Fahrudin Nasrulloh
http://sastra-indonesia.com/
Sehari Sebelum ke Mojokerto
Senin, 2 Agustus 2010, saya berangkat dari Tandes pukul 10:32 WIB, langsung meluncur ke kantor Pos Kecamatan Sumobito untuk mengambil 4 kardus buku yang dikirim Bilven dari Penerbit Ultimus, Bandung. Di blangko resi penerimaan, buku-buku Ultimus dikirim kalau tidak keliru pada 27 Juli Sampai di kantor Pos Sumobito. Pada 1 Agustus, 2 dus buku tersebut dibungkus dengan jahitan rafia. 1 dus beratnya 24,7 kg, biaya paketnya sebesar Rp. 244.555. Satunya lagi, beratnya 24,9 kg, biaya paketnya Rp. 244.535.
Sebelum mengambil buku, saya kontak Sabrank Suparno, tetangga kampung saya, untuk membantu mengambil 2 paket itu. Ia bawa motor Kaze, pinjaman dari temannya. Masing-masing dari kami membawa 1 dus. Kami bergerak. Mampir dulu di warkop Yu Dar. Tandas segelas kopi susu kental dan 3 batang rokok GG Surya. Parno masih mengisap sesapan rokok terakhirnya, sambil nglangut ngenes, entah mikir apa. “Pulang ke Mojo, kita bongkar dulu buku-bukunya dan mencocokkan dengan faktur tanda terimanya.”
Sesampai di rumah, kami kerjakan pengecekan buku yang akan dibawa besok ke bedah 3 buku Ultimus di aula Disporabudpar Mojokerto. Kami juga menyiapkan buku-buku lain dari Penerbit Akar Indonesia Jogja dan Penerbit Pustaka Pujangga Lamongan. Sampai sore. Bikin kopi lagi. Merokok lagi. Air putih diglogok lagi. Menyiapkan dus-dus yang dibongkar. Memasukkan buku-buku. Sampai Magrib, kami mengobrol dengan sandingan kopi-air putih dan kacang telur-krepek tempe. Lalu saya ke warnet. Mengedit beberapa tulisan. Parno pulang.
Malam, lepas pukul 24-an, saya buka-buka lagi buku Pak Tri Ramidjo, Kisah-kisah Dari Tanah Merah: Cerita Digul Cerita Buru, meski sudah khatam, tapi cerita-cerita Pak Tri mengeram lekat dalam ingatan. Jejak-jejak keluarga Digulis muslim yang taat, suasana pengangkutan interniran dan keluarganya ke kapal Kruiser Java kolonial Belanda, Tri kecil yang mancing dan main layangan dengan kawan-kawannya, Mbah Mangun yang disantap buaya kuning serampung nyuci piring, Pandji yang rambutnya habis dikerokoti jangkrik saat tidur di gelonggongan kayu, anjing Tupan yang baik dan setiakawan. Lalu siksaan interogator antek-antek Soeharto terhadap Pak Tri dan tapol lainnya, dan kegigihan Pak Tri menulis dengan tangan kiri di mana hanya dengan satu jari telunjuknya saja ia dapat menyelesaikan buku itu yang ditulisnya selama 2006 hingga 2009. Buku catatan pengalaman getirnya sebagai tapol, ditulis secara sederhana, lugas, terang, suara-suara dari “dalam” sebagai kesaksian kesejarahan Perintis Kemerdekaan Indonesia yang diwariskan pendahulunya dalam pemberontakan melawan imperialis Belanda pada 12 November 1926. Pada tahun itu, para sastrawan pejuang mengabadikan karya-karya perlawanan mereka dalam bentuk cerpen dan puisi yang terkumpul dalam buku Gelora Api 26. Juga buku Tanah Merah yang Merah yang ditulis Koesalah Soebagyo Toer tentang data-data terperinci para tapol di Boven Digul, nasib pahit mereka, kematian mereka. Intrik-intrik dan penghianatan di dalamnya.
Di Aula Disporabudpar Mojokerto
Paginya, 3 Agustus, pukul 6:12, saya bergerak ke kantor Sumrambah. Dua hari sebelumnya ia tidak bisa ditelpon. Sibuk terus. Mungkin juga pakai nomer lain. Maklum banyak urusan partai dan turbanya ke kampung-kampung. Di kantornya di perumahan Candi, wilayah tengah kota Jombang, masih tutup. Si penjaga kantor menyarankan untuk langsung ke rumahnya di Perumahan Firdaus. Saya ke sana. Ketemu dengannya. Ia minta agar kami ngobrol di kantornya saja. Saya hanya ingin memastikan ia siap atau tidak jadi pengulas buku Tanah Merah yang Merah karya Koesalah Soebagyo Toer. 20-an menit kemudian kami ketemu di perumahan Candi. Ia sangat antusias dan respek pada buku itu. “Ini buku direktori tapol Digul yang luar biasa. Data-data peristiwa, para tapol dan keluarganya, kelas-kelas tapol, jenis kamp-kamp, yang mati sebab membangkang, yang kabur lalu tak ketahuan nasibnya, dan lain-lain, semuanya ditulis dengan begitu detil dan memang getir,” katanya. Perbincangan kami tak lama. Seperlunya. Lalu muncul Nurkholis, wartawan Radar Mojokerto, dan Mas Priyadi, koleganya. Sebentar-sebentar ia ditelpon. Lagi. Perbincangan berlanjut. Ia angkat telpon lagi. Saya segera undur pamit, dan ia berjanji akan hadir.
Siang pukul 8-an, di rumah Mojo, saya mulai ngepaki buku-buku. Mengganti oli sepeda motor. Mandi. Baca-baca kembali Madilog sebentar. Buku-buku Ultimus saya paki menjadi 4 dus tanggung, dus ukuran se-rim kertas HVS. 3 dus saya cancang di belakang sadel sepeda motor dengan tali rafia. Satunya lagi saya taruh di tengah sepeda, antara setir dan sandatan duduk. Nyerbeti sepeda di depan garasi halaman rumah. Tiba-tiba pesan pendek masuk dari seseorang yang tidak saya kenal: “Pak Fakhrudin, dalam acara Geladak Sastra di Mojokerto dibahas buku apa saja? Saya di Jakarta, teman Pak Tri Ramidjo tidak bisa baca undangan di internet. Komunitas Lembah Pring tidak khawatir dibubarkan FPI? Atau FAK? (3/8/2010, pukul 8:22 menit).” Saya menjawab seperlunya, lalu ia membalas lagi: “Saya Djoko Sri Moeldjono dan buku saya bakal diterbitkan Ultimus Bilven. Usia saya 72 tahun tamatan pesantren Inrehab Buru 1978. Salam hangat dari Jakarta (08:34).” Saya ucapkan terima kasih balik atas apresiasinya. Ia membalas lagi: “Syukurlah kalau masih ada yang berani. Saya teman Pak Ramidjo. Buku saya bakal terbit, judulnya Banten Seabad Setelah Multatuli: Kisah Tapol kerja rodi di Banten 1965-1971, sebelum ke Nusakambangan terus ke Buru.”
Saya berangkat ke Mojokerto sekitar pukul 10-an. Menuju aula Disporabudpar. Mojokerto-Jombang jaraknya kira-kira 23 km. 40-an menit kemudian saya sampai. Jabbar masih nyebar undangan acara. Saat itu dia di rumah pematung Ribut Sumiyono di Desa Jatisumber, Trowulan. 4 dus saya turunkan di samping tembok aula. Satu per satu dus-dus itu saya masukkan di ruangan aula. Saya taruh di bawah meja panjang. Saya tutupi sisi luarnya dengan 2 kursi yang agak tinggi. Bertemu dengan seorang pegawai yang tampaknya agak saya kenal, dan saya mengatakan padanya bahwa saya sudah taruh 4 dus buku di aula untuk acara malam nanti. Ia tersenyum dan menyambut antusias. Sementara Jabbar belum juga datang dan karena saya lapar, saya meluncur ke warcel Madiun Bu Sarkiyah di dekat rel daerah Benteng Pancasila. 1 jam-an saya nongkrong sambil udad-udud di situ.
Pukul 13 saya dikontak Jabbar untuk ngopi-ngopi di warkop Mbak Yani, bersama Pak Edy, pimpinan Ludruk Karya Budaya. Membicarakan persiapan acara, ngobrol sana-sini. Selang beberapa saat, Jabbar dibel Pak Afandi, kepala Disporabudpar, ia menanyakan, “Buku apa saja yang dibedah? Apa itu bedah 3 buku Lekra? Lekra itu apa?” Jabbar tercekat sejenak, lalu memberikan hape-nya kepada saya. Saya menjelaskan bahwa 3 buku yang akan dibedah itu adalah buku-buku memoar perjuangan dan yang satunya buku kumpulan puisi dan cerpen dari sejumlah sastrawan yang menuliskan peristiwa pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada 12 November 1926 terhadap kolonial Belanda. “Saya diminta menyampaikan kepada anda berdua agar kalian menjelaskan 3 buku itu kepada ke Kesbanglinmas, di komplek Pemda Kabupaten Mojokerto. Temui Pak Mustain. Saya mohon kalian segera ke sana,” pinta Pak Afandi kepada saya dan Jabbar. Kepala ini terasa diputar-putar. Bakal panjang urusan. Saya, Jabbar, Pak Edy tercenung, kebodohan apalagi ini. Bagaimana ini bisa terjadi? Aturan macam apa pula ini? Diskusi buku harus minta izin? “Sudahlah Mas Udin, segeralah ke sana. Temui Pak Mustain. Ceritakan semua yang diminta Pak Afandi,” begitu saran Pak Edy.
Lima menit kemudian saya bergerak. Di kantor Kesbanglinmas sempat kami nyasar ke ruangan yang salah. Kami keluar. Langsung menanyakan ke bagian kantor umum. Saya bertanya ke sejumlah pegawai untuk bisa bertemu Pak Mustain. Seorang pegawai menjawab bahwa Pak Mustain sedang menemui Pak Sekwilda. Kami pun menunggu. Di depan kantor itu mobil Pak Mustain terparkir, kata si pegawai. Kami kesal di ruang tunggu sambil mengamati hilir-mudik orang-orang, kami juga tidak tahu wajah Pak Mustain. Lalu hape saya berdering. Ternyata dari seseorang yang memperkenalkan diri sebagai Pak Eko, dari Polres Mojokerto yang bermarkas di Mojosari, ia meminta saya menemuinya segera di kantornya terkait buku itu. Saya jengkel, tapi mengiyakan juga. Lebih 30-an menit kami masih menunggu. Sembari membaca-baca buku Catatan Budaya Suyatna Anirun, tiba-tiba terdengar suara mobil menderum, saya menoleh ke ruang depan kantor itu, namun mobil sudah ngacir. Pukul 14:28, Pak Edy mengirim SMS, “Hasil dari Kesbanglinmas gimana mas? Saya baru dibel dari Polres, sekarang ada lagi dari Kejaksaan.” Tak saya balas. Kami memburu mobil yang barusan keluar. Sudah tak kelihatan buntutnya. Saya tanya lagi ke seorang pegawai, ia membenarkan, Pak Mustain pergi dengan mobilnya. Kenapa si pegawai itu tidak memberitahukannya pada kami, pikir saya. Brengsek! Memang sengaja kami diping-pong dibikin muter-muter.
Saya sempat berdebat dengan Jabbar. Ia tampak kalut dan menyarankan acara dibatalkan. Saya paham, polisi akan bergerak zig-zag dengan muka dilipat-lipat tanpa mau ketemu langsung dengan kami, dan itu sinyal bahwa acara bedah buku akan bubrah. “Menurutmu ada alternatif lain, selain di aula itu?” tanya saya pada Jabbar. “Di manapun jika acara tetap di Mojokerto tidak akan bisa. Sebaiknya tidak diteruskan,” jawabnya. “Kenapa kau bilang begitu? Acara ini harus tetap jalan, di mana pun, dengan resiko apa pun. Tapi sekali lagi jangan bilang kita hentikan agenda Geladak Sastra #6 ini!” timbuk saya, lantas saya ajukan pilihan, “Baiklah, aku usul kita pindah ke markas Lembah Pring. Bagaimana?” Jabbar hanya diam. Artinya ia sepakat dengan segala kekhawatiran yang bertiung-tiung di jidatnya. Akhirnya kami sepaham untuk mengalihkan acaranya di Jombang, di Omah Pring, rumah saya.
Kami kembali ke kantor Pak Edy. Di tengah jalan, pukul 14:48, Pak Afandi berkirim pesan, “Untuk aula Disporabudpar tempat bedah buku atas saran pihak Polres, kami diminta tidak mengijinkan karena surat permohonan tempat tidak dilampiri ijin dari Polres Mojokerto dan surat permohonan tempat yang saya terima tadi siang jam 11 sudah saya jawab kepada Mas Jabbar. Terima kasih dan mohon pengertiannya.” Lalu pukul 15:09, sms susulan yang diterima Pak Edy dari Pak Afandi, diforward ke saya, “Pak Edy/Pak Chamim, acara bedah buku nanti malam tempat aula Disporabudpar belum bisa kami ijinkan karena surat permohonan tempat tidak dilampiri ijin dari pihak Polres Mojokerto. Kami sudah balas surat Dinas pada panitia bedah buku tersebut (Jabbar Abdullah). Terima kasih mohon maaf dan mohon pengertiannya.” Sempat berdiskusi sebentar dengan Pak Edy, sebelum kami ke kantor Pak Afandi. Saya sudah sampai duluan. Langsung menemui Pak Afandi yang sedang membuka-buka map kerjaannya sambil merokok cedat-cedut. Selang beberapa menit, Jabbar dan Abdul Malik menyusul. Keduanya duduk di kursi depan Pak Afandi, di sisi sebelah kiri saya. Setelah kami berdiskusi alot dan tegang, tapi tetap berusaha menjaga untuk sama-sama menghormati posisi masing-masing. Malik coba merekam pembicaraan ini dengan ponsel bututnya. ”Mas Malik, tolong jangan direkam ya! Serius ini!” sembur Pak Afandi. Malik Melongo. Tersenyum kecut. Matanya yang selalu tampak merah seakan menyumpah-nyumpah keruwetan ini. Akhirnya kami menerima pembatalan tersebut, dan tentu, kami bertiga punya catatan tersendiri atas sosok Kepala Disporabudpar Kab. Mojokerto ini.
Saya langsung mengangkuti dus-dus buku Ultimus. Mencancangnya erat-erat di sepeda. Malik dan Jabbar berembuk kecil. Terasa amis dan nyinyir. Saya menghampiri mereka. Lalu kami sepakat diskusi 3 buku itu dipindahkan ke Omah Pring Jombang.
Sore sekitar pukul 4-an saya telah tiba di rumah. Membereskan dan menyiapkan ruang diskusi di depan rumah saya. Sebuah bekas toko lama milik keluarga. Satu persatu sejumlah teman saya SMS untuk meralat acara diskusi yang dipindahkan itu. 3 Pembicara saya kontak. Hanya Sumrambah yang lagi-lagi tak bisa dihubungi.
Acara pun berlangsung kira-kira pukul 8 malam. Beberapa wartawan dari Radar Mojokerto, Tempo Interaktif, beritajatim.com, dan Radio Elshinta hadir. Kami tak tahu mereka dapat kabar dari mana agenda kami dipindahkan di Jombang. Buku-buku Ultimus kami gelar di emperan rumah saya. Ada 37 judul buku, masing-masing 3 eksemplar. Sedang 3 buku yang dibedah masing-masing 20-an eksemplar.
Di tengah diskusi berlangsung, dengan pengulas Gus Chamim Khohari dan Diana AV Sasa, tanpa Sumrambah, semua peserta yang hadir ada sekitar 25-an. Saya mengamati diskusi kadang dari dalam dan sesekali dari luar. Menengok-nengok di jalan kampung. Ada dua pengendara sepeda motor klitar-kliter (hilir-mudik). Saya amati terus. Dari arah 15 meter arah kidul, tepat di depan rumah Yu Lis, mereka berhenti. Bisik-bisik. “Hoi, Mas, cari siapa?” teriak saya. Mereka diam, meski menoleh, tapi abai. “Di sini tempat diskusinya, jika kalian cari teman kalian, mereka sudah di sini!” sambung saya. Mereka tetap bungkam. Beberapa detik kemudian, mereka pergi ke selatan. Sering di beberapa acara kami ada saja temannya teman kami yang nyasar. Selang 2 hari kemudian saya tahu, bahwa mereka adalah intel yang mengawasi kami.
Tiba-tiba, di tengah diskusi berjalan sekisaran se-jam, kadus kampung Abdul Ghofur, atau di kampung Mojokuripan kami menyebutnya Wak Polo Dul, datang. Ia naik sepeda motor. Di parkir di depan rumah Bulek Kotim, selatan pas rumah saya. Dari jarak 7 meteran ia manggil saya yang sedang menyimak diskusi di pinggir toko sebelah timur.
“Hei, Din, ke sini sebentar!”
Saya berdiri, dan melihatnya. Saya tidak menghampirinya. Kepala saya agak pening setelah dipusingkan keruwetan di Mojokerto tadi.
“Ada apa, Sampeyan yang ke sini. Masuklah ke ruang tamu!”
“Wes talah, penting iki, rene o sek ta!”
“Gak, kamu aja yang ke sini!”
“Iki penting, Din. Ke sini sebentar!”
Saya menghampirinya. Dia sudah duduk di emperan rumah Bulek Kotim. Ia menyampaikan bahwa dirinya diperintah Pak Lurah Huda untuk meminta saya datang ke rumah Lurah. Ada kepala intel Jombang yang ingin menanyakan sesuatu pada saya. Saya menolak. Ia agak menekan. Meminta sangat. Saya tetap tidak mau.
“Kalau dia butuh sesuatu yang ada kaitannya dengan diskusi kami, silakan dia datang ke sini. Kami akan sambut dengan baik,” tegas saya.
“Lho, kamu ini bagaimana? Ini perintah Pak Lurah.”
“Lho Sampeyan ini juga bagaimana, kok maksa saya? Sekarang saya tanya, apa mau kalian?”
“Kamu ini kok mbangkang perintah aparat desa, Din?”
“Siapa yang mbangkang. Saya kan cuma tanya dulu, urusannya apa?”
“Ya, urusan kamu kumpul-kumpul di sini itu apa maksudnya?”
“Lha, gitu dong jelas. Di sini kami mendiskusikan buku. Kalau Sampeyan kepingin tahu, silakan masuk ke forum diskusi.”
“Gak perlu. Begini lho, kepala intel itu ingin tahu buku-buku apa saja itu, terus siapa saja pembicaranya, dan jumlah pesertanya berapa.”
Saya nyekikik dalam hati. Lalu saya ambilkan kertas. Menuliskan semua yang dimintanya. Ia pulang dengan wajah ditekuk-tekuk sendiri. Mlengos ke saya. Saya melambaikan tangan.
“Kalau Pak Intel itu masih belum cukup datanya, silakan datang kemari!”
“Hei, Din, kamu jangan sok begitu ya. Mentang-mentang sarjana ya. Jangan sombong kau!”
“Kepalaku pusing!”
Ia terus nyetater motornya. Mukanya merah. Menuju rumah Lurah Huda.
Diskusi terus berlangsung. Beberapa menit kemudian, seorang berjaket hitam, kayak jaket mahasiswa, berkumis tipis, berbadan ramping, berusia sekitar 50-an, datang. Ia berkopyah songkok. Ramah dan murah senyum. Bertamu dan langsung ketemu saya dan memperkenalkan dirinya: Pak Sumantri dari intel Polres Jombang. Saya persilakan masuk. Kami duduk bersila di karpet di ruang tamu. Cak Dul menyertainya. Wajah merahnya masih bersisa. Pak Mantri, demikian ia disebut, membuka obrolan dengan mengutarakan kembali maksud yang sudah disampaikan Cak Dul. Ia menanyakan kembali diskusi apa ini. Saya jelaskan seperlunya. Ia meminta data siapa-siapa yang hadir. Saya berikan list-nya. Ia mencatat. Lalu kami saling paham. Tapi tak tahu apa di batok kepala masing-masing. ”Jika Pak Mantri ingin lebih tahu detilnya, silakan beli 3 buku yang kami diskusikan,” sela saya. Ia bilang tak perlu. Cukup data itu, katanya. Ia pulang. Sebelumnya kami bertukaran nomor hape. Ia minta bila ada diskusi lain, agar ia dikabari. ”Sangat bisa, Pak,” jawab saya.
Setelah Intel Mantri pulang, diskusi masih berjalan. Sekitar pukul 23-an WIB, selesai. Kami ngobrol-ngobrol. Beberapa SMS berhamburan datang: ”Ini kayak kejadian di Elpueblo Kafe di Jogja (dari Bilven)”; ”Mas Fakhrudin, bagaimana acara Geladak Sastra hari ini? Bebas dari gangguan ormas FPI? Bagi saya termasuk kejutan karena diselenggarakan di aula Instansi pemerintah yang di kota lain pasti tidak mungkin.” (dari Djoko SM, pukul 23:30 WIB); ”jangan-jangan HP anda disadap ya, Mas? Kok tiba-tiba putus dan tidak bisa dihubungi lagi”. (dari Mulyani Hassan, pukul 23:53 WIB); ”Saya hanya meraba-raba saja bahwa penyelenggara adalah Syarikat atau kelompok anak-anak muda yang berafiliasi ke NU. Benar tidak? Karena itu FPI tidak berkutik. Di Kuningan, Banser juga mengutuk tindak kekerasan terhadap Ahmadiyah dan ini patut didukung. Salut untuk anda semua.”(dari Djoko SM, pukul 05:57 WIB).
Semenjak kejadian itu, banyak cerita menyebar yang aneh-aneh dan mengular dan mengular lagi. Paklek-bulek saya juga banyak yang diteter pertanyaan sana-sini oleh beberapa warga. ”Piye ponakanmu itu, Kan, jarene diseret polisi?” tanya seorang karyawan pabrik sepatu Pei Hei kepada paman saya, Cak Rukan. Tak habis pikir, bagaimana ”muncul” pertanyaan seperti itu. Dan sangkaan-sangkaan yang berpinak-pinak lagi macam itu terus berkembang. Seperti menjadi organisme cerita. Seperti menciptakan kuping-kuping baru dan tengik mulut yang bergosip renyah ke mana-mana. Ini menjadi catatan penting bagi kami, terutama saya, apakah hanya karena ”belajar membaca sejarah” sampai berakibat begini. Saya tertegun setelah mendapat SMS dari adik saya; ”Oke ati-ati Bos, karena udah banyak orang bilang ‘Anake Bu As dicekel polisi sebab terlibat jaringan teroris’. Aku harap sampeyan bisa jaga kehormatan orangtua.” (7 Agustus 2010.16:53 WIB).
Geladak Sastra #10: Bola Api Itu Menggelinding Lagi
Geladak Sastra #7 secara emperan kami gelar lagi pada 13 Agustus 2010. Di rumah saya. Saya, Sabrank Suparno, dan Gus Kur, tetangga kampung. Kami bertiga bergiliran membaca buku kumpulan puisi: Aku Hadir Hari Ini karya Hr. Bandaharo dan Puisi-Puisi dari Penjara karya S. Anantaguna. Tak ada apa-apa. Sekitar seminggu kemudian, Komunitas Lembah Pring, saya dan Jabbar, diundang oleh Bu Ilmi, guru bahasa Indonesia MAN Sooko Mojokerto untuk mengisi diklat jurnalistik. Polisi dari Polres Mojokerto datang. Memaksa acara dibatalkan. Pagi pukul 8 diklat sudah berjalan lancar. Antusias siswa meriah dan bergelora. Lepas lohor tit kami dibubarkan, setelah menohok dengan basa-basi ancaman kepada kepala sekolah. Kenapa polisi itu tidak langsung menemui kami? Mungkin tak perlu. Orang PNS didesak begitu sudah mengkeret. Mereka digepuk dengan pertanyaan enteng saja seperti ini misalnya, ”Pak, Bu, anda ini PNS, lho!” Artinya, mereka ditakuti, jika tidak nurut polisi, jabatan PNS mereka bisa diperkarakan.
Pada 27 September 2010, Geladak Sastra #8 membedah kumpulan puisi Fatah Yassin Noor dari Banyuwangi. Lokasi di padepokan Sanggrah Akar Mojo, di Pacet, di rumah Mbah Jito. Pembicaranya Mashuri dan M.S. Nugroho. Tak ada apa-apa.
Lalu Geladak Sastra #9 mengusung diskusi kumpulan cerpen Presiden Panji Laras karya M.S. Nugroho di GOR Jombang, pada 24 Oktober 2010. Pembicaranya, Robin Al-Kautsar, R. Giryadi, Zus Nu’man Anggara, dan saya. Dan tak terjadi apa-apa.
Nah, Geladak Sastra #10, ketika Komunitas Lembah Pring kembali mengusung diskusi himpunan esai A.S. Dharta bertajuk Kepada Seniman Universal dari penerbit Ultimus Bandung, beberapa polisi bergentayangan lagi. Seperti dihausi mengirup darah luka sejarah. Darah yang diciptakan penguasa. Entengnya dalam bentuk mengawasi diskusi macam ini. Pemantauan ketat.
Saya kira sudah tidak ada lagi pengawasan macam itu, setelah beberapa minggu sebelumnya saya dapat berita dari sejumlah teman yang isinya: ”Kita menang di Mahkamah Konstitusi. UU No 4/PNPS/63 tentang pelarangan buku tidak berlaku lagi. Terima kasih atas segala dukungannya. (salam hangat, Gung Putri).” (13/10/2010, pukul 16:39). Secara beruntun kabar itu mengular dari Nisa, Abdul Malik, Bambang Budiono, Halim HD, dll.
Untuk membaca sejarah bangsanya sendiri, pengawasan dalam bentuk yang demikian masih saja terjadi. “Putusan MK mandul!” Pesan pendek saya pada beberapa kawan. Memang untuk melawan lupa, darah dan keringat, dianggap tidak ada harganya. Di pojok sebuah cafĂ©, saat tak sengaja ketemu Muhidin M. Dahlan (di situ ada juga Faisal Kamandobat, A. Muttaqien, Alek Subairi, Gita Pratama, Nawi, Salamet Wahedi, Diana AV Sasa), ia berkata, kurang lebih seperti ini, “Tak ada pengaruh signifikan soal putusan MK itu. Kita sudah tak punya ruang! Apapun ruang itu. Kita hanya punya ‘waktu’”. “Waktu” untuk terus bergerak dengan segala gagasan dan kegelisahan. Untuk Indonesia dan masa depan harkat kebudayaannya.
Sebagai penutup, beberapa hari kemudian, 2 teman penyair (Nisa Elvadiani, dari Komunitas ESOK Surabaya dan Rama Prabu dari Bandung) telah membuat puisi sebagai sebagai kesaksian atas peristiwa Geladak Sastra #6 di atas:
Sang Penanda Catatan Tanah Merah
Oleh: Nisa Elvadiani
kalau kau ajariku angkat senjata, aku hanya bisa ambil pena dari kotak kaleng bundar di sudut mejaku. bahkan untuk membelikannya tinta aku harus memasung lidahku pada tiang pancang gantungan. lidahku membiru, bahkan kalau kau mau, berangsur-angsur cairan otakku pun terhisap keluar, membusuk di tanganmu.
tak ada yang tersisa, bahkan hanya sekedar secarik kertas untuk mengganjal salah satu sisi yang timpang di mejaku, jangankan buku, jangankan catatan baru, jangankan penanda peristiwa dulu, jangankan pidato kemenanganku, sungguh benar-benar tak ada yang tersisa
selain topi baret dan lars berbau tiran menginjak pita mesin tik tuaku dan jari tinggal satu mengeja huruf demi huruf nafasku
aku berdiri karena masa lalu yang membentukku, namun aku merdeka untuk menjadi apa saja, pun bukan menjadi ketakutan masa lalu mu…
04082010
Spion Merah di Lembah Pring
Oleh: Rama Prabu
:/Muhidin M Dahlan (IBUKU)
1/
lembah pring, gelora mengabarkan tanah merah
tanah padu ketika serdadu berubah dadu
alamat dari kisah masa lalu
bait sunyi rerimbun perdu
2/
lembah pring, spion merah wajahnya jengah
anak-anak desa sedang berulah
melempar gatrik-sembunyikan galah
meramal tujuh harmal, siapa hendak mengalah!
3/
tetua desa dibuat ragu, apa benar buku bisa membakar kampung?
jadi naga raksasa, menggulung mereka yang sedang agung
tapi, dari gaung terdengar kata-kata: “surat ijin jadi sakti, lebih sakti dari tombak adipati”
4/
lembah pring, spion merah dan tetua desa
tak sampai diujung simpul
bersilang pendapat-sengketa dalam kalimat
menggambar jejak jadi lembar-lembar hikayat
dimana digdaya kata tak bisa dibungkam redam
selebihnya jadi barisan halaman yang memagar catatan sejarah
yang dulu salah arah
Bandung, 03 Agustus 2010
***
*Jurnal Sastra dan Budaya “Jombangana,” Edisi III 2011 [Dewan Kesenian Jombang].
http://sastra-indonesia.com/2011/08/membakar-api-di-kampung-pring/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar