Senin, 19 September 2011

Tepi Jalan Ahmad Yani

Salamet Wahedi *
Surabaya post, 6 Feb 2010

Gadis itu menggigit-gigit kuku jari telunjuknya dengan gigi depannya. Sapuan matanya menyisakan nanar keruh. Air mukanya pun menampak riak berdebu. Raut belia itu tambah kusam saja saat butir debu yang diterbangkan mobil-mobil di depannya lengket di wajahnya. Kulit wajahnya begitu berminyak. Seperti bentangan kanvas lusuh, wajahnya sekilas menguar panorama senja. Namun, kerling retinanya menegaskan usianya yang masih di bawah dua puluh tahun.

Sudah berhari-hari ia berdiri di tepi Jalan Ahmad Yani. Kebaya biru langit tuanya, yang mendekati warna ungu, mengesankan kemuraman. Apalagi malam mulai bergegas seperti orang-orang yang menderu dengan kendaraan pribadinya masing-masing. Tampaklah sebuah duka yang maha.

Ia menggigit-gigit kuku jari telunjuknya. Seperti menggigit-gigit sesuatu yang tak habis-habis. Seperti mengunyah permen karet. Tapi sebenarnya ia hendak mengunyah kerikil yang berserakan di kepalanya. Mengganjal di benaknya. Kerikil-kerikil yang berjatuhan dari tubuh lelaki yang sempat dipujanya. Lelaki yang selalu memanggilnya, Manisku. Lelaki yang meninggalkan jejak ngilu dan kelu kata-kata di tubuhnya.

”Manisku, kita akan mengarungi dunia ini seperti kupu-kupu yang aneka warna. Kita akan melintasi taman-taman, menziarahi tempat penuh kenangan.” Lelaki itu selalu memberinya imajinasi. Mengajaknya melayang dari atas awan. Beterjunan menikmati luas cakrawala, menatap dunia fantasi tingkat tinggi.

”Seperti Adam dan Hawa, kita akan menemukan surga kita dalam desah kita. Dalam dengus kita. Dan sempurnalah kita yang memang dilahirkan untuk menjadi sepasang pecinta.” Lelaki itu selalu membuatnya teringat pada espisode-episode sinetron kesukaannya. Sinetron yang selalu disantapnya mulai sehabis maghrib hingga menjelang malam.

Lelaki yang tiga tahun lebih tua dibanding usianya, diimpikannya sebagai sosok yang akan meninggalkan sepotong masalah, sepenggal gelisah, lalu beberapa tahun kemudian akan datang dengan senyum sumringah. Seperti sinetron-sinetron yang selalu menggelar drama percintaan, tragedi kejahatan picisan dan melankolia romantisme karbitan, yang kadang-kadang ditolak suara hatinya. Tapi tak pernah mampu ditepikannya. Selalu, cerita-cerita semacam itu tergelar dari satu sinetron ke sinetron lain.

Lelaki itu selalu diimpikannya, kadang-kadang sebagai Anjasmara, Rizky Aditya, atau Dude Herlino. Tiap malam ia selalu terbayang senyumnya, gerak rekah bibir yang memanggil namanya, Manisku, atau raut wajah yang selalu membuatnya melayang.

Tapi lelaki itu, kini hanya menyisakan lengang gersang di dadanya. Membekaskan suara-suara yang mengerang seperti sayatan parang. Lelaki itu kini pergi seperti elang. Lelaki yang entah ke mana kini ia menghilang.
***

Jauh sebelum ia berdiri di tepi jalan Ahmad Yani, jauh sebelum ia hanya menggigit-gigit kuku jari telunjuknya, menggigit-gigit segumpal kerikil masalah yang membuat hatinya nelangsa, biasanya menjelang maghrib, Gadis itu, Ardina, sudah bergegas mandi. Sehabis adzan, ia langsung merampungkan shalatnya. Setelah itu, ia akan terpaku di depan televisi. Di temani ayah-ibunya yang juga kesemsem tangis Sireen Sungkar, derai tawa Chelsea Olivia, atau siasat busuk picisan para tokoh antagonis yang selalu diulang-ulang dengan adegan yang tidak logis.

”Bu, baju yang dipakai Fitri kalem ya Bu? Motifnya tidak menyolok, dan paduan warnanya sangat mendukung postur dan kulit langsatnya”. Tubuh Ardina melengos di atas sofa. Di tengah jeda sinetron, Ardina dan ibunya selalu mengomentari mode pakaian yang dipakai tokoh-tokoh sinetron. Apalagi mode pakaian yang dipakai oleh para aktrisnya

Sedang ayahnya hanya sesekali memberi penjelasan yang kurang enak di hati ibunya, ”Baju-baju itu memang pesanan. Tidak hanya sekadar memesan, tapi juga hendak menghembuskan nafas budaya baru. Budaya orang-orang yang jauh bertolak belakang dengan budaya kita”

”Wah Bapak sok tahu aja. Komentarnya selalu miring terhadap sinetron kita. Ceritanya yang picisan lha. Aroma kapitalis yang begitu kental lha. Atau tokoh-tokohnya tampil tanpa budaya di mana cerita itu dirangkai. Ada-ada aja.”, bibir bawah mulut ibu Ardina agak maju.

Percakapan tentang gaya hidup a la sinetron di tengah keluarga Ardina telah menjadi menu sampingan yang pokok. Setiap malam, di tengah jeda sinetron, atau di tengah interlude satu sinetron ke sinetron berikutnya, atau bahkan di pagi hari, saat mereka menyantap sarapan pagi, perbincangan mode, pola hidup, atau cerita lika-liku cinta yang romantis, atau melodrama tragis maupun logika cerita yang kadang terkesan tidak logis selalu tersuguh begitu hangat.

”Bu sungguh ironi sikap Nona Mikad. Masak sudah punya suami ganteng kayak tuan Aldir. Kaya lagi. Masih doyan main selingkuhan”.

”Lho, itu dah biasa Din. Kalau tidak seperti itu bukan jaman modern namanya. Coba kau lihat, tokoh Marsulin dalam sinetron “Kupu-Kupu Hijau”. Mulanya ia digambarkan anak yang cantik, pendiam dan berprestasi dalam belajar. Tapi itu kan cerita-cerita kuno. Hingga sutradara pun perlu mengubah alur ceritanya. Perlu mengikuti selera masa kini. Si Marsulin pun akhirnya, gara-gara camping liburan akhir tahun pelajaran, jatuh hati sama Si Rodek. Sampai-sampai ia rela hamil di luar nikah. Sampai-sampai ia rela menangis dan menahan sesak dada kala Rodek meninggalkannya. Tapi toh akhirnya, ceritanya ditutup dengan happy ending. Itu baru gaya hidup sekarang. Kau pun harus seperti mereka kalau mau maju”.

”Hussy, belum tentu apa yang digambarkan sinetron itu semuanya benar”, Bapak Ardina selalu menanggapi komentar istrinya dengan nada berseberangan.

Tapi di mata Ardina, ibunya sosok yang selalu dibayangkannya seperti ibu-ibu di sinetron yang suka mendorong anak-anaknya untuk maju. Ibu yang memberlakukannya bak si Bawang Putih,. Bukan bawang merah atau Cinderella. Sedang ayahnya sosok yang kaku. Terlalu berhati-hati. Ardina lebih memilih kata-kata ibunya daripada kalimat-kalimat ayahnya yang pelan dan penuh perhatian.

Sebagai sinetron-lovers, Ardina lambat-laun mulai meniru gaya dan mode hidup para aktris pujaannya. Para aktris itu, menurut ibunya begitu total menampilkan karakter yang dimainkannya, dan panats dijadikan contoh.. Di kamar tidurnya, Ardina tidak lupa memajang gambar-gambar aktor dan aktris pujaannya. Di kamar mandi, sabun dan segala perabotan mandinya, juga sama seperti yang dilihatnya dalam kamar-kamar mandi sinetron. Bahkan gaya bicaranya pun mulai meniru Laura Cintya.

Di tengah teman-temannya, sesama pecinta sinetron, Ardina tidak hanya dielu-elukan atau sekadar dibanding-bandingkan dengan bintang sinetron yang cantik. Tetapi ia selalu hadir sebagai titik pusat di tengah lingkungannya. Ia selalu dikasak-kusukkan sebagai putri yang dikelilingi seribu lelaki.

Ardina selalu membayangkan dirinya diperebutkan. Ia selalu membayangkan indahnya dan romantisnya dijemput dan dibawa berkeliling ke mall oleh si Arman, pangeran pujaan hatinya. Ia selalu membayangkan cerita kesehariannya seperti cerita dalam sinetron yang kini begitu akrab di dalam kamarnya.

Ardina membayangkan tangan Arman seperti tangan Dude Herlino membelai rambut kepala lawan mainnya di sinetron. Seperti Rizky Aditya menjamah tubuh pasangannya, ai bayangkan bibir Arman menapak bibirnya. Ia membayangkan Anjasmaralah yang menindih tubuhnya. Ia membayangkan yang bersemi di rahimnya adalah benih-benih para aktor pujaannya.
***

Malam itu, malam ke duapuluh satu di bulan kelima Ardina menunggu kabar Arman, lelaki yang kini meninggalkan setitik kelu dalam perutnya. Secuil ngilu di antara sendi dadanya. Lelaki yang dulu selalu dibayangkannya membawa setangkup kata-kata penuh sendu, tak kunjung muncul. Mungkin tidak akan pernah muncul.

Malam itu, Ardina mulai mengelus dada yang kini luluh. Memandang langit yang diharapkan mengajaknya untuk mencari tempat teduh. Tempat di mana ceritanya akan menjadi sinetron yang dielu.

Mila, pacar Redo, teman Arman, dengan wajah cemberut dan kata-kata dipenuhi beban, di suatu pagi, saat matahari beranjak setombak. Saat mereka coba membayangkan diri sebagai anak-anak sinetron yang berangkat sekolah. Mengabarkan akan alur picisan yang selalu ditemuinya dalam cerita sinetron.

”Din, Arman kini benar-benar menghilang. Ayah-ibunya dipindah-tugaskan. Tetangganya tidak ada yang tahu alamat mereka. Mereka dipindah-tugaskan ke Surabaya”
”Kok bisa?”
”Bapaknya Arman itu hanya konsultan di sini. Masa kontraknya hanya dua tahun...”
”Terus...”

Mila, sebentar, menarik nafas. Lalu ia memandangi wajah temannya. Dengan berat hati, ia masih membayangkan kepergian Arman sebagai tangga dramatik cerita cinta temannya. Ardina mambalas tatapan temannya. Dengan wajah kuyu, ia meminta pertimbangan. Sejenak mereka terdiam. Lalu derai tawa menyeringai di sudut bibir keduanya. Keduanya coba sama-sama membayangkan: kepergian Arman tak ubahnya kepergian yang dilakonkan dalam sinetron. Kepergian yang karena terpaksa. Kepergian yang tak pernah diinginkannya sendiri. Mereka coba tertawa. Coba menumbuhkan ketengan di hati masing-masing.

Pagi itu, kembali Ardina membayangkan dirinya sebagai tokoh yang tengah ditimpa kesusahan sebelum benar-benar mencicipi manisnya madu. Ardina memastikan dirinya akan tetap tegar menanggung segala derita awal ini.

”Tenang Mil, aku akan tetap tegar kok. Ini kan cuma sebentar. Arman pasti kembali. Cerita sinetron selamanya berangkat dari kenyataan. Berangkat dari rasa pahit dan berakhir manis. Dan ceritaku ini, aku yakin akan seperti cerita sinetron”

”Tapi Din...” pagi itu Mila sebenarnya hendak menepis segala apa yang dikatakan temannya. Mila hendak memastikan hidup bukanlah sinetron. Hidup adalah cerita yang tak bisa direkayasa.

Ya hidup bukanlah kenyataan yang tak bisa direkayasa. Kepergian Arman, bukanlah sekadar cerita yang bisa di-cut di sembarang fragmennya, atau direka ulang potongan peristiwanya. Arman benar-benar pergi jauh. Jauh sekali. Hanya nasiblah yang akan membawanya kembali.
***

Sudah dua tahun Arman raib. Sudah puluhan episode sinetron yang diikuti Ardina untuk memupus kegundahannya. Tapi kesabaran ada batasnya. Ardian tak mungkin menunggu. Hanya menunggu happy ending yang selalu dilihatnya dalam sinetron. Ardina, dengan gaya anakmuda sinetron memutuskan mencari kekasihnya ke kota sana. Dengan gaya anakmuda sinetron, Ardina diam-diam minggat dari rumah. Minggat demi cinta kasih pada Arman. Pada lelaki yang dibayangkannya seperti Dude Herlino.

Berhari-hari Ardina melanglang buana di kota besar. Kota di mana hidup seperti deru laju kendaraan. Di tepi jalan Ardina memasang nama kekasihnya di dadanya: ARMAN, Aku mencarimu! Ia pasang tulisan itu dengan ukuran besar. 40 x 60 cm. Ia berharap, dengan memasang keplek itu, ada orang yang memahaminya.

Tapi kota tetaplah hutan belantara.
***

Berhari-hari Ardina mencari kekasihnya, Arman, di kota. Berhari-hari Ardina menunggu kekasihnya, Arman, di tepi jalan raya.
***

Malam itu, gadis berkebaya biru tua, yang hampir mendekati warna ungu itu hanya menggigit-gigit kuku telunjuknya. Sudah beberapa hari ini, ia tidak peduli dirinya. Beberapa hari ini, ia hanya berharap kekasihnya, Arman, datang menjemputnya. Ia tidak peduli perutnya bernyanyi. Kepalanya berdengung sunyi. Dan matanya berkunang-kunang sepi.

Sedang lalu lalang kota selalu siap menelannya. Melumatnya bersama kelu pedih hatinya.
***

Esok paginya, gadis itu tidak lagi menggit-gigit kuku jari telunjuknya. Esok paginya, tubuhnya tergeletak di halaman depan sebuah koran. Bajunya bersimbah warna merah. Sedang senyumnya tetap memendam pendar penantian. Kota pun geger. Polisi bertindak cepat. Dan semua pihak yang memiliki hubungan dengannya dihadirkan ke studio-studio. Dikorek perasaannya. Ditanya kesannya.

‘Seorang gadis belia mati bunuh diri, dengan menabrakkan diri ke kekendaraan yang melaju di atas kecepetan 100 km/jam. Ia diduga stres karena ditinggal pacarnya. Ia ...’ seorang wartawan menulis berita kematiannya dengan nada jurnalisme dramatik, tangga cerita yang memukau.
Sedang aku terinspirasi ceritanya untuk sebuah naskah sinetron tentang sebuah kota.

Lidahwetan, September 2009
*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=319809922274

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae