Rabu, 15 Agustus 2012

Bang Kumis

Ahmad Zaini *
http://sastra-indonesia.com/

Gerimis di pagi itu mengusap daun-daun pohon yang berjajar rapi di tepi jalan. Noda yang menempel pada lembaran daun itu luruh tersapu rintik yang semakin kerap. Jalan setapak berkelok dipenuhi bercak-bercak liatpada genangan air hujan menjebak kaki-kaki orang yang melintas di jalan itu. Tepat di ujung jalan setapak terdapat rumah kecil yang beratap genting dari bahan baku tanah liat. Dalam rumah tersebut tinggallah sebuah keluarga yang teridiri dari suami, istri dan kedua anak buah dari perkawinannya beberapa tahun silam.


Pagi masih berkabut tebal. Matahari belum kunjung tiba di langit yang tertutup gumpalan mendung. Akan tetapi, Bang Kumis tetap berangkat ke areal pertambakan sambil memanggul jaring di punggungnya. Kelokan jalan setapak yang licin sedikit menggoda perjalanannya ke tempat itu. Tubuh Bang Kumis terhuyung dan hampir saja terjerembab di genangan air berliatsaat kakinya tak terkendali melintasi jalan setapak.

Kerlip bara rokok terlihat dari mulut mungil yang dipenuhi kumis. Asapnya mengepul laksana kereta api tempo dulu yang berbahan bakar batu bara. Tangkas langkahnya mempercepat lajunya hingga sampai di sebuah dangau yang dibangun di pematang tambak. Jaring ia letakkan di dangau itu. Tak lama kemudian ia masuk ke dalam tambak yang airnya seperut orang dewasa.

Ikan-ikan peliharaannya berlompatan menghindar dari terjangan Bang Kumis. Ia berjalan menyusuri air yang berubah keruh. Bang Kumis merasa was-was saat melihat sebagian ikan di tambaknya terkulai lemas. Ada beberapa ekor ikan menggelapar kemudian timbul tenggelam tertelan ombak. Setelah melihat kondisi ikan peliharaannya seperti itu, dengan cekatan Bang Kumis mengambil sekarung pupuk lalu disebarkan ke seluruh penjuru tambaknya untuk menetralkan warna air keruh yang diduga sebagai penyebab klegernya beberapa ikan di tambaknya.

Seekor, dua ekor ikan yang sudah mati dan timbul di permukaan air tambak ia ambili dengan membawa besek. Setelah penuh, besek itu diangkat ke pematang kemudian dibawa ke dangau. Julaiha, istri Bang Kumis, sudah menunggu di dangau dan siap membantu suaminya tercintanya yang sudah hampir sejam berendam dalam tambak.

Matahari remang merayap di langit kelam. Bang Kumis beserta Julaiha yang berada di dangau berbicara serius tentang nasib ikan-ikannya yang dipanen sebelum saatnya. Setelah selesai berbincang-bincang, Julaiha menghidangkan pepiring nasi dengan lauk ikan bandeng pada untuk suami tercinta. Dengan lahap Bang Kumis menyantap masakan istrinya. Setelah menghabiskan makanan yang dihidangkan istrinya, Bang Kumis pun mengambil pisang sebagai cuci mulut. Kumis tebal yang mengelilingi bibirnya agak menghambat keasyikannya menelan pisang.

”Pak, sudah siang. Mari kita pulang sebelum anak-anak pulang sekolah!” ajak istrinya.

Bang Kumis tak menolak ajakan istrinya. Akhirnya kedua sejoli itu pun beranjak pulang melewati pematang tambak yang dipenuhi pohon pisang.
Rumah kecil di tepi jalan setapak terlihat lengang. Dinding-dindingnya banyak yang berlubang. Bahkan di bagian belakang rumah itu masih terlihat sisi-sisi rumahnya yang belum dipasang dinding bambu. Andaikan ada pencuri atau orang yang berniat jahat untuk memasuki rumahnya, maka orang itu akan dengan leluasa keluar masuk rumahnya. Kalaupun ada pencuri yang masuk rumah tersebut, ia pun akan sia-sia karena tidak ada perabot rumah yang berharga tersimpan di dalam bangunan sederhana itu.

Ketika Bang Kumis beserta istri belum sempat membuka pintu rumah, tiba-tiba dari arah jalan setapak terdengar suara anak-anaknya yang bergirang pulang dari sekolah. Mereka menenteng sepasang sepatunya yang sengaja dilepas agar tidak kotor terkena liat yang memenuhi jalan menuju ke rumahnya.

“Assalamualaikum, Bapak, Ibu!” ucap anak-anaknya.

“Waalaikum salam!” jawabnya.

Lantas mereka menjabat tangan orang tuanya sambil mengecupnya. Kemudian mereka masuk ke rumahnya yang jauh dari keramaian warga.
***

Pada suatu siang saat Bang Kumis sedang menyeruput kopi di warung pojok, datanglah serang laki-laki tampan mengendarai sepeda motor. Lelaki yang dempal itu turun lalu menghampiri beberapa pemuda yang sedang asyik mengobrol di teras warung. Setelah melepas helm, ia kemudian menanyakan rumah salah seorang warga desa itu.

”Maaf, numpang tanya! Rumah Mas Ipin mana, ya?” tanya lelaki itu.

Para pemuda itu tampak asing dengan nama itu. Mereka saling bertanya kepada yang lain tentang nama itu. Ternyata mereka tidak mengenal nama tersebut.

”Nama lengkapnya siapa, Mas?” seorang pemuda balik bertanya kepada lelaki tampan tersebut.

”Kalau tidak salah namanya Arifin,” jawabnya.

Mendengar sebutan nama itu, Bang Kumis pun keluar dari dalam warung. Ia meninggalkan secangkir kopi yang masih separo di meja warung.

Bang Kumis mengamati lelaki yang masih berdiri di depan teras warung. Dari rambut hingga ujung kaki ia pelototi. Dari wajah lelaki itu, ia mengingat salah seorang teman sekolahnya lima belas tahun silam.

”Bapak ini, namanya Ahmad, ya?” tanya Bang Kumis.

”Iya. Mas, kok, tahu?”

”Saya ini Arifin yang Mas cari!” kata Bang Kumis sambil merangkul lelaki itu.

Kedua lelaki yang sudah terpisah sejak lima belas tahun lalu itu pun berangkulan melepas rasa rindu yang mendalam. Sampai-sampai Bang Kumis terasa grogi berbicara dengan Ahmad karena terharu. Para pemuda yang duduk di teras warung pun clingukan dan kaget ternyata Bang Kumis itu bernama asli Arifin. Maklum, mereka terbiasa memanggil dengan sebutan Bang Kumis karena kumis tebal Arifin. Tanpa komando, Bang Kumis pun mengajak Ahmad ke rumahnya.

”Kamu nanti jangan kaget saat melihat gubuk saya!”

”Kenapa harus kaget? Kamu kan seorang pemborong? Jelas rumahmu megah dan mewah.”

”Itu dulu. Semua telah berubah. Nanti aku ceritakan.”

Dua sepeda motor pun melaju membawa dua orang yang digandrungi rasa senang. Mereka tak mengira Tuhan masih mempertemukan kedua lelaki yang sempat berpisah selama itu. Ahmad penasaran dengan perkataan Bang Kumis barusan.

Sesampai di ujung desa, sepeda motor yang mereka kendarai melewati jalan setapak yang licin. Roda belakangnya memutar tak mampu menggerakkan bodi motornya. Bang Kumis terpaksa turun lalu mendorong sepeda motor Ahmad. Tepat di depan rumah mungil berdinding bambu mereka berhenti.

”Inilah rumahku yang kutempati sekarang ini. Pasti kamu kaget, kan?!”

Ahmad diam tak mampu berkata apa-apa. Ia merasa perihatin melihat tempat tinggal teman akrabnya sewaktu sekolah dulu.

”Bu, ada tamu. Ayo masuk!”

Julaiha muncul dari dalam rumah.

“Ini Ahmad, teman sekolahku dulu,” kata Bang Kumis memperkenalkan Ahmad pada istrinya. Si Julaiha pun mengangguk sopan.

Angin semilir yang menyelinap lewat celah dan lobang dinding rumah merontokkan daun-daun renik dari atas genting. Daun-daun itu luruh dan mengotori meja tamu. Bang kumis bergegas mengambil lap lalu menyingkirkan kotoran itu. Bola mata Ahmad berkeliling memandangi kondisi rumah temannya. Dalam hatinya ia tak tega membiarkan temannya menempati rumah seperti itu. Akan tetapi, kalau dilihat dari wajah Bang Kumis dan istrinya, tak ada sedikit pun ada rasa risih tinggal di rumah seperti itu. Ia begitu senang dan bahagia.

Sesaat suasana hening. Kedua lelaki itu diam membisu di ruang tamu. Mata Ahmad tiada henti melihat kondisi rumah Arifin tidak seperti yang ia dengar dari temannya dulu. Kata temannya bahwa Arifin sekarang jadi pemborong bangunan yang sukses. Ia menempati rumah mewah dengan perabot rumah yang serba wah. Kini yang ia lihat sebaliknya. Dalam hati kecil ia ingin bertanya kepada Arifin tetapi dia juga kuatir jangan-jangan pertanyaannya nanti menyinggung perasaan temannya. Akhirnya ia pun memilih diam tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya.

“Pasti kamu heran kenapa saya tinggal di rumah seperti ini?” celetuk Bang Kumis akan mengawali cerita.

”Tidak, tidak. Saya tidak heran,” sahutnya gugup.

“Ceritanya panjang,” imbuhnya.

Tanpa ada permintaan dari Ahmad, Bang Kumis kemudian bercerita kepada Ahmad tentang perjalanan bisnisnya dari zero to hero sampai hero to zero seperti yang ia alami sekarang ini.

Perjalanan bisnis Bang Kumis sebagai pemborong bangunan pernah mencapai masa keemasan. Puluhan bahkan ratusan warga memanfaatkan jasanya guna memborong bangunan rumah atau yang bangunan lainnya. Pada masa jayanya ia pernah mendapatkan penghasilan dari pekerjaannya itu hingga 200 juta rupiah pertahun. Nah, uang dari hasil kerja kerasnya itu kemudian ia gunakan untuk membuat rumah megah dengan perabot rumah yang lengkap. Ia juga membeli beberapa bidang tanah di desanya. Mobil kinclong yang menyilaukan mata jika terkena sinar matahari pun ia miliki. Namun sayang seribu sayang ia hanya menikmati masa emas itu selama dua tahun.

Menjelang tahun berikutnya, bisnisnya terkena prahara kebangkrutan yang luar biasa. Krisis ekonomi pada tahun 1997 hingga 1998 menjadi biang kehancuran bisnisnya. Sendi-sendi ekonominya bertumbangan karena kenaikan harga bahan bangunan yang di luar batas kewajaran.

Pada tahun itu ia sudah terlanjur meneken kontrak dengan beberapa konsumen. Dari perjanjian kontrak Bang Kumis sudah menerima uang muka dari nilai bangunan yang diborong dengan harga sebelum ada kenaikan harga bahan bangunan. Maka ketika krisis ekonomi dan moneter melanda Indonesia, ia harus mengerjakan bangunan itu dengan harga baru yang naik berlipat ganda. Ia mencontohkan ketika dia menggarap bangunan Pak Rizal dengan kontrak senilai 14 juta rupiah sebelum krisis ekonomi. Saat krisis ekonomi melanda dan harga bahan bangunan naik, dia harus mengeluarkan biaya hingga mencapai 40 juta rupiah. Dari dsampak kenaikan harga bahan bangunan itu dia harus merugi hingga 360 juta rupiah. Nilai uang yang sangat besar pada saat itu.

Maka dengan segala risiko dia harus menanggung semua kerugian dengan menjual harta kekayaan yang ia miliki untuk menutupi kekurangannya. Rumah megah beserta isinya, beberapa bidang tanah yang ia miliki, serta mobil mewah, ia jual semua dengan harga yang sangat murah. Ia tak berpikir panjang tentang harga. Yang penting barang yang akan dijual itu laku. Beres.

Bertahun-tahun lamanya mereka hidup terlunta-lunta. Mereka tak mempunyai sebidang tanah pun untuk mendirikan rumah ala kadarnya. Ia pindah rumah kesana kemari. Itu pun bukan rumah hak milik melainkan rumah familinya yang iba kepadanya dan hanya ditempati untuk sementara. Jika dihitung sampai sekarang Bang Kumis dan keluarga sudah pindah rumah empat kali. Mereka juga pernah hidup dengan uang pinjaman selama dua tahun lebih. Bang Kumis belum mendapatkan pekerjaan. Para tetangga dan masyarakat juga ewuh pakewuh memberi pekerjaan kepadanya karena ia mantan pemborong bangunan yang sukses. Ia tidak berhenti di situ. Mereka tetap tegar dan bisa tersenyum saat menghadapi cobaan hidup yang sangat dasyat. Ia yakin bahwa penderitaan pasti ada akhirnya.

Bang Kumis tergolong orang yang pantang menyerah. Selama nyawa masih dikandung badan, ia akan tetap berusaha untuk mencari jalan keluar dari prahara ekonomi yang ia alami beserta keluarga. Bang Kumis bekerja serabutan. Ia membantu tetangga atau warga lainnya memelihara dan merawat ikan di tambak. Hasil yang ia dapatkan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sebagian lagi disisihkan sebagai tabungan untuk biaya hidup di hari depan.

Lambat laun ia bangkit dari keterpurukan. Bang Kumis sudah bisa membeli sebidang tanah di ujung desa. Kemudian ia bisa mendirikan bangunan rumah ala kadarnya yang kini ia tempati bersama istri dan kedua anaknya. Ia juga menjadi tangan kanan seorang juragan tambak di desanya. Ia diberi kepercayaan khusus untuk mengelolanya. Dari pengalamannya itu akhirnya ia memberanikan diri untuk menyewa tambak dan dikelola sendiri.

Ahmad meratap iba mendengar cerita dari Bang Kumis. Hati kecilnya menangis mendengar kisah perjalanan hidup teman karibnya. Ia tak membayangkan Bang Kumis mengalami kerumitan hidup seperti itu. Ahmad tak menyadari kalau rasa ibanya kepada Bang Kumis sampai menitikkan air mata. Ia merunduk dan salut atas kesabaran dan ketabahan dari temannya.

Ucapan salam dari anak-anak Bang Kumis mengagetkan Ahmad. Ia mendongakkan wajah dan melihat dua bocah yang berseragam sekolah sambil memanggul tas di punggungnya berdiri lantas masuk rumah kemudian menjabat tangan ayahandanya yang hebat. Kedua anak yang duduk di bangku kelas 5 dan 2 SD itu masuk ke ruang tengah lalu bersungkem kepada ibunya yang menyeduh kopi untuk suaminya tercinta.

Dua bocah polos yang sudah merasakan peliknya kehidupan yang dialami orang tuanya. Mereka mestinya belum saatnya hidup di tengah badai ekonomi keluarga. Akan tatapi rupanya mereka sudah terbiasa tinggal di rumah yang dinding-dindingnya bolong dan tata letak rak pakaian dan buku yang tak beraturan.

Kumandang azan dhuhur menggema dari masjid jamik. Para warga yang baru pulang bertambak berbenah diri untuk mendatangi panggilan Tuhan Yang Mahasuci. Tak terkecuali Bang Kumis dan Ahmad. Mereka bergegas menuju Masjid meninggalkan dua cangkir kopi yang belum habis di atas meja. Kepulan asap kopinya membawa aroma sedap terbang menyelinap dari celah dinding dan atap rumah mungil di pinggir jalan setapak.

*) Cerpenis tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae