itu gerakan komunisme internasional dan juga PKI, tidak memasang tembok tebal terhadap kelompok Islam —melainkan justru membacanya sebagai sekutu dan mitra aliansi strategis. Misalnya di Rusia, meski Lenin membenci Islam, tetapi ia mampu berkompromi, mengingat kekuatan aliansi Islam di dalam dan sekitaran Rusia, yang merupakan mayoritas terbesar (misalnya di Bukhara dan Turki). Sementara di tanah air, beberapa tokoh PKI, seperti Tan Malaka, justru terkesan sangat membela Islam (barangkali karena faktor latar budayanya yang Minang). Tak berlebihan, bila hubungan PKI dan Islam saat itu bersifat dialektis —dan belum tercemar oleh noda sejarah apapun, berbeda dengan saat ini.

Celah Revolusi

Tumbuh dengan cepat sekaligus tumpas dalam sekelebatan, maka PKI segera runtuh oleh pemberontakan yang gagal —-di 1926-1927. Imaji-imaji pemberontakan PKI dalam hal ini patah oleh ketiadaan basis yang solid. Tan Malaka misalnya, yang memang sama sekali tak setuju dengan skenario Prambanan (yang merancang pemberontakan 1926 ini), melihat kegagalan itu dengan getir. Menurutnya, agenda terpenting PKI adalah justru membebaskan alam pikir masyarakat Indonesia yang masih tersaput oleh mistisme, feodalisme dan perbudakan.

Begitu pun Semaun (cukup mengagetkan, bahwa menurut Ruth Mc Vey, penulis buku ini, Semaun justru sangat teoritis dan menghormati detil gerakan) juga melihat faktor kegagalan karena belum cukup kader dan organisasi yang tidak kuat. Masih banyak interpretasi lain tentang tumbangnya PKI saat itu, termasuk yang “mencurigai” provokasi dengan sengaja dari Pemerintah Belanda —yang memancing teror di masyarakat, untuk kemudian menuduh PKI sebagai pelakunya.

Begitulah, seperti nasehat Emile Durkheim, bahwa jika kita melihat sejarah sosial sebagai perihal biasa atau thing, maka akan berujung pada tatapan yang nyaman. Bahwa bagaimanapun, PKI adalah pernah menyebar benih perlawanan, menggerakan revolusi, sekaligus menjadi tumbal eksperimen politik nasional. Mau tak mau, untuk saat itu, peran politik PKI memang tak tergantikan.

Dijumput dari: http://opinibuku.wordpress.com/2010/09/30/buku-tentang-pemberontakan-pki-1926/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae