Minggu, 18 Maret 2012

Buku Sastra dari Sastrawan Sumut, kepada Hidayat Banjar

Budi P Hatees
http://www.analisadaily.com/

Banyak tradisi membuat manusia bersemangat membangun kebudayaannya. Menulis merupakan salah satu tradisi itu. Tentu, menulis di sini berarti kerja keras untuk membangun sebuah teks atau berwacana (discourse).

Soal wacana ini, lebih baik menikmati kajian-kajian Paul Ricoeur, lalu kaitkan dengan teori tentang bahasa. Misalnya, pakai teori yang diperkenalkan Alessandro Duranti, yang mengaitkan kemampuan berbahasa (berwacana) dengan kekuasaan.

Menulis dengan sendirinya berbahasa, berarti juga berwacana, akan membuat siapa saja jadi berkuasa. Makin jelas pula, mereka yang berhasil membangun wacana berarti juga berhasil membangun kebudayaannya. Dengan berwacana, siapa pun bisa menunjukkan citra dirinya. Orang lain akan mencoba memahami, misalnya, lewat ilmu linguistik.

Kini ilmu linguistik dipakai sebagai dasar pengembangan penelitian etnosains dalam antropologi. Etnosains, juga disebut sebagai cognitive anthropology, merupakan etnografi baru yang dikembangkan James P Spradley. Etnografi ini lebih memfokuskan pada upaya menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan kebudayaan mereka dalam pikiran (mind). Melalui bahasa, pikiran manusia dapat dimasuki.

Jadi, bahasa adalah alat yang dipergunakan manusia untuk bernalar. Dengan nalar, segala misteri yang ada di dunia bisa diterangjelaskan. Pengungkapan misteri dunia sama artinya dengan membangun kebudayaan. Kau tentu paham bahwa bahasa memiliki keterbatasan-keterbatasan. “Batas-batas bahasa saya,” tulis Ludwig Wittgenstein dalam Tractatus Logico Philosophicus, “adalah batas-batas dunia saya.”

Dalam keterbatasannya, segala hal yang mengandalkan bahasa sebagai unsur utamanya, berpretensi mengubah dunia (peradaban). Ini sejalan dengan tesis Alessandro Duranti, yang mengatakan: “Bahasa tidak saja memantulkan dunia, tetapi juga membentuknya dan , menciptakannya.”

Memang, Duranti berbicara tentang bahasa yang digunakan para politisi. Setidaknya, menjadi lebih jelas bagimu, bahasa membuat manusia paham bahwa realitas-realitas yang ada di alam semesta, baik yang riil maupun yang mistis, terjadi bukan tanpa alasan-alasan logis. Tidak satu rahasia pun di alam semesta ini yang tidak dapat dinalar sekalipun Donald B. Calne dalam Within Reason, Rasionalty and Human Behavior (1999) menegaskan betapa sangat terbatasnya kemampuan nalar manusia.

Dalam keterbatasan tersebut, Galileo Galilei dapat mematahkan pandangan picik kaum agama yang membuat hati manusia ciut ketika dia mengungkapkan fakta bahwa Bumi bukanlah pusat alam semesta dan Bumi berputar mengelilingi Matahari, bukan sebaliknya. Keterbatasan nalar juga mampu mengungkap pengalaman mistis yang dialami manusia, sekalipun tidak ada universalitas di dalam pengalaman mistis itu dan sukar mengolahnya karena tidak ada material yang bisa diukur mengingat sifat spritual, tetapi kekuatan bahasa mampu menerangjelaskannya.

II

Aku buat pebukaan seperti ini untuk menanggapi keluhan Hidayat Banjar tentang minimnya (untuk mengatakan tak ada) dunia penerbitan buku sastra di Provinsi Sumatra Utara. Pada bagian akhir dari esai “Amang Parsinuan: Pertarungan David Melawan Goliath” (Analisa edisi 13 November 2011), dia membayangkan suatu saat dunia kreatif penciptaan karya sastra di provinsi ini memiliki institusi penerbitan buku yang bonafit. Sayangnya, dia meragukan hal itu bisa terwujud, seakan-akan membangun institusi penerbitan buku merupakan pekerjaan yang sukar untuk dihadirkan.

Aku justru berpikir sebaliknya -juga dalam banyak hal- apa pun bisa dihadirkan sebagaimana logika bahasa untuk bernalar. Sebelumnya, aku akan mengembalikan ingatannya tentang dunia perbukuan (sastra) di provinsi ini, jauh sebelum novel Amang Parsinuan diterbitkan KSI Medan Pubhlising – penerbit buku yang dimotori Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Medan.

Provinsi ini, bahkan sebelum Sumatra Utara terbentuk, sudah memiliki penerbitan buku. Diawali pada dekade 1920-an, ketika sejarah sastra Indonesia belum diletakkan, buku sastra dari daerah ini sudah banyak diterbitkan, baik yang berbaha Melayu maupun Batak. Dia bisa buka lagi biografi William Iskandar, sastrawan dari bangsa Mandailing itu, sambil mengingat-ingat buku-buku puisinya. Dia bisa cari data tentang Sutan Hasundutan Pane, atau kau bisa membuka lagi riwayat penerbitan buku yang kontroversial, Tuanku Rao.

Tak akan kurinci perkara masa lalu itu sampai muncul istilah novel pop dalam sastra Indonesia di era tahun 1950-an ketika novel-novel Matu Mona menggebrak dari Medan. Aku hanya ingin mengembalikan ingatan (re-remembering), pernah Sumatra Utara fenomenal dalam penerbitan buku sastra. Salah satu jejak yang masih tinggal adalah Penerbit Sastra Leo, warisan sangat berharga dari penyair Aldian Arifin, yang tak dihargai oleh para sastrawan di Sumatra Utara.

Aku teringat percakapan terakhir dengan Aldian Arifin dalam sebuah acara pertemuan sastrawan di Medan ketika dia (meski tidak sedang mengeluh) menyikapi kecenderungan para sastrawan Sumatra Utara yang aneh (kata “aneh” dari aku). “Aneh” karena mereka bangga betul karyanya hanya dimuat di media cetak, tetapi tidak punya buku sastra. Katanya penulis, kok gak punya buku, kira-kira begitu keluhan itu.

Aku teringat juga pada seorang penulis buku, seorang kawan lama, yang kujumpai di arena Jakarta Book Fair beberapa tahun lalu. Setelah bertahun-tahun tak bertemu, begitu melihatku, dia langsung bertanya: “Sudah berapa buku yang kau terbitkan?” Aku tergeragap, karena aku berharap dia mengajukan pertanyaan tentang “sudah berapa media cetak yang telah mempublikasikan karyamu.”

Dulu, pada dekade 1980-an sampai awal 1990-an, setiap sastrawan yang berjumpa sastrawan lain pasti mengajukan pertanyaan: “Bagaimana, apa karyamu sudah menembus Horison?” Pertanyaan tentang Horison ini pernah diajukan Bokor Hutasuhut, sastrawan kenamaan dari Sumatra Utara, yang buku sastranya berkali-kali diterbitkan penerbit asal Medan, kepadaku saat bertamu ke rumahnya beberapa tahun lalu. Aku bisa berkelit mengatakan Horison bukan indikator sastra, tapi buku sastra adalah indikator paling valid.

III

Sampai tataran ini, dia pasti bertanya, apa kaitan bagian I tulisan ini dengan bagian II?

Menulis adalah pekerjaan bernalar. Dengan bernalar, manusia berusaha mengungkap segala misteri dunia. Bernalar mesti diawali dengan pengenalan diri. Bagaimana orang bisa menalar jika diri sendiri pun tak dia kenali.

Pengenalan diri sangat penting. Pekerjaan ini bisa dipahami sebagai proses introspeksi. Instrospeksi adalah kegiatan psikologis yang bertujuan untuk penyadaran diri. Aristoteles (dalam Metaphysica, Buku A-1-980; terjemahan Inggris oleh W.D. Ross, The Works of Aristoteles Oxford, Clarendon Press, 1924, vol VIII.) menyatakan semua pengetahuan manusia berasal dari suatu kecenderungan dasar dalam kondrat manusia yang menampakkan diri dan reaksi manusia paling elementer.

Sebab itu, mengenali diri bertujuan agar bisa merealisasikan diri. Keberhasilan dalam pengenalan diri akan membuat siapa saja menjadi lebih mudah dalam merealisasikan diri. Dalam merealisasikan diri sudah diandaikan, segala persoalan yang pernah dihadapi sudah ditemukan solusi-solusinya, sekaligus menunjukkan persoalan-persoalan lain yang dihadapi sudah dibayangkan akan dihadapi, sehingga sudah dicarikan seperti apa solusinya apabila persoalan itu benar-benar muncul dan mendera.

Artinya, siapa pun sudah tahu, Sumatra Utara pernah sukses memiliki penerbitan buku. Penerbitan-penerbitan itu (bila mengikuti pula sejarah pers di negeri ini), bukan saja menghasilkan karya-karya yang luar biasa, tetapi juga sastrawan-sastrawan yang fenomenal. Kehadiran penerbit dengan kemunculan sastrawan sangat berkaitan, keduanya memiliki hubungan simbiosis. Jika sastrawan melimpah, sangat mungkin penerbit juga melimpah. Jika penerbit melimpah, sangat mungkin pengarang juga melimpah. Jangan bertanya mana yang lebih dahulu, seperti seseorang mempersoalkan apakah ayam lebih dahulu daripada telur ayam.

Jika sastrawan melimpah seperti sekarang terjadi di Sumatra Utara, sementara penerbitan buku sangat minim, siapa pun bisa menduga ada yang keliru. Aku berpikir sastrawan yang keliru, karena kemampuan berwacana mereka hanya diperuntukkan agar dipublikasikan di media cetak, bukan di media buku. Tahukan, banyak sastrawan (juga penulis), tidak cukup energi untuk menulis buku. Kalau pun mereka punya buku, pastilah kumpulan tulisan yang pernah dipublikasikan di media cetak.

Inilah sikap intelektual yang tak menghargai publik pembacanya. Karena tulisan-tulisan yang dipublikasikan di media cetak pada dasarnya semacam iklan dari pengarang tentang kualitas kepengarangannya. Seorang pengarang (sastrawan) mengiklankan kemampuannya dalam menulis dengan mengirimkan karya sastra ke media cetak, lalu menulis karya baru yang lebih bagus (setidaknya sejajar) dengan karyanya itu untuk diterbitkan sebagai buku sastra. Sayang, sastrawan kita hanya sastrawan koran (media cetak). Sastrawan macam begini lebih mengutamakan image diri, citra diri, material diri.

Mereka, kalau pun menulis buku, pada dasarnya akan memperlakukan sastra sebagai komoditas, sebagaimana barang-barang hasil produksi. Nilai-guna karya seni bagi mereka merosot menjadi sekedar nilai-tukar ekonomi. Parameter keberhasilan sebuah karya sastra hanya ditakar dengan jumlah eksemplar buku yang terjual di pasaran. Padahal, seseorang membeli sebuah novel belum tentu akan memahami dan menyelami kedalamannya.

Fenomena pergeseran paradigma seni semacam inilah yang ditandai Walter Benjamin (1892-1940) sebagai akibat dari reproduksi mekanistik hingga seni kehilangan aura, subtilitas dan otentisitasnya. Jangan heran jika dunia penerbitan buku sastra di negeri ini banyak melahirkan novel dengan embel-embel “pembangunan jiwa”, “kisah inspiratif”, “sejarah”, “fantasi” dan lain sebagainya yang mengabaikan estetika. Konon lagi di Sumatra Utara.

Penulis; Sastrawan, direktur program Sahata Institute, lembaga pengelola Sahata Book Publishing. /11 Des 2011

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae