Janual Aidi
http://janualaidi01.blogspot.com/
…..seperti yang terlihat dari sejarah dan realitas sekarang,
ternyata Indonesia terus mengalami pembodohan secara sistematis.
Prolog
Seingat dan sepemahaman penulis, bahwa dahulu ketika masih duduk berseragam “merah putih” terpampang jelas di kelas gambar para pahlawan-pahlawan bangsa yang berjuang demi merebut kemerdekaan dan meraih kebebasan. Salah satu gambar pahlawan tersebut adalah gambar Ki Hajar Dewantara atau Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ki Hajar Dewantara bukanlah semata pahlawan yang berjuang dengan senjata tombak, namun ia adalah sosok pahlawan yang memiliki senjata perlawanan baru yakni “senjata pendidikan”. Awal dari manifestasi perjuangan dengan senjata baru tersebut ialah dengan berdirinya Perguruan Nasional Taman Siswa (Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa). Bukti kontinyuitas dari senjata baru beliau itu, kini sekolah-sekolah sudah masuk ke pelosok-pelosok negeri Indonesia. Menyadari ini, hendaknya semua warga Indonesia wajib berterima kasih pada beliau. Namun akhir-akhir ini sangat disayangkan penulis tidak pernah lagi melihat gambar Ki Hajar Dewantara di kelas-kelas (terlebih ketika sudah duduk di bangku kuliah). Padahal, Ki Hajar Dewantara adalah permata pendidikan Nusantara. Beliau merupakan ‘aset mahal’ Indonesia yang tak ternilai.
Prolog di atas hanyalah kutipan, sebenarnya penulis ingin mengatakan “jangan lupakan dan jangan tinggalkan Ki Hajar Dewantara”. Sebab menurut penulis, saat ini bangsa kita sudah terlalu congkak melupakan sejarah. Bangsa kita seolah tak pernah memiliki sejarah dan para tokoh perjuangan . Pendidikan Indonesia seakan merasa tak memiliki dan mengakui Ki Hajar Dewantara sebagai anak bangsa yang sekaligus menurut penulis sebagai”prime mover” (penggerak utama) dalam dunia pendidikan. Realitas ini menimbulkan sebuah pertanyaan batin, apakah ini mentalitas manusia-manusia Indonesia sekarang? Kalau benar seperti ini mentalitas manusia-manusia Indonesia sekarang, lalu apa bedanya manusia-manusia Indonesia sekarang dengan para penjajah kolonial dahulu yang tak suka dan menjatuhkan hukuman internering (hukum buang) pada Ki Hajar? Penulis khawatir, jangan-jangan, manusia-manusia Indonesia sekarang yang sengaja melupakan dan tak mengindahkan konsep-konsep Ki Hajar Dewantara adalah “kolonial baru” yang menjajah Indonesia dengan konsep kapitalisme pendidikan. Kapitalisme pendidikan yang selalu menyisihkan hak-hak rakyat kecil. Membuat konsep baru bahwa pendidikan hanya untuk “mereka” yang ber-uang dan orang miskin dilarang sekolah. Ini merupakan “PR pendidikan” bangsa kita saat ini, apakah “mereka” yang menjajah dengan gaya kapitalisme pendidikan adalah “orang-orang” yang tak suka dan membenci Ki Hajar Dewantara. Jikalau nantinya “mereka” terbukti sebagai “orang-orang” yang tak suka dan membenci Ki Hajar Dewantara, maka sepatutnya kita semua harus cepat-cepat mengusir mereka dari bumi Indonesia. Mereka tidak “welcome” di Indonesia. Ini adalah PR pertama bagi bangsa kita. Semoga bisa dikerjakan dengan tuntas.
Baiklah, penulis pada kesempatan ini ingin mencoba mengkritisi pola-pola yang berlangsung dalam dunia pendidikan Indonesia sekarang, kemudian akan penulis coba komparasikan dengan konsep Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara yang penulis rasa masih relevan untuk di implementasikan dalam perilaku pendidikan saat ini.
Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara
Nama asli Ki Hajar Dewantara adalah Raden Mas Soerwardi Soeryaningrat. Beliau dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis Legi tanggal 2 Mei 1889 sebagai putra keempat dari pangeran Soeryaningrat, putra tertua dari Sri Pakualam III. Konsep Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara (1922) memiliki arti yaitu pendidikan di lembaga pendidikan, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di keluarga. Konsep ini mengisyaratkan bahwa pendidikan dapat diraih di mana dan kapan saja serta menjadi tanggung jawab bersama. Konsep ini memberitahukan bahwa masyarakat dan keluarga memiliki tanggung jawab yang seimbang terhadap keberhasilan para penuntut ilmu. Artinya, bukan hanya sekolah yang dijadikan dan di amanatkan sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab besar (penuh) terhadap berhasil atau tidaknya individu dalam proses pendidikannya. Inilah inti makna dari Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Sayang seribu-sayang, kini di Indonesia terlihat bahwa Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara hanya dijadikan sebagai pusaka belaka. Atau menurut nalar penulis, kini di Indonesia hanya menerapkan “Tunggal Pusat Pendidikan” yaitu pendidikan dilembaga (sekolah atau universitas). Sekolah di anggap sebagai satu-satunya tempat belajar yang bisa mengantarkan pada kecerahan masa depan. Inilah konstruksi pemahaman dunia keluarga dan masyarakat yang terbangun pada masa sekarang. Konstruksi ini berakibat pada tiadanya perhatian dan tanggung jawab dari keluarga dan masyarakat atas suksesnya pendidikan peserta didik. Keluarga dan masyarakat seolah “EGP” (Emang Gue Pikirin) dengan tanggung jawab pendidikan mereka, dan ketika anak mereka gagal dalam pendidikan, yang disalahkan adalah sekolah. Kita harus kembali pada konsep “Tri Pusat Pendidikan” Ki Hajar Dewantara bukan melupakan dan meninggalkannya lantas memegang konsep baru yaitu “Tunggal Pusat Pendidikan” yang entah dicetuskan oleh tokoh siapa.
Sesuai dengan hakekat kandungan Tri Pusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara dengan kritisasi pola-pola yang berlangsung dalam dunia pendidikan Indonesia saat sekarang, maka dalam tiga ranah yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat telah dan banyak terjadi perilaku pembodohan siswa. Bentuk perilaku pembodohan dalam “keluarga” terlihat dalam hal: pertama, keluarga kurang perhatian pada anak seperti misalnya ketika rumah tangga mengalami “broken home”. Kita juga sering mendengar anak orang kaya disebut sebagai ‘anak pembantu’ dikarenakan anak mereka jarang diperhatikan oleh orang tua aslinya. Kedua, bentuk perilaku pembodohan lainnya adalah membiarkan anak menonton acara TV yang tidak mendidik serta tidak sesuai dengan tingkat perkembangan usia anak. Misalnya membiarkan anak menonton sinetron atau film “Cinta Fitri, Pernikahan Dini, Ayat-Ayat Cinta, Suster Ngesot, Hantu di Sekolah” dan sebagainya. Ketiga, ketika terjadi pemaksaan hak pada anak. Misalnya “sang anak” memiliki bakat menjadi guru kemudian dipaksa oleh orang tuanya untuk menjadi polisi. Keempat, tindakan orang tua yang “menyuap” pihak sekolah (guru) agar anaknya lulus dan naik kelas. Kelima, tindakan orangtua yang menyuruh anak mencari nafkah, sementara anak masih membutuhkan pendidikan. Pada kasus seperti ini tidak sedikit anak menjadi tulang punggung keluarga. Beban ekonomi selalu menjadi alasan utama bagi orang tua untuk bertindak keliru terhadap pendidikan anaknya. Keenam, orang tua yang keras dalam mendidik anak. Konon, tindakan yang dirasa paling tepat oleh para orangtua ketika si anak mendapat nilai nol di lembar jawaban ujiannya adalah dengan memberi “hukuman”. Film kartun Doraemon merupakan satu gambaran tindakan umum para orang tua ketika menghadapi sang anak yang kesulitan dalam pendidikan. Tokoh si Nobita dalam film Doraemon akan selalu ketakutan bila pulang sekolah dengan membawa hasil ujian yang sangat buruk. Semua bentuk perilaku pembodohan dalam keluarga di atas merupakan PR-PR pendidikan yang semestinya kita sikapi dengan bijak dan arif.
Bentuk perilaku pembodohan siswa dalam “sekolah” tak kalah sadis. Penulis menemukan beberapa contoh, seperti memanipulasi nilai, gaya mengajar guru yang membodohkan siswa (otoriter, tak memberi ruang kritis terhadap siswa, siswa dianggap seperti celengen), atau perilaku guru (sekolah) yang membocorkan serta menjual soal dan kunci jawaban. Pada kondisi ini siswa pun akhirnya menjadi sosok 5D (datang, duduk, dengar, dengkur, dan duit). Maka, tak berlebihan jikalau seorang tokoh yang bernama Thomas Armstrong pernah berkata bahwa “masyarakat saat ini sedang mengalami penderitaan karena salah ajar (dysteachic community)”. Belum lagi dengan praktik pendidikan kita yang sering mengalami perubahan kurikulum secara “erratic” . Ditambah lagi dengan banyaknya guru yang tidak mampu mengaitkan mata pelajaran yang diajarkan dengan fenomena sosial yang dihadapi masyarakat. Penulis teringat dengan buku yang berjudul “Sekolah Itu Candu” (2007) karangan Roem Topatimasang yang membahas sekaligus mengkritik sekolah. Buku tersebut bertanya apakah sekolah itu hanya tentang ijazah? Tentang gelar? Tentang jalan mencari pekerjaan yang lebih baik? Apakah sekolah adalah satu-satunya cara untuk mencerdaskan seseorang? Dengan sedikit malu penulis mengatakan “PR pendidikan kita bertambah lagi”. Penullis melihat lembaga pendidikan kita tidak memberikan kesadaran tentang ini.
Bentuk-bentuk pembodohan di masyarakat lebih terlihat nyata. Sebagaimana dikemukakan di muka, bahwa pendidikan adalah tanggung jawab seluruh masyarakat, entah itu masyarakat miskin atau kaya, tua atau muda, pintar atau tidak pintar, siswa, guru, politikus, atau yang lainnya. Dari sini diharapkan akan tercipta masyarakat yang partisipatif. Namun sayangnya, yang terlihat adalah tidak adanya masyarakat partisipatif dalam memperhatikan atau mengontrol ataupun mengapresiasi pendidikan yang dilakoni siswa. Bentuk perilaku pembodohan dalam “masyarakat” terlihat dalam dua hal: pertama, perilaku para petinggi negara yang terlihat hanya bisa memberi contoh korupsi pada generasi muda saat ini. Kedua, orang-orang kaya tak lagi memberikan bantuan pendidikan bagi murid-murid yang ada di pelosok-pelosok desa. Tak ada lagi sumbangan seragam, sumbangan buku, pensil, tas dan yang lainnya.
Dengan terkuaknya bentuk-bentuk perilaku pembodohan siswa dalam tiga ranah yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat menunjukkan bahwa di Indonesia telah terjadi pembodohan siswa secara sistematis. Realitas ini memberitahukan kepada kita semua bahwa bangsa ini memiliki setumpuk PR pendidikan yang berat. Penulis melihat, salah satu faktor penyebabnya adalah karena kita telah melupakan dan meninggalkan pemikiran cemerlang Ki Hajar Dewantara dalam Tri Pusat Pendidikan. Saatnya kita kembali.
Diskriminasi Sekolah Swasta dan daerah terpencil
Pendeskriminasian sekolah-sekolah swasta ataupun sekolah-sekolah yang ada dipedesaan oleh penguasa merupakan PR lain yang lebih tragis. Dapat dikatakan bahwa pendeskriminasian ini terjadi secara merata di bumi Indonesia. Novel dan film “Laskar Pelangi” merupakan bukti yang jelas adanya pendeskriminasian tersebut. Di daerah propinsi Nusa Tenggara Barat misalnya, pada satu sisi dapat kita lihat dengan mata telanjang, sekolah-sekolah yang berlabel “negeri” mulai dari Sekolah Taman Kanak-Kanak sampai dengan Sekolah Menengah Umum atau sederajat berdiri megah disana-sini dengan bangunan yang seolah-olah berbusung dada. Belum lagi dengan sarana dan prasarana yang serba “mentereng”. Pemerintah Indonesia ataupun Pemerintah Daerah sepertinya meng’anakemas’kan sekolah-sekolah negeri. Akan tetapi di sisi lain, seperti yang dimuat oleh media cetak Lombok Post (Minggu, 24 Mei 2009) dalam berita “Laskar Pelangi ala Lombok”, terpampang sebuah fakta dan kisah yang memprihatinkan dunia pendidikan SDN 12 Pemongkong Kecamatan Jerowaru (daerah paling selatan Lombok Timur), SDN 6 Sukaraja ( Jerowaru, Lombok Timur), SDN 3 Batulayar (Kabupaten Lombok Barat), SDN 4 Lembah Sari (Lombok Barat) dan SDN 4 Mareje yang berada di balik bukit Sekotong Timur (Lombok Barat). Sekolah-sekolah yang berada di daerah terpencil tersebut rata-rata memiliki ruang kelas yang atapnya sudah rusak, bangku sekolah yang tak layak pakai, tembok retak yang menunggu waktu akan roboh, atap yang bocor, lantai yang tak memakai semen alias berlantai tanah dan jumlah guru yang terbatas. Hasil penelitian kecil didesa Selaparang Kabupaten Lombok Timur oleh kawan-kawan mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi STKIP Hamzanwadi Selong pada tahun 2007 lalu, menunjukkan bahwa didesa yang tergolong bersejarah tersebut hanya terdapat “satu” Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtida’iyah saja. Inilah potret pendidikan di “Pulau Seribu Masjid”. “Pulau Seribu Masjid”, bagian dari “Indonesia Seribu Pulau”. Kita tak bisa mengelak dan berbohong akan kenyataan dunia pendidikan yang dialami anak bangsa sekarang, padahal jika mau jujur, dahulu Ki Hajar Dewantara lebih senang bergelut dengan anak-anak awam dan sering tidur bersama di masjid. Ini menandakan bahwa pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan tak memandang “si kaya” ataupun “si miskin”. “Si desa” ataupun “si kota” dan “si priyayi” ataupun “si non-priyayi”. Sekarang ini dunia pendidikan kita terbalik, rakyat disuruh membiayai pendidikan anak-anak orang kaya yang sekolah di negeri, sementara anak-anak mereka yang miskin tidak bisa sekolah karena tidak mampu menanggung biaya sekolah.
Coba kita bandingkan kualitas pendidikan dahulu dengan sekarang, atau semangat para penuntut ilmu dahulu dengan sekarang. Para penuntut ilmu dahulu tidak memiliki fasilitas penunjang seperti yang dimiliki oleh para penuntut ilmu sekarang. Tidak ada internet, komputer, laptop, gedung yang mewah ataupun seragam sekolah yang indah. Yang ada hanyalah gedung sekolah sederhana, jalan setapak yang berlubang dan kadang kala becek, lidi sebagai alat bantu hitung, keseharian mereka yang di isi oleh saling meminjam buku, dan interaksi hangat serta salam dan hormat mereka dengan keluarga, guru dan masyarakat. Suatu alur kisah para “truth seekers” (pencari kebenaran) yang sulit ditemukan pada zaman sekarang.
Namun apa yang penulis tuturkan di atas sangat jauh berbeda dengan kondisi yang terlihat sekarang. Kini yang tampak adalah “si murid” tidak lagi menenteng buku dan pensil, melainkan menenteng laptop yang lebih banyak berisi lagu-lagu ataupun blue film (BF). Atau, para pelajar sekarang lebih sering terlihat memencet hand phone (HP) dari pada memegang dan membaca buku. Tidak ada lagi hormat pada guru, dan yang ada yaitu kabar “si murid” membacok “si guru”. Kegiatan diskusi kelompok pun tergantikan oleh ‘kumpul kebo dan perkelahian antar pelajar”. Kualitas pendidikan Indonesia sekarang hanya bisa menelurkan “manusia-manusia korup yang tak berkualitas”. Inilah yang tampak dan melanda pendidikan Indonesia saat ini. Dan inilah akibatnya ketika pendidikan dibangun hanya pada satu sisi sekolah saja, tetapi tidak mengindahkan pendidikan keluarga dan masyarakat.
Maka, tugas kita semua adalah “kembali pada konsep yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara”. Mengimbangkan peran sekolah, sekolah dan masyarakat. Terakhir, penulis hanya bisa mengatakan bahwa tugas akhir kita semua yaitu mengubah paradigma masyarakat dari “gila gelar” ke arah “gila kualitas”, dari “simbol” ke “aksi” sehingga kualitas pendidikan kita tidak hanya diukur oleh ijazah atau lamanya belajar di kelas, tetapi oleh kontribusi pemikiran dan keterampilannya dalam menata hidup dan kehidupan. Semoga setumpuk PR pendidikan kita dapat tertuntaskan dengan baik.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar