Jumat, 19 November 2010

Dan Intuisi Membisikkan Peluang sang Legendaris

Selamat Jalan Pramoedya Ananta Toer…

IBM Dharma Palguna
http://www.balipost.co.id/

SAYA seorang mahasiswa yang sedang nenulis sebuah skripsi untuk menamatkan kuliah di Fakultas Sastra. Pramoedya Ananta Toer adalah nama yang langsung saya pilih tanpa keraguan sedikit pun. Setelah itu barulah memilih salah satu karyanya untuk dianalisis. Pilihan jatuh pada roman Perburuan. Ketika itu tahun 1984.

Saya tidak mengenal pemilik nama besar itu. Saya juga sama sekali tidak pernah melihatnya. Bagi saya ini seperti tokoh tidak nyata, yang samar-samar menampakkan diri hanya kalau saya sedang membaca bukunya. Saya pun lantas menulis surat kepada tokoh tidak nyata itu, menanyakan beberapa hal berkaitan dengan dirinya, kepengarangannya, dan pertanyaan seputar roman Perburuan.

”Tidakkah pilihan Anda akan menimbulkan kesulitan di masa depan? Saya siap membantu, asal bisa dipastikan dengan surat persetujuan Rektor.”

ITULAH salah satu isi jawaban yang saya terima. Kedatangan surat balasan itu sangat membesarkan hati saya. Ia seketika menjadi figur real yang bisa diajak berkorespondensi. Surat dengan bahasa Indonesia jernih cemerlang itu membuat hati saya lama berbunga-bunga. Saya bahkan tidak begitu memikirkan apa yang dikemaskan oleh Pramoedya, termasuk kecemasan beberapa rekan yang mengetahui permasalahan sejarah antara Pramoednya dengan Orde Baru. Saya hanya seorang mahasiswa yang mabuk oleh idealisme tentang sesuatu yang hanya saya ketahui dari buku-buku. Bacaan seputar politik dan sastra Indonesia seputar awal tahun 1960-an telah membentuk keyakinan saya, bahwa piilhan saya tidak salah. Sehingga mustahil saya mengganti nama pengarang dan judul karya pilihan demi ”keamanan”. Surat persetujuan yang diminta Pramoedya bisa saya dapatkan. Bukan persetujuan Rektor, cukup Dekan. Saya kirimkan dengan kilat khusus!

Setelah tonggak itu, saya terus berkirim surat. Ia tidak pernah tidak membalasnya. Tidak jarang dalam sebuah amplop besar Pramoedya mengirimkan buku, majalah, fotokopi artikel, dan nama serta alamat relasinya untuk saya hubungi. Kesabarannya meladeni anak ingusan seperti saya, membuat saya hormat di dalam hati. Saya merasa didukung oleh sebuah kekuatan besar, jauh lebih besar daripada kekuatan lembaga formal dan orang penakut yang ingin menggagalkan skripsi itu, baik dengan alasan stabilitas maupun alasan pribadi yang dibungkus bingkai akademis.

Waktu berjalan seperti apa adanya. Lama saya tidak mengabarkan perjalanan penulisan skripsi itu kepadanya. Suatu hari datanglah sebuah surat. Saya membacanya seperti menerima teguran dari seorang guru. Tapi mau bilang apa? Penulisan skripsi itu tidak selesai rencana, akibat permasalahan seputar ”stabilitas”. Saya hanya bisa mengatakan ”bersabarlah” kepada diri sendiri. Saya tahu kesadaran itu susah sekali direalisasikan, tapi saya harus mengatakan sesuatu pada diri. Dan kepada Pramoedya saya kabarkan, ”tidak akan lama lagi!” Saya percaya ia mengerti apa yang saya maksud berkaca pada pengalamannya sendiri, baik sebagai penulis maupun sebagai manusia.

Memang skripsi itu akhirnya selesai. Saya diuji dan dinyatakan lulus. Secara hukum saya dibolehkan memakai gelar ”drs.”. Tapi bukan gelar itu yang pertama-tama saya urus. Langsung saya berkabar dengan sebuah fotokopi skripsi sebagai tanda bukti. Pramoedya membalas dengan beberapa catatan, terutama hal yang berhubungan dengan kehidupan pribadinya, yang tidak bisa tidak juga muncul dalam skripsi itu.

Balasan itu adalah surat Pramoedya terakhir yang saya terima. Karena setelah itu saya tidak pernah mengiriminya surat. Bukan karena nama itu hilang dalam pikiran saya. Karena saya tidak lagi punya alasan bermutu untuk mengganggunya. Saya tidak bisa dan tidak biasa menulis surat untuk sekadar menanyakan musim apa sekarang di sana, apakah tanaman pisangnya sudah berbuah, apa acaranya menyambut hari raya nanti, dan sebagainya. Ketika untuk suatu urusan saya berada di Jakarta, saya beranikan diri mengunjunginya langsung. Ketika itu ia tinggal di sebuah daerah bernama Utan Kayu, Jalan Multikarya.

Seorang perempuan seumur ibu saya menyambut kedatangan saya di depan pintu. ”Siapa Dik?” sapanya pelan. Saya yakin perempuan itu tentulah istri Pramoedya yang bernama Maimunah. Fotonya menghiasi banyak surat kabar ketika Pramoedya dibebaskan dari pulau Buru, tempat ia diasingkan lebih dari sepuluh tahun atas ”dosanya” menjadi pengarang besar. Saya jelaskan siapa diri saya, dan mau apa datang ke sana.

”Oh, yang dari Bali itu ya,” katanya seperti mengingat-ingat sesuatu. ”Silahkan, Bapak ada di ruang kerjanya, di atas,” tangannya menunjuk ke lantai dua.

Rumah itu bertingkat dua. Sangat sederhana. Sebuah sepeda motor tua merek Honda berwarna merah bersandar di tembok samping rumah. Tangga kayu lapuk menuju lantai atas. Satu per satu saya naiki anak tangga. Di sana saya melihat seorang lelaki, tidak mengenakan baju, duduk di belakang meja menghadapi lembaran-lembaran kertas. Di sana sini buku dan kertas bertumpuk-tumpuk. Sebuah mesin ketik manual di atas meja. Wajahnya tidak berbeda dengan foto-foto yang disebarkan media cetak.

Saya merasa seperti murid sekolah dasar yang dipanggil menghadap guru karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Saya tidak bisa menebak bagaimana perasaannya. Bahwa saya sudah duduk manis di depan Sang Guru, sudah lebih dari cukup. Saya tidak berharap ia akan menuturkan rahasia kesaktiannya. Saya bahkan tidak ingin ngomong. Tapi alangkah konyolnya, jika saya bertamu hanya untuk diam. Percakapan yang kemudian terjadi tidak saya ingat. Saya hanya sibuk merasakan bahwa pengarang legendaris itu sedang berbicara kepada seorang murid malas.
***

BAU KATA pramoedya mengantarkan perjalanan saya selanjutnya. Kira-kita lima tahun setelah itu, saya memulai hidup di Leiden, Belanda. Di sana saya bertemu seseorang yang kemudian menjadi figur mempengaruhi hampir sepuluh tahun hidup saya selanjutnya. Ia mengaku betah berada di Jakarta karena sebuah kata, pramoedya. Namanya Henk Maier, seorang profesor sastra. Seminggu sekali saya ikuti kuliahnya yang sangat inspiratif. Banyak artikel tentang Pram lahir dari renungannya. Salah satunya bahkan pernah dikirimkan dan direkomendasikan oleh Pram sendiri untuk saya baca. Banyak pula terjemahan roman Pram ke dalam bahasa Belanda lahir dari ketekunannya.

Pada sebuah acara perkenalan mahasiswa baru ia nampak tertarik mendengar saya mengaku menaruh hormat dan kagum pada Pram. Pertemuan itu menjadi awal kerja-sama panjang selanjutnya. Henk, begitu saya memanggilnya, bukan saja dua tahun kemudian mengundang saya menjadi pengajar bahasa Indonesia di jurusannya, ia kemudian bahkan menjadi promotor saya. Dua keberuntungan itu datang bukannya tanpa sebab. Intuisi saya membisikkan bahwa peluang itu datang tidak lepas dari bau kata pramoedya.

Saya tidak hendak mengecilkan arti diri sendiri, karena pasti ada faktor lain yang menyebabkan kesempatan itu diberikan pada saya. Faktor itu tidak relevan dibicarakan di sini. Dalam batas tertentu, saya yakin, sebuah persamaan lebih mendekatkan seseorang dengan orang lain daripada sejumlah perbedaan. Salah satu persamaan itu adalah kata pramoedya, yang sama-sama kami jadikan password.

Intuisi saya mengatakan, kata pramoedya ikut membuka jalan yang kemudian saya tempuh bertahun-tahun. Intuisi itu tentu amat sangat subjektif. Karenanya, tidak usah dipercaya. Intuisi itu hanyan berbicara untuk saya. Itupun dengan suara yang tidak kedengaran. Tapi saya mendengarnya amat jelas. Tentang suara intuisi ini, bahwa Pram ikut membuka jalan, saya, saya tidak memiliki pembelaan apa pun. Walau saya jadi tercengang, ketercengangan itu bukan pembuktian sebuah kebenaran. Bisa jadi membuktikan saya terkena halusinasi.

Izinkan saya melanjutkan cerita ini. Ketika itu saya sering membayangkan, bagaimana ending cerita yang saya rekonstruksi dari potongan-potongan peristiwa. Jika Pram ikut membuka jalan, akankah ia ikut mengakhiri perjalanan ini? Bertahun-tahun di Leiden tidak ada yang tahun pertanyaan itu menempel di otak saya. Karena saya memang tidak memberitahu siapa pun.

Waktu terus berjalan dengan kecepatan yang sama. Kadang terasa cepat, kadang lambat, tergantung jumlah dan kualitas peristiwa yang saya alami. Sehari-hari saya mengajar. Bila tidak mengajar, saya melanjutkan penelitian untuk menyelesaikan studi. Bila tidak mengajar dan tidak meneliti, saya bermain dan diam. Sastra Jawa Kuno yang saya pelajari mengilhami saya untuk belajar diam. Saya tidak tahu apakah ilham yang saya dapatkan keliru atau benar. Yang jelas, saya tidak merasa mengkhianati Pram ketika memilih spesialisasi Filologi.

Beberapa orang menuduh saya menyeberang dari Sasra Modern ke Sastra Klasik. Bagi saya tuduhan itu tidak beralasan. Saya hanya menarik garis dari satu titik ke titik berikutnya. Pada titik yang mana pun berada, saya tetap berhadapan dengan kata. Apa yang bisa saya lakukan kecuali menghormati kata. Karena kata ternyata jauh lebih tua, dan menyimpan lebih banyak pengalaman daripada saya. Karenanya saya menjadikannya sebagai guru. Kata hanya berbicara kalau saya membuka mulutnya.

Banyak orang berhasil terbebaskan dari duka karena kata. Saya tidak termasuk di dalam kelompok orang berhasil itu. Yang saya dapatkan baru keletihan. Kata memang menjanjikan kebebasan itu, tapi entah kapan. Dalam suasana batin letih seperti itulah saya kumpulkan tahun demi tahun di Leiden. Sampai pada suatu hari, bulan Mei tahun 1999.

Saya mencatat dua peristiwa pada awal tahun itu. Pertama, saya akan segera meninggalkan Leiden karena misi saya menyelesaikan studi sudah berakhir. Kedua, Pramoedya datang ke Leiden untuk memberikan ceramah umum. Semua orang waras tahu, kedua peristiwa itu tidak berhubungan satu sama lainnya. Tapi ada satu orang tidak waras di dunia ini yang merasakan kedua peristiwa itu memiliki hubungan. Orang itu saya. Tapi jangan bertanya bagaimana kedua peristiwa itu berhubungan. Karena saya tidak akan sanggup menjelaskannya. Paling-paling, saya hanya akan mengatakan, di dunia ini tidak ada kebetulan. Bukan suatu kebetulan pada akhir keberadaan saya di Leiden saya bertemu Pramoedya.

”Ternyata saya duluan menjadi Doktor!” katanya bercanda. Pram baru datang dari penganugrahan gelar Doctor Honoris Causa di Universitas Michigan, Amerika. Saya hanya tersenyum, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Otak saya sibuk dengan kekagetan. Ternyata ia memang hadir di akhir perjalanan saya menempuh lorong, yang ia sendiri ikut membukakan pintunya. Saya tidak banyak berbicara, karena Henk Majer membisikkan bahwa pendengaran Pram sudah tidak bagus lagi. Saya hanya melakukan percakapan kecil dengan ibu Maimunah.

(Catatan: Tulisan ini selesai tanggal 30 April, pukul 16.00 Wita, di Tabanan, Bali. Petang harinya pukul 19.05, saya baru mendengar berita Pramoedya meninggal dunia dan telah dikuburkan).

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae