Musa Ismail
Riau Pos, 5 Juni 2011
Sekapur Sirih, Seulas Pinang
Realitas memang tidak dapat dipisahkan dari genre sastra apapun. Seabsurd atau seirasional apapun karya sastra, sudah dipastikan memiliki sisi realitas di dalamnya. Istilah realitas berawal dari realisme. Sebagai istilah estetika, realisme pertama sekali digunakan dalam Majalah Mercure Francais di XIX Siecle pada 1826. Di majalah itu, realisme digambarkan sebagai “peniruan bukan dari karya seni tradisi, melainkan peniruan dari aslinya yang disajikan oleh alam” (Luxemburg dalam Mahayana, 2005:356).
Tentang realitas ini, pada seminar dan peluncuran buku bertajuk Pramoedya Ananta Toer: Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia di Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Rabu (31/12/2010), Pramoedya menjelaskan, realisme sastra memberikan kemerdekaan kepada publik untuk mengambil kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang dituliskan oleh sastrawan. Dalam hal ini, setiap kali menuliskan karyanya, sastrawan harus membuktikan baik-buruknya sesuatu atau seseorang dengan berpijak pada kenyataan yang dilihatnya. Sastrawan harus berani menyodorkan fakta. Selain itu, juga membebasan sastrawan dan publik dari belenggu pemikiran, paham, tradisi, mitos, dan legenda yang tidak manusiawi. Dengan mengedepankan fakta-fakta sosial, berarti publik diberi hak untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu hal tanpa merasa didikte. Sementara itu, Zainul Milal Bizawie menguraikan, bagi realisme-sosialis, setiap fakta adalah proses dialektika yang berjalan terus-menerus menuju kebenaran. Realitas bukan tujuan atau kebenaran itu sendiri. Karena itu, karya sastra harus menunjukkan keberpihakannya pada rakyat.
Honoré de Balzac adalah novelis pertama yang menyuarakan gerakan realis lewat karya-karyanya seperti Eugénie Grandet (1833), Le Père Goriot (1834), dan karya monumentalnya, La comédie humaine (1842-1848). Kejeniusan novel Balzac ini memicu banyak penulis lain, namun dua saja yang menonjol. Yang pertama adalah Champfleury yang kemudian menuliskan sebuah manifesto resmi bagi arah baru gerakan sastra Perancis dalam kumpulan esainya, Le réalisme (1857), sehingga gerakan ini dinamai realis. Namun, penulis kedua yang justru lebih diakui bapak sastra realis dan gaya tulisannya diikuti banyak penulis sesudahnya. Dialah Gustave Flaubert yang pertama kali mengaplikasikan kejeniusan metode Balzac lewat Madame Bovary (1857), lalu L’éducation Sentimentale (1869) yang lebih mematangkan program realis.
Dalam perkembangan sastra kita, dinamika sejarah sastra dunia, sangat berpengaruh. Tengok Pujangga Baru, yang merupakan gema dari angkatan 80 di negeri Belanda. Angkatan Gelanggang atau Angkatan 45, yang digemari oleh sastra dunia yang memiliki konsepsi modernisme. Demikian juga dengan dekade 70-an, lewat eksistensialisme dan absurditas. Termasuk juga polemik sastra, karya sastra yang bersifat postmodernisme, yang merupakan gema yang sudah berkecamuk pada tahun 70-an di Eropa. Tak ketinggalan polemik sastra kontekstual, yang merupakan gema dari gerakan sastra multikultur yang menggejala di sastra dunia hingga kini.
Dalam perkembangan sastra kita selama satu abad ini, selalu dijiwai oleh sastra realisme, kita perhatikan semenjak Siti Nurbaya tahun 1920-an hingga para pemenang Lomba novel DKJ, 1998-2008, banyak didominasi oleh sastra realitas sosial yang berangkat dari pengalaman pribadi dan hasil penelitian. Laskar Pelangi (termasuk tetraloginya) karya Andrea Hirata pun bisa dikategorikan ke ranah ini. Dalam kondisi bangsa yang mengalami ketimpangan sosial, kemarjinalan, ketidakberdayaan kaum bawah, kapitalisme menyeruak, politik gelang karet, mafia kasus hukum, demokrasi semu, kehidupan ekonomi yang tidak stabil, kerusakan lingkungan hidup, dan goncangan-goncangan keterpecahan bangsa, serta masih kuatnya kuku kekuasaan.
Sastrawan Riau tidak begitu banyak mengangkat realitas kehidupan masyarakat negeri ini. Salah seorang di antara yang tidak banyak tersebut adalah Olyrinson, sastrawan keturunan Tionghoa-Nasrani, tetapi banyak mengangkat kehidupan Melayu, termasuk hal-ikhwal islami. Realitas-realitas yang diangkat Oly begitu rinci, dekat, deskriptif, dan eksploratif terhadap kehidupan-kehidupan di sekitar lingkungannya. Untuk lebih menukik, berikut ini saya mengajak pembaca untuk mengapresiasi karya-karyanya.
Sebilah Kacip
Sebutir Peluru dalam Buku (SPdB) merupakan kumpulan cerpen perdana Olyrinson yang diterbitkan Palagan Press, April 2011. Karena ragu beberapa hal, saya sempat sms-an dengan Oly —begitu saya menyapanya— sebelum mengulas cerpen-cerpen SPdB. Oly yang Tionghoa-Nasrani, bisa menyelinap sedikit ke realitas islami. Ya, terminologi realitas inilah yang dapat saya tangkap dengan begitu nyata dalam karya-karya cerpennya. ’’Semuanya itu realitas, Cikgu,’’ jawabnya terhadap pertanyaan saya. ’’Karena aku nggak ada ilmu sastra, Cikgu, jadi nggak bisa aku beraneh-aneh dalam menulis. Jadi, konvensional saja,’’ sambungnya. Namun, ternyata Oly punya pandangan tersendiri tentang karya-karya realis. Menurutnya, dengan realis, kita (sastrawan) bisa menyampaikan maksud tanpa perlu membuat pembaca bingung. Dengan realis, cerpen bisa kuat, penokohan dan karakter dibangun dengan struktur cerita, detailnya terjaga. Yang terpenting, cerpen-cerpen realis akan terasa jauh lebih indah (tentunya saya yakin Oly tidak mengerdilkan karya-karya yang non-realis). Dapat dikatakan, Oly memang realis (mungkin pengagum realisme) sejati. Ini dapat pula kita buktikan melalui kajian cerpen-cerpennya dalam SPdB.
Mahayana mengatakan, secara teknis, realisme merupakan aliran atau paham yang berusaha mematuhi fakta real yang terjadi. Real berarti yang aktual atau yang ada. Acuannya adalah benda-benda atau kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh terjadi dan kasat mata. Dalam bidang sastra, realis berarti gambaran tentang benda-benda atau kejadian yang tampak seperti keadaan sebenarnya. Yang terungkap di sana adalah gambaran terperinci kehidupan biasa yang sebenarnya, yang menyangkut kegiatan-kegiatan manusia secara konkret.
Karya sastra bukan idealisme, tetapi refleksi realitas. Itulah yang dapat kita tangkap dari cerpen-cerpen Oly. Melalui kumpulan cerpen SPdB, sastrawan yang sering memenangkan berbagai sayembara menulis ini, lebih banyak menekankan makna karyanya pada beberapa kenyataan ironis. Pertama, sikap para penguasa dan pengusaha terhadap masyarakat di sekitar lingkungannya. Kedua, ketertekanan kehidupan rakyat kelas bawah di tengah lingkungan para penguasa dan pengusaha. Ketiga, kemiskinan, kelaparan, kejahatan, dan marwah rakyat kelas bawah yang tercabik-cabik. Keempat, kontradiksi kehidupan kaya-miskin di negeri Melayu (yang kayat-raya ini). Semua ironisme ini dapat dirangkum dalam satu pernyataan: Cerpen-cerpen Oly mengangkat realitas para penguasa dan pengusaha yang membunuh (Melayu) Riau: membunuh lingkungan, membunuh harmonisasi, membunuh kemerdekaan, dan membunuh hak-hak masyarakatnya.
’’Beberapa tokoh dalam cerpen saya, masih hidup, Cikgu…’’ begitu Oly meyakinkan saya tentang objek realitas yang digarapnya. Secara etnik, tokoh-tokoh dalam SPdB ini sangat Melayu. Tokoh-tokoh inilah yang dihidupkan kembali oleh Oly dalam cerpen-cerpennya. Sebagian besar, tokoh-tokoh yang ’’dibungkusnya’’ berada dalam latar suasana susah, terjepit, tertekan, miskin, dan tidak mampu berbuat apa-apa. Paradoks realitas kehidupan masyarakat Melayu (Riau) dapat kita tangkap dengan amat jelas dalam kutipan cerpen “Rembulan Tengah Hari” berikut ini.
’’Orang-orang perusahaan minyak itu menyebut abah pencuri. Tapi bagi kami anak-anaknya abahku adalah pahlawan. Ia berjuang untuk menghidupi seorang isteri yang hamil tua serta lima orang anak yang masih kecil-kecil. “Tidak ada seorang pun yang mau dilahirkan sebagai pencuri, Ima,” Kata abahku suatu hari kepada emak. “ Begitu juga dengan aku. Jangan kau pikir aku senang melakukan semua ini. Tapi apa yang dapat aku lakukan. Tanah kita sudah habis terjual dan orang yang mengambil untungnya. Kita tidak pernah dapat kesempatan. Kita ditindas, dibilang bodoh, pemalas, tidak punya otak. Padahal, tanah kitalah yang mereka garap, hak kitalah yang mereka kangkangi. Berapa kali aku mencoba mencari kerja, tapi apa yang aku dapat? Orang lain juga yang menerima gajinya. Dengan apa akan kita beri makan anak-anak kita, Ima…?”
Cuplikan di atas merupakan deskripsi-realitas yang sangat dramatis dan tragis. Kondisi menyedihkan inilah yang terjadi di bumi Riau. Deskripsi ini merupakan masalah serius yang tidak pernah tuntas, baik oleh penguasa maupun pengusaha (perusahaan minyak bumi dan sawit) yang merampas hak-hak kehidupan rakyat. Akibat kekurangpedulian penguasa dan pengusaha, lahirlah kejahatan. Tidak dapat membedakan lagi antara pendosa (pencuri) dan pahlawan (pencari rezeki).
Paparan deskripsi-realitas-dramatis sangat dominan dalam SPdB. Selain gambaran tokoh-tokoh, pelukisan latar dan konflik juga sangat fokus dirincikan Oly, terutama jika dikaitkan dengan realitas kehidupan masyarakat di sekitar perusahaan. Menurut saya, Oly secara tidak langsung telah memberikan catatan penting dalam peristiwa-peristiwa kehidupan nyata masyarakat yang bermukin di sekitar perusahaan. Cerpen-cerpennya ini merupakan hasil observasi yang sangat maksimal. Karena itu, secara tidak langsung, juga merupakan hasil penelitian yang dituangkan dalam bentuk rekaan yang minimal. Cerpen-cerpen Oly merupakan realitas kerakyatan.
Kenyataan-kenyataan yang dihadirkan dalam SPdB berkaitan dengan gambaran alam (latar tempat), keadaan fisik tokoh, dan pikiran serta perasaan tokoh. Sebagian besar latar tempatnya berada di lingkungan perkebunan sawit, HPH, dan perusahaan minyak yang dapat kita telusuri fakta-faktanya di Riau. Kondisi fisik, pikiran, dan perasaan tokoh jelas merupakan lukisan keadaan kejiwaan masyarakat yang tertekan dan tragis. Masyarakat yang bermastautin di sekitar latar tempat dalam cerpen-cerpen tersebut. Oly menggambarkan bagaimana kondisi pikiran dan perasaan masyarakat miskin, tertekan, didera kelaparan, dan keterpaksaan menjadi pencuri besi bekas di perusahaan-perusahaan. Gambaran kehidupan miris sangat kentara di dalam kumpulan cerpennya. Tentang kondisi tersebut, dapat kita kaji dalam cerpen “Bulan Ngapepekon”, “Konvoi”, “Emak”, “Jalan Sumur Mati”, “Malam Lebaran di Field”, “Menjual Trenggiling”, dan “Rembulan Tengah Hari” (sekedar menyebutkan beberapa judul).
Ada satu hal yang penting dalam pendeskripsian penokohan dalam karya-karya Oly. Kebanyakan karya-karyanya ini memfokuskan tokoh pada karakter anak kecil. Saya memandang ini suatu simbolisasi Oly yang bisa diartikan sebagai ’’masyarakat kelas bawah’’ atau ’’masyarakat kecil’’. Berarti pula bahwa Oly menyoroti masyarakat besar dan luas melalui penokohan anak kecil di dalam cerpennya. Simbolisasi dan metafora ini—disadari atau tidak oleh penulisnya—memberikan kekuatan tersendiri bagi pendeskripsian penokohan.
Aneka peristiwa yang hadir dalam SPdB merupakan fakta-fakta faktual masyarakat (Melayu) Riau. Jejak-jejak fakta tersebut dapat saja ditelusuri dalam kehidupan nyata sehari-hari. Panorama miris dan ironis dalam SPdB akan kita temukan pula jika kita mengamati kehidupan nyata masyarakat negeri ini. Secara sosiologi, fakta ini tidak terbantahkan. Yang lebih memprihatinkan, fakta ini tidak banyak mengalami perubahan. Kehadiran pengusaha dan penguasa ternyata belum bisa memberikan kehidupan harmonis di sekitar lingkungannya. SPdB merupakan hasil interpretasi Oly terhadap lingkungan, masyarakat, norma-norma kehidupan masyarakat (Melayu) Riau. Diakhir tulisan ini, saya mengajak untuk kembali merenungkan realitas kegetiran hidup masyarakat (Melayu) Riau alam cerpen “Menunggu Ayah Pulang Ninja”.
‘’Makanya kami lebih baik mati dari pada tertangkap. Kalau kami mati dengan dodos kami sendiri, kami bangga. Sebab kami berjuang mencari makan bukan untuk perut kami, tapi untuk keluarga kami, anak-anak kami dan sejauh kerabat yang dapat kami hidupi. Bagi kami orang yang mati dimakan dodos sendiri saat menjadi ninja adalah pahlawan. Setidaknya bagi keluarga kami. Karena orang yang mati dalam ninja bukan mati sebagai pencuri, tapi mati untuk menuntut kemerdekaan kami. Merdeka untuk mengelola tanah kami sendiri, hutan dan sungai kami sendiri.’
Musa Ismail, guru SMAN 3 Bengkalis, mahasiswa pascasarjana Prodi Manajemen Pendidikan, Universitas Riau. Menulis berbagai genre sastra, dan telah menerbitkan beberapa buku, termasuk tiga kumpulan cerpen. Tinggal di Bengkalis.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/06/realitas-penguasapengusaha-yang.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar