Nurel Javissyarqi
Pengarang yang mentalnya
teriming-imingi keinginan menjiplak pesona karya para pendahulunya, ialah
pengkarya yang tak memiliki keberanian mengeruk kesejatian di tengah peredaran
sejarah. Terpedaya laluan kecil, lalu berhamburan bersuka ria, layaknya si bocah
menyenangi permainan, tiada keinginan belajar lebih atas realitas.
Sebayang-bayang terhapus, kala pamor yang dijiplak meningkatkan sorot cahaya,
di siang hari jaman yang didengungkan.
Pilar-pilar keadaban
insan tercipta oleh mereka yang sungguh menempuh nasib, bergulat dengan
pemahaman masa lalu ke jenjang dimungkinkan. Temuan dari kesadaran waktu
dikumandangkan, bersegenap bacaan menguliti jati diri, sebelum membangun
segugus gagasan murni, sepantulan daya hidup menyerap-menggetarkan.
Tak terpungkiri, pergerakan
hayat saling belajar, tentu tidak asal caplok menelan mentah sandaran yang ada.
Harus menggapai bersemangat kuat, di sini fitroh mengangkat sumber mata air
pribadi; tradisi juga wewarna menaungi. Ialah bebatuan berkarakter tinggi
ditempa musim silih berganti soal membentuknya. Ikhtiar pengarang menuju
alam-sesama dan saluran informasi yang menggerayangi.
Dalam pada itu, siapa pun
pembawa hawa mentalitas menjiplak, menempati kesenangan rendah, surga
terdangkal keramaian, manipulasi tak menghantar pencerah. Langkah tanggung,
jauh dari tanggung jawab; keberanian palsu, tiada kemerdekaan, dan akrab
siksaan. Bagaimana sanggup meloloskan seluruh hasrat kepengarangan, jika
kaki-kaki lincahnya terjerat bebenang halus rayuan rendah?
Suatu bangsa mengalami
tingkatan mutunya, jika penghuninya peduli dan mampu mengudar karya
pengarangnya. Yang siapkan diri menyunggi jaman dikandung gairah tertinggi;
mendendungkan kebebasan tanpa dekte memincangkan ayunan, tidak memicingkan
pandangan yang ada.
Aku sebut satu saja, anak
manusia benar-benar mempengaruhi rentetan sejarah ke belakangnya; Voltaire,
sastrawan Prancis berjasa besar untuk bangsanya juga bebangsa lain. Dia abdikan
hidup demi prinsipnya, birahinya menanjak tidak peduli laguan lama, terpesona
sendiri dimasa-masa menempa, tiada waktu mencari-cari sewatak penjiplak.
Manusia-manusia unggul
belajar kepada jiwa-jiwa paripurna, mematangkan nasib demi mentakdirkan
nafas-nafasnya bersatu alam raya. Menyimak silang pendapat abad-abad lampau,
maka telisiknya tidak terbodohi pun tak membodohi. Tapakan teliti mengudar
kalbu pikiran, secahaya menerobosi lubang kunci pada pintu di malam gulita.
Yang tersaksikan lorong cahaya tegas, andai menembus bidang air-sungai, meski
terbengkokkan, nyata bergerak lurus.
Faham-faham abad lampau
dipelajari ulang demi ketepatan berpijak, menyinauhi derajat maknawi realitas
berhembusan. Politik siasat penguasa juga masa percobaan menjegal gagasan
disimaknya dalam kurungan pelita. Renungan panjang kausalitas terpaparkan tanak
hujatan keragu-raguan, dan was-was di sekitar meloloskan sikap kukuh di setiap
lekukan kalimat.
Dalam kesusastraan
Indonesia, ada beberapa pengarang ketahuan menjiplak, namun masih disebut
keberadaannya, juga karyanya yang lain meski bukan plagiat. Parahnya
berbondong-bondong orang seolah hendak mengamini tidak menolak. Yang terjadi
kualitas bangsa belunder tidak mandiri, silau mental-mental tidak
berpayah-payah. Maka sekali tradisi kebohongan didukung, jangan keliru disusul
berikutnya, seperti biang kerok korupsi tidak dipenggal, usah heran menjamur
koruptor membeludak lagi.
Lebih edan sekaligus
kumprung, orang-orang pernah njiplak ditokohkan. Alamak, memang tiada lain?
Sekuat apapun yang ngincipi njiplak, tidak patutlah dijadikan taulatan. Pribadi
terpedaya muka, bukan kandungan isi menariknya. Sekadar mengada ataupun
diadakan demi manipulasi sejarah.
Suatu bangsa masih
mengedepankan penjiplak, jelas tidak punya harga diri di mata bangsa lain. Ia
telah merusak martabat, mencoreng muka negerinya dengan arang abadi. Otomatis
tidak ada rasa hormat pada kaum pengarang. Pantaskah menjadi pembaharu meski
karya lainnya baik? Tidakkah asal kepergokan itu, mentalnya dangkal
kekanak-kanakan, juga bukti mengabaikan fitroh diberikan Tuhan.
Kebesaran bangsa terletak
betapa keras anak-anaknya mengumpulkan puing berserak, mewujud impian moyangnya
di hadapan lain. Bahwa lingkup napasnya tradisi, budaya mengeram lama menjelma
pondasi terpenting di tiap guratannya.
Dan sejarah berangkat
dari pembenaran keliru akan jatuh ke jurang nista, hinalah meneguknya. Di sini
sepatutnya berontak pada pendahulu picisan, memberondong umpat mereka yang
bersikap kemayu mendukung penjiplak berkidungan kolosal pembenaran, mungkin ia
teman lamanya.
Secara
sederhana-hakikatnya, pengarang dalam hidupnya berusaha mencipta, mencari
temuan anyar, mereka-reka pantulan hayat. Tentu tiada kesamaan nasib dengan
lainnya, andai ada kemiripan, semata lagu kesejatian universal. Jadi rupa-rupa
memirip-miripkan bukan temuan, sekadar pemalas tidak menguliti masa-masa
direguk, penyakit turunan tak menyehatkan hati pikir sesama.
Kesenangan semu,
kelezatan kulit dicecap plagiator, mengelabuhi pembaca sekilas, tertipu sebab
tidak berbaca ulang karya disamping semangat jaman pengarangnya. Terperdaya
tampakan tanpa menelisik putaran keberadaan, atau kesadaran karya di belahan
jiwa pengarang. Padahal itu bisa ditengok berapa rentang usia pengalaman,
tampak di setiap lekukan kata kehadirannya atas ciptaan, ataukah sekadar sulapan.
Jalan-jalan pintas
dilewati pemalas yang cepat terpuaskan meski pemalsuan; di mana pun pasti
terlihat boroknya. Mentalitas nanggung di alam keraguan, tiada kehendak
menanjak dan was-was mudahlah tertangkap.
Sejatinya, pembaca suntuk
mengetahui sejauh mana kata-kata racikan, rakitan, atau sungguh dari jiwa
sederajat capaian niscaya. Karena penyuntuk memahami kerasnya “mbeteti” sukma,
menghardik watak picik yang diturunkan alam dangkal kerap memenggal jalur-jalur
pencariannya dalam berkarya.
Yang terbuai tumpukan
bebuku tanpa mencangkul ladang diri, tanpa mengeduk keberadaannya di antara
bacaan. Sekadar menambah sampah nan buram tidak meyakinkan di belantara dunia.
Di tanjung karang
menjulang; penggagas, penemu, pelopor, tidak kering kaki-kakinya oleh datangnya
penimba, dibasahi guyuran para peneliti. Tonggak itu nancap menelisiki bawah
sadar pembaca. Maka hanya penyetia hayatnya demi berkarya, datang kemudian
mampu keluar dari jaring laba-laba.
Nyatalah pengetahuan
penjiplak selebar daun talas, ragu memelanting, asyik bermain di wilayah
sempit, hawatir terjatuh nan tidak mampu menguap kembali. Padahal kejadian itu
menghadirkan kemurnian dari pesona daun-daun. Atau yang terpikat kilau terlupa
dirinya ada inti cahaya, serupa kemalasan yang mengambil untung kemenangan para
pelaku sebelumnya.
Tiada dalam sejarah
dunia, pengarang yang kepincut menjiplak menjadi pemersatu dan jelas tidak
punya ajaran. Atau ujaran-ujaran terpantul darinya tak layak tidak langgeng
dinapaskan. Ia hanya pengacau temuan sebelumnya, tiada isme dibelakang namanya,
dan tak pantas menduduki kursi kepengarangan sejati.
Karena kerja mengarang
berangkat dinaya lahir-bathin nalar-perasaan menyatukan tekad, menyusuri laluan
belum terjamah, air ganjil tak tersentuh, membuka kelambu asing belum terpikir.
Maka jikalau terdapati mencontek, wajib dipertanyakan, sebab kerahasiaan insan
tidak sama meski keyakinan serupa. Penyakit serakah ini paling buruk daripada
tamak pada benda. Karena mengarang mengolah ruh rasa memendarkan kesadaran puitika
penyimaknya, dengan bobot seirama lebih.
Sebenarnya, olah cipta
dapat dinilai turunan, pencarian, ataukah penggembira. Ini terlihat perjuangan
dalam kehidupan, pengorbanan kemanusiaan. Tersebab tidak mungkin keyakinan
cemerlang, kalau tak ditempa ribuan soal jutaan masalah menggayuh. Minimal
gagasan penulis sejati yang tidak ke medan sosial langsung berwatak keras,
karakter tanggung jawab dikeluarkan, telah ditimang selaksa menimbang nyawa di
depan algojo;
pergulatan bersama
masa-masa penciptaan, sebelum dihadapkan berpundi-pundi kemenangan, selepas
sekapan. Kerangkeng nalar-hati menggemuruh, ruh karya meledak segunung
memuntahkan lahar. Andai alunannya halus, telah melewati ketabahan tanpa
pamrih, kecuali demi abadi ke tanah dijanjikan.
Panggilan menjadi
pengarang semisal undangan berjanji, kesaksiannya dipertanggungjawabkan,
nilainya kejujuran. Tepat hidupnya mandiri, dinamis menggalang kejayaan umat.
Yang rasanya tidak berharap sepeser pun kecuali gagasan ditimbangnya lama
diterima sewarna kain maslahat. Andai tak sampai, jiwanya dicukupkan kesaksian
hari-harinya bersuntuk mempelajari lekukan hayat.
Seperti penyeru ta’at
atas apa yang diserap, siap menanggung resiko terburuk pada segenap dinaya
capaiannya. Keimannya pada ondakan penelitian, serupa kefahaman menyeluruh
merasai udara sekeliling. Di sana mencecapi madu murni tempaan waktu, maka
tiada mungkin dilepas sekejapan. Itu nirwananya, keintiman bathin kepuasan iman
pada pencariannya tidak menyerah, kecuali diambil nyawanya oleh el-maut.
Lamongan, JaTim, Untuk 8
Maret 2011
http://sastra-indonesia.com/2011/03/plagiator-vs-pengarang/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar