Judul : Rabindranath Tagore, Puisi Sepanjang Masa
Penulis : IBG Agastia, IBM Dharma Palguna, Swami Rama, Narayan Champawat, Nyoman Tustthi Eddy, I Wayan Westa
Penyunting: I Wayan Westa dan Ni Made Tisnawati
Penerbit : Yayasan Dharma Sastra Denpasar 2002
Tebal : i-ix, 185 halaman
Peresensi : Mas Ruscitadewi
http://www.balipost.co.id/
JIKA ada kalangan yang merayakan kemerdekaan RI dengan aneka pertunjukan dan kemeriahan, maka Balai Bahasa Denpasar memilih merayakan HUT Kemerdekaan RI sekaligus mengenang kematian Rabindranath Tagore, salah satu dari sekian banyak “orang besar” yang dimiliki India. Acara yang berlangsung Minggu, 18 Agustus lalu disertai dengan diskusi dan peluncurkan buku yang berisikan tulisan tentang Rabindranath Tagore. Diskusi yang berlangsung hampir tiga jam tersebut menghadirkan IB Putu Suamba sebagai pembicara diikuti sekitar 30 sastrawan, budayawan, dan pencinta sastra.
Buku berjudul “Rabindranath Tagore, Puisi Sepanjang Masa” yang diluncurkan ini berisikan 13 tulisan, masing-masing dari IBG Agastia (dua tulisan), IBM Dharma Palguna (tujuh tulisan), Swami Rama (dua tulisan) serta Narayan Champawat, Nyoman Tusthi Eddy dan I Wayan Westa masing-masing satu tulisan. Agastia menulis tentang “Rabindranath Tagore: Gitanyali” dan “Rabindranath Tagore: Keindahan tak Terbatas”.
Sedangkan IBM Dharma Palguna menyumbangkan tulisan berjudul “Rabindranath Tagore Tukang Kebun dari Taman Keindahan Ilahi”, “Sang Mahaguru Rabindranath Tagore”, “Tukang Kebun dan Bayang-bayangnya”, “Sayap-Sayap Kematian”, “Kepada Tanah Jawa”, “Pujangga Keindahan”, serta “Rabindranath Tagore dalam Sastra Indonesia”. Tulisan Swami Rama berjudul “Bukan Pengorbanan tapi Penaklukan Tagore”, Narayan Champawat membuat tulisan berjudul “Rabindranath Tagore”, Tusthi Eddy menulis tentang “Tagore Penyair dan Yogi” serta I Wayan Westa membuat tulisan berjudul “Rabindranath Tagore: Fajar dari Timur”.
Semua tulisan tentang Tagore tersebut secara tidak langsung menempatkan Tagore sendiri sebagai manusia istimewa, yang pantas dicatat dan dikenang. Bukan saja sosok dan sikapnya sebagai manusia, pandangan dan karya-karya sastranya, bahkan termasuk juga tentang kematiannya. Karena Tagore begitu merdeka memandang kematian, atau bahkan “kematian” dan kemerdekaan itu satu adanya?
Pada halaman 124 buku ini, dalam tulisan yang berjudul “Sayap-sayap Kematian” Palguna mengutip sebuah puisi dalam tulisannya berjudul “Sayap-Sayap Kematian” yang ditulis pada hari ulang tahun ke-80 Tagore. Puisi yang ditulis pada ulang tahun terakhirnya (6 Mei 1941) diterjemahkan Phalguna tersebut berbunyi begini:
Hari ini di tengah-tengah hari kelahiranku, aku hilang/ Aku ingin di dekat diriku, kawan sentuhan lembut tangan-tangan mereka akan kubawa bersamaku/ Kasih terakhir ibu bumi/ Bagian anugrah kehidupan, berkah terakhir manusia/ Keranjangku kosong hari ini/ Segala yang harus kuberikan telah kuberikan semuanya/ Anugrah kecil yang kuterima sehari-hari/ Kelembuatn kasih, pengampunan akan kubawa bersamaku/ Ketika diatas rakit kecil kulakukan loncatan terakhir/ Menuju Pesta Terakhir tanpa suara.
Kemerdekaan hakiki juga menjadi dasar dalam pendidikan versi Tagore. Kemerdekaan dalam hidup menurutnya adalah hidup bersahaja dan berdekatan dengan kodrat alam, disertai kemerdekaan berpikir yang seluas-luasnya. Dalam kaitan kodrat alam sebagai dasar pendidikannya menurut Palguna, Tagore pernah berujar, “Pergilah dan carilah hidup di tempat dimana hidup itu nampak yang terindah. Janganlah pohon-pohon itu dibawa ke dalam kelas, tetapi kumpulkanlah anak-anak di bawah pohon-pohon.”
Makna kemerdekaan Indonesia, agaknya berusaha disejajarkan dengan pemikiran Tagore tentang kemerdekaan berpikir yang seluas-luasnya. IB Putu Suamba dalam makalahnya mengungkapkan, dengan jalan penyatuan yang dipilih Togore lewat buku “Sadhana”. “Realitas dan Tuhan bagi Tagore adalah dua entitas yang sama,” jelas Suamba. Ia kemudian memaparkan tafsirnya tentang sosok Tagore, yang menyebut Tuhan sebagai Satyam, Sivam, Anandam dan Sundaram (Kebenaran, Kesucian, Kebahagiaan dan Keindahan).
Menurut Suamba, Tagore memahami Tuhan sebagai pribadi. Tuhan menurutnya bukanlah suatu abstraksi metafisikawan. Ia adalah ideal nyata kehidupan dan aspirasi manusia. Manusia tidak tertarik dengan konsep Tuhan yang tidak bisa diajak berkomunikasi. Tuhan haruslah dapat didekati dan diajak berdialog. Bagi Tagore, ungkapan aku adalah engkau (Tattvam Asi) belumlah cukup, tetapi “Itu” haruslah dirasakan dalam hati. “Tuhan dalam konsepsi Tagore dapat direalisasikan hanya dalam pengalaman yang kuat, yaitu dalam konsentrasi kuat dan positif, sementara Absolut hanya dapat didekati secara negatif, neti, neti,” jelas Suamba.
Pada bagian yang lain dari buku ini, Tagore mengatakan, “satu hal yang saya ketahui dengan pasti, bahwa dalam hidup saya terdapat suatu saat, saat mana jiwa saya tersentuh oleh hal yang tak terhingga. Meskipun tak oleh hasil kerja pikiran, namun oleh suatu sinar kegembiraan yang tak terperikan”.
* Mas Ruscitadewi /1 September 2002
Penulis : IBG Agastia, IBM Dharma Palguna, Swami Rama, Narayan Champawat, Nyoman Tustthi Eddy, I Wayan Westa
Penyunting: I Wayan Westa dan Ni Made Tisnawati
Penerbit : Yayasan Dharma Sastra Denpasar 2002
Tebal : i-ix, 185 halaman
Peresensi : Mas Ruscitadewi
http://www.balipost.co.id/
JIKA ada kalangan yang merayakan kemerdekaan RI dengan aneka pertunjukan dan kemeriahan, maka Balai Bahasa Denpasar memilih merayakan HUT Kemerdekaan RI sekaligus mengenang kematian Rabindranath Tagore, salah satu dari sekian banyak “orang besar” yang dimiliki India. Acara yang berlangsung Minggu, 18 Agustus lalu disertai dengan diskusi dan peluncurkan buku yang berisikan tulisan tentang Rabindranath Tagore. Diskusi yang berlangsung hampir tiga jam tersebut menghadirkan IB Putu Suamba sebagai pembicara diikuti sekitar 30 sastrawan, budayawan, dan pencinta sastra.
Buku berjudul “Rabindranath Tagore, Puisi Sepanjang Masa” yang diluncurkan ini berisikan 13 tulisan, masing-masing dari IBG Agastia (dua tulisan), IBM Dharma Palguna (tujuh tulisan), Swami Rama (dua tulisan) serta Narayan Champawat, Nyoman Tusthi Eddy dan I Wayan Westa masing-masing satu tulisan. Agastia menulis tentang “Rabindranath Tagore: Gitanyali” dan “Rabindranath Tagore: Keindahan tak Terbatas”.
Sedangkan IBM Dharma Palguna menyumbangkan tulisan berjudul “Rabindranath Tagore Tukang Kebun dari Taman Keindahan Ilahi”, “Sang Mahaguru Rabindranath Tagore”, “Tukang Kebun dan Bayang-bayangnya”, “Sayap-Sayap Kematian”, “Kepada Tanah Jawa”, “Pujangga Keindahan”, serta “Rabindranath Tagore dalam Sastra Indonesia”. Tulisan Swami Rama berjudul “Bukan Pengorbanan tapi Penaklukan Tagore”, Narayan Champawat membuat tulisan berjudul “Rabindranath Tagore”, Tusthi Eddy menulis tentang “Tagore Penyair dan Yogi” serta I Wayan Westa membuat tulisan berjudul “Rabindranath Tagore: Fajar dari Timur”.
Semua tulisan tentang Tagore tersebut secara tidak langsung menempatkan Tagore sendiri sebagai manusia istimewa, yang pantas dicatat dan dikenang. Bukan saja sosok dan sikapnya sebagai manusia, pandangan dan karya-karya sastranya, bahkan termasuk juga tentang kematiannya. Karena Tagore begitu merdeka memandang kematian, atau bahkan “kematian” dan kemerdekaan itu satu adanya?
Pada halaman 124 buku ini, dalam tulisan yang berjudul “Sayap-sayap Kematian” Palguna mengutip sebuah puisi dalam tulisannya berjudul “Sayap-Sayap Kematian” yang ditulis pada hari ulang tahun ke-80 Tagore. Puisi yang ditulis pada ulang tahun terakhirnya (6 Mei 1941) diterjemahkan Phalguna tersebut berbunyi begini:
Hari ini di tengah-tengah hari kelahiranku, aku hilang/ Aku ingin di dekat diriku, kawan sentuhan lembut tangan-tangan mereka akan kubawa bersamaku/ Kasih terakhir ibu bumi/ Bagian anugrah kehidupan, berkah terakhir manusia/ Keranjangku kosong hari ini/ Segala yang harus kuberikan telah kuberikan semuanya/ Anugrah kecil yang kuterima sehari-hari/ Kelembuatn kasih, pengampunan akan kubawa bersamaku/ Ketika diatas rakit kecil kulakukan loncatan terakhir/ Menuju Pesta Terakhir tanpa suara.
Kemerdekaan hakiki juga menjadi dasar dalam pendidikan versi Tagore. Kemerdekaan dalam hidup menurutnya adalah hidup bersahaja dan berdekatan dengan kodrat alam, disertai kemerdekaan berpikir yang seluas-luasnya. Dalam kaitan kodrat alam sebagai dasar pendidikannya menurut Palguna, Tagore pernah berujar, “Pergilah dan carilah hidup di tempat dimana hidup itu nampak yang terindah. Janganlah pohon-pohon itu dibawa ke dalam kelas, tetapi kumpulkanlah anak-anak di bawah pohon-pohon.”
Makna kemerdekaan Indonesia, agaknya berusaha disejajarkan dengan pemikiran Tagore tentang kemerdekaan berpikir yang seluas-luasnya. IB Putu Suamba dalam makalahnya mengungkapkan, dengan jalan penyatuan yang dipilih Togore lewat buku “Sadhana”. “Realitas dan Tuhan bagi Tagore adalah dua entitas yang sama,” jelas Suamba. Ia kemudian memaparkan tafsirnya tentang sosok Tagore, yang menyebut Tuhan sebagai Satyam, Sivam, Anandam dan Sundaram (Kebenaran, Kesucian, Kebahagiaan dan Keindahan).
Menurut Suamba, Tagore memahami Tuhan sebagai pribadi. Tuhan menurutnya bukanlah suatu abstraksi metafisikawan. Ia adalah ideal nyata kehidupan dan aspirasi manusia. Manusia tidak tertarik dengan konsep Tuhan yang tidak bisa diajak berkomunikasi. Tuhan haruslah dapat didekati dan diajak berdialog. Bagi Tagore, ungkapan aku adalah engkau (Tattvam Asi) belumlah cukup, tetapi “Itu” haruslah dirasakan dalam hati. “Tuhan dalam konsepsi Tagore dapat direalisasikan hanya dalam pengalaman yang kuat, yaitu dalam konsentrasi kuat dan positif, sementara Absolut hanya dapat didekati secara negatif, neti, neti,” jelas Suamba.
Pada bagian yang lain dari buku ini, Tagore mengatakan, “satu hal yang saya ketahui dengan pasti, bahwa dalam hidup saya terdapat suatu saat, saat mana jiwa saya tersentuh oleh hal yang tak terhingga. Meskipun tak oleh hasil kerja pikiran, namun oleh suatu sinar kegembiraan yang tak terperikan”.
* Mas Ruscitadewi /1 September 2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar