Y. Thendra BP
http://langit-puisi.blogspot.com/
Sementara saya menampik tawaran mengunjungi Pantai Tanjung Bunga, Hutan Wisata TuaTunu, Kuburan Cina Sentosa, Katedral ST. Yosef, Kuburan Akek Bandang, Museum Timah Indonesia, Rumah Eks Residen, Perigi Pasem, Tugu Kemerdekaan, Kerhof, yang ditawarkan oleh dinas Pariwisata Bangka-Belitung lewat buklet bagi peserta Temu Sastrawan Indonesia II yang hendak melancong.
Bukan karena tempat itu tidak menarik, tapi saya ingin sesuatu yang beda. Saya ingin mengunjungi objek wisata yang tidak terpromosikan. Berdasarkan pengalaman saya sebelumnya, tempat seperti itu kadang memiliki pesona yang tersembunyi.
Gayung bersambut! Kebetulan Raudal Tanjung Banua, Nurwahida Idris, Tsabit, Kedung Darma Romansah, (Yogyakarta), Nur Zen Hae beserta anak istrinya (Jakarta), Risa Syukria (Siak), dan Dahlia (Palembang), hendak bertandang ke rumah Sunlie Thomas Alexander di Belinyu.
Bersama rombongan peserta Temu Sastrawan Indonesia II di Pangkalpinang (30 Juli-2 Agustus 2009) yang masih belum bergegas pulang ke daerah masing-masing meski event tahunan itu sudah usai, saya menumpangi bus Damri yang disediakan oleh dinas Pariwisata negeri Timah itu.
Selama perjalanan dari Pangkalpinang ke Belinyu, saya pergunakan untuk melihat daerah yang dilintasi dari kaca bus yang melaju dalam angin petang. Beberapa kali saya tertegun, setiap kali melihat bekas-bekas lubang tambang timah yang ditinggalkan dan terbengkalai. Dan pohon-pohon yang tidak seramai laiknya di tepi Lintas Sumatera, berjajar rapat menatap bus yang melintas.
Duh, kegersangan yang menciptakan kesedihan. Tapi saya musti melihatnya. Melihatnya sebagai pelancong yang hanya bisa bertanya “kenapa?” tanpa menemukan jawaban yang memuaskan. Sebab tidak ada guide dalam rombongan kami selama perjalanan di bus itu. Diam-diam, kami seperti bersepakat menjadi guide bagi diri kami sendiri. Seperti sengaja menciptakan pertanyaan-pertanyaan bagi diri kami sendiri dan dijawab oleh diri kami sendiri.
Tak terasa lebih kurang 3 jam, bus itu mengantarkan kami ke kota kecamatan Belinyu. Sebuah kota tua yang didirikan karena pertambangan timah.
Kami disambut deretan bangunan-bangunan tua dan ruko-ruko yang sebagian besar tutup. Padahal baru jam 5 sore. Lagi-lagi saya didera pertanyaan “kenapa?”
Karena tidak tahan, saya pun bertanya kepada Sunlie, “Kenapa ruko-ruko di sini tutup?”
“Di sini orang-orang berdagang cuma sampai jam 4 petang,” jawab Sunlie.
Lalu ia mengajak saya masuk ke rumahnya, menyusul yang lain.
Di depan pintu, saya disambut oleh Mama Sunlie yang berumur sekitar 60-an dan ramah. Ia Menyapa saya dalam bahasa Cina Hakka. Saya cuma bisa memberi senyum, lantaran tidak faham bahasa Hakka itu.
“Mama saya tidak bisa ngomong dengan bahasa Indonesia,” ucap Sunlie.
Di Belinyu sekitar 30 persen penduduknya adalah Cina Hakka.
Dalam sejarah Cina perantauan (Overseas Chinese) ke Asia Tenggara, setidaknya dikenal 5 kelompok besar yang datang dan menetap, yaitu Hokkian,Hakka, Tiochiu atau Hoklo, Kanton, dan Hailam.Kelompok Hokkian dan Tiochiu dikenal sebagai kelompok pedagang, Kanton sebagai kelompok pengrajin dan tukang kayu.
Hakka sebagai pekerja tambang dan perkebunan. Dalam sejarah, Hakka adalah kelompok terakhir yang datang ke Indonesia . Mereka datang berombongan untuk dipekerjakan sebagai kuli tambang dan perkebunan.
Kedatangan Hakka pertama adalah ke Mandor dan Montrado, pertambangan emas yang dikonsesi oleh Sultan Mempawah dan Sambas, Sekitar awal tahun 1700, mereka didatangkan dalam jumlah besar melalui Serawak.
Ketika tambang timah di Bangka di buka sekitar pertengahan tahun 1700, yang disusul kemudian di Belitung, beratus-ratus orang Hakka dikapalkan ke Bangka. Dan terus berlanjut hingga pertengahan tahun 1800. Rata-rata didatangkan dari Meixien. Mereka datang tanpa membawa istri.
Ketika kontrak habis hanya ada dua pilihan, kembali ke Cina atau menetap di sekitar lokasi tambang. Bagi mereka yang tidak pulang membuka permukiman di Bangka, seperti di Belinyu.
Putusan untuk menetap diikuti dengan mengambil wanita setempat sebagai istri.
Arsitektur permukiman mereka telah berbaur dengan budaya setempat. Namun yang masih terlihat menonjol adalah banyaknya tapekong (tempat pemujaan besar kecil dalam permukiman itu).
Berbagai perayaan besar dalam tradisi Cina masih mereka lakukan. Sembahyang Imlek masih dirayakan dengan ketat, seperti pantangan menyapu pada hari Imlek, saling memberi Angpau, perayaan Cengbeng atau Cingming (perayaan bersih kubur leluhur). Begitu pula dengan Cioko atau sembahyang rebut, masih dilakukan.
Yang tak kalah menarik, di Belinyu memiliki tradisi mengadakan pembakaran Taiseja. Dalam perayaan itu juga disertakan berbagai replika alat transportasi seperi kapal laut, kapal terbang, dan sebagainya. Menurut Sunlie, itu disediakan bagi arwah-arwah orang Cina yang hendak pulang ke negeri leluhur.
Sayangnya, saya tidak datang pada saat perayaan itu berlangsung.
Namun, jalan-jalan melewati rumah-rumah kuno beraksitektur campuran Melayu-Cina-Belanda, pedagang buah-buahan, martabak Bangka, Sate Madura, Warung Pecel Lele, Bakso Solo, Ampera Padang, Otak-otak Bakar, Mpek-mpek, di bawah cahaya bulan malam itu menciptakan nuansa eksotis. Apalagi kelengangan memberikan kedamaian tersendiri. Jauh dari suasana kota metropolis yang hiruk-pikuk.
Kapitan Bongkap, Benteng Kutopanji, Kelenteng Liang San Phak
Merasakan malam pertama di kota Belinyu dengan listrik yang mati hingga subuh. Karena listrik bermasalah. Sebagian jaringan Listrik dilayani PT Timah karena PLN kekurangan jaringan. PLTU Mantung dekat pelabuhan Belinyu, yang pernah dibilang terbesar di Asia Tenggara, sudah lama tidak berfungsi. Pun PLTD di Baturusa, setali tiga uang. Sama saja. PT Timah akhirnya menjadi pemasok listrik tanpa meteran, dengan sistem borongan. Tapi layanannya masih mengecewakan, listriknya sering padam.
“Bangun! Lihat ke bawah,” ujar Raudal membangunkan saya dari tidur.
Dari beranda lantai atas rumah Sunlie, saya melihat ke bawah. Ada bus-bus umum ngetem di depan rumah Sunlie. Bus-bus itu sangat antik. Bodinya terbuat dari kayu yang dilapisi seng. Ada tangga menuju bagasi berpagar besi di atap bus itu. Saya jadi ingat waktu kecil dulu, bus keluaran tahun 1970-an macam itu pernah saya tumpangi bersama Papa dari Padang ke Bukittingi pertengahan tahun 1980-an.
“Sungguh kota tua yang masih menyimpan masa lalunya,” bisik saya pada pagi yang mulai menggeliat bersama pedagang-pedagang yang membuka pintu tokonya.
Pukul 10 pagi, saya beserta rombongan melancong ke luar kota dengan mobil rental kijang Inova. Berdesakan memang, karena mobil itu dinaiki saya, Raudal Tanjung Banua, Nurwahida Idris, Tsabit, Kedung Dharma Romansah, Nur Zen Hae beserta anak istrinya, Risa Syukria, Dahlia, Sunlie Thomas Alexander dan tentu saja Pak sopir. Tapi suasana riang bikin yang sempit jadi lapang.
Menempuh jarak 2 kilometer dari pusat kota Belinyu, sampailah kami di Benteng Kutopanji atau Benteng Bongkap, terletak di kampung Kusam.
Kekokohan sisa-sisa bangunan Benteng berwaran hitam keabuan—terbuat dari tanah liat yang dibakar—yang dibangun sekitar 1700 oleh Kapitan Bong atau Bong Khiung Fu , membuat saya terpesona. Meski yang saya jumpai sekarang adalah sisa-sisa dan kisah tentang Kapitan Bongkap, saudagar Cina yang kaya raya dan seorang pelarian politik.
Kami masuk ke dalam benteng, menemukan dua makam dengan arsitektur Cina di bagian paling belakang Benteng itu.
Yang terbesar adalah makam Kapitan Bong bertahun 1700 dan dipugar pada tahun 1973, di belakangnya di atas tebing adalah makam pengawalnya. Namun itu adalah replika makam Kapitan Bong, tapi tetap dihormati oleh masyarakat setempat. Karena sebenarnya, Kapitan itu meninggal di Malaysia dan Benteng Kutopanji jatuh ke tangan perompak Moro, Filipina.
Kemudian kami singgah ke Kelenteng Liang San Phak yang berdampingan dengan Benteng Kutopanji di sisi barat.
Kelenteng Liang San Phak, sebenarnya merupakan bagian dari Benteng Kutopanji yang juga didirikan oleh Kapitan Bong.
Aroma Hio menyambut kami. Nur Zen Hae, Risa Syukria, Kedung Darma Romansah, dan Dahlia, mencoba bergantian mengadu peruntungan dan ramalan nasib dengan membakar Hio di depan patung Thai Pak Kong (Paman Besar) bernama Liang San Phak dan patung istrinya, yang dibawa langsung oleh Kapitan Bong dari negeri leluhurnya. Patung ini pada tanggal 15 bulan ketujuh penanggalan Cina, diarak mengelilingi kota Belinyu sebagai prosesi sembahyang rebut.
“Ini Klenteng Dewa Bumi atau Tapekong. Menurut agama Konghucu, Klenteng Tapekong ini untuk tempat bersembahyang dan meminta agar rezeki banyak dan keselamatan,” ujar Fujianto alias Afu (35), salah seorang pengurus Klenteng.
Saya ingin bertanya lebih banyak lagi pada Afu yang ramah itu. Tapi karena waktu yang tidak memungkinkan, perjalanan musti dilanjutkan.
Pha Kak Liang
Setelah melewati jalan tanah berdebu, dan sesekali bertemu pula dengan bekas tambang timah yang ditinggalkan, sampailah kami di gerbang utama Pha Kak Liang yang bernuansa Cina. Makin ke dalam, arsitektur Cina itu makin terasa. Seperti demarga, rumah peristirahatan, gazebo, semuanya berornamen Cina.
Pha Kak Liang adalah sebuah objek wisata tirta yang dibangun di atas bekas tambang timah (kolong). Terletak 10 Kilometer dari kota Belinyu.
Keheningan dan kedamaian begitu terasa di tepi telaga seluas 3,5 hektar yang ditumbuhi pohon cemara dan akasia. Pemiliknya tiga orang etnis Cina bersaudara, dan menjadikannya sebagai villa peristirahatan, yang tetap terbuka untuk umum.
Sayangnya, kurang terawatnya Pha Kak Liang membuat objek wisata degan telaga berisi ribuan ikan emas yang hidup bebas itu tampak sedikit suram. Tapi bagi pecinta suasana sunyi, Pha Kak Liang memberikan itu. Dan semakin lama akan makin terasa. Namun, lagi-lagi perjalanan musti dilanjutkan.
Pantai Penyusuk
“Lihat pohon-pohon yang memeluk batu itu!” ucap Raudal.
Kalimat Raudal yang puitis itu seperti memberi tahu bahwa kami telah memasuki gerbang pantai Penyusuk. Ya, di kiri-kanan jalan memasuki area pantai tampak beberapa batu besar yang di sekilingnya di tumbuhi pohon-pohon.
Hamparan pantai yang landai dan ditumbuhi batu-batu besar menyambut kami. Beberapa perahu nelayan tertambat. Ombaknya tenang karena di depannya ada pulau cukup besar yang menjadi tameng. Sedang pulau kecil di sampingnya, berdiri menara suar yang tampak sebesar pohon nyiur melambai dari tempat saya berdiri.
Amboi! Negeri rayuan pulau kelapa, alangkah eloknya.
Saya tidak sabaran ingin menceburkan diri. Mandi-mandi di laut jadi kanak-kanak ria kembali. Hilang sejenak segan pada usia.
Namun Risa Syukria meminta saya untuk menemani dia mengambil air wudhu. Inilah perkaranya, ternyata kamar mandi umum dikunci. Penjaganya entah kemana.
Memang pantai Penyusuk sepi, jauh dari pedagang yang mata duitan. Akhirnya, kami menemukan berbungkus-bungkus air minum tergeletak ditinggalkan pemiliknya di atas sebuah batu besar.
Jadilah Risa sholat dan saya pun mandi menceburkan diri ke laut menyusul yang lain, yang telah dulu bermain dengan air garam yang jinak itu. Tak lama berselang, Risa pun menyusul.
Cuma Kedung Darma Romansah dan Pak sopir yang tidak mau membasahi tubuhnya dengan air laut di pantai yang tenang itu. Entah kenapa.
Setelah puas mandi-mandi. Main pasir pantai yang putih. Duduk-duduk dari satu batu ke lain batu. Rombongan sastrawan itu memutuskan untuk pulang.
Matahari sudah mulai mendekati ubun-ubun laut, beberapa jam lagi bakal angslup. Cuaca cerah. Tentu saja sunset akan terlihat terlihat sempurna di pantai barat ini. Namun apa hendak dikata, pertemuan matahari dan laut yang menciptakan cahaya emas itu, tak bisa saya saksikan.
Kami pun pulang dengan tubuh yang belum dibilas dari air laut karena penjaga kamar mandi umum itu tidak juga datang.
Sesampai di jalan Depati Amir, saya dan Risa Syukria yang juga reporter TV Siak, memutuskan turun dari mobil. Kami ingin berjalan kaki berdua menuju rumah Sunlie di jalan Sriwijaya yang jaraknya sekitar 500 meter dari tempat kami turun. Sedang yang lain terus pulang dengan mobil.
Kami turun dari mobil itu bukan karena ngambek, tapi ingin melihat lebih dekat rumah-rumah arsitektur Belanda yang dihuni pegawai timah di bawah gelimang cahaya senja.
Ya, sepanjang jalan Depati Amir itu berjajar bangunan-bangunan lama. Sayang sebagian sudah tidak terawat lagi. Padahal bangunan-bangunan itu merupakan jejak langkah dari perjalanan kota timah itu.
Menurut Ibrahim (52) salah seorang karyawan pertambangan timah yang kami temui di salah rumah kuno itu, dulunya rumah-rumah di kawasan jalan Depati Amir itu adalah kawasan elit yang ditempati oleh pegawai teras atas pertambangan timah. Dibangun pada tahun 1928.
Namun sejak menipisnya cadangan timah di Belinyu, rumah-rumah itu dihuni campur aduk antara karyawan biasa dan pegawai menengah. Bahkan sebagian rumah tidak dihuni lagi dalam kondisi yang mengenaskan, pintu dan jendela yang copot, serta dindingnya kumuh penuh coretan.
“Kota yang aneh. Tidak seperti kota-kota lain yang pernah saya datangi. Selama di sini, belum pernah saya lihat ada ABG nongkrong bersama menghabiskan petang. Bagaimana ya orang-orang hidup dalam kelengangan ini?” ucap Risa, dara rancak asal Minang ini, di jalan menuju ke rumah Sunlie—selepas jalan Depati Amir.
“Kota ini membuat Ngai Oi Ngi!” ujar saya memakai sekerat bahasa Hakka yang saya pelajari dari Sunlie.
“Apa itu Ngai Oi Ngi?” tanya Risa.
“Aku Mencintaimu!”
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar