Ahmad Zaini *
http://sastra-indonesia.com/
Gerimis di pagi itu mengusap daun-daun pohon yang berjajar rapi di tepi jalan. Noda yang menempel pada lembaran daun itu luruh tersapu rintik yang semakin kerap. Jalan setapak berkelok dipenuhi bercak-bercak liatpada genangan air hujan menjebak kaki-kaki orang yang melintas di jalan itu. Tepat di ujung jalan setapak terdapat rumah kecil yang beratap genting dari bahan baku tanah liat. Dalam rumah tersebut tinggallah sebuah keluarga yang teridiri dari suami, istri dan kedua anak buah dari perkawinannya beberapa tahun silam.
Pagi masih berkabut tebal. Matahari belum kunjung tiba di langit yang tertutup gumpalan mendung. Akan tetapi, Bang Kumis tetap berangkat ke areal pertambakan sambil memanggul jaring di punggungnya. Kelokan jalan setapak yang licin sedikit menggoda perjalanannya ke tempat itu. Tubuh Bang Kumis terhuyung dan hampir saja terjerembab di genangan air berliatsaat kakinya tak terkendali melintasi jalan setapak.
Kerlip bara rokok terlihat dari mulut mungil yang dipenuhi kumis. Asapnya mengepul laksana kereta api tempo dulu yang berbahan bakar batu bara. Tangkas langkahnya mempercepat lajunya hingga sampai di sebuah dangau yang dibangun di pematang tambak. Jaring ia letakkan di dangau itu. Tak lama kemudian ia masuk ke dalam tambak yang airnya seperut orang dewasa.
Ikan-ikan peliharaannya berlompatan menghindar dari terjangan Bang Kumis. Ia berjalan menyusuri air yang berubah keruh. Bang Kumis merasa was-was saat melihat sebagian ikan di tambaknya terkulai lemas. Ada beberapa ekor ikan menggelapar kemudian timbul tenggelam tertelan ombak. Setelah melihat kondisi ikan peliharaannya seperti itu, dengan cekatan Bang Kumis mengambil sekarung pupuk lalu disebarkan ke seluruh penjuru tambaknya untuk menetralkan warna air keruh yang diduga sebagai penyebab klegernya beberapa ikan di tambaknya.
Seekor, dua ekor ikan yang sudah mati dan timbul di permukaan air tambak ia ambili dengan membawa besek. Setelah penuh, besek itu diangkat ke pematang kemudian dibawa ke dangau. Julaiha, istri Bang Kumis, sudah menunggu di dangau dan siap membantu suaminya tercintanya yang sudah hampir sejam berendam dalam tambak.
Matahari remang merayap di langit kelam. Bang Kumis beserta Julaiha yang berada di dangau berbicara serius tentang nasib ikan-ikannya yang dipanen sebelum saatnya. Setelah selesai berbincang-bincang, Julaiha menghidangkan pepiring nasi dengan lauk ikan bandeng pada untuk suami tercinta. Dengan lahap Bang Kumis menyantap masakan istrinya. Setelah menghabiskan makanan yang dihidangkan istrinya, Bang Kumis pun mengambil pisang sebagai cuci mulut. Kumis tebal yang mengelilingi bibirnya agak menghambat keasyikannya menelan pisang.
”Pak, sudah siang. Mari kita pulang sebelum anak-anak pulang sekolah!” ajak istrinya.
Bang Kumis tak menolak ajakan istrinya. Akhirnya kedua sejoli itu pun beranjak pulang melewati pematang tambak yang dipenuhi pohon pisang.
Rumah kecil di tepi jalan setapak terlihat lengang. Dinding-dindingnya banyak yang berlubang. Bahkan di bagian belakang rumah itu masih terlihat sisi-sisi rumahnya yang belum dipasang dinding bambu. Andaikan ada pencuri atau orang yang berniat jahat untuk memasuki rumahnya, maka orang itu akan dengan leluasa keluar masuk rumahnya. Kalaupun ada pencuri yang masuk rumah tersebut, ia pun akan sia-sia karena tidak ada perabot rumah yang berharga tersimpan di dalam bangunan sederhana itu.
Ketika Bang Kumis beserta istri belum sempat membuka pintu rumah, tiba-tiba dari arah jalan setapak terdengar suara anak-anaknya yang bergirang pulang dari sekolah. Mereka menenteng sepasang sepatunya yang sengaja dilepas agar tidak kotor terkena liat yang memenuhi jalan menuju ke rumahnya.
“Assalamualaikum, Bapak, Ibu!” ucap anak-anaknya.
“Waalaikum salam!” jawabnya.
Lantas mereka menjabat tangan orang tuanya sambil mengecupnya. Kemudian mereka masuk ke rumahnya yang jauh dari keramaian warga.
***
Pada suatu siang saat Bang Kumis sedang menyeruput kopi di warung pojok, datanglah serang laki-laki tampan mengendarai sepeda motor. Lelaki yang dempal itu turun lalu menghampiri beberapa pemuda yang sedang asyik mengobrol di teras warung. Setelah melepas helm, ia kemudian menanyakan rumah salah seorang warga desa itu.
”Maaf, numpang tanya! Rumah Mas Ipin mana, ya?” tanya lelaki itu.
Para pemuda itu tampak asing dengan nama itu. Mereka saling bertanya kepada yang lain tentang nama itu. Ternyata mereka tidak mengenal nama tersebut.
”Nama lengkapnya siapa, Mas?” seorang pemuda balik bertanya kepada lelaki tampan tersebut.
”Kalau tidak salah namanya Arifin,” jawabnya.
Mendengar sebutan nama itu, Bang Kumis pun keluar dari dalam warung. Ia meninggalkan secangkir kopi yang masih separo di meja warung.
Bang Kumis mengamati lelaki yang masih berdiri di depan teras warung. Dari rambut hingga ujung kaki ia pelototi. Dari wajah lelaki itu, ia mengingat salah seorang teman sekolahnya lima belas tahun silam.
”Bapak ini, namanya Ahmad, ya?” tanya Bang Kumis.
”Iya. Mas, kok, tahu?”
”Saya ini Arifin yang Mas cari!” kata Bang Kumis sambil merangkul lelaki itu.
Kedua lelaki yang sudah terpisah sejak lima belas tahun lalu itu pun berangkulan melepas rasa rindu yang mendalam. Sampai-sampai Bang Kumis terasa grogi berbicara dengan Ahmad karena terharu. Para pemuda yang duduk di teras warung pun clingukan dan kaget ternyata Bang Kumis itu bernama asli Arifin. Maklum, mereka terbiasa memanggil dengan sebutan Bang Kumis karena kumis tebal Arifin. Tanpa komando, Bang Kumis pun mengajak Ahmad ke rumahnya.
”Kamu nanti jangan kaget saat melihat gubuk saya!”
”Kenapa harus kaget? Kamu kan seorang pemborong? Jelas rumahmu megah dan mewah.”
”Itu dulu. Semua telah berubah. Nanti aku ceritakan.”
Dua sepeda motor pun melaju membawa dua orang yang digandrungi rasa senang. Mereka tak mengira Tuhan masih mempertemukan kedua lelaki yang sempat berpisah selama itu. Ahmad penasaran dengan perkataan Bang Kumis barusan.
Sesampai di ujung desa, sepeda motor yang mereka kendarai melewati jalan setapak yang licin. Roda belakangnya memutar tak mampu menggerakkan bodi motornya. Bang Kumis terpaksa turun lalu mendorong sepeda motor Ahmad. Tepat di depan rumah mungil berdinding bambu mereka berhenti.
”Inilah rumahku yang kutempati sekarang ini. Pasti kamu kaget, kan?!”
Ahmad diam tak mampu berkata apa-apa. Ia merasa perihatin melihat tempat tinggal teman akrabnya sewaktu sekolah dulu.
”Bu, ada tamu. Ayo masuk!”
Julaiha muncul dari dalam rumah.
“Ini Ahmad, teman sekolahku dulu,” kata Bang Kumis memperkenalkan Ahmad pada istrinya. Si Julaiha pun mengangguk sopan.
Angin semilir yang menyelinap lewat celah dan lobang dinding rumah merontokkan daun-daun renik dari atas genting. Daun-daun itu luruh dan mengotori meja tamu. Bang kumis bergegas mengambil lap lalu menyingkirkan kotoran itu. Bola mata Ahmad berkeliling memandangi kondisi rumah temannya. Dalam hatinya ia tak tega membiarkan temannya menempati rumah seperti itu. Akan tetapi, kalau dilihat dari wajah Bang Kumis dan istrinya, tak ada sedikit pun ada rasa risih tinggal di rumah seperti itu. Ia begitu senang dan bahagia.
Sesaat suasana hening. Kedua lelaki itu diam membisu di ruang tamu. Mata Ahmad tiada henti melihat kondisi rumah Arifin tidak seperti yang ia dengar dari temannya dulu. Kata temannya bahwa Arifin sekarang jadi pemborong bangunan yang sukses. Ia menempati rumah mewah dengan perabot rumah yang serba wah. Kini yang ia lihat sebaliknya. Dalam hati kecil ia ingin bertanya kepada Arifin tetapi dia juga kuatir jangan-jangan pertanyaannya nanti menyinggung perasaan temannya. Akhirnya ia pun memilih diam tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutnya.
“Pasti kamu heran kenapa saya tinggal di rumah seperti ini?” celetuk Bang Kumis akan mengawali cerita.
”Tidak, tidak. Saya tidak heran,” sahutnya gugup.
“Ceritanya panjang,” imbuhnya.
Tanpa ada permintaan dari Ahmad, Bang Kumis kemudian bercerita kepada Ahmad tentang perjalanan bisnisnya dari zero to hero sampai hero to zero seperti yang ia alami sekarang ini.
Perjalanan bisnis Bang Kumis sebagai pemborong bangunan pernah mencapai masa keemasan. Puluhan bahkan ratusan warga memanfaatkan jasanya guna memborong bangunan rumah atau yang bangunan lainnya. Pada masa jayanya ia pernah mendapatkan penghasilan dari pekerjaannya itu hingga 200 juta rupiah pertahun. Nah, uang dari hasil kerja kerasnya itu kemudian ia gunakan untuk membuat rumah megah dengan perabot rumah yang lengkap. Ia juga membeli beberapa bidang tanah di desanya. Mobil kinclong yang menyilaukan mata jika terkena sinar matahari pun ia miliki. Namun sayang seribu sayang ia hanya menikmati masa emas itu selama dua tahun.
Menjelang tahun berikutnya, bisnisnya terkena prahara kebangkrutan yang luar biasa. Krisis ekonomi pada tahun 1997 hingga 1998 menjadi biang kehancuran bisnisnya. Sendi-sendi ekonominya bertumbangan karena kenaikan harga bahan bangunan yang di luar batas kewajaran.
Pada tahun itu ia sudah terlanjur meneken kontrak dengan beberapa konsumen. Dari perjanjian kontrak Bang Kumis sudah menerima uang muka dari nilai bangunan yang diborong dengan harga sebelum ada kenaikan harga bahan bangunan. Maka ketika krisis ekonomi dan moneter melanda Indonesia, ia harus mengerjakan bangunan itu dengan harga baru yang naik berlipat ganda. Ia mencontohkan ketika dia menggarap bangunan Pak Rizal dengan kontrak senilai 14 juta rupiah sebelum krisis ekonomi. Saat krisis ekonomi melanda dan harga bahan bangunan naik, dia harus mengeluarkan biaya hingga mencapai 40 juta rupiah. Dari dsampak kenaikan harga bahan bangunan itu dia harus merugi hingga 360 juta rupiah. Nilai uang yang sangat besar pada saat itu.
Maka dengan segala risiko dia harus menanggung semua kerugian dengan menjual harta kekayaan yang ia miliki untuk menutupi kekurangannya. Rumah megah beserta isinya, beberapa bidang tanah yang ia miliki, serta mobil mewah, ia jual semua dengan harga yang sangat murah. Ia tak berpikir panjang tentang harga. Yang penting barang yang akan dijual itu laku. Beres.
Bertahun-tahun lamanya mereka hidup terlunta-lunta. Mereka tak mempunyai sebidang tanah pun untuk mendirikan rumah ala kadarnya. Ia pindah rumah kesana kemari. Itu pun bukan rumah hak milik melainkan rumah familinya yang iba kepadanya dan hanya ditempati untuk sementara. Jika dihitung sampai sekarang Bang Kumis dan keluarga sudah pindah rumah empat kali. Mereka juga pernah hidup dengan uang pinjaman selama dua tahun lebih. Bang Kumis belum mendapatkan pekerjaan. Para tetangga dan masyarakat juga ewuh pakewuh memberi pekerjaan kepadanya karena ia mantan pemborong bangunan yang sukses. Ia tidak berhenti di situ. Mereka tetap tegar dan bisa tersenyum saat menghadapi cobaan hidup yang sangat dasyat. Ia yakin bahwa penderitaan pasti ada akhirnya.
Bang Kumis tergolong orang yang pantang menyerah. Selama nyawa masih dikandung badan, ia akan tetap berusaha untuk mencari jalan keluar dari prahara ekonomi yang ia alami beserta keluarga. Bang Kumis bekerja serabutan. Ia membantu tetangga atau warga lainnya memelihara dan merawat ikan di tambak. Hasil yang ia dapatkan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sebagian lagi disisihkan sebagai tabungan untuk biaya hidup di hari depan.
Lambat laun ia bangkit dari keterpurukan. Bang Kumis sudah bisa membeli sebidang tanah di ujung desa. Kemudian ia bisa mendirikan bangunan rumah ala kadarnya yang kini ia tempati bersama istri dan kedua anaknya. Ia juga menjadi tangan kanan seorang juragan tambak di desanya. Ia diberi kepercayaan khusus untuk mengelolanya. Dari pengalamannya itu akhirnya ia memberanikan diri untuk menyewa tambak dan dikelola sendiri.
Ahmad meratap iba mendengar cerita dari Bang Kumis. Hati kecilnya menangis mendengar kisah perjalanan hidup teman karibnya. Ia tak membayangkan Bang Kumis mengalami kerumitan hidup seperti itu. Ahmad tak menyadari kalau rasa ibanya kepada Bang Kumis sampai menitikkan air mata. Ia merunduk dan salut atas kesabaran dan ketabahan dari temannya.
Ucapan salam dari anak-anak Bang Kumis mengagetkan Ahmad. Ia mendongakkan wajah dan melihat dua bocah yang berseragam sekolah sambil memanggul tas di punggungnya berdiri lantas masuk rumah kemudian menjabat tangan ayahandanya yang hebat. Kedua anak yang duduk di bangku kelas 5 dan 2 SD itu masuk ke ruang tengah lalu bersungkem kepada ibunya yang menyeduh kopi untuk suaminya tercinta.
Dua bocah polos yang sudah merasakan peliknya kehidupan yang dialami orang tuanya. Mereka mestinya belum saatnya hidup di tengah badai ekonomi keluarga. Akan tatapi rupanya mereka sudah terbiasa tinggal di rumah yang dinding-dindingnya bolong dan tata letak rak pakaian dan buku yang tak beraturan.
Kumandang azan dhuhur menggema dari masjid jamik. Para warga yang baru pulang bertambak berbenah diri untuk mendatangi panggilan Tuhan Yang Mahasuci. Tak terkecuali Bang Kumis dan Ahmad. Mereka bergegas menuju Masjid meninggalkan dua cangkir kopi yang belum habis di atas meja. Kepulan asap kopinya membawa aroma sedap terbang menyelinap dari celah dinding dan atap rumah mungil di pinggir jalan setapak.
*) Cerpenis tinggal di Wanar, Pucuk, Lamongan
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 15 Agustus 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar