Minggu, 19 Juni 2011

Negara dan Kegagalan Inkorporasi Budaya

Faisal Kamandobat
http://nasional.kompas.com/

Dalam bukunya, Imagined Community: Reflections of the Origin and Spread of Nationalism (1983) yang telah menjadi klasik itu, Benedict Anderson menegaskan pentingnya peran kapitalisme cetak dalam membentuk komunitas bayangan yang disebut sebagai bangsa atau nasion. Lewat kapitalisme cetak itulah berbagai peristiwa yang terjadi di sejumlah daerah dapat hadir secara simultan di hadapan para pembacanya sehingga di kepala mereka, para pembaca itu terbentuk pengalaman ”bersama” sebagai satu komunitas.

Dalam konteks masa lalu, komunitas pembaca itu adalah ”kaum terpilih” yang jumlahnya tidak lebih dari 10 persen dari keseluruhan penduduk di Hindia-Belanda. Mereka adalah para elite priayi dari sejumlah kerajaan dan kesultanan di Nusantara yang telah ter-Eropa-kan di lembaga pendidikan kolonial. Namun, meskipun jumlahnya kecil, mereka mampu menjadi pendiri dan penguasa di sebuah negara yang kemudian disebut Indonesia.

Sebagai keturunan priayi dari kerajaan-kerajaan pan-Nusantara, mereka (merasa) memiliki legitimasi budaya untuk menyatukan pluralitas geografis, historis, etnis, dan bahasa yang beragam lewat status dan peran mereka di sebuah negara yang baru lahir itu. Melalui mereka pula segenap manusia yang berbeda-beda (merasa) terpenuhi subyektivitasnya lewat lembaga kekuasaan yang baru itu.

Inkorporasi budaya

Namun ”pengertian” kultural itu bukan sesuatu yang gratis. Munculnya berbagai pemberontakan pascakemerdekaan adalah bukti legitimasi kultural lewat representasi elite di pemerintahan tidak cukup. Terdapat faktor lain yang lebih mendasar, yaitu berbagai pemberontakan itu terjadi karena konsep negara-bangsa yang baru lahir itu sangat berbeda dengan negara-negara (kerajaan dan kesultanan) yang berkuasa sebelumnya.

Negara-bangsa masih seperti sepatu yang baru dikenakan oleh masyarakat yang baru mengenal alas kaki karena itu belum sungguh-sungguh dipahami apalagi dibutuhkan. Negara-bangsa lahir lebih sebagai struktur dan bukan kultur. Tak seperti negara-bangsa, negara prakolonial bukan sekadar lembaga politik, melainkan juga lembaga kultural yang mampu meliputi seluruh rakyatnya.

Dengan kata lain, meminjam analisis Rudyansjah (2008), raja mampu menjadi mythical body, political body, sekaligus territorial body. Ia adalah ikon yang secara canggih mampu menyatukan segenap elemen yang melingkupi kebutuhan rakyatnya.

Demikian pula dengan Kesultanan Yogyakarta, Aceh, Banten, Makassar, Buton, pun Kerajaan Majapahit, Kutai, atau Sriwijaya. Masing-masing dari mereka memiliki karakteristik khusus dalam melakukan—meminjam istilah sejarawan Eropa Ernst Kantorowics (1957), ”inkorporasi” (incorporation) politik dengan kebudayaan sehingga negara bukan seperti rumah susun yang asing bagi para penghuninya yang tidak saling mengenal (seperti ilusi Anderson). Namun, sebuah rumah di mana mereka merasa terlibat dan paham; lahir, tumbuh, dan mati bersamanya. Dalam konteks ini, lembaga politik kuno itu secara kultural lebih jenius dibanding lembaga politik modern.

Pemisahan institusional

Salah satu hambatan negara-bangsa dalam melakukan inkorporasi budaya adalah ia lahir dalam situasi yang justru memecah inkorporasi itu. Antara lain dengan dilakukannya pemecahan institusional antara politik, ekonomi, dan kebudayaan sebagai dampak dari kepemilikan individu dalam kapitalisme.

Pemecahan institusional tersebut harus dilakukan agar individu menemukan ruang geraknya sehingga negara dan budaya harus dilokalisasi, baik secara kategoris maupun ontologis.

Argumen lain yang dikemukakan seputar pemisahan institusional tersebut adalah masing-masing institusi diasumsikan memiliki pola dan bahkan hukum (setidaknya dalam ekonomi liberal) yang mampu mengelola dan memperbaiki dirinya sendiri secara otonom. Atas dasar itulah negara cukup berperan sebagai pembuat dan pengawal regulasi. Adapun seniman, agamawan, tetua etnik cukup jadi penentu nilai hingga ekonom serta pebisnis dapat mengerakkan ekonomi secara leluasa tanpa hambatan kultural dan politik.

Dalam kenyataannya, argumen itu benar sejauh diletakkan di atas kertas. Yang terjadi sebenarnya adalah setiap institusi itu saling berhubungan secara dialektis untuk mencapai sebuah ”totalitas” kultural dan historis dengan negara bangsa sebagai wahananya.

Untuk itu ia harus meninggalkan premis ekonomi kapitalistik sebagai ”panglima” di dalam sebuah progress. Apa yang dilakukan China, India, dan Jepang atau bahkan Korea, menunjukkan bahwa ekonomi menemukan daya ledaknya manakala disulut oleh kekuatan budaya.

Pencapaian inkorporasi, yang tanpa dikelola oleh individu-individu yang cemerlang secara politik dan kultural, negara mana pun dipastikan akan gagal.

*) Mahasiswa Antropologi FISIP UI, Depok; Pegiat Bale Sastra Kecapi.
9 Januari 2010, sumber: http://nasional.kompas.com/read/2010/01/09/03503651/

Menguak Luka dalam Satu Hari Bukan di Hari Minggu

Dessy Wahyuni *
Riau Pos, 14 Mei 2011

YETTI A. KA menghadirkan realitas keperempuanan dalam empat belas cerpennya yang terkumpul dalam Satu Hari Bukan di Hari Minggu (SHBdHM [Yogyakarta: Gress Publishing, 2011]). Sebagai pengarang perempuan yang berada pada masa kini —yang seringkali berupaya mendobrak budaya patriarki— Yetti hadir dengan sekumpulan cerpennya yang tidak terjebak dalam kehidupan kosmopolitan dan berpesta merayakan tubuh dan seksualitas perempuan.

Kumpulan cerpen ini pernah dibedah di pelataran Kafe Uniang Kamek, Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang, 5 Januari 2011. Pembicara dalam bedah buku tersebut adalah Romi Zarman (cerpenis asal Sumatra Barat) dan Elly Delfia (cerpenis dan dosen di Fakultas Sastra Unand). Romi Zarman berpendapat bahwa cerpen-cerpen Yetti A. KA dalam kumpulan cerpen ketiganya ini berkisah tentang kehidupan yang sangat alami. Keberadaan karya Yetti yang sangat alami ini menjadi sebuah arus perlawan terhadap kehadiran para penulis perempuan yang berbincang seputar kehidupan kosmopolitan. Sementara itu, Elly Delfia dalam pemaparannya mengatakan bahwa cerpen-cerpen Yetti A. Ka adalah feminisme dalam rasa lain. Perempuan dalam cerpen Yetti bukan perempuan yang tertindas, melainkan perempuan dengan cara hidup yang sudah bebas, sudah punya pilihan, tetapi pilihan itu diambil karena tekanan ataupun kekecewaan (http://www.padangmedia.com/?mod=berita&id =65619).

Berangkat dari pemaparan Elly Delfia tentang feminisme dalam rasa lain tersebut, dapat dilihat bahwa cerpen-cerpen Yetti ini berusaha menyuarakan kehidupan perempuan dengan segala luka dan kekecewaan, serta pilihan hidup yang tidak tertawar. Perempuan-perempuan dalam (SHBdHM) tidak berusaha keras untuk keluar dari luka yang menganga tersebut. Bahkan sebagian perempuan di dalamnya seolah-olah menikmati perihnya luka itu. Hal inilah yang barangkali disebut Elly Delfia sebagai feminisme dalam rasa lain.

Feminisme sudah tidak asing lagi di telinga kita. Feminisme merupakan gerakan yang diawali oleh persepsi tentang ketimpangan posisi keperempuanan. R.A. Kartini menyebutnya dengan emansipasi. Gerakan Feminisme lahir dari sebuah ide yang di antaranya berupaya melakukan pembongkaran terhadap ideologi penindasan atas nama gender, pencarian akar ketertindasan perempuan, sampai upaya penciptaan pembebasan perempuan secara sejati. Feminisme adalah basis teori dari gerakan pembebasan perempuan.

Pada awalnya feminisme bangkit untuk membela para wanita dari ketertindasan serta menuntut penyerataan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang. Tapi kemudian feminisme yang semula lahir sebagai gerakan yang seharusnya dapat meningkatkan harga diri wanita yang ingin dinilai sesuai dengan potensinya sebagai manusia tanpa harus memandang gender mulai disalahartikan. Banyak wanita yang menjadi korban salah kaprah ini. Feminisme yang terlahir sebagai cita-cita mulia para wanita pendahulu berubah menjadi kemerosotan harga diri seorang wanita. Ironisnya, wanita tersebut tidak menyadari bahwa ia telah menjatuhkan harga dirinya sendiri.

Berkaitan dengan uraian tersebut, cerpen-cerpen dalam SHBdHM menarik untuk dibaca melalui perspektif feminisme. Perspektif feminisme pada dasarnya berfokus pada keberadaan dan masalah gender perempuan dalam karya sastra dari sudut pandang perempuan. Perspektif feminisme dibutuhkan untuk mengentalkan pengalaman-pengalaman spesifik yang dialami tokoh-tokoh perempuan dalam kumpulan cerpen tersebut. Perspektif feminisme memberi tekanan pada posisi dan persepsi perempuan yang akan bisa membuka tabir tentang aktivitas atau kehidupan perempuan yang selama ini terbungkam.

Terdapat empat belas judul cerpen yang terangkum di sini, yaitu “Kisah Bambu”, “Re Hati (Kisah Bambu II)”, “Bunga Meranti (Kisah Bambu III )”, “Pelabuhan”, “Suatu Hari Bukan di Hari Minggu”, “Hujan, Pulanglah”, “Gadis Pemetik Jamur”, “Perempuan Bunga Kertas”, “Perempuan dan Mata yang Menatap”, “Lampu Taman”, “Seseorang yang Menyimpan Rahasia di sepasang Bola Mata”, “Kosong”, “Cerita Daun”, dan “Dalam Kabut, Aku”. Keempat belas cerpen ini masing-masing mengisahkan tokoh perempuan yang menyimpan luka namun memiliki kebebasan untuk memilih hidupnya, tanpa ada paksaan. Dengan bahasa yang indah dan putis, Yetti dalam kumpulan cerpennya ini tidak hadir untuk menantang budaya patriarki. Ia hanya mencoba memutar ke hadapan pembaca tentang realita kehidupan wanita, kehidupan yang lebih banyak pahitnya dibanding manisnya, kehidupan yang kerap menghadirkan luka yang berkepanjangan, namun harus dijalani meski tanpa paksaan, sebaik atau seburuk apapun itu. Seperti yang diutarakan oleh Falantino, seorang pengajar di salah satu perguruan tinggi di Ambon, dalam komentarnya tentang SHBdHM.

Kisah tentang keluarga, perempuan, rumah dan cinta ini terjalin dengan bahasa yang indah, penuh keintiman…. Membaca kumcer ini membuat saya semakin merasa pasti bahwa sebuah rumah, sebaik atau seburuknya, tetaplah tempat untuk pulang. Kumcer ini seharusnya semakin mengukuhkan Yetti sebagai penulis perempuan Indonesia yang karyanya patut dinanti. Salut! (SHBdHM, 2011).

Cerpen “Kisah Bambu” misalnya, menghadirkan tokoh “Aku” sebagai seorang perempuan yang terluka akibat kehilangan ayah dan ibunya. Saat perampokan dan pembunuhan terjadi di rumahnya, ia hanya bisa menyaksikan tubuh yang berdarah-darah. Selain itu, adiknya (Ikatri) juga kehilangan harga diri sebab diperkosa oleh para perampok. Sejak saat itu “Aku” hidup tanpa keluarga. Untuk itu ia memilih hidup untuk mempermainkan lelaki, memberi ruang untuk cinta dan kebencian sekaligus.

Berbeda dengan cerpen “Re Hati (Kisah Bambu II)”, Yetti menyuguhkan seorang tokoh perempuan yang terluka akibat ibu serta saudara-saudaranya tidak pernah menyukainya. Tanpa diketahui sebabnya, tokoh “Aku” yang menjadi perempuan yang terluka di sini mencoba untuk berontak dengan memasukkan teman lelakinya (yang dia sendiri lupa namanya) ke dalam kamar ketika berusia lima belas tahun. “Aku” seperti menemukan kebahagiaan tersendiri tatkala ibunya sangat marah, namun ia sesungguhnya juga merasa sedih. “Aku” tidak berniat sama sekali menjadi perempuan sopan kebanggaan keluarga, perempuan yang menurut pada aturan-aturan yang ada. Kemudian ia memilih hidup menjadi wanita (istri) kedua bagi seorang lelaki. Anak (Re Hati) hasil hubungan mereka pun direnggut paksa oleh si ibu dan dihasut untuk membenci ibunya sendiri yaitu “Aku”. Serupa dengan “Re Hati (Kisah Bambu II)”, cerpen “Bunga Meranti (Kisah Bambu III)” juga menghadirkan sosok perempuan bernama Meranti yang terluka akibat ibunya tidak pernah bersikap manis padanya. Sikap yang kontras ditunjukkan si ibu pada adiknya, Bunga, yang selalu dimanja. Pada cerpen ini, Meranti selalu bersikap manis pada Bunga dengan harapan ibunya pun akan menyayanginya, namun sia-sia. Meranti akhirnya memilih hidup membesarkan anak Bunga —karena Bunga meninggal saat melahirkan— hasil hubungannya dengan paman mereka atas permintaan Bunga sendiri.

Luka lain yang disuguhkan Yetti pada pembaca terdapat dalam cerpen “Pelabuhan”. Luka di sini dialami oleh seorang istri bernama Nial. Ia dikhianati Tami, suaminya yang meninggalkannya bersama anak-anak di pelabuhan saat mereka berniat meninggalkan Jakarta untuk kembali ke kampung halamannya. Saat mereka tiba di pelabuhan, Tami menyuruh istri dan anak-anaknya menunggunya di sebuah warung nasi sementara ia pergi mencari tiket. Namun Tami tidak pernah kembali. Nial berusaha mengingat-ingat penyebab suaminya meninggalkan mereka. Tami ternyata tidak pernah sungguh-sungguh ingin melupakan sejumlah perempuan dalam hidupnya dan itu kerap diutarakannya pada Nial melalui celetukan kecil di atas ranjang. Nial pun akhirnya tetap menyimpan luka menganga yang berkepanjangan dalam kehidupannya.

Wiwi, tokoh perempuan dalam “Suatu Hari Bukan di Hari Minggu” mengalami luka yang berbeda pula dengan tokoh perempuan lainnya. Gadis miskin anak seorang babu cuci ini sangat terluka saat menyaksikan pengkhianatan dan kegilaan ibunya yang berselingkuh dengan perempuan manis pemilik rumah tempat ia bekerja sebagai babu cuci. Meskipun Wiwi telah berjanji untuk menghindari rumah besar itu dan melupakan semua yang pernah ada di sana, ia tetap tidak bisa melupakan kejadian tersebut. Ia selalu teringat semua kejadian itu tiap melewati rumah besar itu.

Luka sederhana namun tetap mengiris hati dialami oleh Runi, sosok wanita dalam cerpen “Hujan, Pulanglah”. Luka ini merupakan rindu yang tak tertahankan karena ia harus berpisah untuk beberapa saat dengan suaminya. Seumur hidupnya baru kali ini ia berjauhan dengan suaminya, sebab ia harus ke Bengkulu melihat cucu-cucunya atas permintaan anaknya.

Lolanda adalah seorang gadis pemetik jamur dalam cerpen “Gadis Pemetik Jamur”. Ia mengalami luka akibat bibinya mengambil alih posisi ibunya dengan menggantikan tempat ibu yang harus pergi karena sakit yang merenggutnya. Padahal ini adalah permintaan ibunya sendiri sebelum pergi. Ia terluka akibat takut kehilangan ayahnya, sebab menurutnya hanya dirinyalah yang mampu menggantikan posisi ibunya tersebut. Untuk itu, Lolanda memilih hidup dalam kepalsuan dengan berpura-pura menjadi gadis periang, lincah, dan manis. Padahal di balik itu ia mempunyai rencana-rencana busuk untuk menyingkirkan bibi dari ayahnya.
Cerpen lain yang terdapat dalam SHBdHM ini adalah “Perempuan Bunga Kertas”. Dalam cerpen ini terdapat seorang perempuan yang hidup dalam kepalsuan untuk menyembunyikan dirinya setelah terjadi sebuah tragedi.

Perempuan Bunga Kertas. Panggil saja demikian. Meskipun, tentu saja, itu bukan nama sebenarnya. Segala sesuatu dalam diri dia memang hampir sepenuhnya palsu setelah suatu tragedi merebut seluruh hidupnya. Dalam kepalsuan itulah dia menyembunyikan diri dalam kotak teka-teki. Kepalsuan yang justru dinilai oleh banyak perempuan, sungguh genit dan menjijikkan. Sebaliknya, bagi banyak lelaki kepalsuan itu serupa rimba gelap yang tengah menanti untuk ditualangi (SHBdHM, 2011:72).

Luka yang dialami Perempuan Bunga Kertas ini berawal dari kurangnya kasih sayang seorang ibu. Ibunya tidak pernah punya waktu dan keinginan untuk mendengarkan cerita apapun dari anaknya. Sedangkan gadis itu memiliki segudang cerita dan membutuhkan seorang teman untuk berbagi. Pada saat itulah seorang lelaki yang disukainya, bekas teman sekolahnya, mengajak si gadis berkencan. Ia terjebak permainan cinta. Sehabis berkencan, lelaki itu pergi begitu saja meninggalkan dirinya. Untuk itu Perempuan Bunga Kertas pun harus mendapat hukuman dari ibunya, dikurung di kamar hukuman. Tiba-tiba terjadi kebakaran, ibunya meninggal dan ia hidup (karena diselamatkan oleh ibunya), tapi dengan cacat di wajah dan sebagian tubuhnya yang dibawa seumur hidupnya. Akhirnya ia memilih hidup terdampar dari satu ruas jalan ke ruas jalan lainnya, dari satu keramaian ke keramaian lain, bahkan dari satu lelaki ke lelaki lain dengan kedua bola matanya yang pecah.

Yetti berusaha mendobrak budaya patriarki dalam cerpennya yang berjudul “Perempuan dan Mata yang Menatap”. Dalam cerpen ini tokoh Nuna adalah seorang perempuan yang rendah hati dan tidak pernah membenci laki-laki.

Ia perempuan rendah hati, dan tidak pernah membenci laki-laki. Tapi orang-orang menatapnya dengan mata penuh sindiran, seolah ia telah melukai dada seluruh laki-laki seisi dunia; termasuk ayah, paman, tetangga-tetangga berkelamin laki-laki, suami atau bahkan ponakan-ponakannya yang sering bertandang ke rumah beberapa hari atau sampai hitungan minggu (SHBdHM, 2011:81).

Hal ini terjadi sebab Nuna dianggap tidak menghargai kehidupan. Padahal ia hanya seorang perempuan yang tidak ingin berada di tempat paling belakang, yaitu sumur dan dapur. Pemberontakan yang dilakukan Nuna ternyata selalu menghantuinya. Ia serasa dikejar-kejar oleh berpasang-pasang mata sebab Nuna dianggap telah membunuh harga diri laki-laki.

Cerita tentang seorang perempuan kesepian terdapat pada cerpen “Lampu Taman”. Hara, nama perempuan kesepian itu, sejak lama telah memilih hidup sendiri. Yetti mencipta Hara sebagai perempuan yang haus akan kasih sayang seorang ayah, membutuhkan perlindungan dari seorang ayah, serta rindu kelakar dan canda tawa dari seorang ayah. Ayahnya telah meninggalkan ia dan ibunya sejak ia dilahirkan ke dunia, bahkan ayahnya hanya sempat membisikkan nama untuknya di telinga ibunya sebelum ia menghilang untuk selamanya. Ia dituduh PKI dan dimasukkan ke dalam tahanan. Namun kemudian dilepaskan berkat pertolongan seorang teman. Tapi ia tidak berani kembali dan memilih pergi ke Bengkulu, kemudian ke pulau Jawa. Ia lalu menikah lagi dengan perempuan Sunda dan memiliki seorang anak laki-laki lima tahun lebih muda dari Hara.

Hara terluka karena ayahnya tidak ada saat ia sangat membutuhkannya, di mana ia sudah tidak bisa lagi menangis bila berhadapan dengan anak-anak yang selalu mengejeknya anak PKI. Akhirnya Hara tumbuh menjadi perempuan yang begitu penakut sepanjang hidupnya. Ia merasa terancam setiap saat. Sementara sosok ibu terlihat tegar meskipun sebenarnya ia sangat terluka, sebab suaminya telah mengkhianatinya dengan menikahi wanita lain dan menyaksikan anaknya yang tumbuh dengan memendam perasaan rindu bersama ayah.

SHBdHM mengusung kehidupan perempuan dengan segala luka yang tak berkesudahan. Hal ini suatu kehidupan yang sebenarnya tidak mudah untuk diarungi. SHBdHM ini terlepas dari kehidupan kosmopolitan yang biasanya sangat mempengaruhi penulis perempuan saat ini. Yetti berusaha memotret masalah-masalah yang kerap terabaikan oleh hiruk-pikuk kehidupan kota. Perempuan-perempuan dalam kumpulan cerpen ini sesungguhnya merasa terikat oleh budaya patriarki, namun dengan segala kebebasan yang mereka miliki, mereka tetap memilih menjadi perempuan dalam lingkaran patriarki tersebut, meskipun dengan membawa luka yang tiada pernah usai. Luka bisa sembuh jika diobati, tapi tetap berbekas. Betapa jeleknya suatu bekas. Warna hitam, cokelat, atau kemerahan yang mengganggu. Umumnya perempuan benci bekas luka. Secara pasti dapat mengurangi kecantikan, membuat seseorang tidak percaya diri (SHBdHM, 2011:98).***

*) Staf peneliti pada Balai Bahasa Riau. Menulis esai dan cerpen di beberapa media. Tinggal di Pekanbaru.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/05/menguak-luka-dalam-satu-hari-bukan-di.html

Ketika Sebuah Konde Berkisah

Judul : Konde Penyair Han
Penulis : Hanna Fransisca
Penerbit : KataKita, Depok
Cetakan : 1, April 2010
Tebal : 141 halaman
Peresensi : Karkono S.S.,M.A
http://www.malang-post.com/

Jika kita jeli mencermati kehidupan, terlihat bagaimana kecanggihan teknologi berdampak luar biasa pada semua lini kehidupan. Berkat kecanggihan teknologi, dunia seakan dibuat bergejolak setiap saat. Televisi sebagai contoh sederhana. Dari televisi kita bisa melihat betapa penuh warnanya peristiwa yang terjadi di muka bumi.

Peristiwa yang mengharukan, menggelikan, menyenangkan, menyesakkan dada, sampai yang tidak dapat dipercaya oleh logika semua ada. Banyak peristiwa nyata yang lebih fiktif dari karya fiksi tersaji hampir setiap hari di televisi, peristiwa yang sejatinya luar biasa pada akhirnya menjadi biasa di telinga kita karena kelewat sering terdengar.

Kecanggihan kotak ajaib yang bernama televisi hanya salah satu contoh. Belum lagi kalau kita bicara tentang Hand Phone (HP) dan internet. Melalui piranti HP dan internet yang canggih, banyak kebutuhan hidup manusia tersaji dengan cepat, instan.

Dari fakta tersebut, barangkali akan muncul pertanyaan, “masih tersisakah tempat bagi karya fiksi di jaman sekarang ini?”Banyak orang akan merasa seakan tidak membutuhkan karya fiksi karena yang didengar dan dilihat setiap saat rasanya melebihi fiksi.

Namun, fenomena ini sesungguhnya tantangan tersendiri bagi para penulis karya fiksi di era sekarang. Ada celah lain yang luput ditangkap kecanggihan teknologi yang bisa dimanfaatkan para penulis fiksi. Banyak fakta yang terjadi yang justru sengaja ditutup-tutupi dengan alasan tertentu. Televisi dan media lain terkadang tak cukup lihai menyajikannya di hadapan masyarakat karena beragam kepentingan. Namun, dengan bingkai karya fiksi semua fakta itu bisa saja diungkap dengan leluasa, bahkan lebih jujur.

Salah satu genre karya fiksi adalah puisi. Dan, salah satu kumpulan puisi yang cukup merepresentasikan apa yang sudah diulas di atas adalah pada buku kumpulan puisi Konde Penyair Han (Selanjutnya disingkat KPH) karya Hanna Fransisca (selanjutnya disingkat HF).

Puisi tidak sekadar deretan kata indah atau ‘tidak biasa’ yang berisi curahan hati penulisnya. Melalui puisi, seseorang dapat menuangkan segala resah dan kritik terhadap fenomena yang dihadapi. Melalui KPH, HF mampu merekam segala resah dan ketidaknyamanannya terhadap fenomena kehidupan yang dilaluinya.

Membaca karya-karya HF, kita akan berjumpa dengan fakta-fakta mengejutkan yang barangkali selama ini setengah-setengah saja kita pahami karena bisa jadi media kurang tuntas membahasnya. Dalam titik ini, HF telah berhasil menjadikan puisi sebagai media ‘pemberontakannya’ pada keadaan.

Mampu mengungkap fakta-fakta yang selama ini dianggap tidak ada atau sengaja ditutup-tutupi. Bagaimana liku-liku kehidupannya saat di Singkawang, hingga ‘penderitaannya’ untuk bertahan di Jakarta. Dalam puisi ‘Di Sudut Bibirmu Ada Sebutir Nasi’, HF dengan leluasa bercerita bagaimana perasaannya menjadi kaum minoritas (etnis Tionghoa) di tengah samudera pribumi.

Ini terlihat dalam cuplikan berikut; Satu hal pasti: sejak disapa guru pribumi jadi noni, ia lantas berhenti membaca negeri. (Di bawah puisinya, HF memberi catatan bahwa noni adalah metafora untuk menyebut amoi/perempuan keturunan Tionghoa).
Jika dicermati dari sisi pilihan kata, secara umum kata-kata yang digunakan HF bisa dikatakan berhasil melintasi dua fase pembacaan sekaligus: hermeneutik dan heuristik. Tidak saja indah dan renyah dari rima dan rangkaian kata, tetapi juga terlihat betul bagaimana usaha HF untuk menyiratkan makna yang dalam.

Antara keindahan bahasa dan kedalaman makna berkolaborasi menciptakan sebuah totalitas yang patut diapresiasi. Sebagai contoh dalam puisi yang berjudul ‘Puisi Kupu Kupu’, HF mengawali pusinya seperti ini: Kau pastilah telah tahu, nafas kelabang biru/Merayap dengan kaki seribu, menyatakan rindu/dengan menghisap kekuatanmu. Racikan kata yang penuh metafor dan mempertimbangkan resonansi jika dibaca secara hermeneutik dan meskipun tidak sulit untuk membaca makna di balik kata-kata itu, tetapi kata-kata itu tetap memerlukan pembacaan secara heuristik untuk mendapatkan tafsiran makna yang tersirat.

Hanya, dalam beberapa puisi HF kurang konsisten dengan kepiawaiannya mengolah kata tersebut karena hasrat untuk menumpahkan realita kehidupannya terkadang melebihi kesadarannya untuk memilih kata-kata yang indah, renyah, dan bernas.

Ada juga sedikit hal yang layak dibicarakan, yang ini bisa saja merupakan sebuah kelebihan, tetapi juga bisa sebaliknya: kelemahan yang akan mengurangi kesakralan puisi-puisi tersebut. Dalam beberapa puisi, HF turut melampirkan kata-kata ‘pembantu’ di bawah judulnya. Misalnya, ada Abdurrahman Wahid di bawah pusi ‘Air Mata Tanah Air’, ‘Lilin Negeri, 2’, dan ‘Sang Naga’.

Di beberapa puisi lain, HF juga menyertakan kata-kata ‘pembantu’ tersebut. Barangkali, dengan kata-kata bantuan tersebut, sebagai pembaca kita akan mudah memahami arah pembicaraan puisi, tetapi hal ini bisa juga membatasi ruang gerak interpretasi kita.

Dalam catatan pengantarnya yang dia beri judul ‘Konde dan Rambut Saya yang Jelita’, HF memberi konfirmasi mengapa dia memakai kata konde(bisa diartikan juga sebagai sanggul) untuk memberi judul kumpulan puisi tersebut. Pada paragraf terakhir, HF menulis: Inilah Konde: metafora tentang benda sederhana yang selama ini mampu membuat rambut keindonesiaan kita yang indah permai ini tidak lepas tergerai dan terserai berai.

Sebuah pilihan metafora yang cerdas dan sepanjang pembacaan saya cukup orisinal. Dari konfirmasi ini, tentu kita tahu maksud HF memberi judul kumpulan puisinya KPH. Sebuah ketulusan untuk menciptakan Indonesia yang permai dan mengedepankan kebersamaan di tengah keberagaman.

Buku yang dikemas cukup elagan ini layak kita baca untuk memperkaya khasanah bacaan kita, terutama puisi. Dengan dominasi warna merah menyala, lampion, dan foto HF yang mengenakan busana bangsawan Dinasti Han di Cina, akan terlihat kekentalan warna Tionghoa, dan ini tentu memberi keunikan tersendiri.

Buku ini semakin lengkap karena ditutup dengan sebuah epilog yang ditulis oleh Sapardi Djoko Damono. Dengan kapasitas seorang Sapardi Djoko Damono yang tidak saja praktisi di bidang puisi, tetapi juga akademisi, akan memberikan wawasan kepada kita bagaimana Sapardi Djoko Damono melakukan pembacaan terhadap kumpulan puisi KPH ini. Wallahu’alam.

04 September 2010
*) Karkono S.S.,M.A, Dosen di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang (UM) dan Pengajar di LBB Neutron Yogyakarta Cabang Malang.

Peluncuran Buku antologi puisi Manusia Utama, karya Y.Thendra BP (Sebuah Alternatif)

Alvi Puspita
koran Haluan (Sumatera Barat), 19 Juni 2011

Senin malam (2/5), di sebuah warung sederhana, Warung Kopi Lidah Ibu Jl. Stm Pembangunan Gg. Surya No 9D. Mrican, Yogyakarta (Utara kampus Shanata Darma, depan STM Pembangunan), Y. Thendra BP atau yang diakrab dipanggil Thendra (Penyair Yogyakarta, asal Nagari Padang Sibusuk, Sumatera Barat) meluncurkan buku antologi puisinya yang kedua, Manusia Utama. Acara launching buku ini dibuka dengan pembacaan puisi Thendra, April, Haiku dan Chairil, oleh penyair perempuan Yogyakarta, Mutia Sukma. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh Thendra sendiri. Thendra memilih membacakan puisinya Manusia Utama dan atas permintaan Saut, ia juga membacakan puisi Meninggalkan Pulau Penyengat. Dengan petikan gitar berirama blues, baris pertama puisinya ia mulai, /Nagawan into, kenapa kita orang terusir dari kita punya/ gunung salju abadi/.

Setelah pembacaan puisi, acara dilanjutkan dengan diskusi. Sebagai pemantik diskusi pada malam itu adalah Saut Situmorang dan Alwi Atma Ardhana. Alwi lebih mengarah pada tema-tema puisi yang diangkat Thendra, yang cenderung ke arah kritik sosial. Sedang Saut masih tertarik membicarakan wacananya tentang politik sastra, bagaimana melawan hegemoni media massa atau kelompok tertentu yang dianggap semacam pembaptisan bagus atau tidaknya sebuah karya. Para undangan yang hadir dalam launching buku ini lumayan antusias menanggapi bukunya Thendra. Ada yang menanggapi soal pengaruh yang terdapat dalam puisi-puisi Thendra dengan mempertanyakan bagaimana keterpengaruhan seorang Saut Situmorang pada seorang Thendra dalam karya-karyanya. Penanggap yang lain ada yang lebih tertarik pada Indie Book Corner, penerbit buku Thendra. Sedang saya sendiri lebih tertarik untuk membahas buku puisi itu sendiri dan bagaimana ia diterbitkan.

Manusia Utama ini, hanya setebal 53 halaman berisi 43 puisi Thendra dari tahun 2006-2011. Buku yang tergolong tipis. Seperti yang dikatakan Alwi, ada kecendrungan pada Thendra untuk mengangkat masalah-masalah sosial. Saya sepakat dengan pendapat itu dan Thendra mengangkatnya dengan gayanya sendiri. Bukan dengan gaya Rendra atau pula Thukul. Tapi dengan gaya Thendra, yang menurut saya walau terasa ada gaya Chairilnya. Tapi ini tentu perlu pembuktian lebih lanjut dengan kajian yang lebih dalam dan ilmiah. Puisi-puisi yang mengarah ke masalah-masalah sosial itu diantaranya, Repromosi Sebuah Kota, Ngai Oi Ngi, Manusia Utama, Merak-Bakauheni, Manusia 10 Jam Sehari, Lintas Sumatera, Sepatu &; Tuhan Impor Buat Kaki Dunia Ketiga, Urban, Disebabkan Humor, Braga, Manusia Berjalan, Burung Kecil, Melintasi Negeri Malam, Kuda Arwah di Jalan Lintas Sumatera, Taman Bermain. Di tengah banyak puisi penyair muda yang syahdu basah pada saat ini, kehadiran puisi Thendra dengan tema-tema yang ia angkat tentu menjadi tawaran bacaan tersendiri.

Seperti yang disinggung di atas, yang menarik bagi saya dari peluncuran buku ini adalah mengenai isi buku dan pilihan alternatif dalam menerbitkan buku. Pertanyaan yang sempat ditanyakan kepada Thendra adalah mengapa memilih Indie Book Corner dan apa harapan dari peluncuran buku ini (dari segi isi dan cara menerbitkan). Dan Thendra menjawab :

1. Indie Book Corner (IBC) merupakan penerbit yang digerakkan anak muda (Irwan Bajang dan Anindra Saraswati) yang peduli pada perbukuan. Secara kualitas, buku yang mereka hasilkan mampu bersaing dengan penerbit besar, cover, penyuntingan, lay-out, dan juga kertas bookpaper yang selama ini dimonopoli oleh penerbit besar, dengan biaya terbilang murah yang ditanggung penulis.

Kemudian, sistem yang mereka tawarkan tidak mengeksploitasi penulis dimana buku yang telah diterbitkan bisa didistrubisikan langsung oleh penulis dan bisa juga dibantu mereka. Dengan kata lain, saya terbitkan buku saya kepada IBC dan saya memiliki hak penuh terhadap buku saya itu.

2. Peluncurun buku puisi “Manusia Utama” ini merupakan alternatif bagi saya dalam berkarya dan mempublikasikan karya saya. Jalur “umum” selama ini lebih banyak merugikan penulis. Saya pernah mengalami buku kumpulan puisi pertama saya “Tuhan, telpon aku dong” (2004), betapa tidak beresnya dunia perbukuan di tanah air. Royalti cuma 10 % dan laporannya sekali 6 bulan, itupun susah, dan saya seperti mengemis. Padahal buku puisi saya itu sempat cetak ulang 2000 eksemplar. Ada jalur setan antara penerbit, distributor dan toko buku, yang menyesatkan penulis. Inilah yang saya sebut sebagai eksploitasi terhadap penulis. Penulis cukup menulis, hasilnya biarlah dinikmati oleh jalur setan itu (Penerbit, Distributor, dan Toko Buku). Hal ini tidak saya saja mengalami, penulis lain pun mengalaminya.

Dan saya pikir dari peluncuran buku Manusia Utama ini, ada banyak hal yang bisa kita perbincangkan dalam bahasan selanjutnya. Tentang karya-karya itu sendiri atau alternatif-alternatif tertentu di tengah arus dahsyat dalam dunia sastra pada saat ini (ideologi pengarang, dominasi penerbit, dll). Semoga.

Sabtu, 18 Juni 2011

Puisi, Bukan Sekadar Merangkai Kata

Soni Farid Maulana
http://www.pikiran-rakyat.com/

DALAM sebuah kesempatan di Leiden, pada tahun 1999 lalu seusai mengikuti Festival de Winternachten di Den Haag, Belanda, penyair kenamaan asal Belanda, Remco Campert mengatakan, bahwa menulis puisi bukan sekadar merangkai kata. Di dalamnya ada sejumlah pengalaman yang diekspresikan. Dalam kaitan itu seorang penyair harus memberikan perhatian dengan serius pada bagaimana ia membangun makna dalam larik demi larik puisi yang ditulisnya.

Makna yang dimaksud tidak hanya dalam konteks mencipta simbol atau metafora, tetapi juga dalam hal menulis kalimat, yang rangkaian larik demi lariknya ketika dihimpun memperlihatkan keutuhan logika, sehingga makna yang muncul bisa ditangkap oleh pembaca tanpa mengalami hambatan apa pun. Ini artinya pada sisi yang lain, puisi tersebut berhasil membangun daya komunikasinya sendiri.

Sebagai penyair yang cukup terpandang di Belanda, Remco berteman baik dengan Rendra, penyair kenamaan dari Indonesia. Apa yang dikatakan Remco benar adanya, karena itu menulis puisi jelas tidak gampang. Dalam konteks yang demikian ketika seseorang ingin menulis puisi, ia tidak hanya wajib mengetahui apa dan bagaimana bentuk-bentuk pengucapan puisi, tetapi juga wajib mengetahui apa dan bagaimana metafora atau simbol itu beroperasi dalam sebuah teks puisi yang ditulisnya.

Berkait dengan persoalan di atas, laman Mata Kata kali ini menampilkan sejumlah puisi yang ditulis oleh Ardi Mulyana Haryadi (Garut), Iis Sumiati (Bandung) dan Fahmi Nur Almustaqim (Bandung). Dari sejumlah puisi yang dikirim Ardi, redaksi memilih satu puisi yang diberi judul Perahu Kayu. Puisi ini relatif baik dibandingkan dengan sejumlah lainnya, walau menimbulkan pertanyaan yang cukup mendasar, bertitik pangkal pada pilihan diksi sebuah kayu yang diungkapnya pada larik pertama. Pertanyaannya adalah sebuah kayu seperti apa yang bisa jadi perahu sebagaimana digambarkan pada larik ketiga? Sementara itu dalam sejumlah puisi yang ditulis oleh Iis Sumiati maupun Fahmi relative beresih dari persoalan logika dibanding dengan apa yang ditulis oleh Ardi.

Lepas dari semua itu, ketiga penyair tersebut di atas mempunyai bakat yang kuat untuk jadi penyair, dengan catatan, menulis puisi harus terus didalami dengan menambah pengetahuan pada bentuk-bentuk penulisan puisi maupun dalam hal memperkaya diri sendiri dengan berbagai ilmu pengetahuan. Itu tidak hanya dari ranah filsafat, politik, dan ekonomi, tetapi juga dari ranah budaya, termasuk di dalamnya dari berbagai ranah seni tradisonal.

Apa sebab? Karena menulis puisi pada akhirnya bukan hanya persoalan hati belaka, di dalamnya ada persoalan intelektual. Rendra menyebutnya, hati dan pikiran harus menyatu. Sehubungan dengan itu, sekali lagi, menulis puisi bukan berdasar pada daya khayal, tetapi berdasar pada pengalaman batin, yang diolah dan ditulis ulang dalam bentuknya yang baru, yang disebut dengan dunia rekaan itu. (Soni Farid Maulana/”PRLM”)

Sajak-sajak Ardi Mulyana Haryadi
Perahu Kayu

Ini ada titipan sebuah kayu
Dari cinta kasih orang tuaku
Katanya, “berlayarlah nak, samudra ganas itu temanmu”
Aku tak mengerti apa artinya itu

Seakan dunia ini padam
Tapi sauh yang kutemu itu pas
Ya, sangatlah pas

Dan, layar yang terbuat dari sebuah sajak pun terkembang sudah
Perahu kayuku itu sudah jadi
Tinggal mencari jati diri, di lautan

Garut, 2011

ARDI MULYANA HARDI, lahir di Serang, 13 November 1987. Saat ini yinggal di Kp. Pasar 03/04 Ds. Wanamekar Kec. Wanaraja Kab. Kab. Garut 44183. Pendidikan Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Linguistik UPI Bandung. ratusan puisinya tersimpan rapi di dalam blognya ardimulyana87.blogspot.com baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa Sunda, dan bahasa Inggris. Kumpulan karyanya dikemas dalam bentuk buku elektronik yaitu Menulis di Atas Badai (evolitera. 2010), Ketika Guru Menggugat (evolitera, 2010), Diudak Kinasih kumpulan sajak Sunda (evolitera, 2011). Dan saat ini sedang melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia pada Program Studi Linguistik.



Sajak-sajak Iis Sumiati
Kepadamu Ibu

Arus sembahyangku mengalir ke dalam hati
Ibu, menanamkan akar-akar kasih yang patah
Dalam derita rindu anaknya
Mungkin tak akan kurangkul sebuah doa
Jika harum cintamu tak singgah di antara tangisku

Ibu, apakah sajadah sucimu berisikan air mata
Sebab kulihat awan mengiringi suara hembusan
Kasih sayangmu yang kian hambur

Aku membuat ranjang-ranjang cinta untukmu
Walau raut wajahmu mencairkan matahari
Tapi aku akan mengantarkan sekeping rembulan
Pada malam tahajudmu

Ibu,,apakah aku masih belahan jiwamu
Atau,
Hanya serpihan debu jejak usiamu


Tangisan di Akhir Cerita

Awalku adalah senyuman
Tersungging manis tak bertepi
Seakan menceritakan semua yang terjadi
Tentang kisahku bersama malaikatku

Senyumku menembus segala ruang
Menyelinap di kalbu
Tapi sekarang menggores luka
Karna dia
Yang kucinta telah berbuat dusta

Ruangku adalah hidupku
Sekarang tak ada mimpi indah lagi
Kini hanya hati yang lelah
Dan hati yang menangis
Di akhir cerita.


Akhir Perjalanan

Tertidur aku dalam perjalanan hidupku
Beralaskan tanah
Diselimuti udara dingin
Hembusan nafas telah terhenti
Di bawah nisan

Balutan kafan membungkus tubuhku
Dihiasi binatang-binatang
Yang ikut membungkus tubuhku

Terpenjara aku dalam kubur
Tanpa suara
Membuat suasana menjadi hening

Ruang gelap tanpa cahaya
Di sinilah sekarang aku berada
Dalam kubur ranpa suara..

===========
Iis Sumiati lahir di Bandung pada 15 Januari 1992. Agama Islam. Alamat surat chamyeljamyel@yahoo.com



Sajak-sajak Fahmi Nur Almustaqim
Pasar Malam

Bising mendengar manusia berbicara satu sama lain
Diiringi gemuruh suara motor yang berknalpot rombeng,
Di dalam tong-tong sampah menurut orang kota

Deru mesin menari, mengalun, mengitari arena komidi putar
Kios baju, kios mainan, warung makan, pencopet,
dan para penjaga karcis ikut berjoged
Terbawa dendangan irama musik dari para pedagang CD bajakan

Malam ini semuanya menjaga mata
Tak kan berkedip sampai pagi hari
Karena esokhari para penari, manusia pecinta malam akan pergi
Untuk mencari lagi ladang yang sepi, untuk sesuap nasi


Syair untuk Sha

Sha, langit kini biru bersih dari dosa
Sungai mengarak sampai kekota berlumpur duka
Riskan jika kau pergi tanpa ada cerita
Ingin kau terdiam, terlelap penuh cinta dan makna

Sha, tangisanku bukan air mata buaya
Ini hati yang lirih, karma clausa tertawa
Bukan karenamu mendung pagi jadi derita
Tak tahan hati dikutuk menjadi manusia nista

Sha, sungguh aku rindu
Semua tentang dirimu yang kemayu
Tak tega jika dirimu pilu
Terkantuk karna semua hal yang ambigu

Sha, kau tesenyum aku ibarat kutu
Kutu yang bahagia lalu tertimpa batu
Sedih hati bila dirimu membisu
Terdiam seraya hadir dalam pikiranku.

======================
Fahmi Nur Almustaqim mahasiswa STSI Bandung Jurusan Teater. anggota Forum Pemahaman Nilai Islam.*

Kamis, 16 Juni 2011

Nyanyian Persembahan Malaikat Ruhaniyyun

Judul : Kitab Para Malaikat
Penulis : Nurel javissyarqi
Penerbit : PUstaka puJAngga Lamongan
Cetakan : I, Desember 2007
Tebal : ix + 130 halaman
Peresensi : Liza Wahyuninto*)
http://www.sastra-indonesia.com/

Malaikat Jibril as. mempunyai seribu enam ratus sayap, mulai dari kepala sampai kedua telapak kakinya terbalut bulu-bulu zafaron. Matahari seolah berada di antara kedua matanya. Di atas setiap bulu-bulunya seperti rembulan dan gumintang. Setiap hari ia masuk ke dalam lautan cahaya tiga ratus tujuh puluh kali, tatkala keluar dari lautan tersebut, meneteslah dari setiap sayap sejuta tetes cahaya, dan Allah menjadikan dari setiap tetes cahaya tersebut ujud Jibril as, mereka semua bertasbih kepada-Nya sampai hari kiamat, nama mereka malaikat ruhaniyyun. (Daqoiqul Akbar, Imam Abdurrohim bin Ahmad Qodhi).

Makna yang tertuang dalam kitab Daqoiqul Akbar inilah yang ditelanjangi oleh Nurel Javissyarqi melalui antologi puisinya Kitab Para Malaikat. Nurel seolah ingin menunjukkan bagaimana para malaikat yang dalam bahasanya di beri nama malaikat ruhaniyyun, melakukan ritual penyembahan kepada tuhannya. Peristiwa inilah yang dikagumi oleh Nurel, dan memaksa dirinya - sebagai seorang sastrawan – untuk melukiskan peristiwa tersebut. Hal semacam ini pulalah yang memaksa Maulana Jalaluddin Rumi untuk mulai menulis masterpiece nya, Matsnawi fi Ma’nawi.

Perbedaan mendasar antara Nurel dan Rumi terletak pada penggalian ide. Nurel lebih mengedepankan imaji dan pikiran liarnya, sehingga tidak jarang kata-katanya melampaui alam bawah sadarnya. Bahkan Maman S. Mahayana dalam pengantarnya menggambarkan syair-syair Nurel sebagai perpaduan antara hamparan semangat yang menggelegak dan imajinasi tanpa batas. Sedangkan Rumi, ia berpuisi dengan jiwanya. Sehingga tidak jarang dalam sejumlah ghazal nya ditemukan larik-larik yang menyentuh hati pembacanya, karena dari setiap ghazal yang ditulis oleh Rumi adalah hasil perpaduan antara kenyataan dan harapan.

Akan tetapi dalam antologi puisi Kitab Para Malaikat ini Nurel sepertinya ingin merayakan kebebasan berpikir. Sebagaimana yang telah dimulai oleh tokoh-tokoh besar yang hidup jauh sebelumnya. Tokoh-tokoh yang mengusung kebebasan berpikir tersebut di antaranya, Socrates, Rene Descartes, Derrida, Ibn Sina, Muhammad Iqbal, Syekh Siti Jenar, Hamzah Fansuri dan lain-lain. Merekalah pula lah yang dicirikan Nurel sebagai pedoman dalam merayakan kebebasan berpikirnya. Ini dapat dilihat dari salah satu larik puisinya, Marilah hadir bersama keindahan, membimbing kesadaran alam terdalam/ sia-sia dipenuhi hikmah, malapetaka jikalau ajaran berharga dibuat bangga (I: LX).

Dalam pengantarnya Maman S. Mahayanan juga menyatakan bahwa perbedaan antara Nurel dan Sutardji Calzoum Bachri yaitu, Sutardji mengusung penghancurkan konvensi dan menawarkan estetika mantra. Dan dengan Afrizal Malna yang mengusung keterpecahan, fragmen-fragmen, dan semangat menawarkan inkoherensi. Nurel Javissyarqi lebih menyerupai bentuk ekspresi atas hamparan semangat yang menggelegak. Ia seperti telah sekian lama lama menyimpan sejumlah kegelisahan dan gagal menjumpai katup pembukanya. maka, yang muncul kemudian adalah penghancuran struktur kalimat, pemorakporandaan imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan, berantakan dalam gerakan dewa mabuk”.

Kitab Para Malaikat pun demikian, penghancuran struktur kalimat, pemorakporandaan imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan masih kental terasa. seperti tertuang dalam satu larik, Kelopak melati menebarkan untaian makna memecah ketinggian hening/menuruni nasib, burung-burung ngelayap sayapnya disedot rebana cinta (XVI:XCI, hal. 97). Jika melihat dari sini, Nurel tak ubahnya sebagaimana Kahlil Gibran. Kahlil Gibran pun dikenal sebagai tokoh pengusung kebebasan berpikir, hingga tidak jarang dalam karya-karya terbaiknya pun ditemui pemorakporandaan imaji-imaji.

Akan tetapi, baik Nurel maupun Kahlil Gibran, keduanya melakukan hal tersebut semata-mata untuk menemukan keindahan bunyi dan pencitraan yang tinggi. Tidak salah pada zamannya hingga hari inipun Kahlil Gibran masih banyak pemuja syair-syair liarnya. Hal ini dikarenakan yang pertama kali diresapi oleh pembaca bukan makna, akan tetapi keindahan bunyi lirik. Dan Nurel sangat paham akan hal ini dan memanfaatkan kelebihannya dalam permainan diksi. Sangat wajar jika antologi ini dikarang dalam kurun waktu 9 tahun, yaitu dari rentang tahun 1998-1999 sampai tahun 2007, karena Nurel ingin antologinya ini sempurna baik dari sisi keindahan bunyi maupun makna yang terkandung.

Kurun waktu 9 tahun merupakan waktu yang lama untuk penulisan sebuah antologi puisi. Sangat dimungkinkan jika nantinya Kitab Para Malaikat ini akan menjadi sebuah kitab suci para penyair pada zaman sekarang. Tapi, untuk menuju ke sana, antologi puisi ini perlu diuji ketahanannya lewat para kritikus sastra lainnya. Uji ketahanan memang belum semarak dilakukan dalam sastra Indonesia, wajar jika minim ditemukan kritikus sastra di Indonesia. Melalui Kitab Para Malaikat ini, sangat diharapkan akan bermunculan kritikus sastra yang berada pada posisi yang semestinya yaitu mengawal lajunya pertumbuhan sastra di Indonesia.

Sisi lain yang terasa janggal dalam antologi puisi ini yaitu adanya kesan memanjang-manjangkan kalimat. Ini juga diungkapkan oleh Heri Lamongan dalam epilognya dalam antologi ini. Menurutnya, ada kesan Nurel memanjang-manjangkan kalimat padahal hal itu justru mengaburkan makna larik. Dan hal itu hampir ditemukan pada hampir keseluruhan lirik dalam antologi puisi ini. Heri Lamongan menyitir salah satu lirik tersebut adalah, Yang setia menyusuri jalan menapaki pantai hakikat, segera tahu bunga wijayakusumah merekah bagi syarat penobatan Ratu Adil (XVIII, hal. 126). Jelas ini agak janggal dan mengurangi nilai keindahan bunyi maupun lirik dalam lirik tersebut. Padahal menurut Emha Ainun Nadjib, puisi tertinggi adalah yang kata-katanya sudah tak mampu mewakili inti nilainya.

Namun, terlepas dari semua itu, Kitab Para Malaikat ini sebenarnya telah mampu memuntahkan apa yang hendak diamanatkan Nurel Javissyarqi. tugas pembacalah membedah makna yang tersirat dari apa yang tersurat. Buah 9 tahun melakukan pertapaan, meskipun masih terkesan terburu-buru perlu untuk diapresiasi bahwa antologi puisi ini merupakan masterpiece Nurel sejauh ini. Sebagaimana tersohornya Mantiq at-Thayr buah karya Fariduddin Atthar ataupun Matsnawi fi Ma’nawi buah karya Rumi, Kitab Para Malaikat pun dapat bersaing dengan keduanya. Tinggal bagaimana cara Nurel menyikapi pembaca dan para kritkikus sastra yang memberikan kritik dan saran dalam karyanya.

*) Liza Wahyuninto, Kritikus Sastra dan Direktur Pusat Pengkajian Jalaluddin Rumi Kota Malang.

BERKESENIAN HANYA DENGAN KATA-KATA

Muhammad Rain *
http://sastra-indonesia.com/

Kurun waktu kini, banyak hal yang menggelisahkan kehidupan kita, harga cabai, sesaknya antrian BBM subsidi, ketakutan ledakan kompor gas, kegelisahan yang kadang tanpa kita sadari seperti api dalam sekam. Saat seperti ini puisi lahir sebagai salah satu alat, kreasi dan cara berkesenian yang hanya mengandalkan kata-kata. Menarik memang menanggapi banyak soal yang muncul justru hanya lewat kata-kata. Peristiwa sehari-haripun tak luput dicerita-kisahkan dalam karya sastra jenis ini.

Bagaimana sikap kita ketika sastra puisi menjadi biasa dan kehilangan tenaga batinnya? Selaku salah satu pencinta sastra jenis ini, kita patut mengantungi kiat tentang kritik tajam bahwa dunia puisi hanya bakal jadi dunia penuh hayal, dunia yang kering dan jauh dari kenyataan. Wajar sekali sikap seperti ini muncul, tak perlu gelisah dan mencari-cari siapa salah. Di dalam bidang sastra, kritik sastra justru bertujuan mempertinggi nilai intrinsik karya puisi, ia mengkritisi sisi tema agar lebih menyegarkan mata batin pembaca puisi(nya), ia mengkritisi diksi(gaya bahasa) agar menempatkan makna baru dalam repetisi rutin pemunculan diksi sama, atau bahkan mengarahkan para penulis puisi agar mau membuka kreasi mencipta kata (diksi) baru. Sudah tentu, masing-masing cabang/bidang sastra itu sendiri memiliki potensi positif untuk membangun dunia seni sastra yang menjadi konsentrasi pekarya, pengkritik, esais dan bahkan apresiasi luas terhadap sejudul puisi sekalipun.

Keutamaan dalam berpuisi lahir pula dari kebijaksanaan dalam memandang kehidupan. Menitipkan bekal untuk masa depan maupun merefleksikan jauh sudah perjalanan hidup yang tercapaikan. Apa yang kita kenali dengan rasa syukur terhadap nikmat diberi hidup baik fisik maupun batin. Ternyata kita tak bisa melepaskan mimpi-mimpi kita dan bahkan banyak orang malah menjadikan mimpinya sebagai tujuan di dalam menjalani rutinitasnya sebagai manusia. Ketika orang berhenti mengajarkan dirinya dengan berefleksi misalkan lewat seni puisi, atau bernyanyi misalkan di seni musik, saat itu mereka merasa dirinya hidup tak lagi sempurna, merasa bahagia tak lagi sepenuhnya.

Kenihilan dalam karya seni sering sekali terjadi pada sikap manusia kamar, manusia pabrik, manusia perintah, manusia tukang gerak dengan mengandalkan rutinitas sebagai satu-satunya cara menikmati hidup mereka. Kebutuhan lahir banyak sekali terhidang di dalam jagat dunia kita, namun kebutuhan akan terpenuhinya kepuasan batin, jiwa, rasa perasaan, hilangnya kegelisahan, tercapainya rasa syukur ada juga tersedia meski tak sebanyak ragamnya pelayanan kebutuhan fisik itu antaranya adalah dengan adanya agama, tempat manusia membaktikan iktikad ruhnya dalam mencapai keridhaan Tuhan, negara, tempat manusia membaktikan perjuangan demi arti tugas dan tanggung jawabnya, seni, sebagai kantung-kantung penuh ragam demi mencurahkan segala cipta-rasa-karsa kreasi dalam pencapaian keindahan bahkan kebahagiaan, budaya, sebagai sikap patuh dan taat terhadap ketentuan bersama yang sama-sama digugu, diacu dan dibiasakan serta hal-hal lain yang menggerakkan mata batin juga nurani manusia agar terus dapat tumbuh seiring berkembangnya jaman.

Seni kata-kata yang menjadi modal utama mencapai keutamaan karya sastra puisi selanjutnya memerlukan pengarahan secara konvensional belaka. Paling tidak bahasa kata-kata itu harus komunikatif, mampu mensugesti sehingga bisa/dapat mengalirkan kesan-kesan tertentu dari apa yang dirasakan penulis puisi kepada pembacanya, mampu membuka corong sikap yang nonformalis yakni tidak ada pemaksaan kata-kata, mampu mencapai kodrat bahasa itu sendiri. Apakah kesulitan yang dialami penulis puisi dapat diatasi secara sederhana tanpa perlu mereka (para kreator kata-kata puisi) dicubit pipi oleh para kritikus sastra? Dan bagaimanakah kehendak kata-kata itu sendiri dalam melahirkan, menjadi induk penciptaan sastra puisi, pentingkah membela kata-kata itu meski padahal ia benda mati, benda sifat, benda huruf, benda dialektik, benda kontroversi?. Bahasa pada dasarnya datang seiring datangnya manusia ke dunia. Begitu ia lahir manusia ada, begitu seorang bayi manusia nongol ke dunia ia sudah dilengkapi sensor berbahasa. Dalam sejarah bahasa justru bahasa lahir sebagai pembeda antara kita (manusia) dengan makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Tanggung jawab mempergunakan juga mempermainkan bahasa (kata-kata) dalam kehidupan seperti melalui puisi menurut prinsip Islam sangat penting. Kita bisa cermati dari salah satu hadist nabi yang mengintruksikan bahwa jangan berkata “ahh!” pada ibumu, sebab itu adalah durhaka. Sumpah palsu juga sangat berbahaya, fitnah dapat mendatangkan malapetaka dan segala undang-undang ciptaan penguasa yang justru membunuh masyarakat negerinya dari kata merdeka, itupun sangat meresahkan dan membuat bahasa (kata-kata) menjadi menakutkan, tak lagi dapat mendatangkan kebahagiaan, kesejahteraan dan ketentraman jiwa.

Politisisasi bahasa pernah terjadi di negeri ini, dulu ada Manikebu, ada Lekra ada tuntutan potitisasi bahasa. Dalam ranah jurnalistik terdapat pula cengraman kata-kata lewat dibradelnya penerbit Tempo, demi atas nama kekuasaan Orba. Di masa reformasi saat ini masihkah kita temui kejanggalan dalam terbinanya kebijakan berbahasa kita? Sisi lemahnya sikap penghargaan terhadap kesejatian manusia yang sedari sononya sudah punya bahasa, penting sekali disikapi bijaksana. Padahal tidak setiap makhluk hidup memiliki anugerah seni berbahasa. Tulisan-tulisan bertebar di mulut dan kedalaman gua. Granit di Mesir, tulisan Jawa Kuna di candi-candi di pulau Jawa, kitab-kitab sejarah yang ditemukan dalam rentang jarak dan waktu tak henti, dan maha luasnya penempaan bahasa manusia sejak abad-abad lampau itu, tak lain ingin mengabarkan kepada kita makhluk manusia millenia, peliharalah kata (bahasa) itu, kabarkan yang baik-baik, nyatakan/kisahkan prahara, amarah sebijaknya. Mengutip apa yang disampaikan HB. Jassin bahwa jikapun penulis sastra hendak menceritakan emosi, ketegangan moral dalam karyanya maka sampaikan/tuliskan tanpa embel-embel emosi pribadi penulisnya.

Berkarya seni dengan hanya mengandalkan kata-kata akan dapat mencapai keutamaannya jika disikapi secara tepat. Unsur-unsur yang membidani kesenian berkata-kata seharusnya mendapat tempat. Kebablasan dalam berkesenian ini semestinya dapat sama-sama kita hindarkan. Sejak bahasa Melayu menjadi Lingua Franca di wilayah pesisir Asia Tenggara, konsep Melayu sebagai bahasa santun mencapai kejayaannya pada masa-masa kesusastraan lama. Di masa kini orang masih suka berpantun, para politikus pun masih mengandalkan kesantunan bahasanya meski sarat tujuan dan berpijalin dengan kehendak kekuasaan. Bahasa Indonesia yang punya akar dari bahasa Melayu tak pelak masih mencirikan ke-Melayu-an ini, kendati sikap Charil Anwar dalam berbagai karya sajak/puisinya mengemukakan perlawanan terhadap pola ucap, tenaga kata dan mungkin baginya Melayu sudah harus diperbaharui, namun keindahan, keselarasan bunyi ke-Melayu-an itu sesungguhnya terus saja membayangi puisi-puisi sastrawan, penyair, novelis Indonesia, sadar atau tidak sadar.

Sikap orang yang dewasa turut terlihat lewat bahasanya. Tulisan-tulisan yang bersebaran di serata media cetak, seperti majalah dan surat kabar sejatinya ingin memelihara karya seni sastra puisi itu. Fungsi bahasa sebagai alat ucap jamannya tentu mendatangkan tidak hanya manfaat namun juga muslihat. Kendaraan kata-kata demi tercapainya ketinggian mutu karya sastra puisi selalu diusahakan semakin maksimal, karena seni memang mengejar kepuasan dengan bermodalkan ketidakpuasan. Sebab ketika penyair, penulis puisi merasa sudah cukup puas, maka kata-kata akan berhenti dan menuju kejumpuannya, kejenuhannya yang tak lagi memurnikan sikap dini dalam menyikapi persoalan manusia yang justru tak ada habisnya. Nasib seni sastra puisi bisa menjadi lemah dan bersiap-siap hanya ditulis oleh dinding-dinding gua, seni puisi mati dan tamat.

Kata-kata terkadang datang bagai badai masuk menyelimuti kepala manusia jika yang ia tawarkan adalah kesesatan, prinsip hidup yang bimbang, kenyataan yang tak mampu ditafsir lewat jiwa apalagi akal manusia yang nyata-nyatanya terbatas. Hadirnya terjemahan-terjemahan dalam menyingkapi keadaan/peristiwa besar bahkan menjadi sejarah sebagai catatan ikhtibar. Dalam puisi sebagai salah satu cabang seni terasa sekali kemajemukan itu dapat terjadi. Riwayat yang terwarta bahkan dalam dunia imajinasi dapat ditoreh penulis puisi lewat kata-katanya dengan membingkiskan kata sebaik-baiknya, seindah-indahnya. Sikap dan sifat manusia pada dasarnya mencintai keindahan, sebab sebagai hasil ciptaan Tuhan yang mahasempurna lagi mahamengetahui faedah adanya jagat raya, seni dan etika , seni dan moralitas, seni dan agama, seni dan kebudayaan pada ajjalinya menjadi rapal hafalan bahwa manusia itu pencinta keindahan, tercipta indah dan menjadi rahmatan lil’alamin justru ketika bahasa (kata-kata) yang ia toreh lewat karya puisinya menjurus ke ranah ini, ranah indah yang memanusiakan manusia sepantasnya.

Semoga. Salam sastra dan budaya, tetap eling dan jangan bangga dengan sikap edan.

*) Muhammad Rain adalah seorang penulis, pemerhati puisi, pencinta manusia dan banyak menulis hal-hal sederhana di dunia maya (Facebook dan Blog juga Web Sastra).

Syarah Kitab Para Malaikat

Untuk Sebuah nama: Sonia Scientia Sacra
Robin Al Kautsar
http://sastra-indonesia.com/

I
Penyair memberi judul sebuah puisinya (antologi puisi?) dengan memunggah kata Kitab. Salah satu kata yang memiliki bentangan makna yang cukup lebar. Kitab bernuansa sebagai kitab suci, kitab keagamaan, kitab wejangan / pedoman hidup yang harus disikapi takzim (walau belum pernah membacanya sekalipun) karena isinya menunjukkan kesucian dan kebesaran yang harus diperjuangkan dan kita tuju. Sementara di sisi lain ada sebuah kitab yang tidak kalah serius, seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), namun sering dicibir orang dengan “Kasih Uang Habis Perkara.”

Judul Kitab Para Malaikat sering menggoda saya untuk menghubungkan dengan Al-Kitab Perjanjian Lama yang di dalamnya memuat judul-judul: Kitab Hakim-Hakim, Kitab Para Raja, Kitab Para Pengkhotbah. Tetapi tidak sampai di situ, Kitab Para Malaikat juga memiliki bagian yang bernama Surat Kepada Gerilyawan yang ditulis oleh orang lain, sama seperti Al-Kitab Perjanjian baru yang memiliki bagian yang bernama Surat Paulus kepada Jemaat di Roma, Surat Paulus kepada Jemaat di Galatia, Surat Paulus kepada jemaat di Efesus dan lain-lain yang juga ditulis orang lain (Paulus).

Judul itu juga mengingatkan saya pada masterpiece Iqbal yang berjudul Javid Nama (Kitab Keabadian) yang mendeskripsikan semacam mikrajnya Penyair Iqbal ke dunia lain dengan dibimbing oleh Mursyid Jalaluddin Rumi.

Apakah kemiripan judul dengan dua kitab tersebut Kitab Para Malaikat ingin menjadi “sastra serius,” “sastra profetik” atau “sastra sufi” yang berpretensi menyodorkan “posisi yang tegas” yang setelah menegasikan kebobrokan manusia kemudian menunjukkan jalan kebenaran atau paling tidak sesuatu yang paling penting secara moral kepada masyarakat luas? Mari kita kaji Kitab ini bersama-sama.

Di depan pintu kitab ini saya diminta untuk percaya bahwa kitab ini merupakan kumpulan puisi (antologi puisi). Tetapi setelah melongok kitab ini sekilas yang penuh dengan panorama judul dan bait puisi secara masif, saya memutuskan untuk menyikapinya sebagai satu puisi panjang, dan bukan antologi puisi, sebagaimana Al- Kitab, Javid Nama serta serat-serat dalam sastra Jawa. Walaupun sayang penomoran dengan angka romawi sangat mengganggu penikmatan saya. Penomoran tersebut walaupun tampak seperti epigon dari kitab suci, justru sangat mengotori layar kesadaran pembaca.

Di depan pintu kitab ini saya sangat bertanya-tanya dengan nama-nama besar filsuf, matematikus, ahli bahasa, kritikus sastra, sufi serta penyair, yang anehnya terakhir justru bukan nama orang, tapi nama sebuah isme. Apakah maksudnya ini? Apakah penyair tidak nyaman hanya sebagai penyair, sehingga harus memperluas identitasnya (kebanyakan mereka ahli fikir)? Atau sekedar kegenitan belaka bahwa penyair sangat onsesif untuk punya nama besar? Sebenarnya saya malu mempertanyakan ini. Tapi saya kira ini penting karena jerawat runyam itu terpampang mencolok di pusat wajah. Maafkan saya.

II
Sebagai sebuah kitab mula-mula terbayang bahwa kitab ini akan berisi gambaran zaman terbaru dari makluk terkutuk (Iblis, Kafir, Musyrik, Kapitalis, Nihilis, Liberalis, Hedonis) di satu sisi dan makluk beriman (pengusung wahyu yang kini tidak begitu laku) di sisi lain, yang saling berhadap-hadapan (walaupun tidak mungkin hitam putih), dan Tuhan menguji masing-masing mereka dalam situasi yang berbeda secara saingnifikan dengan masa yang sudah-susah. Tetapi perkiraan saya meleset. Saya tidak menemukan percikan api dari dua benda tajam yang berbenturan. Tidak. Justru penyair terlalu banyak bernyanyi tentang masa lampau dunia pesantren sorogan yang serba koheren, dengan idiom-idiom alam, sedang kita hidup di alam mikroelektronik-digital yang merayakan paradox dan dibayang-bayangi pemanasan global. Bahkan penyair sebenarnya lebih banyak menggumam dan menghindari pernyataan-pernyataan yang tegas-menyodok. Jadi saya tidak melihat sikap baru sebagai hasil dari penyingkapan baru. Perjalanan sang penyair yang diawali dengan bertengger di atas sayap malaikat tidak jelas mau ke masa depan yang mana, mau membawakan misi apa? Dan sayangnya perjalanan yang “menggetarkan” ini tidak didahului oleh doa yang syahdu ke hadirat Tuhan, kecuali sekadar sholawat pendek yang bernuansa agak menjaga jarak dengan Tuhan. Saya dari bawah kibasan sayap malaikat tidak bisa melihat “perbekalan unik” dan “senjata canggih” yang dibawa oleh sang penyair, kecuali butir-butir warisan sufi lama yang agak kusam.

Maafkan saya. Saya ingin melihat pergulatan sufi zaman ini, di mana kemiskinan dapat merontokkan mental masyarakat, termasuk kemiskinan para ulama dan pejabat. Saya harap bait ini bukanlah magnum opus sang penyair dalam menatap masa depan:

Sengaja mengunjungi masa silam
Puja keagungan di tengah pencarian kesejatian


Membasuh kaki-kaki kembara ke makam para wali



III
Di mata saya Nurel adalah calon penyair profetik atau sufi (santai saja, jangan dibaca terlalu serius) yang dapat kita harapkan di masa depan, karena energi juang yang dimilikinya sudah cukup terkenal dan dia juga adalah sosok “penyair pejalan jauh” yang punya nafas panjang dan istiqomah. Saya yakin karyanya yang akan datang benar-benar merupakan Kitab Para Manusia (Masa kini dan Masa Depan), karena kematangannya menyalam sampai ke inti manusia dan kemanusiaan. Manusia jelas lebih kompleks daripada Malaikat.

Ketika Baghdad dikepung oleh tentara Jengiz Khan, dan umat jatuh nyalinya. Justru seorang sufi buta turun ke pasar menyampaikan khotbah yang membakar.

Saya yakin Nurel akan mampu menunaikan tugas penyair sufi masa depan yang berani melakukan “perjalanan ke dalam” dan sekaligus “perjalanan keluar,” yang penuh dengan resiko.

Tugu, 5 Nop 09.

Kamis, 09 Juni 2011

KIAT UNIK MENULIS ALA MAMAN S. MAHAYANA*

Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/

Tujuh tahun berkenalan dengan seseorang adalah waktu yang pendek jika jarak membentang, tetapi jadi waktu yang panjang kala hati tertali dalam hubungan guru-murid. Begitulah, barangkali hal menarik yang dapat penulis petik ketika mengenalnya. Ia selalu memberikan motivasi, mendorong etos untuk berbuat, dan tak jarang “memberi” pujian. Begitulah selalu. Tetapi tidak jarang, lelaki itu langsung memberikan kritik ketika ada kekurangan yang menurutnya adalah kelemahan.

Pada tanggal 11/6/08 ketika ia mengenalkan penulis dengan seorang peneliti dari Malasyia, dia langsung komentar, “Kritik ya! Kalau berhadapan dengan orang kita tak perlu takut. Semua orang sama. Mereka belum tentu lebih pinter dari kita. Tegak dan sigap, katanya.” Bagi, penulis hal itu kritik konstruktif yang saya sambut dengan lapang dada. Dua lelaki Malasyia itu adalah Prof. Datuk Abdul Latif Abu Bakar dan Prof. Abdullah Zakaria bin Ghazali (Universitas Malaya Kuala Lumpur). Hal itu, terjadi di sebuah seminar internasional di Jakarta. Dan, lelaki “sang guru” itu adalah Maman S. Mahayana (Universitas Indonesia).

Apa yang menarik dipetik dari pengalaman Maman? Lelaki ini lebih dikenal sebagai kritikus sastra yang telah begitu banyak menulis buku diantaranya 9 Jawaban Sastra (2005), Bermain-main dengan Cerpen (2006), Ekstrinsikalitas Karya Sastra (2007). Dalam menulis kritik, misalnya, hal yang sering dikatakan adalah: (a) jangan banyak menggunakan istilah asing (b) pergunakan bahasa yang sederhana tetapi bermakna, (c) jangan bombastis, dan (d) lakukan secara tajam dan argumentatif.

Empat hal ini seperti pigura yang senantiasa memberikan batas atas gagasan dalam berekspresi. Esai, yang kemudian, banyak saya tekuni –terus terang— ada kecenderungan untuk menerjemahkan pesan sang Maman. Yang oleh beberapa mahasiswa, ia sering dipanggil sang Dewa Mahayana. Hal itu paralel dengan teori fungsionalisasi yang sering disarang Budi Darma dalam penampingan kepenulisan pada para mahasiswa. Bahwa segala sesuatu dalam deret kalimat “harus” berfungsi. Karena itu, kalau bisa diungkapkan 5 kalimat mengapa harus 15 kalimat? Begitulah barangkali jika diungkapkan secara oratoris. Untuk ini, memang kejernihan dalam berbahasa merupakan sebuah kunci penting. Demikian atas teori tertentu yang dipergunakan dalam sebuah esai, misalnya, tidak boleh bombastis. Secukupnya.

Di sinilah, sesungguhnya dalam penulisan esai, memang, yang dibutuhkan adalah eksplorasi, impresi, dan investigasi yang mendalam. Gaya tentunya tidak terikat. Sebagaimana sifat esai yang pribadi, maka kekhasan tulisan yang “tidak terikat” merupakan pilihan yang tepat. Sebuah esai, karena itu, dituntut kompetensi bidang yang andal di samping kejelian dalam mengajinya. Inilah, pesan terdalam yang sering dipesankan Maman dalam penulisan ulasan berupa esai.

Selama ini, dalam berbagai pelatihan penulisan fiksi, Maman S. Mahayana mengilustrasikan kemampuan dasar yang penting dimiliki calon penulis. Kemampuan dasar itu mencakup diantaranya: (a) mendeskripsikan ruang dan tempat, (b) mendeskripsikan profil, (c) menarasikan peristiwa, (d) merangkai kejadian, (e) melatihkan gaya cerita, (f) membuat potongan kisah, (g) melukiskan karakter, dan sebagainya. Kemampuan dasar dalam penulisan fiksi seringkali merupakan faktor yang perlu dimiliki. Logikanya, hal-hal itu akan menjadi bahan penting dalam pembangunan kemampuan kreatif selanjutnya. Cerpen yang baik, misalnya, kata Maman mutlak menuntut kemampuan pembuatan seting yang menarik. Karena hal itu merupakan hal pertama. Ia mencohtohkan Ahmad Tohari, seorang novelis yang kuat dalam penulisan setting. Mau tidak mau, memang, setting akan berandil atas karakter tokoh yang dipilihnya.

Karena itu, jika Anda pengin menulis fiksi tentunya pesan-pesan ini tidak boleh diabaikan. Kekokohan totalitas cerita karena itu, mau tidak mau, ditentukan oleh kekokohan aspek-aspen pembangunnya. Baru setelah itu, kemengaliran dalam penceritaan. Ibarat alir air, sebuah cerita mampu mengantarkan aliran imajinasi seakan-akan pembaca arus dalam geraknya. Kalaupun tokoh bercakap, seakan tokoh hidup dalam pikiran yang diciptakannya. Dalam bahasa Budi Darma, dengan alat demikian, tokoh akan bisa hidup (bercahaya?) lewat pikiran dan bahasa yang digunakannya dalam dialog.

Lebih dari itu, hal lain yang penting Anda miliki adalah pentingnya kebiasaan membaca. Membaca, kata Maman, adalah ruang dialog, ruang berbagi, dan ruang pemodelan. Bagaimana akan menulis cerpen kalau tidak tahu cerpen. Di sinilah, ukuran pertama-tama setelah orang mampu membedakan karakter cerpen (termasuk yang baik dan buruk), baru akan terjadi proses transformasi pengetahuan secara tidak langsung. Cerpen yang baik, katanya, tokohnya tidak harus banyak. Tetapi inspiratif dan menggerakkan imaji pembaca.

Pada tengah Juni 2008 lalu, hal itu juga diungkapkan pada penyair Nurel Javissyarqi (asal Lamongan). Lelaki kurus yang bukan pendidik (karena alergi keberaturan pola guru) itu terus-menerus terjebak dalam ruang diskusi. Apakah kemudian karya itu baik atau tidak, tentunya akan terus bisa diperdebatkan. Hanya, yang penting dipahami adalah dalam menulis maupun memahami teks sastra ada tiga kode menarik yang perlu direnungkan: (a) kode bahasa, (b) kode budaya, dan (c) kode sastra. Penguasaan penulis dalam menulis teks sastra, tentunya mutlak menguasai ketiganya.

Kode bahasa akan menuntun pada ketepatan dan keruntuntan, termasuk kejernihan dalam berbahasa. Kode budaya akan menggiring penulis pada kemampuan membuat imajinasi pembaca lewat pilihan kata yang berbudaya, mencerminkan konteks sosial, dan lain sebagainya. Di sini, penulis merupakan bagian dari struktur budaya itu sendiri, dan karenannya pilihan bahasa itu pun dengan sendirinya merupakan simbol kebudayaan sosial masyarakatnya. Dalam menampilkan tokoh-tokohnya, misalnya, tokoh tidak boleh tercerabut dalam “koridor budaya” ini. Baik secara bahasa maupun kemungkinan simbol-simbol budaya yang melingkarinya. Sedangkan, kode sastra mengingatkan kita bahwa tulisan sastra bukanlah bahasa biasa. Tetapi bahasa indah estetik yang memberikan ruang imajinasi, ruang bayang hingga terawang angan pembaca yang terus alirkan pikiran bimbang. Artinya, teks sastra memang bukanlah menyuguhkan kebenaran mutlak. Tetapi, pemaknaan yang terus berproses dan berulang sehingga kebenaran yang ditawarkan pun bersifat implisit.

Maman, barangkali termasuk sedikit orang yang sabar dalam meberikan pengantar para penulis muda. Melalui bahasa yang kadang “bombastis” untuk menggali motivasi yang diantarkannya sesungguhnya selalu ada bahasa komunikasi penting yang menarik untuk direfleksikan. Ditawar ulang. Tugas kritikus, katanya, memberikan ruang dialog, membuka pintu, dan membukakan jendela estetis. Sejauh dan sedapat mungkin. Kritikus sastra bukanlah pembunuh kreativitas tetapi penumbuh dan penggali keestetikan yang –barangkali pula—masih terpendam.

Bagaimanapun, lanjutnya, menulis dan berkesenian membutuhkan latihan yang terus-menerus. Mengapa? Jika Anda penulis (terlebih calon penulis) berhenti berlatih adalah kemandekan. Kemandekan artinya kepuasan. Padahal dunia kepenulisan adalah dunia alir air laut yang terus bergulung dan berombak. Kepenulisan terus-menerus mengalami pendakian sesekali, tetapi mengalami penurunan pula dalam kala yang berbeda. Artinya, latihan (dan pembacaan atas teks-teks terbaik) merupakan ruang pemodelan kreatif yang menarik untuk dilatihkan. Ini sama sekali bukan berarti pemasungan kreatif, tetapi lebih dari itu, adalah ruang tinju untuk membangkitkan nyali tak henti untuk meniti. Jalan kepenulisan adalah titian hati dai satu sisi dan di sisi lain adalah titian pikir. Memadukan keduanya adalah butuh kearifan kreatif –yang seringkali—antar penulis bersifat unik.

Bagaimana dengan Anda? Meminjam bahasa motivasi, berlatih adalah saat penemuan diri, dan berlatih pula adalah kala berdoa. Pasrah atas hasil yang diungkapkan bersifat gerak menerima dan berubah. Untuk itu, berlatihlah untuk menemukan style diri, bahasa pengucapan, sehingga akan menjadi pesona pada saatnya.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos.

Sinerginya Sastrawan dengan Aparat

Sabrank Suparno
http://forumsastrajombang.blogspot.com/

Secara filologis, nilai sastra di Indonesia mengalami perubahan sejak tahun 1998. Perubahan itu dipengaruhi oleh bergulirnya reformasi: terbukanya pagar demokrasi terpimpin (zaman Soeharto). Masa reformasi ini kemudian membentuk entitas baru, dimana sistem kebebasan menjadikan gerakan apapun tampil seperti harimau lapar yang berlarian keluar dari ladang. Senyawang pintu pagar terbuka lebar.

Nilai sastra masa reformasi mengalami kebebasan yang selayak. Bebas yang merupakan sifat keruangan pola imajiner Sastrawan. Mestinya, kebebasan itu dimanfaatkan untuk menjejali ruang kebebasan dengan mutu nilai, dan bukan demi kebebasan itu sendiri.

Dalam pengkajian kritik sastra, sastra tidak bisa didikhotomi dalam keterkaitannya dengan apapun. Bahkan sedekat sastra dan penulisnya. Sastra sebagai ruang imajiner penulis harus dipisahkan dengan penulisnya. Murray Krieger dalam bukunya “What is critiesm?” mengatakan “bahwa karya sastra hasil imajiner pengarang terhadap suatu fenomena, sehingga terkadang berbeda dan mengacuhkan kenyataan yang diakui masyarakat. Maka karya sastra perlu dilindungi dan perlu dipandang terlepas dari pengarangnya”.

Dalam rangka mengapresiasi perkembangan nilai sastra di wilayah Jombang-Mojokerto, pada 03 Agustus 2010 lalu komunitas Lembah Pring, mengadakan kajian nilai sastra terhadap beberapa buku. Dari pembicara yang hadir : Gus Khamim Khohari (kiai dan sastrawan serta anggota biro sastra Dewan Kesenian Kotamadya Mojokerto) dan Diana AV Sasa (cerpenis dan kerani I; boekoe dari Surabaya).

Gus Khamim Khohari menemukan dua titik kekuatan dalam buku yang dibahas. Sebagai salah satu anak bangsa, Triramijo menulis buku ‘Kisah Kisah dari Tanah Merah’ dengan ketajaman memori yang kuat. Jarang penulis di Indonesia, masih eksis menulis pada usia 83 tahun. Tetapi Triramijo dalam usia senjanya masih detail memutar ulang memori perjalanan hidupnya pada suatu tempat. Triramijo tetap gigih menulis walau dengan tangan yang tinggal satu jari.

Senada dengan Gus Khamim Khohari, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga salut atas kegigihan Mbah Surip, pelantun tembang “Tak Gendong Kemana-Mana”. Presiden menyatakan apresiasinya saat takziah meninggalnya Mbah Surip. Dalam sambutan singkatnya Presiden mengatakan perlu memetik hikmah dari para manula bangsa ini yang tetap semangat berjuang hingga usia senja.

Untuk mengetahui kadar nilai suatu sastra, salah satu caranya harus didiskusikan dan diperdebatkan. Sehingga pembaca mengerti seluk beluk nilai suatu karya. Gus Khamim memberi contoh gambaran nilai, bahwa buku-buku yang ditulis kaum Maxis, kaum Komunis, dan para penulis yang tidak bertanggung jawab terhadap harkat kemaslahatan ummat, perlu di klarifikasi. Cukup di baca, dan selanjutnya dijadikan bungkus trasi. Dalam bahasa anekdotnya, Gus Khamim mengatakan “komunis, bukanlah atheis, komunis itu ber-tuhan, tuhan komunis adalah tidak mengakui adanya Tuhan”. Kelakar Gus Khamim disambut gerr peserta yang hadir. Kehati-hatian Gus Khamim dalam mengantisipasi doktrin komunis, sama halnya dengan kehati-hatian warga Indonesia. Bagaimanapun juga, kekejaman komunis tetap meninggalkan luka mendalam di hati bangsa Indonesia.

Diana AV Sasa menilai buku-buku yang didiskusikan malam itu, secara pandang standar nilai sastra hanyalah upaya penulis untuk menundukkan sejarah pada tempatnya. Sejarah yang dituangkan para penulis, tidak akan diketahui pembaca jika tidak ditulisnya.

Acara diskusi buku malam itu, antusiasme tidak hanya dari kalangan para penulis Jombang dan Mojokerto saja. Tampak hadir juga kepala dusun Mojokuripan ( Bapak Abdul Ghofur) dan beberapa anggota polisi dari Polres Jombang dan Polres Mojokerto. Meski bukan sastrawan dan penulis, mereka juga aktif bertanya perihal apa dan bagaimana posisi sastra yang sesungguhnya. Setelah mereka memahami betul kadar suatu sastra dan bagaimana cara pembaca menyikapinya, rekan dari aparat kepolisian itu mengucapkan rasa terima kasih kepada fihak Lembah Pring sebagai pejuang budaya. Aparat kepolisian juga bertukar nomor telepon genggam dengan rekan Fakhrudin Nasrulloh (penulis dan sastrawan Indonesia yang bermukim di Jombang) agar pihak kepolisian diundang serta pada Forum Geladak Sastra yang dimediatori oleh Komunitas Lembah Pring selanjutnya.

Kepedulian aparat dalam mengapresiasi sastra merupakan entri point tersendiri bagi Sastrawan Mojokerto_Jombang. Setelah sekian lama kegiatan kesusastraan meredup di dua kabupaten ini, kini moncer kembali. Forum Geladak Sastra hanyalah fasilitator yang menyediakan wadah bagi penulis lokal dan Nasional untuk mencerna detail nilai sastra.

Rentetan karya yang sudah di apresiasi oleh Geladak Sastra diwali dengan membedah kumpulan cerpen Siti Sa’adah dari Komunitas Pacul Gowang. Cerpen Pensidor yang ditulis Siti Sa’adah bernuansa membongkar kesenian tradisi Jombang, Seni Jeran Dor. Laporan bedah cerpen ini dimuat di koran Radar Mojokerto Jombang (Minggu 23 Mei 2010). Geladak Sastra ke II membedah cerpen berbahasa Jombangan karya Sabrank Suparno. Cerpen ini terkesan menyelamatkan ungkapan/paribasan bahasa sehari-hari masyarakat Jombang. Geladak Sastra ke III, menghadirkan penulis esai yang sudah menembus 47 koran lokal dan nasianal Bandung Mawardi (Solo). Laporannya dimuat Radar Mojokerto (Minggu, 01 Agustus 2010). Geladak Sastra IV membedah buku Ziarah Mandar karya Bustan Basyir Maras (penulis dari Yogyakarta asuhan almarhum Kiai dan Sastrawan ternama Zaenal Arifin Toha). Laporannya dimuat Radar Mojokerto (Minggu, 25 Juli 2010). Geladak Sastra V membedah Novel karya MD Atmaja, penulis pendatang baru dari Yogyakarta. Novel ini menceritakan bahwa untuk merubah suatu kebobrokan negara, tidak perlu menjadi seorang teroris, cukup hanya dengan menulis buku ide dapat tersalurkan. Merubah tanpa adanya korban.

Tentu Forum Geladak Sastra ke depan sangat terbuka lebar bagi siapa saja yang karyanya ingin didiskusikan. Bahkan Geladak Sastra berharap agar suatu saat membedah tulisan karya aparat kepolisian atau ABRI. Sehingga pada tahun-tahun mendatang di wilayah Mojokerto-Jombang, tercipta masyarakat sastrawi yang guyup dan rampak dari berbagai kalangan.

Surat Terbuka untuk M Fadjroel Rachman Dkk

Kuswaidi Syafi’ie*
Media Indonesia, 19 Agust 2007

DI dalam tulisanmu yang berjudul ‘Membela Manusia, Merayakan Kebebasan’ (Media Indonesia, 29 Juli 2007), Anda mengandaikan tidak ada tujuan dan ukuran apa pun di luar kehidupan manusia dan kemanusiaan. Saya pun jauh-jauh hari sudah memahami ungkapan demikian, tepatnya 20 tahun yang silam ketika saya mempelajari kitab Manthiq di sebuah pesantren. Adagium Al-insanu miqyasu kulli syayin dikumandangkan dengan lantang oleh filsafat subjektivisme.

Akan tetapi, adagium tersebut bukanlah tanpa masalah. Terutama ketika coba diejawantahkan di tengah gelanggang hidup yang gaduh dan majemuk. Karena, setiap varian humanitas terdiri dari sekian asas yang tidak sama, terdiri dari sekian ideologi yang tidak bisa ditekuk menjadi tunggal, dan terdiri dari sekian iman yang jelas tidak seragam. Semua itu menuntut implementasinya masing-masing untuk senantiasa menjadi (becoming) dan menjadi ada (to being) secara ontologis di atas gerbong hidup yang terus berlari.

Jika demikian adanya, lantas ukuran kemanusiaan universal macam apa yang akan diterapkan dalam kehidupan sastra dan kebudayaan Anda? Bahkan, judul tulisanmu yang seolah dengan tandas mengisyaratkan pembelaan terhadap manusia itu pun menjadi masygul dan rancu.

Mungkin Anda akan mengajukan seutas jawaban sebagaimana kalimat klise yang tertera dalam Memo Indonesia dengan Anda yang terlibat sebagai penggagasnya. ‘Hukum dan demokrasi adalah tempat kami mengembalikan segala keberbedaan’. Akan tetapi, bukankah sedari awal sudah dimaklumi, bahkan oleh orang yang paling jahil sekalipun, apa yang disebut sebagai hukum itu pada akhirnya merupakan pagar bahkan sering kali berwajah seram terhadap kebebasan yang Anda (dan kawan-kawan Anda yang lain) kibarkan dalam Memo Indonesia? Konkretnya, kebebasan yang Anda maksud bukanlah betul-betul kebebasan, melainkan semu belaka.

Maka itu jelas pada dataran filsafat logika, kalimat-kalimat yang terpacak dengan kaku dalam Memo Indonesia itu sesungguhnya mengalami kekacauan pada kawasan logic of meaning.

Lantas perkara idiom demokrasi yang juga Anda sebut dalam Memo Indonesia itu. Tidakkah Anda sadar demokrasi itu sebenarnya senantiasa menagih dan menelan jenis korbannya sendiri? Di tengah pusaran dan beliung demokrasi, segala ihwal yang minoritas dan ganjil mesti bersedia (baik dengan sukarela maupun terpaksa) untuk menyingkir dan tersisih dari gemuruh sosial yang menempuh jalur ‘konsensusnya’ sendiri itu.

Karena dengan berpegang kepada demokrasi, tentu semestinya Anda dan kawan-kawan Anda yang terlibat dalam pembuatan Memo Indonesia itu bersedia untuk tidak gusar ketika menerima getahnya.

Konsensus Moral

Akan tetapi, Anda dan kawan-kawan Anda ternyata tidak sanggup me-legowo-kan diri untuk menerima gelombang demokrasi yang melanda pikiran dan jiwa Anda, lain di ‘mulut’, lain pula di tindakan. Hipokrisi Anda dan kawan-kawan Anda itu betul-betul menjadi kentara ketika atas nama masyarakat luas yang masih teguh berpegang pada keagungan dan kemuliaan moral di tengah kehidupan sosial, Taufiq Ismail merisaukan adanya ‘gelombang syahwat merdeka’ yang menerpa sebagian generasi kita hari ini.

Termasuk menyeruduk sebagian kecil sastrawan di negeri ini yang menulis puisi, cerpen, dan novel, yang menurut istilah Taufiq Ismail dalam orasi kebudayaannya (gerakan syahwat merdeka), yang disampaikan di depan para mahasiswa Akademi Jakarta 2006 silam. Ia mengatakan, “Sudah mendekati VCD/DVD porno tertulis.” Suara Taufiq Ismail dalam orasinya itu adalah suara setiap orang tua yang tidak mau menyaksikan anak dan cucunya tergilas oleh deru seks bebas, terjerat oleh situs porno, kecanduan film-film biru, dan seabrek lagi tindakan yang sungguh memalukan. Suara Taufiq Ismail dalam orasinya itu tidak lain adalah suara setiap nurani yang bersih, suara setiap pikiran yang sehat, suara setiap jiwa yang terjaga, dan suara setiap sukma yang menyala.

Mungkin itulah sebabnya, di mailist, kita setiap saat bisa menyaksikan barisan orang-orang yang rela berbondong-bondong meletakkan diri di ‘belakang Taufiq Ismail.’ Walaupun tentu saja jumlah yang menumpuk tidak mesti identik dengan kebenaran. Orang-orang itulah yang, meskipun di antara mereka ada yang merasa dirinya bobrok, masih sanggup untuk memilah barang-barang berharga di antara serakan sampah.

Pembelokan substansi

Sungguh saya mengakui terus terang Anda dan kawan-kawan Anda (Hudan Hidayat, Mariana Amiruddin, dan Rocky Gerung) betul-betul ‘cerdik’ dalam memanfaatkan kebesaran Taufiq Ismail dan peluang media massa, terutama koran.

Secara tidak persis sama, jurus yang Anda gunakan adalah jurus layang-layang. Anda dengan sengaja dan sekuat tenaga menantang angin supaya Anda sendiri ‘mengangkasa’. Akan tetapi, setiap orang yang pernah mempelajari urut-urutan dan hierarki logika pasti betul-betul paham apa yang Anda (dan kawan-kawan) terapkan itu sungguh merupakan pembelokan substansi secara terang-terangan dari orasi kebudayaan Taufiq Ismail itu.

Taufiq Ismail menumpahkan kerisauannya terhadap moralitas yang ambrol dan dekil, akan tetapi Anda malah melenguh dengan geram bahwa apa yang disampaikannya itu adalah penghujatan terhadap kebebasan sekelompok sastrawan. Taufiq Ismail mengekspresikan tanggung jawabnya yang getir demi tegaknya kemaslahatan sosial, akan tetapi Anda malah berteriak dengan lantang bahwa hal itu adalah pembelengguan dan pemasungan kreativitas.

Taufiq Ismail ingin menandaskan dengan konkret, sebagaimana dulu Immanuel Kant (1724-1804) menyatakan, “Langit sedemikian tak terperi di atasku dan hukum moral melengking dalam jiwaku.” Namun, Anda malah menuding hal itu tak lebih dari ekspresi paham keagamaan yang konservatif.

Adanya upaya pembelokan substansial seperti itu mengandaikan Anda dan kawan-kawan Anda itu sesungguhnya tidaklah (belum?) sanggup membuktikan diri sebagai sastrawan-sastrawan terhormat yang ditopang karya-karya besar sebagai puncak-puncak prestasi dalam kancah kesusastraan. Anda tidak sanggup menginvestigasi dengan tekun dan mendalam untuk melahirkan karya-karya sastra yang sanggup menyodorkan inspirasi bagi lahirnya perubahan paradigmatik dan kesadaran baru yang lebih mulia di kalangan para pembaca. Karena itu, untuk ‘meninggi’z Anda memerlukan teknik dan jurus lain di luar gorong-gorong karya sastra melalui sejumlah intrik dan friksi yang nista.

Melampaui tubuh

Kalau Anda mencermati dengan seksama, apa yang diteriaki Taufiq Ismail dalam orasi kebudayaannya itu sesungguhnya bukanlah perkara kelamin dan selangkangan secara an sich. Karena, toh keduanya merupakan ‘benda-benda’ alami yang mewakili impuls-impuls yang dimiliki setiap manusia. Keduanya bisa bergerak dan berubah pada kebaikan atau keburukan.

Yang menjadi masalah krusial bagi Taufiq Ismail adalah kenapa dua ‘benda’ yang sensitif itu tidak diolah secara matang dan mendalam di dalam beberapa karya sastra yang dilahirkan sebagian penulis negeri ini.

Karena itu, penyajian kedua ‘benda’ tersebut tidak sanggup memancing munculnya impresi apa pun selain gambar yang jorok dan menjijikkan.

Di dalam wacana dan khazanah kesusastraan kaum sufi, anggota-anggota tubuh manusia yang dianggap tabu oleh publik untuk dicelotehkan itu ternyata dieksplorasi sedemikian rupa demi melahirkan telaga makna yang jauh melampaui ketubuhan itu sendiri. Dalam bahasa Coleman Barks, momen-momen memalukan terkait dengan seks, ereksi, dan keloyoan tiba-tiba sehabis sanggama, dorongan kelentit yang tidak kenal batas, bisikan bejat untuk menyetubuhi pasangan orang lain, semua itu, tak lain dijadikan lensa untuk meneropong pertumbuhan rohani di kalangan kaum salik. Karena itu, yang terkesan bukan joroknya, tapi iktibar spiritual yang sublim dan menggetarkan.

Karena itu, bukanlah merupakan sesuatu yang mengherankan kalau seorang pelukis Belanda Hieronymus Bosch (1450-1516) sampai betul-betul ‘keranjingan’ pada puisi Jalaluddin Rumi yang porno sekaligus sufistik, Pentingnya Keterampilan Labu.

Puisi yang termaktub dalam Al-Matsnawi jilid V itu (saya membaca versi Arabnya), menggambarkan perihal seorang babu yang mempunyai seekor keledai yang terampil memberikan servis layaknya laki-laki perkasa. Dari sebuah labu, si babu meraut pengapit yang pas untuk zakar si keledai agar penis keledai itu tak masuk terlalu dalam padanya. Hal itu dirancang untuk menuntaskan berahinya.

Ketika si babu bersetubuh dengan keledai itu, sang nyonya rumah mengintipnya lewat celah pintu. Ia melihat zakar mengagumkan dan kenikmatan si babu yang menelentang di bawah keledainya. Sontak, nyonya rumah mengetuk pintu dan memanggil si babu keluar untuk suatu urusan yang lama dan ruwet.

Si babu membatin, “Oh nyonyaku, mestinya kau tak menyuruh pergi ahlinya. Saat kau awali perbuatan tanpa ilmu yang utuh, kau gadaikan hidupmu. Kau malu bertanya perihal labu itu, padahal kiat itu tak kau kuasai.” Hingga akhirnya si nyonya mati diseruduk penis keledai.

Rumi kemudian menukasi puisinya dengan menulis, ‘Pembaca, jangan korbankan dirimu/ untuk kebinatanganmu!/ Jika kau mati demi kenikmatan tubuh/ Kau hanya seperti perempuan di lantai itu/ Ia gambaran dari perangai yang berlebih-lebihan’.

Fadjroel, nuansa porno yang sedemikian kuat mendorong transendensi itu ternyata tak kutemukan di dalam karya-karya sastra yang ditulis kawan-kawanmu. Tidak di Kuda Ranjang, tidak pula di Tuan dan Nyonya Kosong.

* Kuswaidi Syafi’ie, dosen tasawuf di Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/08/sastra-surat-terbuka-untuk-m-fadjroel.html

SIHIR TERAKHIR; Antara Perjuangan, Perubahan, dan Kematian

Imamuddin SA
http://sastra-indonesia.com/

Orang kerap menganggap dalam realitas kehidupan ini selalu terjadi pemarjinalan terhadap kaum perempuan. Itu akar pondasinya bertumpu pada suatu kisah sejarah akan keberadaan manusia yang disimbolkan dengan keberadaan Adam dan Hawa. Berdasarkan kisah tersebut, kebanyakan orang berasumsi akan keberadaan wanita yang selalu berada dibawah bayang-bayang laki-laki. Ia sebagai kaum lemah yang berfungsi sebagai pelengkap hidup bagi kaum laki-laki.

Sajak Diberangus, Kebebasan Berekspresi Hilang

Adi Marsiela
Suara Pembaruan, 16 Agust 2007

Penyair Acep Zamzam Noor, Saeful Badar, dan Alwi membacakan pernyataan sikap dari 21 komunitas seni, jurnalis, dan elemen masyarakat terkait pencabutan sajak ‘Malaikat’ karya Saeful Badar di Kantor Cupu Manik, Bandung, Selasa (14/8). Pencabutan sajak tersebut dari media massa karena ada tekanan dari organisasi tertentu yang menganggap sajak itu melecehkan umat Islam dianggap telah melanggar kebebasan berekspresi yang dilindungi UUD 1945 Pasal 28.

PRIA yang sudah cukup berumur itu tampak duduk bersila di salah satu pojok perpustakaan Kantor Redaksi Cupu Manik, Bandung, Selasa (14/8). Tulisan “Dilarang Merokok” ternyata tidak mengendurkan semangat teman-teman pria itu merokok sembari berdiskusi. Ketika mendapatkan kesempatan berbicara, pria yang menggunakan kemeja bermotif kotak-kotak dengan warna biru muda dan abu-abu itu juga tidak banyak membuka mulutnya. Dia hanya sesekali tersenyum menanggapi guyonan yang dilontarkan rekan-rekannya.

“Objek yang dari tadi kita bicarakan seharusnya angkat bicara, agar kita tahu maunya bagaimana,” kata seorang peserta diskusi sembari melihat ke arah pria itu. Orang yang dimaksud tersebut adalah Saeful Badar.

Dalam beberapa hari ini, nama penyair asal Tasikmalaya itu memang menjadi perbincangan hangat di antara seniman-seniman, akademisi, dan juga mahasiswa. Baik itu di dalam jaringan internet maupun pertemuan-pertemuan informal. Sekitar 20 orang yang memperbincangkannya hadir dalam diskusi tersebut. Mereka berasal dari berbagai daerah dan luar negeri seperti Bandung, Jatinangor, Tasikmalaya, Inggris, dan Jepang.

Benang merah dalam setiap pertemuan atau pembahasan mengenai Badar itu adalah sajaknya yang berjudul “Malaikat”.

Karya itu pernah dipublikasikan melalui lembaran budaya Khazanah, suplemen suratkabar Pikiran Rakyat (PR), yang terbit Sabtu, 4 Agustus 2007 lalu. Namun, sajak itu, oleh organisasi massa tertentu dianggap telah melecehkan umat Islam.

Mereka yang merasa dilecehkan itu sampai melayangkan surat protes terhadap surat kabar yang memuat karya Badar. Hasilnya, surat kabar tersebut mengumumkan bahwa sajak tersebut dianggap tidak pernah ada.

“Saat itu, teman dari PR memberitahu (saya) kalau sajak itu bermasalah. Ada organisasi tertentu yang protes. PR memutuskan meminta maaf dan mencabutnya,” kata Badar kepada saya seusai berdiskusi.

Dia pun mengaku panik mendengar kabar tersebut. Apalagi, sambung Badar, organisasi yang protes itu sempat ‘mengancam’ akan melakukan unjuk rasa besar-besaran dipicu oleh pemuatan sajaknya. “Saya stres, tidak menyangka akan seperti itu. Saya disarankan untuk meminta maaf, juga untuk meredakan ketegangan. Makanya saya meminta maaf,” tuturnya.

Badar merasa tidak mendapatkan paksaan saat membuat pernyataan maaf. “Saya hanya tidak ingin terjadi hal yang tidak-tidak.”

Permintaan maaf dari PR dan Badar sekaligus pencabutan sajak tersebut ternyata menimbulkan keresahan bagi kalangan seniman, jurnalis, mahasiswa, dan juga berbagai elemen masyarakat. Sedikitnya 21 komunitas seniman dan elemen masyarakat, Komunitas Azan-Tasikmalaya, Sanggar Sastra Tasikmalaya, Teater Bolon-Tasikmalaya, Komunitas Malaikat-Ciparay, Institut Nalar-Jatinangor, Aliansi Jurnalis Independen Bandung, Forum Studi Kebudayaan Institut Teknologi Bandung, Masyarakat Antikekerasan, Gerbong Bawah Tanah-Bandung, BPK 0I-Tasikmalaya, Teater 28-Tasikmalaya, Study Oriented Culture Tasikmalaya, Teater Prung Jatinangor, Lingkar Studi Sastra Cirebon, Komunitas Cupumanik-Bandung, Forum Diskusi Wartawan Bandung, Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan, Ikatan Keluarga Orang Hilang, Lembaga Kajian Agama dan HAM Tasikmalaya, Rumah Kiri, dan Forum Solidaritas Jurnalis Garut menyatakan prihatin dan penyesalan terhadap pemberangusan sajak “Malaikat” karya Saeful Badar.

“Kami juga sangat prihatin dan menyesalkan pendiskreditan nama baik penyair Saeful Badar, yang disebut-sebut seperti Salman Rushdie, sehingga penyair Saeful Badar mengalami berbagai tekanan,” tegas Acep Zamzam Noor yang mewakili rekan-rekannya membacakan pernyataan sikap.

Menurut Acep setiap individu memiliki hak untuk mengungkapkan diri secara lisan dan tertulis seperti yang disepakati dan diatur tegas dalam pasal 28 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.

Hikmat Gumelar dari Institut Nalar, Jatinangor menyatakan individu atau golongan tertentu tidaklah berhak melakukan pembenaran terhadap karya seni dan sastra hanya dari satu tafsir saja.

“Itu bentuk kekerasan simbolis yang bisa membuka gerbang ke arah berbagai kekerasan fisik dan psikis. Perbedaan pandangan, pikiran, dan sikap sehubungan dengan suatu hal sepatutnya tidak sampai menutup peluang bagi terwujudnya keadilan,” terang dia.

Terlebih, sambungnya, pertimbangan agama yang menjadi tameng dalam pemaksaan sikap dan pandangan individu atau golongan tertentu. “Janganlah mempermain-mainkan agama demi tujuan-tujuan yang sempit, picik, dan pendek.”

Kecaman lain datang dari Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandung. Mereka mendesak media massa agar bertanggung jawab terhadap segala kemungkinan yang akan dihadapi yang menyangkut penerbitannya.

“Segala beban tanggung jawab agar tidak diserahkan semata-mata terhadap wartawan secara individu. Ini sekaligus ancaman untuk kebebasan berekspresi,” tegas Koordinator Divisi Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Kota Bandung, Ahmad Yunus.

Seharusnya, tambah dia, ruang publik sebagai wahana ekspresi kolektif perlu dipelihara dan dikembangkan. Media massa, sebagai salah satu institusi sosial yang mengelola ruang ekspresi kolektif, sepatutnya dapat menjaga integritasnya sehingga tidak mudah dipermainkan oleh individu dan kelompok tertentu yang sikap dan tindakannya tidak sejalan dengan pemeliharaan ruang publik.

Terkait pencabutan sajak itu, Pemimpin Redaksi PR Yoyo S Adiredja mengatakan hal itu bukan diakibatkan adanya keberatan tekanan dari pihak tertentu. “Itu murni kebijakan redaksional,” paparnya kepada SP, Rabu (15/8).

Yoyo juga mengatakan pihaknya sudah memberikan kesempatan kepada para seniman dan pihak-pihak yang merasa keberatan dengan sikap PR. “Saya pikir itu sudah selesai. Mereka (seniman) kami beri hak jawab juga,” terangnya mengomentari kedatangan sejumlah seniman ke kantornya pada Selasa (14/8) malam.

Mengenai pemuatan permintaan maaf dari sang penyair di media massa yang dipimpinnya, Yoyo menyatakan pihaknya sama sekali tidak meminta Badar untuk melakukan hal itu. “Permintaan maaf seniman itu bukan kita yang minta. Kita tidak melimpahkan itu ke seniman. Semuanya tanggung jawab redaksi, ” katanya.

Berkaca pada kejadian yang menimpanya, Badar menyatakan dirinya tidak merasa jera dan akan terus berkarya. Hanya saja, dia bakal membatasi dirinya dalam menggunakan atau meminjam idiom-idiom yang menyangkut unsur keagamaan.

“Karena saya tidak pernah bermaksud menghujat. Puisi itu sebaiknya dimaknai multi tafsir. Hal-hal seperti ini tidak boleh terjadi ke depannya,” ungkap Badar seraya melempar senyumnya.

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/08/sastra-sajak-diberangus-kebebasan.html

Menelusuri Kebobrokan Politis dalam Novel Glonggong

Donatus Nador
Seputar Indonesia, 19/08/2007

JUNAEDI Setiyono meluncurkan karya novel bertajuk Glonggong. Dalam karya perdananya ini, dia mengangkat persoalan-persoalan eksistensial manusia; masalah kultur, sosial, politik, ekonomi, dan religius.

Novel setebal 294 tersebut mengisahkan Danukusuma kecil yang gemar bermain gonggong––pedang-pedangan terbuat dari tangkai daun (pelepah) pepaya yang hingga menyerupai pedang. Karena kegemarannya itulah, Danukusuma mendapat nama julukan Glonggong.

Sejak kecil, Glonggong sudah dihadapkan pada realitas kehidupan yang keras. Ayahnya seorang ningrat, meninggal dalam suatu pertempuran melawan kompeni saat dia masih kecil. Ibunya menikah lagi dengan ningrat lain yang hedonis, dan kemudian ibunya meninggal. Glonggong hidup terlunta-lunta sebatang kara.

Dalam perjalanan hidupnya, dia terjebak dalam hiruk-pikuk dan intrik politik ketika Perang Jawa (Java Oorlog) sekitar 1825–1830 berkobar. Masyarakat Jawa terpecah menjadi dua kutub. Satu kutub memihak Pangeran Diponegoro melawan kompeni Belanda. Dan kutub lainnya, memihak Patih Danureja yang bersekutu dengan kompeni Belanda.

Pada perseteruan ini, Glonggong dijebloskan dalam penjara. Oleh Ki Jayasurata diajak membantu perjuangan Pangeran Diponegoro. Melalui novel Glonggong, Junaedi memperkenalkan pembaca masa menjelang hingga Perang Jawa itu. Ingar bingar politik dan perseteruan sesama kaum yang menjadi pengalaman pahit di kala itu dipaparkan.

Oleh penulis kelahiran Kebumen, 16 Desember 1965 itu, kisah hidup Glonggong dipaparkan lancar dalam plot yang indah dan memikat. Penulis memperkenalkan karakter sang tokoh yang gesit di tengah kesulitan hidup, intrik politik, keserakahan akan materi, takhta, dan wanita.

Langgam dasar novel Glonggong, menurut Guru Besar Filsafat Unpad Bambang Sugiharto, adalah sikap penulis yang mampu melihat persoalan secara realistis, multidimensi, dan seimbang. Penulis menghindari sikap moralitas yang serba menghakimi. Penulis selalu setia pada pelukisan dan menghindari diri dari berbagai tendensi ekstremitas.

“Meskipun demikian, ia bukan tanpa sikap. Ia tetap menawarkan kiblat nilai yang jelas; kesetiaan pada nilai perjuangan, pembebasan, kejujuran, ketulusan tegar dan matang dalam aneka penderitaan. Sebuah keseharian yang imani, tanpa banyak pretensi teguran moral,” kata Bambang.

Saat ini kondisi umum masyarakat Indonesia cenderung diharu biru antusiasme religius dan politis yang meledak-ledak. Setting intrik dan pengkhianatan dalam dunia politik pada masa pergerakan Diponegoro masih saja terus berulang dalam persoalan politik maupun religius di Tanah Air. Kondisi ini tentu membutuhkan penyeimbangan yang salah satunya bisa ditemukan dalam novel Glonggong.

“Novel ini menyingkapkan borok-borok dan kemunafikan dengan cerdas dan menyentuh. Sebuah suara arif dan lugu dari kedalaman kehidupan dan penderitaan orang kecil yang pada titik tertentu sungguh sangat berharga untuk didengarkan,” kata dia.

Maka, menurut Bambang, novel Glonggong juga membangkitkan kembali ingatan yang nyaris hilang ihwal dinamika kehidupan tradisional Jawa dengan segala keprihatinan dan kesehariannya yang tegar, arif, dan mendalam.

Sementara bagi sastrawan Ahmad Tohari, novel Glonggong bisa dikategorikan sebagai novel historiografi Perang Diponegoro. Melalui novel ini bisa ditelusuri segala persoalan masa kini. “Genetika kebobrokan politikus sekarang bisa dilacak dengan jelas dalam novel Glonggong,” kata Ahmad mengomentari novel karya Junaedi itu.

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/08/sastra-menelusuri-kebobrokan-politis.html

Belati

Noval Jubbek
http://sastra-indonesia.com/

“kalau kau hendak bertandang, bawalah belati yang kau janjikan pada hari kamis atau ahir pekan”

mungkin, tak ada yang pernah tahu seperti apa pemburuan yang terjadi dalam lingkaran dingin seperti ini. termasuk aku yang selalu saja membiarkan rasa pasrah itu berlari lebih dulu, mendahului apa saja. tangan yang tak sampai satu meter, kaki yang mulai kaku dan mata yang memandang tak lebih dari ujung marka.

“aku membawa belati yang masihlah basah, nona!”

belati yang pernah bersarang di perut bapakku, tetap menyimpan bau anyir. meski kembang tujuh rupa dari segala macam ujung kuburan paling angker aku kumpulkan, dan dicampurkan pada air yang ditimba dari ceruk tujuh sumur paling keramat aku siramkan sebagai tumbal. kilatnya yang samar masih perih.

“bagaimana aku bisa tau dan percaya bahwa belati ini masih basah, niman?”

“dengarkan saja detak jantungnya, nona”

“hah, kau sudah gila?”

“bolehlah kau berkata begitu, sebab masih banyak pemaklumanku pada yang belum membuktikan”

pada gagang yang berbentuk punuk unta, atau yang lebih mirip kepala manusia purba itu, ada detak yang teratur. seperti bunyi yang keluar dari tubuh jam pada dinding kamarku. pada malam-malam hening diselingi dengan suara lolong anjing yang membuat suasana semakin nampak cekam. detak itu akan keluar dari gagang belati dengan susah payah. entah semacam lintah atau cacing merayap melalui ujung jari manis menjalar menuju telapak tangan dan masuk pada tubuh nadiku.

maka, setiap pagi akan ada tubuh yang segar kembali. dan jika kau akan bertanya apakah detak itu masih bersemayam dalam diriku pagi ini, aku tak bisa menjawab. sebab setiap kali detak itu menyusup, aku seperti terhipnotis dan tertidur, atau semacam mabuk yang menahan muntah, hanya bisa mengeluarkan liur.

“lalu bagaimana kau bisa mengatakan tubuh segarmu bersebab dari detak belati itu, niman?”

“lihatlah, bekas luka pada pergelangan tanganku, nona!”

mungkin, pada malam penyusupan itu ada perombakan besar-besaran pada organ tubuhku. pohon akasia dan beringin yang tumbuh di dalam dadaku dipangkas dengan rapih membentuk dinosaurus seperti dalam filem-filem. rumput liar dicabuti lalu di ganti dengan rumput taman yang hijau dan rata semacam permadani, tapi aku sarankan kau tak mulai tergoda dengan kata-kata. sebab masih tersisa dan mungkin lebih banyak keliaran dalam hijau itu. telapak kakkiku diganti dengan kaki kuda. seperti pada dongeng rakyat madura tentang peri yang berkaki kuda, berparas cantik dan tampan, namun sungguh mengerikan. sedang otakku diamplas sampai licin dan mengkilat. bahkan tiap lekukannya tak tumbuh lagi lumut dan karang. tapi sekali lagi kau tak boleh mudah percaya akan hal yang mengkilat itu.

” sekarang apa maumu, niman?”

“aku hanya ingin kau percaya dan menerima belati ini, nona!”

“tapi, pada penejlasanmu tadi kau memintaku tak percaya padamu”

“itu hanya sekedar nasehat, mungkin, agar kau tak lupa padaku, nona!”

“kau punya alasan lain, niman?”

“tidak, selain karena aku mencintai kau dan anak-anakku”

***

hari kamis, tanggal tigabelas, bulan enam, tahun duaribu. belati yang aku temukan dari dalam goa tiga tahun lalu telah aku hujamkan pada perut bapakku. oleh karena terjadi perselisihan dalam perut yang menjerit-jerit dan tersebab bapakku tak mau lagi membakar tungku pada punggungku yang telah basah oleh airmata.

malang.2011

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae