Selasa, 07 Agustus 2012

Melawan Dehumanisasi Sastra Sutardjian

Hasnan Bachtiar *
http://sastra-indonesia.com/

“Kritik sastra…mencerminkan bukan saja kematangan estetik kita, tetapi juga kejelasan intelektual, kesungguhan moral yang sekaligus mentakrif kemanusiaan kita.” (Azhar Ibrahim Alwee)

SUATU artikulasi estetis yang dituangkan dalam karya sastra bukanlah kata-kata tanpa mutu, karena selalu memiliki kualitas-kualitas makna. Makna hidup, makna dunia, dan makna-makna yang terlahir dari nurani penciptanya. Namun yang jarang disadari adalah, sebagai goresan pena penyair, bahwa syair-syair (termasuk kritik sastra) merupakan ungkapan intelektual. Bila demikian, kata kunci intelektual akan membawa kita kepada dua hal: yang pertama adalah bagaimana konstruksi sosial di balik teks, sedangkan yang kedua adalah untuk tujuan apakah teks tersebut ditulis. Dalam konteks ini, Nurel Javissyarqi yang memperkarakan sastrawan terkemuka Sutardji Calzoum Bachri dan kritikus sastra Ignas Kleden, menarik untuk diapresiasi.

Bila dahulu kita mengenal istilah “Paus Sastra” yang ternisbat kepada nama H.B. Jassin, dalam dunia sastra Indonesia kini, terbit “Presiden Penyair” yang tertuju pada Sutardji. Penobatan Sutardji sebagai presiden, mendapat dukungan intelektual secara mantap oleh Kleden. Anugerah megah ini, tentu lebih prestisius dibanding dengan gelar-gelar akademik semacam doktor kehormatan (honoris causa) dari universitas. Sebagai gelar kultural yang dianggap mendapatkan konsensus sekaligus legitimasi publik, maka tidak jarang masih menyisakan pertanyaan, pengujian lebih lanjut dan tantangan dari pelbagai jalan. Persoalan “otoritas” inilah yang menjadi masalah utama dalam perkara yang diajukan oleh Nurel.

Paling tidak, soal otoritas yang digugat ini memiliki lima poin penting yang akan dibicarakan dalam tulisan ini. Pertama, sandangan gelar “Presiden Penyair” bukan menunjukkan absolutisme, namun sekedar pengakuan (psikologis) oleh beberapa pihak yang setuju untuk mengangkat derajat Sutardji; Kedua, diamnya suara-suara kritis menunjukkan betapa kuatnya diskursus Sutardjian dan boleh jadi membentuk dogma tertentu; Ketiga, pengakuan terhadap suatu hal yang dianggap tinggi dan penting tanpa pengungkapan kritisisme menunjukkan adanya kejanggalan dalam khazanah kepenyairan dan sastra Indonesia kini; Keempat, pemberian gelar tanpa koreksi ilmiah, namun lebih menitikberatkan pada soal kepantasan, kerabat, pertemanan atau nepotisme, berarti merupakan korupsi sejak dalam pikiran; Kelima, konstruksi dekonstruksionisme-popular yang dijadikan fundamen suatu mazhab sastra, merupakan hal yang “aneh”, mengingat kompleksitas kondisi sosial (kemanusiaan) yang dialami oleh kebanyakan rakyat miskin negeri ini.

Pertama, “Presiden Sastra” yang kultural ini boleh digugat oleh siapapun, bila memiliki alasan-alasan yang sekiranya rasional dan masuk akal. Dengan demikian, berarti absolutisme tidak pernah ada. Betapapun masyarakat sastra tidak pernah menyebut istilah absolut, namun tidak adanya suara lain yang muncul untuk mencoba menguji kualitas ilmiah sastra tersebut, berarti menunjukkan betapa anggapan absolut telah mengendap di dalam alam bawah sadar dan menunjukkan betapa kritisisme telah tumbang termakan oleh trend, tersilap oleh semarak bungkus yang mewah dan melenakan. Adanya yang absolut bukan berarti karena yang relatif telah diasumsikan terlebih dahulu, atau keduanya saling mengisi. Dalam perbincangan filsafat kontemporer pun, persoalan ini tidak terselesaikan. Bukan hal ini yang menjadi soal penting untuk kita bahas, namun menganggap gelar kultural sebagai pengakuan yang taken for granted, kiranya lebih baik untuk dipikirkan ulang. Semua sastrawan memiliki sisi kemanusiaan yang wajar, setimbang, sederajat dan dengan demikian tidak perlu secara natural menumbuhkembangkan benih-benih feodalitas dalam khazanah ini.

Kedua, tanpa disadari “masyarakat bisu” telah hadir dalam pergumulan dan pergolakan sastra tersebut. Ini menunjukkan bahwa betapa kuat diskursus yang menguasai ruang publik. Jika demikian, dampak yang paling mungkin adalah terseret kepada arus popularisme dan bahkan popularisme narsistik, desublimasi represif dan dalam bahasa yang lebih jernih sebenarnya hal-hal itu adalah dogmatisme. Diagnosa psikoanalisa memberi kejelasan pada elemen-elemen alam bawah sadar bahwa sesungguhnya dogmatisme terhadap diskursus tertentu, sebagian sebagai ketidakberdayaan perlawanan, sementara sebagian yang lain adalah hukum moral yang menjelma secara natural, per se, otonom dan sesungguhnya itulah yang mengisi imajinasi, di samping sisi lain bahan-bahan imajiner dari yang faktual. Manusia sastra merasa “biasa saja” terhadap dogma Sutardjian atau melakukan pembelaan, keduanya sama-sama terpenjara oleh kekuasaan psikologis yang menumpulkan dimensi kritisisme. Dengan demikian, the silence community merupakan representasi yang paling tepat untuk menyebut diskursus – yang mestinya diteliti ulang ini – sebagai kekuasaan yang sangat besar, terlepas bahwa apakah hal itu berkualitas, berfungsi, baik, bermutu dan memiliki fondasi epistemologis yang kokoh.

Ketiga, pengakuan terhadap Sutardjian, namun alpa kritisisme menunjukkan adanya kejanggalan dalam khazanah kepenyairan dan sastra Indonesia kini. Artinya, ini persoalan politik. Di mana pun, perbincangan mengenai politik selalu dua arah: pusat dan pinggiran. Selalu ada yang dekat dengan kekuasaan, dan selalu ada yang dikuasai. Konteks di mana kontestasi susastra terjadi kini, menampakkan kejelasan bahwa berdirinya Sutardjian di hadapan publik berarti berdiri berdasarkan aktivitas politik sastra. Bukan sastra sebagai kewajiban moral, hukum alam dan hukum akal sehat untuk menjunjung humanisme sosial, tetapi sastra sebagai perangkat, komoditas, alat jual beli dan lain sebagainya. Meskipun Sutardji sendiri pernah mengungkapkan bahwa, “Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.” Pernyataan ini sangat janggal ketika terjadi kemenangan politik dan penaklukan sastra (dominasi), berarti kata-kata, puisi, prosa, kritik sastra yang ditulisnya hanyalah alat politik, sementara di lain pihak dinyatakan bahwa, “Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.” Ini membingungkan karena bebas dari apa? Adakah kata bebas dari permainan relasi kuasa? Sementara bila pengertian kata yang bebas berarti benar-benar bebas, akan memberi beban pembenaran bahwa dogma Sutardjian tidak memberikan kepedulian terhadap naturalitas hukum alam dan kemanusiaan. Menjadi pertanyaan di sini, hendak dibawa ke mana kontradiksi argument Sutardjian ini?

Keempat, pemberian gelar tanpa koreksi ilmiah, jelas merupakan nepotisme. Bila sudah demikian, tidak heran bila terjadi korupsi intelektual, atau dengan kata lain, korupsi sejak pada pertimbangan akal sehat. Penganut Sutardjian sebenarnya bukan tidak memiliki kehendak kritis untuk menunjukkan di mana kekuarang maupun kelebihan atas apa yang didukungnya. Semua manusia punya potensi bawaan untuk membekali dirinya dengan ketajaman mata genealogis. Kiranya sulit dibantah bila ada argumen bahwa nepotisme-lah penyebab alpa kritisisme ini. Membawa persoalan ini lebih mendasar kepada relung kemanusiaan, maka tengah terjadi “korupsi intelektual” yang tengah menjangkiti para pengiman dogma Sutardjian. Lolosnya popularitas “resmi” Sutardjian (Presiden Penyair) menunjukkan bahwa, betapa kecurangan demi kecurangan ditampilkan, dilakukan terus-menerus, menjadi tradisi dan gaya sastra yang seksi, namun tercela. Apakah tidak ada yang memahami bahwa korupsi intelektual ini menghianati hukum akal sehat dan hukum hati nurani? Ataukah barangkali bergelimang dosa yang bersenjatakan penipuan-penipuan dan kelincahan metodis lebih memuaskan hati mereka?

Kelima, konstruksi dekonstruksionisme-popular yang dijadikan fundamen suatu mazhab sastra, merupakan hal yang “aneh”, yang menginjak martabat realitas. Pelbagai kredo kebebasan tanpa batas, nihilisme dan kekosongan religious menjadi kunci-kunci hermeneutis yang menjadi simbol Sutardjian. Hal ini tidak akan dianggap aneh, jika seorang penyair tidak pula memiliki tanggungjawab intelektual. Dengan demikian, “bila tidak memiliki tanggungjawab sosial.” Karena hakikat intelektual bukanlah kera yang berpikir, namun kepedulian untuk mengangkat martabat sesamanya (humanisasi) yang sedang berkesusahan oleh pelbagai persoalan sosial. Menjadikan sastra berfundamen kebebasan tanpa batas (nihilisme) yang menopang mazhab dekonstruksionisme adalah hidup yang melanggar kodrat, yaitu kodratnya sebagai manusia yang eksistensial. Manusia yang semestinya memanusiakan dirinya dan manusia di sekitarnya, berbuat baik, membikin sastra berfungsi-sosial, artikulasi estetis untuk perjuangan perlawanan terhadap rezim kekuasaan politik yang korup, untuk dogma-dogma dan ideologi-ideologi yang membelenggu, serta berjuang untuk mengentaskan kemiskinan, sangat berbeda dengan sastra untuk sastra, sastra untuk hura-hura, kenikmatan religious individual, egoisme dan keengganan berlaku ma’ruf. Hukum alam yang benar, menata agar manusia hidup rukun, berdampingan dan makan bersama-sama, serta hidup dengan penuh cinta, memberikan petunjuk bahwa itulah hidup berdasarkan akal sehat dan hati nurani. Tentu saja hal ini sama sekali berbeda bila berhukum pada diri sendiri yang termangu dalam kekosongan yang hampa, tanpa ujung pangkal realitas yang mengemuka, kecuali hanya mimpi di dalam mimpi yang sedang dimimpikan.

Mempertimbangkan kelima persoalan di atas, maka tulisan-tulisan kritis Nurel ketika menelaah Kleden merupakan hal yang patut untuk dipikirkan secara serius. Tidak sembarang orang yang berani melawan dehumanisasi sastra Sutardjian. Hanya mereka yang memiliki ketajaman mata genealogis, kekuatan kritisisme, fundamen epistemologis yang kokoh dan keberanian untuk menantang otoritas, ideologi dan dogma-lah yang mampu melakukan humanisasi sastra, agar berfungsi sosial, agar berjalan selaras kodrat hukum alam, hukum hati nurani dan hukum akal sehat. Beberapa kali penulis secara khusus mencermati tulisan-tulisan Nurel penuh dengan konsistensi dan kedisiplinan untuk menimbang dan member catatan kritis atas dogmatisme sastra kontemporer dan adanya gejala-gejala sindrom kultus teori. Lebih dari itu semua, selaras dengan pendapat kritikus Azhar Ibrahim Alwee bahwa, “Kritik sastra…mencerminkan bukan saja kematangan estetik kita, tetapi juga kejelasan intelektual, kesungguhan moral yang sekaligus mentakrif kemanusiaan kita”. Segala ikhtiar kritis Nurel janganlah pernah dianggap sebagai aktivitas untuk memperkeruh persoalan dan berniat membuat kegaduhan. Kritik sastranya adalah upaya untuk menetralkan segala dominasi sastra dan kritik sastra, agar kebebasan dan kemanusiaan berjalan beriringan, dengan penuh pertimbangan yang masuk akal. []

*) Peneliti Filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae