Mantra di Leher Mas Moek

Istiqomatul Hayati
http://majalah.tempointeraktif.com/

Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali Penulis: Koesalah Soebagyo Toer Penerbit: KPG, 2006 Tebal :XIV+266

Sepotong pedang menempel- di leher Pramoedya Ananta Toer. Dukun yang ada di hadapannya memastikan apa-kah Pram sudah merapal mantra yang ia berikan. Meski tak percaya pada kekuatan mantra, Pram meng-angguk. Sreettt..., dukun itu seke-ti-ka menggorokkan pedang tersebut ke -lehernya.

Pram memekik. Ia ketakutan. "Saya pi-kir leher saya sudah putus. Saya ra-ba, ternyata luka saja tidak," ujar Pram kepada Koesalah Soebagyo Toer, adiknya.

Mantra penangkal tebasan pe-dang dan terjangan peluru itulah jimat satu-satunya yang ia punya. Ia benar-benar tak percaya dan memang tak pernah percaya pada dukun, apalagi azimat. Ia membenci irasionalitas. Tapi mantra berbahasa Jawa yang ia dapat saat ia berusia 20 tahun itu menyelamatkan Pram dari berondongan peluru -pa-suk-an Inggris di Kranji dan dari tusuk-an bayonet di pelipisnya. "Saya pikir otak saya sudah berantakan. Tapi ee..., nggak apa-apa!"

Kisah Pram yang serba rasional, tapi pada saat yang sama mau saja diajak pamannya untuk mencari jimat kesaktian itu dicatat dengan baik oleh sang adik, yang berusia 10 tahun lebih muda. Koesalah, 71 tahun, yang menyim-pan pel-bagai cerita lucu dan menyentuh dari sastrawan yang mangkat akhir- April lalu itu, kemudian me-nuliskan-nya dalam buku Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali (KPG, 2006).

Buku yang diluncurkan di Goethe Haus, Jakarta, pekan lalu, itu merangkum catatan harian Koesalah dari 1981 hingga 25 tahun kemudian, ketika ia hadir di sisi Mas Moek, begitu Koesalah memanggil Pram. Dari mulai hubungan Mas Moek dengan ayah yang ia benci, warisan rumah ayah-nya yang dikuasai iparnya, kebutuhan hidup, royalti buku-bukunya yang di-terjemahkan di luar yang tak kunjung datang, perasaannya saat dizalimi pemerintah Soeharto, keyakinannya akan mendapatkan Nobel, hingga pe-rasaannya akan kematian.

Tentang agama, misalnya, Koesalah menceritakan Pramoedya yang masih mengimani Islam tapi tak mau salat. Ketika di Pulau Buru, seorang rekannya menanyakan mengapa Pram tak salat. Ia menjawab dengan ketus, "-Sebelum dilahirkan, Tuhan sudah tahu bahwa hari ini saya tidak sembah-yang." (hlm. 213)

Tapi Koesalah ingat betul, ia pernah menyaksikan kakak sulungnya itu salat ketika sama-sama ditahan di Salemba pada 1969. Keduanya salat Jumat bersama-sama.

Penerjemah Jiwa-jiwa Mati karya Ni-kolai Gogol dan Anna Karenina kar-ya Leo Tolstoy itu mengaku sebagai adik kesayangan Mas Moek. Ia kerap menjadi tumpahan segala unek-unek Pram. "Saya ini seperti keranjang sam-pahnya," ucapnya.

Meski adik terdekat, sejarawan Hilmar Farid menilai Koes tak senantiasa menyaksikan langsung pertumbuhan Pram. Koesalah yang masih tujuh tahun sudah ditinggalkan Pram merantau ke Jakarta. Delapan tahun kemudian, Koesalah memang diajak ke Jakarta. Tapi, lagi-lagi dua bersaudara itu harus terpisah karena pada 1956 hingga 1965 Koesalah pergi ke Rusia untuk belajar sastra Rusia. "Ada pe-rio-de penting dalam diri Pram yang tak disaksikan Koesalah," kata Hilmar.

Sastrawan Martin Aleida menilai ca-tatan Koesalah ini sering "loncat-loncat". "Belum selesai membahas satu ma-salah, sudah lari ke masalah lain." Koes, misalnya, membuka cerita de-ngan mengisahkan keluhan Pram tentang sakit gula yang diidapnya. Tapi tiba-tiba ia meloncat ke cerita tentang uang yang tak kunjung ia dapat.

Martin menggolongkan buku Koe-sa-lah sebagai buku biografi. "Biografi yang tak lengkap," ujarnya. Tapi Martin- mengaku tersentuh dengan ce-rita Pram yang mendamba hadiah No-bel pada Oktober 2004 yang ditutur-kan dengan lirih. "Oktober nanti dapat Nobel aku," kata Pram tiba-tiba ke-pada Koesalah.

"Dari mana tahunya?" tanya Koesa-lah.
Mas Moek menuding dirinya dengan tangan kirinya, tanpa mengatakan apa- pun. Lalu, Maemunah, istri Pram yang mendengarkan percakapan itu, me-ngatakan: "Aduh, kasihan sudah -ke-pingin."

14 Agustus 2006