Abdul Aziz Rasjid
http://sastra-indonesia.com/
Di kampus ini/ Telah dipahatkan / Kemerdekaan.
Segala déspot dan tirani/ Tidak bisa merobohkan/ Mimbar kami.
“Mimbar”, Taufiq Ismail
Dalam lirik-lirik yang menandakan keyakinan itu; mimbar bernama kampus yang saya imajikan sebagai panggung kecil —tak panjang & tak lebar— tak jarang dipahami sebagai pusat diwujudkannya independensi akal pikiran dalam bentuk aneka ragam pendapat. Walau kecil —mengingat kampus sekadar bagian dari sistem yang luas, bercabang-cabang yang kita kenal sebagai Negara— tetapi kampus di negeri ini memiliki sejarah panjang dan mengagumkan dalam melaksanakan jiwa berlawannya untuk merobohkan penguasa tunggal yang sekendak hati menyebarluaskan penyengsaraan bagi rakyat.
Pandangan itu memang wajar adanya, apalagi bila mahasiswa diletakkan dalam posisi idealnya dalam sifatnya yang edukasional. Kampus sebagai ruang pendidikan adalah salah satu fasilitas di mana putra-putri bangsa dapat melatih diri untuk mengasah lau mengemukakan suatu gagasan yang logis, menanggapi problem-problem sosial secara kritis dan mentradisikan kebiasaan untuk mempelajari sesuatu untuk kemajuan diri serta sosialnya sehingga dapat membentuk identitas berdasar dari olah pikir kognisi sendiri. Sebab pada mulanya dan idealnya kampus memang diperuntukkan agar rakyat menjadi tak mudah dibodohi.
Dari pandangan umum itu, mungkin jiwa penyair sebagai salah satu rupa mahasiswa dan puisi sebagi salah sebuah rupa suara bertolak dari nasib sendiri lalu bersatu dengan nasib semesta. Duka sendiri itu lantas dipahami sebagai suatu Weltshmerz atau duka semesta. Di dalam keadaan khusus, ketika kesuraman-kegalauan merajalela, penyair dihadapkan untuk melibatkan diri pada masalah-masalah sosialnya, cita-cita dan perjuangannya. Sebab nasib sendiri telah dirasa identik sebagai bagian dari nasib besar masyarakat. Dan puisi sebagai produk budaya tentu tak bisa lepas dari kondisi sosio-ekonomi suatu bangsa
Sebab itulah, perhatian pada masalah aku lantas beralih pada masalah kita. Dan Sajak-sajak perlawanan Taufiq Ismail mengarah pada ke-kita-an itu, pada taraf ke-kami-an, hasil endapan dari pengalaman fisik, mental dan emosional selama penyertaannya dalam demonstrasi mahasiswa di tahun 60-an.
Singkatnya, begitulah Subagio Sastrowardojo memberi kupasan dan tanggapan atas sajak-sajak Taufiq Ismail yang terhimpun dalam kumpulan Tirani (1966) dan Benteng (1996, cetakan kedua 1968) dalam esainya yang berjudul “Sadjak-sadjak Perlawanan Taufiq Ismail dan, Angkatan 66” . Walau dalam akhir esai itu, Subagio Sastrowardojo menuliskan bahwa sajak-sajak perlawanan itu belum cukup memenuhi syarat dan nilainya untuk memberikan arah baru pada perkembangan sastra Indonesia. Tapi, di sisi yang lain, Subagio percaya bahwa sajak-sajak itu setidaknya telah mencatat sejarah perjuangan anak bangsa dalam menegakkan kebenaran, keadilan, kemanusiaan dan kemerdekaan.
Dengan keyakinan yang sama, bahwa sastra tak bisa lepas dari kondisi sosio-ekonomi suatu bangsa atau lingkungannya. Dalam esai ini, saya mencoba meletakkan puisi-puisi yang terkumpul dalam Syair-syair Fajar (Mimbar, 2007) dalam realita sejarahnya. Sekaligus upaya sederhana untuk mentafsir pandangan-pandangan mereka, entah sosial-ekonomi-politik maupun budaya yang narasinya bertitik sentral pada masalah-masalah sosial atau lebih menarik lagi menemukan pandangan serta sikap mereka terhadap gejolak dunia pendidikan (kampus). Sebab saya kira, suara mereka dalam lirik, bukan sekadar pandangan spekulasi, tetapi sikap kritis sekaligus analisis dimana pendekatan yang digunakan tentulah dengan memilih fakta-fakta mana yang paling plastis untuk menggambarkan situasi kehidupan sosial, politik, ekonomi maupun kultural yang terjadi pada masa kini.
Puisi sebagai Politik Bahasa
Saya akan memulai tulisan ini dengan mulai mengupas dan memberi tanggapan pada kumpulan puisi yang berjudul Syair-Syair Fajar. Secara pribadi, kumpulan ini saya kira menarik untuk ditinjau dalam kaitannya dengan mencari pandangan umum penyair yang sekaligus mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto terhadap masalah sosial. Sebab antologi ini berlabel pula sebagai Antologi Puisi 19 Penyair Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Puisi-puisi yang terhimpun dalam buku itu kebanyakan ditulis dari tahun yang sama, 2007. Dari 39 puisi yang dihadirkan oleh 19 penyair, hanya empat puisi yang berangka tahun 2005 dan kesemuanya ditulis oleh Restu Kurniawan. Empat puisi inilah yang menjadi pintu pengantar sebelum memasuki puisi lainnya dan pada awalan ini kita disuguhkan aroma khas sajak-sajak yang bernada dasar kritik sosial yang berkelindan di antara kaum marginal kota, konflik sosial yang bersuasana muram disertai imaji kelam seperti ini:
“Parodia Anak Jalanan”: Terlalu asik kami, anak-anak jalan/ Bermain mimpi pekat asap bus kota/ Berubah pahat bagi paru-paru/ Pengap mengepul jadi gelombang di siang/ bising mengumpul di genderang telinga//…Apa akan terus kami gali kubur/ bagi tengkorak kami sendiri/ lalu bangkit hidup yang kedua,/ disulamnya lagi untuk sesuap nasi?
“Deskripsi Tragedi (part #1)”: …Sunguh tanah telah rubah/ disepuh tetes merah sendiri/ Atau tahanlah untuk jadi laut darah/ Tanah dan tradisi sebenarnya wujud kami// Merpati tak rindu pulang jika terus begini.
Dalam lirik-lirik yang saya kutip di atas, ada solidaritas juga kepekaan terhadap bahaya yang mengancam. Tentang kerasnya sebuah jaman, tentang gilanya sebuah masa. Di “Parodia Anak Jalanan” kita dapat mengkhikmati ganasnya revolusi perkotaan , utamanya tentang modifikasi proses-proses alami manusia yang digubah —produk industri— dengan dalih tujuan kemudahan namun sebenarnya berakar perdagangan yang dilegitimasi suatu kelompok. “Parodia Anak Jalanan” memainkan imajinya sekaligus ironinya diantara Bus kota sebagai area kerja dan area “luka”. Dimana luka itu, muncul lewat puisi sebagai upaya menyuarakan nasib kaum miskin kota: “Apa akan terus kami gali kubur/ bagi tengkorak kami sendiri/ lalu bangkit hidup yang kedua,/ disulamnya lagi untuk sesuap nasi?”
Sedang puisi “Deskripsi Tragedi (part #1)” yang berketerangan Kepada: Arsul Tonirio-Ambon, adalah sebuah teks yang merujuk pada dunia di luar dirinya —literal-representasional— yakni kepada peristiwa kerusuhan konflik sosial pasca Orde Baru terutama yang terjadi di Ambon yang bila kita lihat dari kacamata sejarah disebabkan konflik horizontal sebelum Malino II yang kemudian menjadi konflik vertikal yang berfokus isu pada separatisme RMS/FKM (Republik Maluku Selatan/ Front Kedaulatan Maluku), dimana konflik-konflik itu banyak menelan korban dan melahirkan kerusakan sehingga wajar bila terlahir lirik: tanah telah rubah/ disepuh tetes merah sendiri sehingga Merpati tak rindu pulang jika terus begini.
Pada penyair lainnya, lirik-lirik yang bernada dasar kritik sosial terus berkecamuk di antara keaneka ragaman wujud kaum marginal kota. Kecemasan atas kekerasan kehidupan yang merupa dalam ketimpangan status sosial tak hanya menyerang manusia sebagai korban namun juga menumbalkan alam dalam bentuk pengrusakan-pengrusakan. Kata-kata yang sendu lantas jadi makin keras dan lamat-lamat memuncak dalam keinginan untuk menuntut balas sebagai respon akar derita kolektif. Perihal ini terasa gamblang muncul dalam dua puisi dari Yosi M Giri berikut ini:
“Dongeng Kaca Baca”: …Seorang tua yang duduk/ menghitung guratan zaman/ karena ketika cadar membuka/ Ia mendengar/ tiada batas di musim/ keduanya saling bersaing/ menyerang gempa dan banjir// Dan lewat tengah malam/ anak-anak ketakutan/ merasakan gelagat ibu menggeliat/ tiada ketenangan di pangkuan/ tiada lagu meninabobokan// karena dongeng yang datang dari pagar istana/ adalah karat baja/ yang mencium darah dan luka mereka/ menghancurkan rumah-rumah/ dan denyut bayi merah/ atas nama ketertiban kota.
“Spion”: dari bening kaca spion, semesta/ bingung pada penghuninya/ …kendara-kendara seperti lepas dari sarang/ melumut padang gersang/ menyabet pejalan kaki, pemulung gontai/…zaman bergetar-getar bersorak-sorai/ di tengah–tengah kibar panji keuntungan sekedar/ selebihnya bau kotoran berserakan di tepi jalan buntu/ di gang-gang, di gelap-gelap, sampai tebing serumpun/ gunung/ pengap, penuh muslihat//…dari pentungan, dari peraturan tak beraturan/ muncul beribu-ribu kutukan dari rahim bunda/ dari bibir bayi, meraung tengah malam/ minta dibalaskan.
Derita dan kemurungan kolektif itu, sekali lagi muncul akibat dari revolusi perkotaan. Dimana yang berlaku dalam sistem kota adalah penaklukan, sebagai syarat utama terkumpulnya modal komunal. Sebab itulah haluan sosial dan politik kota dibagi-bagi dalam tatanan-tatanan pembagian kerja yang kemudian dikenal sebagai instansi atau birokrasi, di mana ada peraturan-peraturan yang diperlakukan oleh tatanan baru ini, yang terkadang peraturan itu meruncingkan kontradiksi sebab lagi-lagi sistem yang dibuat tak berpihak pada masyarakat malah melebarkan jurang kesenjangan status sosial. Tatanan-tatanan baru itu, dengan kuasanya menyuburkan kedestruktifan dan keserakahnnya dengan menjalankan segala sesuatu berdasar pada panji keuntungan dengan cara ikut serta bermain dalam arus perdagangan pasar.
Masyarakat perkotaan, yang secara psikologis oleh Lewis Mumfort dikatakan bersifat cermat, efisien namun acapkali destruktif, sadis dan di sisi lain cenderung suka membangga-banggakan monumen-monumen beserta catatan tentang prestasi mereka dalam menghancurkan, mendapat gambaran buruk identitasnya dalam imaji lumpur pada puisi Shoni Asmoro yang dipadu secara eksperimentasi dalam permainan nada-nada sinis:
“Alamat Lumpur”: Jalan Lumpur, No 1/ Rt lumpur/ Rw lumpur/ Desa lumpur/ Kecamatan Lumpur/ Kabupaten Lumpur// Sebelah rel kereta lumpur/ Tepatnya di sekitar pabrik lumpur// Kami pemenang rekor dunia lumpur/ Penghasil terbesar lumpur// Kami bangga lumpur.
Sayangnya, lirik-lirik kegalauan sosial yang ditangkap oleh penyair dalam kumpulan puisi Syair-syair Fajar, mendapat porsi yang tak begitu besar bila diletakkan sebagai bagian dari kemurungan kolektif atau nasib sendiri yang dirasa identik dengan yang di alami oleh sebagian besar masyarakat. Agaknya, setelah Restu Kurniawan, Yosi M Giri dan Shoni Asmoro, dari 16 penyair lainnya hanya puisi Arsul Tonirio yang membawa kesan kemurungan kolektif. Sedang penyair sisanya lebih memilih bergulat dengan kegalauan personal yang diakibatkan kerinduan, cinta, hakekat kedirian dan hubungan dengan Tuhan. Puisi Arsul Tonorio, serupa lantunan doa, berbicara tentang penyesalan massal juga kekecewaan terhadap negeri:
“Wajah-wajah Murung”: …Oh Tuhan…!/ Sebesar inikah dosa kami?/ Wajah –wajah murung bukanlah Titahmu/ Cukuplah kira Engkau suapi/ Hanya karena negeriku mulai akut.
Dari beberapa puisi itu, saya menanggapinya sebagai upaya politik bahasa. Di mana puisi mencoba memainkan peran untuk menghantam dan menekan para pelanggar yang menjadi dalang timbulnya kesenjangan sosial. Selain itu, juga upaya untuk melahirkan reorganisasi diskursif antar kekuatan sosial, dimana menyatu golongan yang terpecah dan terpinggirkan dalam sebuah kawasan cultural. Dan tentulah yang menjadi syarat utama adalah keyakinan semacam pledoi Max Havelaar: “Ya, aku bakal dibaca”.
Sekolah sebagai alat reproduksi kesenjangan sosial
Lewat kumpulan puisi Syair-syair Fajar yang merupakan Antologi Puisi dari 19 Penyair Universitas Muhammadiyah Purwokerto, secara singkat kita memang bertemu dengan disharmoni antara kuasa Negara dan kesenjangan sosial yang terjadi dalam tatanan masyarakat. Tetapi sayangnya, sikap kritis sekaligus analisis dalam bentuk puisi itu, tidak mepaparkan pandangan tentang fenomena dunia pendidikan (kampus ) sebagai lingkungan di mana mereka seringkali berhadapan.
Saya pribadi tak tahu, sebab apa mereka sebagai mahasiswa tak menulis puisi yang berakar dari fenomena-fenomena pendidikan. Saya hanya dapat mengajukan beberapa macam pertanyaan yang tentunya perlu dikaji ulang dalam berbagai hal, yaitu: (a) Apakah fenomena dunia pendidikan –universitas– tidak dipahami oleh penyair yang mahasiswa? (b) Apakah Penyair yang mahasiswa segan untuk menuliskan fenomena-fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan? (c) Apakah penyair yang mahasiswa gagal untuk menemukan metaforarisasi dalam upaya puitisasi fenomena-fenomena yang ada di kampus? atau (d) Apakah penyair yang mahasiswa memang tak ambil peduli dengan fenomena-fenomena yang terjadi dalam kampus?
Bila kemudian perbincangan dalam tulisan ini kita alihkan dengan keyakinan bahwa kepiawaian mereka dalam menganalisis sosial secara kritis dalam bentuk puisi bukanlah sebuah bakat bawaan yang secara tiba-tiba jatuh dari angkasa, tetapi buah dari kesempatan yang mereka peroleh dari sebuah fasilitas pendidikan. Dimana Pendidikan menjadi sebuah ruang yang menjadikan mereka terbiasa untuk menulis, mengolah pikiran sebagai bagian dari aktivitas sehari-hari.
Maka, ada hal menarik yang patut untuk dikaji kembali di situasi masa ini. Sebab secara nyata, sampai masa kini, tidak semua golongan/lapisan masyarakat punya kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan. Maka dapat ditarik asumsi sederhana, bahwa dalam sistem pendidikan pun sudah sejak dini terdapat sebuah proses seleksi sosial untuk menjadi individu yang dapat melatih diri untuk mengemukakan suatu gagasan yang logis, menanggapi problem-problem sosial secara kritis dan mentradisikan kebiasaan bernalar berdasar dari olah pikir kognisi sendiri.
Akhirnya, saya kira: Déspot dan tirani sedikit demi sedikit telah merobohkan mimbar yang bernama kampus itu, tidak dalam bentuk lugas namun samar-samar lewat seleksi dimana sekolah menjadi alat reproduksi kesenjangan sosial berdasar seleksi kelas sosial. Sebab dengan cara itu, strategi pola regenerasi kekuasaan setidaknya (dalam tahap seminimal mungkin) akan berkutat pada kalangan mereka.
Bila situasi ini terus dibiarkan, berarti kita membiarkan ketidakmerdekaan struktural melanda pada dunia pendidikan kita. Dan puisi yang ditulis oleh mahasiswa tentu serta merta berpotensi menjadi bagian dari reproduksi kesenjangan sosial yang terstruktur itu. Lantas, apakah puisi nantinya masih akan mampu memiliki permainan politik bahasanya sendiri untuk menghadapi kekuatan-kekuatan semiotik yang membentuk keseragaman identitas masyarakat. Bila tidak, maka awalan sajak “Mimbar” yang ditulis Taufiq Ismail, tak berlaku lagi untuk mengambarkan kedaan kampus hari ini:
Dari mimbar ini telah dibicarakan
Pikiran-pikiran dunia
Suara-suara kebebasan
Tanpa ketakutan
Dari mimbar ini diputar lagi
Sejarah kemanusiaan
Pengembangan tekhnologi
Tanpa ketakutan.
*) termuat dalam Buletin Sastra Littera no. 13 Th.III edisi Januari-Maret 2010, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar