Minggu, 27 Februari 2011

Kepala Batu

Muhammad Amin
http://www.lampungpost.com/

KETIKA melihat bulan terang, keinginannya memuncak. Tak bisa ditawar lagi. Selama ini setelah menjadi seorang suami dan bapak yang baik, tak pernah lagi ia melakukan pekerjaan yang paling menyenangkan baginya. Tentu, karena pekerjaan ini mendatangkan kepuasan batin tersendiri buat orang-orang seperti Nurdin.

Tiba-tiba saja angan-angan Nurdin melayang pada masa-masa mudanya.
Biasanya setelah selesai musim menanam padi, mereka, Nurdin dan enam sampai tujuh orang temannya, berangkat ke laut. Menyusuri tebing batu yang curam dan tajam. Mengalahkan ombak yang buas. Mengalahkan gigil dinginnya malam. Membawa lampu petromaks dan peralatan untuk ngejodang, juga makanan secukupnya.

Setelah sampai di tempat ngejodang, beberapa orang menyelam memasang jaring jodang yang berbentuk lingkaran sebesar tampi di lubang-lubang batu. Beberapa orang yang lain mengikatkan simpul tali di kakinya. Si penyelam akan memberi sebuah kode jika telah selesai memasang jaring, kemudian temannya yang berada di darat menarik mereka ke tepi.

Kemudian mereka tidur di atas bebatuan berselimutkan sarung menunggu datangnya pagi. Dan keesokannya akan mereka dapati jaring-jaring yang dipenuhi udang dan lobster. Mereka kemudian menjualnya ke pengusaha udang dan lobster untuk makanan di restoran kota besar, bahkan kabarnya dijual sampai ke luar negeri.

Begitu seterusnya selama beberapa hari mereka ngejodang, pulang dengan membawa banyak uang. Tak tanggung-tanggung, bahkan ada yang bisa membeli tanah dan memperbaiki rumah. Karena itu banyak yang ingin ikut ngejodang, namun pekerjaan ini memerlukan keahlian dan bakat tersendiri. Tak semua orang mampu melakukannya. Tak sedikit mereka kemudian melepas angan-angan untuk ikut ngejodang.

Mereka yang tak memiliki keahlian tersebut akhirnya memilih melaut saja yang hasilnya sering tak tentu, karena ikan-ikan di laut selalu berkurang akibat karang-karang rusak karena bom laut dan pukat.

Nurdin dan kawan-kawannya bisa membeli genset, parabola, tivi berwarna dan radio baru dari hasil ngejodang. Kadang untuk melepas lelah dan kepenatan bekerja, mereka bermain kartu atau gaple sampai larut, bahkan sampai subuh di warung Isah sembari makan kacang dan sekadar mencicipi segelas dua gelas Vigour. Ada pula yang kemudian pulang dengan gaya sempoyongan.

Di saat mereka kehabisan uang, istri mengomel dan anak menangis ingin dibelikan peralatan sekolah dan baju, mereka segera berangkat ngejodang. Kemudian pulang dengan membawa banyak uang.

Kini hal itu telah menjadi mitos tersendiri bagi setiap orang, karena tak jarang mereka yang ngejodang hanya namanya saja yang pulang. Satu per satu dari mereka tumbang di hadapan alam. Laut makin ganas melahap korban. Memang terlalu besar risiko melakukan pekerjaan ini, apalagi bila hanya seorang diri.

Dia ingat yang terakhir kali adalah adiknya sendiri. Saat itu, dini hari, Nurdin yang sedang mencari angin di pantai melihat cahaya petromaks menyusup di antara barisan pohon kelapa. Kerumunan orang menggotong tubuh tak bernyawa.

“Kami menemukan tubuh Bari terdampar di pinggir pantai. Semalam ada yang melihatnya pergi ngejodang sendiri!” teriak salah seorang.

Nurdin melihat tubuh adiknya yang telah kaku dan dipenuhi cakaran batu.

Lamunannya buyar seketika saat terdengar suara belanga terjatuh di lantai papan. Dia terkejut lalu bangkit ke dapur. Disepaknya kucing belang yang sedang melahap seekor tikus yang baru saja didapatnya dengan susah payah. Hatinya kesal juga gundah. Apa yang mesti ia lakukan?

Diambilnya peralatan jodang yang masih tergantung di dinding dapur. Semua masih utuh dan bagus. Jaring-jaring yang masih rapat, meski lingkaran besi selebar tampi itu sudah mulai berkarat.

Diambilnya lampu badai dan tambang. Topi hitam yang dulu selalu ia gunakan. Dikenakannya sepatu Toyako, kemudian disambarnya sarung lalu diselempangkan di leher.

Aku harus berangkat malam ini juga, begitu tekadnya. Dia bergegas ke kamar, ingin berpamitan dengan istri tercinta dan menyuruhnya mengunci pintu dari dalam. Tapi segera diurungkan niatnya. Tak tega ia mengganggu tidur pulas istrinya. Lagi pula tak mungkin ia diizinkan bila istrinya tahu.

Ditatapnya saja wajah pulas istrinya, seperti wajah peri di pantai Umbar, dan anak lelakinya yang bersarang di ketiak ibunya. Lalu ia keluar, menutup pintu perlahan, menuruni anak tangga rumah panggungnya.

Dihidupkannya lampu badai meski sinar bulan malam ini akan cukup menghantarkan perjalanannya. Suara lagu Sai Lagi dari sebuah radio yang mulai ringsek di warung Isah terseok-seok dibawa angin malam, mengiringi aroma embun dan tanah basah. Nurdin terus berjalan ke arah pantai. Wangi getah nipah meruap menyergap hidungnya. Dia senang bau nipah, juga makan buahnya yang masih muda.

Air muara yang sedang pasang meluap menutupi jalan, setinggi mata kaki, berkecipak oleh langkahnya yang tergesa. Setelah melewati sebuah jembatan, tibalah ia di pantai. Perahu-perahu cadik milik nelayan masih berjejer rapi di bawah pohon-pohon kelapa. Ada beberapa yang sudah dibawa oleh pemiliknya melaut.

Akhirnya Nurdin berangkat ngejodang seorang diri meski ini terlalu berbahaya. Namun, ia terlalu keras kepala. Dan memang begitulah watak Nurdin, tak heran orang-orang menambahkan kepala batu di belakang namanya.

Julukan Nurdin kepala batu melekat sampai sekarang dan nanti.

Ombak terlalu garang mengempas-empas dinding batu. Nurdin menghisap dalam-dalam sisa rokok terakhirnya, kemudian melempar puntungnya ke arah laut. Dia duduk sebentar sembari merapatkan sarung menahan dingin yang menggigilkan tulang sumsum.

Setelah dirasanya cukup baik untuk menyelam, Nurdin mengikatkan ujung simpul tali di kaki kirinya dan ujung satunya diikatkan di bongkahan batu. Nurdin turun ke laut dengan hati-hati dan menyelam ke dasar. Dipasangnya jaring-jaring jodang itu ke lubang-lubang batu tempat sarang lobster dan udang. Kemudian Nurdin menarik tali tambang di kakinya, menepi. Air laut terasa lebih hangat daripada udara malam.

Nurdin naik ke darat. Dia bersiul-siul sembari membayangkan hasil yang banyak esoknya. Hatinya bersorak, selain ada kepuasan batin, juga karena ia akan mendapat banyak uang. Dia sudah mengangan-angankan akan membeli apa setelah ini. Khayalannya terbang jauh. Ketika salah satu kakinya menginjak bebatuan yang licin berlumut, seketika tubuhnya melayang dan terpelanting, secepat kilat. Nurdin berteriak dan terjerembab. Lalu… serpihan cahaya, gelap pekat, cahaya, lorong- lorong yang panjang, asing, tempat yang asing,… terperosok ia di antara denyut waktu.

***

Saat subuh tengadah, Maryah, istri Nurdin baru saja terbangun. Tak ditemukannya Nurdin di tempat tidur, hanya anaknya yang masih pulas. Pintu juga tidak dikunci. Mungkin saja suamiku sudah berangkat kerja ke sawah, pikirnya menenangkan diri.

Maryah ke dapur menyalakan tungku. Asap mengepul sebentar, membuatnya terbatuk-batuk. Api menyala dan dihangatkannya sayur semalam. Kemudian memasak air dan membuat sambal terasi. Dibangunkannya anak lelakinya untuk mengantar sarapan bapaknya. Maryah mengambil cucian dan berangkat ke kali.

“Mak, Bapak tak ada di sawah,” Teriak anaknya dari kejauhan.

“Ke mana. Kau sudah mencarinya?”

“Sudah, tak seorang pun yang kutanya melihat bapak di sawah.”

Maryah cepat-cepat membereskan cucian dan pulang dengan tergesa. Tiba-tiba perasaannya tidak enak. Dia takut jika terjadi sesuatu seperti terjadi pada iparnya, si Bari tempo hari. Dia langsung ke dapur dan tidak didapatinya peralatan ngejodang yang biasa tergantung di dinding dapur.

Maryah makin resah. Tiba-tiba dia terduduk lemah. Sudah bolak-balik ia ke rumah tetangga, menanyakan keberadaan suaminya pada setiap orang yang lewat. Tak seorang pun yang tahu ke mana dan di mana Nurdin berada. Maryah minta tolong pada tetangga untuk mencari Nurdin ke tempat biasa ngejodang. Ada bisik-bisik dan cibiran dari mulut perempuan tetangga: beginilah akibat jika ada orang yang keras kepala, seperti tak tahu saja risikonya.

Sampai malam orang-orang baru pulang. Bukan Nurdin yang mereka temukan, tapi kabar buruk bahwa Nurdin sudah tak ada. Namun mayatnya tak ditemukan. Hanya lampu badai dan beberapa peralatan ngejodang yang mereka temukan.

Maryah dan anaknya hanya bisa pasrah setelah berbulan-bulan Nurdin belum juga bisa ditemukan. Berbagai isu menyebar, tubuh Nurdin ditelan ombak dan tak akan pernah dikembalikan. Ada pula yang mengatakan Nurdin ke pulau seberang karena ingin hidup kaya dan punya istri yang lebih cantik. Ada pula desas-desus Nurdin bertapa di goa keramat untuk memperoleh ilmu hitam. Namun tak satu pun isu tersebut dapat dibenarkan. Maryah hanya percaya suaminya mati ngejodang. Namun dari hatinya masih yakin bahwa Nurdin masih hidup dan akan kembali suatu saat, perasaan itu yang selalu dijaganya.

Setelah sepuluh tahun berlalu, tak ada yang berubah dari perasaan itu. Meski kampung kecilnya sudah banyak berubah: jalan sudah mulai diaspal, listrik PLN sudah masuk, tower telepon sudah berdiri.

Di dalam rumah panggung yang tak pernah berubah suasananya, Maryah menjahit baju di dekat jendela. Jika dilihatnya tetangga pulang melaut, disangkanya Nurdin yang datang. Jika terdengar dari luar suara telapak kaki dan ketukan pintu, cepat-cepat ia membuka pintu berharap suaminya yang pulang. Perasaannya agak terobati jika anak lelakinya yang telah bekerja di pertambangan batu galena menghiburnya. Anak itulah yang selalu menenangkan hati ibunya.

Hh, Maryah meghela napas panjang sembari tetap menatap daun-daun mangga yang masih bergoyang. Tertiup angin laut.

***

Dini hari yang mati. Baru saja akan menyambut pagi. Tiba-tiba Nurdin seolah baru bangun dari tidur nyenyaknya semalaman. Kemudian cepat-cepat dia memeriksa jaring jodangnya, namun betapa ia kecewa tak ditemukannya seekor pun udang yang tersangkut di jaring. Bahkan benang-benang jaring yang kokoh itu tampak jebol, hanya menyisakan lingkaran besi yang kian berkarat. Tak mungkin udang makan jaring, gerutunya tak percaya.

Kekecewaannya bertambah pula saat tak ditemukannya juga sarung dan lampu badai yang dibawanya semalam. Terpaksa ia harus pulang tanpa hasil apa-apa, dengan tubuh menggigil kedinginan. Barang-barangnya yang hilang dan jaringnya yang jebol tak terlalu ia pikirkan. Sekarang ia ingin segera pulang, mandi, sarapan, lalu tidur dengan selimut tebal. Dia ingin segera tiba di rumah, mungkin saja istrinya sudah bangun dan tak mendapatinya di tempat tidur. Nurdin sudah tidak sabar ingin cepat sampai ke rumah. Maka ia mempercepat langkah.

Nurdin sempat berpapasan dengan orang-orang yang dulunya tampak muda kini seketika tampak lebih tua. Mereka berjalan ke arah laut. Nurdin heran dan tak percaya. Dia menegur namun mereka tak menjawab. Bahkan mereka malah melempar tatapan aneh seolah melihat makhluk tak dikenal. Kemudian mereka cepat-cepat pergi setelah bergumam.

Begitu pula saat ia berpapasan dengan tetangga-tetangganya yang lain. Dia melihat kejanggalan yang sama. Mereka cepat-cepat pergi setelah bergumam: “Nurdin?” dengan nada tak percaya.

Ah, barangkali Nurdin memang tak pernah mau peduli dengan hal-hal aneh dan janggal. Dia ingin cepat sampai ke rumah, tubuhnya terasa lelah.

Kotaagung, 2008–2009

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae