Salamet Wahedi *
Surabaya post, 6 Feb 2010
Gadis itu menggigit-gigit kuku jari telunjuknya dengan gigi depannya. Sapuan matanya menyisakan nanar keruh. Air mukanya pun menampak riak berdebu. Raut belia itu tambah kusam saja saat butir debu yang diterbangkan mobil-mobil di depannya lengket di wajahnya. Kulit wajahnya begitu berminyak. Seperti bentangan kanvas lusuh, wajahnya sekilas menguar panorama senja. Namun, kerling retinanya menegaskan usianya yang masih di bawah dua puluh tahun.
Sudah berhari-hari ia berdiri di tepi Jalan Ahmad Yani. Kebaya biru langit tuanya, yang mendekati warna ungu, mengesankan kemuraman. Apalagi malam mulai bergegas seperti orang-orang yang menderu dengan kendaraan pribadinya masing-masing. Tampaklah sebuah duka yang maha.
Ia menggigit-gigit kuku jari telunjuknya. Seperti menggigit-gigit sesuatu yang tak habis-habis. Seperti mengunyah permen karet. Tapi sebenarnya ia hendak mengunyah kerikil yang berserakan di kepalanya. Mengganjal di benaknya. Kerikil-kerikil yang berjatuhan dari tubuh lelaki yang sempat dipujanya. Lelaki yang selalu memanggilnya, Manisku. Lelaki yang meninggalkan jejak ngilu dan kelu kata-kata di tubuhnya.
”Manisku, kita akan mengarungi dunia ini seperti kupu-kupu yang aneka warna. Kita akan melintasi taman-taman, menziarahi tempat penuh kenangan.” Lelaki itu selalu memberinya imajinasi. Mengajaknya melayang dari atas awan. Beterjunan menikmati luas cakrawala, menatap dunia fantasi tingkat tinggi.
”Seperti Adam dan Hawa, kita akan menemukan surga kita dalam desah kita. Dalam dengus kita. Dan sempurnalah kita yang memang dilahirkan untuk menjadi sepasang pecinta.” Lelaki itu selalu membuatnya teringat pada espisode-episode sinetron kesukaannya. Sinetron yang selalu disantapnya mulai sehabis maghrib hingga menjelang malam.
Lelaki yang tiga tahun lebih tua dibanding usianya, diimpikannya sebagai sosok yang akan meninggalkan sepotong masalah, sepenggal gelisah, lalu beberapa tahun kemudian akan datang dengan senyum sumringah. Seperti sinetron-sinetron yang selalu menggelar drama percintaan, tragedi kejahatan picisan dan melankolia romantisme karbitan, yang kadang-kadang ditolak suara hatinya. Tapi tak pernah mampu ditepikannya. Selalu, cerita-cerita semacam itu tergelar dari satu sinetron ke sinetron lain.
Lelaki itu selalu diimpikannya, kadang-kadang sebagai Anjasmara, Rizky Aditya, atau Dude Herlino. Tiap malam ia selalu terbayang senyumnya, gerak rekah bibir yang memanggil namanya, Manisku, atau raut wajah yang selalu membuatnya melayang.
Tapi lelaki itu, kini hanya menyisakan lengang gersang di dadanya. Membekaskan suara-suara yang mengerang seperti sayatan parang. Lelaki itu kini pergi seperti elang. Lelaki yang entah ke mana kini ia menghilang.
***
Jauh sebelum ia berdiri di tepi jalan Ahmad Yani, jauh sebelum ia hanya menggigit-gigit kuku jari telunjuknya, menggigit-gigit segumpal kerikil masalah yang membuat hatinya nelangsa, biasanya menjelang maghrib, Gadis itu, Ardina, sudah bergegas mandi. Sehabis adzan, ia langsung merampungkan shalatnya. Setelah itu, ia akan terpaku di depan televisi. Di temani ayah-ibunya yang juga kesemsem tangis Sireen Sungkar, derai tawa Chelsea Olivia, atau siasat busuk picisan para tokoh antagonis yang selalu diulang-ulang dengan adegan yang tidak logis.
”Bu, baju yang dipakai Fitri kalem ya Bu? Motifnya tidak menyolok, dan paduan warnanya sangat mendukung postur dan kulit langsatnya”. Tubuh Ardina melengos di atas sofa. Di tengah jeda sinetron, Ardina dan ibunya selalu mengomentari mode pakaian yang dipakai tokoh-tokoh sinetron. Apalagi mode pakaian yang dipakai oleh para aktrisnya
Sedang ayahnya hanya sesekali memberi penjelasan yang kurang enak di hati ibunya, ”Baju-baju itu memang pesanan. Tidak hanya sekadar memesan, tapi juga hendak menghembuskan nafas budaya baru. Budaya orang-orang yang jauh bertolak belakang dengan budaya kita”
”Wah Bapak sok tahu aja. Komentarnya selalu miring terhadap sinetron kita. Ceritanya yang picisan lha. Aroma kapitalis yang begitu kental lha. Atau tokoh-tokohnya tampil tanpa budaya di mana cerita itu dirangkai. Ada-ada aja.”, bibir bawah mulut ibu Ardina agak maju.
Percakapan tentang gaya hidup a la sinetron di tengah keluarga Ardina telah menjadi menu sampingan yang pokok. Setiap malam, di tengah jeda sinetron, atau di tengah interlude satu sinetron ke sinetron berikutnya, atau bahkan di pagi hari, saat mereka menyantap sarapan pagi, perbincangan mode, pola hidup, atau cerita lika-liku cinta yang romantis, atau melodrama tragis maupun logika cerita yang kadang terkesan tidak logis selalu tersuguh begitu hangat.
”Bu sungguh ironi sikap Nona Mikad. Masak sudah punya suami ganteng kayak tuan Aldir. Kaya lagi. Masih doyan main selingkuhan”.
”Lho, itu dah biasa Din. Kalau tidak seperti itu bukan jaman modern namanya. Coba kau lihat, tokoh Marsulin dalam sinetron “Kupu-Kupu Hijau”. Mulanya ia digambarkan anak yang cantik, pendiam dan berprestasi dalam belajar. Tapi itu kan cerita-cerita kuno. Hingga sutradara pun perlu mengubah alur ceritanya. Perlu mengikuti selera masa kini. Si Marsulin pun akhirnya, gara-gara camping liburan akhir tahun pelajaran, jatuh hati sama Si Rodek. Sampai-sampai ia rela hamil di luar nikah. Sampai-sampai ia rela menangis dan menahan sesak dada kala Rodek meninggalkannya. Tapi toh akhirnya, ceritanya ditutup dengan happy ending. Itu baru gaya hidup sekarang. Kau pun harus seperti mereka kalau mau maju”.
”Hussy, belum tentu apa yang digambarkan sinetron itu semuanya benar”, Bapak Ardina selalu menanggapi komentar istrinya dengan nada berseberangan.
Tapi di mata Ardina, ibunya sosok yang selalu dibayangkannya seperti ibu-ibu di sinetron yang suka mendorong anak-anaknya untuk maju. Ibu yang memberlakukannya bak si Bawang Putih,. Bukan bawang merah atau Cinderella. Sedang ayahnya sosok yang kaku. Terlalu berhati-hati. Ardina lebih memilih kata-kata ibunya daripada kalimat-kalimat ayahnya yang pelan dan penuh perhatian.
Sebagai sinetron-lovers, Ardina lambat-laun mulai meniru gaya dan mode hidup para aktris pujaannya. Para aktris itu, menurut ibunya begitu total menampilkan karakter yang dimainkannya, dan panats dijadikan contoh.. Di kamar tidurnya, Ardina tidak lupa memajang gambar-gambar aktor dan aktris pujaannya. Di kamar mandi, sabun dan segala perabotan mandinya, juga sama seperti yang dilihatnya dalam kamar-kamar mandi sinetron. Bahkan gaya bicaranya pun mulai meniru Laura Cintya.
Di tengah teman-temannya, sesama pecinta sinetron, Ardina tidak hanya dielu-elukan atau sekadar dibanding-bandingkan dengan bintang sinetron yang cantik. Tetapi ia selalu hadir sebagai titik pusat di tengah lingkungannya. Ia selalu dikasak-kusukkan sebagai putri yang dikelilingi seribu lelaki.
Ardina selalu membayangkan dirinya diperebutkan. Ia selalu membayangkan indahnya dan romantisnya dijemput dan dibawa berkeliling ke mall oleh si Arman, pangeran pujaan hatinya. Ia selalu membayangkan cerita kesehariannya seperti cerita dalam sinetron yang kini begitu akrab di dalam kamarnya.
Ardina membayangkan tangan Arman seperti tangan Dude Herlino membelai rambut kepala lawan mainnya di sinetron. Seperti Rizky Aditya menjamah tubuh pasangannya, ai bayangkan bibir Arman menapak bibirnya. Ia membayangkan Anjasmaralah yang menindih tubuhnya. Ia membayangkan yang bersemi di rahimnya adalah benih-benih para aktor pujaannya.
***
Malam itu, malam ke duapuluh satu di bulan kelima Ardina menunggu kabar Arman, lelaki yang kini meninggalkan setitik kelu dalam perutnya. Secuil ngilu di antara sendi dadanya. Lelaki yang dulu selalu dibayangkannya membawa setangkup kata-kata penuh sendu, tak kunjung muncul. Mungkin tidak akan pernah muncul.
Malam itu, Ardina mulai mengelus dada yang kini luluh. Memandang langit yang diharapkan mengajaknya untuk mencari tempat teduh. Tempat di mana ceritanya akan menjadi sinetron yang dielu.
Mila, pacar Redo, teman Arman, dengan wajah cemberut dan kata-kata dipenuhi beban, di suatu pagi, saat matahari beranjak setombak. Saat mereka coba membayangkan diri sebagai anak-anak sinetron yang berangkat sekolah. Mengabarkan akan alur picisan yang selalu ditemuinya dalam cerita sinetron.
”Din, Arman kini benar-benar menghilang. Ayah-ibunya dipindah-tugaskan. Tetangganya tidak ada yang tahu alamat mereka. Mereka dipindah-tugaskan ke Surabaya”
”Kok bisa?”
”Bapaknya Arman itu hanya konsultan di sini. Masa kontraknya hanya dua tahun...”
”Terus...”
Mila, sebentar, menarik nafas. Lalu ia memandangi wajah temannya. Dengan berat hati, ia masih membayangkan kepergian Arman sebagai tangga dramatik cerita cinta temannya. Ardina mambalas tatapan temannya. Dengan wajah kuyu, ia meminta pertimbangan. Sejenak mereka terdiam. Lalu derai tawa menyeringai di sudut bibir keduanya. Keduanya coba sama-sama membayangkan: kepergian Arman tak ubahnya kepergian yang dilakonkan dalam sinetron. Kepergian yang karena terpaksa. Kepergian yang tak pernah diinginkannya sendiri. Mereka coba tertawa. Coba menumbuhkan ketengan di hati masing-masing.
Pagi itu, kembali Ardina membayangkan dirinya sebagai tokoh yang tengah ditimpa kesusahan sebelum benar-benar mencicipi manisnya madu. Ardina memastikan dirinya akan tetap tegar menanggung segala derita awal ini.
”Tenang Mil, aku akan tetap tegar kok. Ini kan cuma sebentar. Arman pasti kembali. Cerita sinetron selamanya berangkat dari kenyataan. Berangkat dari rasa pahit dan berakhir manis. Dan ceritaku ini, aku yakin akan seperti cerita sinetron”
”Tapi Din...” pagi itu Mila sebenarnya hendak menepis segala apa yang dikatakan temannya. Mila hendak memastikan hidup bukanlah sinetron. Hidup adalah cerita yang tak bisa direkayasa.
Ya hidup bukanlah kenyataan yang tak bisa direkayasa. Kepergian Arman, bukanlah sekadar cerita yang bisa di-cut di sembarang fragmennya, atau direka ulang potongan peristiwanya. Arman benar-benar pergi jauh. Jauh sekali. Hanya nasiblah yang akan membawanya kembali.
***
Sudah dua tahun Arman raib. Sudah puluhan episode sinetron yang diikuti Ardina untuk memupus kegundahannya. Tapi kesabaran ada batasnya. Ardian tak mungkin menunggu. Hanya menunggu happy ending yang selalu dilihatnya dalam sinetron. Ardina, dengan gaya anakmuda sinetron memutuskan mencari kekasihnya ke kota sana. Dengan gaya anakmuda sinetron, Ardina diam-diam minggat dari rumah. Minggat demi cinta kasih pada Arman. Pada lelaki yang dibayangkannya seperti Dude Herlino.
Berhari-hari Ardina melanglang buana di kota besar. Kota di mana hidup seperti deru laju kendaraan. Di tepi jalan Ardina memasang nama kekasihnya di dadanya: ARMAN, Aku mencarimu! Ia pasang tulisan itu dengan ukuran besar. 40 x 60 cm. Ia berharap, dengan memasang keplek itu, ada orang yang memahaminya.
Tapi kota tetaplah hutan belantara.
***
Berhari-hari Ardina mencari kekasihnya, Arman, di kota. Berhari-hari Ardina menunggu kekasihnya, Arman, di tepi jalan raya.
***
Malam itu, gadis berkebaya biru tua, yang hampir mendekati warna ungu itu hanya menggigit-gigit kuku telunjuknya. Sudah beberapa hari ini, ia tidak peduli dirinya. Beberapa hari ini, ia hanya berharap kekasihnya, Arman, datang menjemputnya. Ia tidak peduli perutnya bernyanyi. Kepalanya berdengung sunyi. Dan matanya berkunang-kunang sepi.
Sedang lalu lalang kota selalu siap menelannya. Melumatnya bersama kelu pedih hatinya.
***
Esok paginya, gadis itu tidak lagi menggit-gigit kuku jari telunjuknya. Esok paginya, tubuhnya tergeletak di halaman depan sebuah koran. Bajunya bersimbah warna merah. Sedang senyumnya tetap memendam pendar penantian. Kota pun geger. Polisi bertindak cepat. Dan semua pihak yang memiliki hubungan dengannya dihadirkan ke studio-studio. Dikorek perasaannya. Ditanya kesannya.
‘Seorang gadis belia mati bunuh diri, dengan menabrakkan diri ke kekendaraan yang melaju di atas kecepetan 100 km/jam. Ia diduga stres karena ditinggal pacarnya. Ia ...’ seorang wartawan menulis berita kematiannya dengan nada jurnalisme dramatik, tangga cerita yang memukau.
Sedang aku terinspirasi ceritanya untuk sebuah naskah sinetron tentang sebuah kota.
Lidahwetan, September 2009
*) Salamet Wahedi, Lahir di Sumenep, 03 Mei 1984. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya pernah dipublikasikan di berbagai media, antara lain: Majalah Sastra Horison, Radar Madura, Suara Pembaruan, dan Batam Pos. Juga dalam beberapa antologi: Nemor Kara (antologi puisi Madura, Balai Bahasa Surabaya, 2006), Yaa-sin (antologi puisi santri Jawa Timur, Balai Bahasa Surabaya, 2007), dan lain-lain. Tinggal di di Lidah Wetan, Gang VI No. 24 Surabaya.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=319809922274
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar