Sabtu, 01 Mei 2010

Saya Telah Difitnah

AS Sumbawi
http://www.sastra-indonesia.com/

Sungguh. Beruntunglah anda yang bisa baca-tulis. Juga punya kesempatan membaca sebuah tulisan dan mengetahui bahwa Saya telah dijahati. Saya benar-benar telah difitnah.

Memang, ini bukan pertama kalinya. Bahkan sampai sekarang ini, sejak berabad-abad yang lalu, entah sudah berapa jutaan, milyaran, triliunan kali Saya selalu dimunculkan seperti itu. Saya dijadikan tokoh dengan berbagai macam profesi, jenis kelamin, klasifikasi umur, watak, kejadian, dan sebagainya.

Beberapa orang penulis meletakkan Saya sebagai tokoh dari berbagai tulisan; baik novel, cerpen, novelet, dan entah apalagi macamnya; mulai dari cerita cinta yang romantis, detektif, misteri, horor, silat, perjuangan kaum tertindas, petualangan, pencarian, dan sebagainya.

Di antara penulis yang pernah ada dan yang masih ada di dunia, penulis yang berperawakan kurus, berambut pendek yang ikal, berkulit kusam karena jarang mandi, berbola mata menonjol dengan sinar mata yang suram akibat kurang tidur dan jalan-jalan, namun yang menjadi khas fisiknya adalah tiga buah tahi lalat di pipi sebelah kiri yang membentuk segitiga kecil sama sisi inilah yang selalu mengganggu keberadaan Saya dengan menjadikan Saya sebagai tokoh yang mengidap penyakit psikologis. Psikopatik. Narcissis, neurotik, oedipus complex, pengidap depresi dan lain-lain merupakan sesuatu yang tak asing bagi tokoh Saya.

Malam itu, seperti beberapa kesempatan sebelumnya, penulis itu kembali mengagetkan setelah dua hari Saya merasa nyaman.
“Yah!” katanya bangkit dari rebahan sembari menyungkurkan sebuah buku sekenanya ke punggung kasur.
“Hei, bangun.”
“Ah, tuan penulis mengganggu saja.” Ia tersenyum.
“Bangunlah. Aku punya sesuatu untukmu,” katanya menyalakan komputer.
“Fitnah?! Pasti yang itu-itu saja.”
“Jangan komentar dulu. Yang ini lain dari yang lainnya,” katanya meyakinkan.
“Sudah. Jangan cemberut!” tambahnya seraya meng-click program Microsoft Word.
“Awas, kalau mengganggu! Akan kubunuh!” ancamnya dengan berlagak kepada Saya. Lantas ia menarikan jari-jari tangannya pada hamparan tombol keyboard komputer.*

Cerpen yang ditulisnya itu menceritakan seorang anak laki-laki dua puluhan tahun yang melakukan mutilasi terhadap tubuh ayahnya. Dalam pandangannya, si ayah merupakan ayah dan suami yang bejat bagi anak dan ibunya. Si ayah tak menghiraukan kehidupan keluarga. Kerap melakukan penganiayaan terhadap istri dan anak laki-lakinya. Merampas uang hasil kerja istrinya untuk mabuk dan berjudi dan berkencan dengan pelacur. Bahkan juga kerap membawa pelacur tidur di rumah. Hanya tampak satu perilaku baik dalam diri si ayah, bahwa ia menyayangi anak perempuannya yang masih kecil. Ia kerap membawa oleh-oleh untuk anak perempuannya itu ketika pulang.

Merasakan tingkah laku ayahnya, dalam pikiran anak laki-laki itu bersarang keinginan untuk membunuhnya. Setelah beberapa lamanya waktu, rencana itu selalu gagal dilaksanakan akibat segala sesuatunya tidak mendukung. Di samping itu, ia khawatir jangan-jangan ibunya akan berkurang kasih sayang kepadanya setelah tahu bahwa ia membunuh si ayah.

Pagi itu rumah tampak sepi. Hanya ada si anak laki-laki dan si ayah. Sementara ibunya pergi ke pasar dan adik perempuannya pergi sekolah di taman kanak-kanak. Melihat ayahnya yang sedang tidur setelah semalam membawa pulang seorang pelacur dan diteruskan dengan mabuk, ia merasa segala sesuatu mendukung dirinya untuk melancarkan rencana yang sudah menjadi obsesi terbesar dalam hidupnya. Ia kemudian mengambil pisau besar dan menghujam dada ayahnya. Melihat ayahnya meronta, ia menambah intensitas tikaman pisau hingga maut melenggang pergi membawa nyawa ayahnya.

Ia menyeret tubuh ayahnya ke lantai. Kemudian mulai melunaskan apa yang selama ini sering dibayangkannya. Menginjak-injak wajah ayahnya. Menendang kepalanya seperti dalam sepak bola. Membanting kedua tangan dan menghantamkan kedua kakinya ke tembok yang kerap memukul dan menendang ibu dan dirinya. Mengodol-odol perutnya yang membuatnya tak peduli pada kehidupan keluarga. Memotong kemaluannya yang sering digunakan dengan pelacur. Menyakiti ibunya.

Setelah isi dadanya telah dimuntahkan, plong, ia kemudian berusaha menghilangkan jejak-jejak perbuatannya. Ketika kembali setelah menguburkan potongan-potongan tubuh ayahnya yang dibungkusnya dengan karung, ia terkejut saat melihat ibunya telah duduk di kursi dalam kamar. Kepala si ibu bertumpu pada lengannya yang menyilang di atas sandaran kursi. Dan jari-jari tangannya memegang sobekan kaos dalam si ayah. Sementara darah mengotori separuh bagian kamar.

Si Ibu berkata: “Apa yang terjadi? Kau membunuhnya?” Ia tetap diam dan berjalan mendekat.
“Jadi benar kau membunuhnya?! Hei?!” si ibu menamparnya. Ia hanya diam sembari memandang mata ibunya yang bertambah merah. Si ibu kemudian pergi.

Ia sedang menggulung seprei yang berlumuran darah ketika ibunya kembali dengan setimba air dan kain pel. Kemudian membersihkan lantai.
“Cepat. Sebelum adikmu tahu,” kata si ibu.
Segera ia membawa seprei ke belakang, kemudian kembali dengan setimba air bersih.
“Di mana jenazahnya?”
“Telah kusingkirkan.”
“Di mana?”
“Tempat yang aman. Ibu tak usah khawatir.”*

Sudah tiga hari si ayah tak terlihat. Si anak senang bahwa ayahnya mati di tangannya. Ia tak rela ayahnya mati dengan terhormat, karena si ayah tak layak untuk itu. Maka, ia sendiri yang harus membunuhnya. Menurutnya; bahwa mati oleh tangan darahdaging sendiri adalah jalan kematian paling hina. Ia yakin, dengan begitu, semua orang akan beranggapan bahwa ayahnya bejat. Ia senang dengan hal itu, karena ayahnya benar-benar bejat. Bajingan. Dan ia merasa telah membebaskan keluarganya dari duri dalam daging. Membebaskan ibu.

Sebelum peristiwa itu, si anak pernah menduga bahwa ibunya akan shock jika mengetahui bahwa dirinya telah membunuh ayahnya. Tak apa-apa. Memang perlu waktu, pikirnya. Kemudian si anak membayangkan ibunya menyambut gembira ketika ia menemuinya dengan kabar bahwa ia telah membunuh bajingan itu. Ibunya akan mengucapkan mengucapkan ribuan terima kasih dan ribuan pujian. Seperti seorang putri yang diselamatkan oleh seorang ksatria berkuda putih yang gagah berani. Namun, yang terjadi kemudian adalah ibunya banyak diam dan tak menghiraukan dirinya.

Dalam keadaan seperti itu, si anak kerap memperhatikan ibunya ketika sedang melakukan pekerjaan. Pandangan mata ibunya menerawang jauh dan kosong. Si anak yakin bahwa ibunya memikirkan hal-hal yang tak jauh-jauh dari peristiwa itu.

Suatu kali ia memperhatikan ibunya yang melamun ketika sedang mengiris bawang merah. Tanpa sadar ia mengiris jarinya sendiri.

“Ibu!” ingatnya. Si ibu tersentak melihat jarinya berlumuran darah. Matanya merah.
Si anak buru-buru memegang tangan ibunya untuk menghisap lumuran darah di jarinya. Si ibu mengibaskan tangannya lantas pergi. Memang butuh waktu untuk membuat ibu kembali dan lebih menyayangiku, pikirnya.

Sementara si adik perempuan sering menanyakan perihal ayah kepada ibunya. Namun, ibunya selalu mengatakan bahwa si ayah pergi karena urusan penting. Sebenarnya, si anak laki-laki tidak setuju dengan jawaban ibunya yang berbohong kepada adik perempuannya itu. Ia berharap ibunya akan berterus-terang bahwa bajingan itu telah mampus dengan sepantasnya.

Beberapa hari kemudian, si anak ditangkap polisi atas laporan ibunya. Jenazah si ayah pun telah diketemukan dan tengah diperiksa tim forensik. Dalam keadaan seperti itu, dalam proses persidangan kasusnya, si anak yakin bahwa palu hakim ada di pihaknya. Namun jika sebaliknya, ia menganggap palu hakim telah semena-mena kepadanya. Karena ia merasa berbuat kebaikan dengan membunuh bajingan itu. Si anak jadi membenci ibunya karena maju menjadi saksi dalam persidangan. Menurutnya, seharusnya ibunya menjadi lebih sayang kepadanya. Karena ia telah menyelamatkan ibunya. Si anak juga membenci para wartawan yang seenak-udel menuduhnya sebagai pembunuh berdarah dingin.

Hari itu palu hakim memutuskan si anak bersalah. Sehabis persidangan si ibu mengunjungi dirinya di penjara. Tidak seperti biasanya, saat itu ia bersedia menerima ibunya. Lantaran melihat kesedihan ibunya yang teramat dalam. Ia sangat menyayangi ibunya.

Sebelum pulang ibunya berkata: “Aku tak mau kau menjadi buronan dan hidup sengsara dalam pelarian, Nak. Makanya aku melapor ke polisi. Aku berharap setelah keluar dari sini, kau bisa menjadi orang baik. Benar-benar sembuh. Aku menyayangimu, Nak.”
Si anak kecewa dan marah. Ia mengumpati mereka semua.

“Ah, bajingan. Mereka semua menganggapku sakit seperti anggapan dokter jiwa dan psikiater yang tidak valid itu. Psikopat.”
“Ya, ya, baiklah. Tapi, aku berharap cepat-cepat keluar dari sini. Aku ingin mengajarkan kebenaran kepada mereka semua,” katanya tersenyum dengan harapan. {}*

“Yah. Selesai,” katanya kemudian memencet tombol Control dan S.
“Bagaimana?” tambahnya.
“Tuan penulis, Saya bosan. Katanya, ceritanya lain dari yang lain.”
“Lho, memang lain.”
“Tapi, tetap saja dengan penyakit psikologis-psikopatik.”
“Ya, memang. Tapi, bagus khan. Apalagi penutupnya itu,” ia menatap ke layar computer dan membaca dua baris terakhir: “Aku berharap cepat-cepat keluar dari sini. Aku ingin mengajarkan kebenaran kepada mereka semua.”

“Bisa kaubayangkan bagaimana seorang psikopat berkata seperti itu,” tambahnya tersenyum. “Pembaca akan shock.”
“Tapi, tuan penulis. Saya bosan menjadi tokoh psikopat. Bagaimana kalau sekali-kali Saya dijadikan sebagai seorang pria yang tampan, berkelakuan sopan, kaya…”
“Hem, kaya?! Kok enak?!”
“Ya, miskin juga nggak apa-apa, deh. Tapi yang rajin bekerja…”
“Profesinya apa?”
“Ehm, penulis saja. Seperti tuan.” Ia tersenyum.
“Kemudian Saya jatuh cinta dan menikah dengan seorang…”

“Pelacur?!”
“Bukan. Gadis yang sangat cantik. Dan kaya.”
“Hem, lelaki mana yang tak suka?!”
“Iya. Gambarannya seperti ini, jika seluruh perempuan cantik di dunia ini dikumpulkan, maka kecantikan perempuan tersebut adalah hasil dari persekutuan seluruh perempuan cantik tadi. Sederhana, toh.”

“Wah. Aku jadi ingin tahu. Penasaran bagaimana cantiknya dia.”
“Pokoknya, tuan tulis saja seperti itu.” Ia mengiyakan kepala dengan tersenyum.
“Dan bagaimana dengan ceritanya, Saya percayakan kepada tuan. Tapi, harus yang romantis, heroic, dan happy ending.”
“Aku tidak mau,” katanya seraya melompat. “Itu akan membuat pembaca suka melamun. Mengkhayal.”

“Tapi, Saya ingin seperti itu. Dan Saya yakin, banyak pembaca yang akan suka.”
“Pokoknya, a-k-u t-i-d-a-k m-a-u.” Ia diam sejenak. “Kau tahu karya sastra yang oleh para kritikus dibedakan sastra serius, mainstreem dan sastra pop, kitch?” Saya hanya diam dan cemberut.
“Tidak usah kusebutkan bagaimana para kritikus membedakan ciri-ciri keduanya. Tapi, menurutku,… hei, dengarkan.”
“Iya. Saya tidak tuli.”

“Sudah. Cemberutnya berhenti…” ia mengambil rokok dan menyulutnya. Lihatlah, gayanya seperti penulis besar. Padahal, mutu karyanya masih kalah dengan karya-karya dari penulis yang jauh lebih muda darinya. Lihat, bagaimana dia menghisap rokok dan mengeluarkan asapnya. Huh, menyebalkan.

“Kau tahu?! Bagiku, karya yang membikin melamun dan mengkhayal itu yang dikategorikan kitch. Sementara yang membikin merenung dan berpikir itu yang dikategorikan mainstream.”

“Terserah tuan. Masalahnya, Saya bosan menjadi pengidap penyakit psikologis-psikopatik.”
“Huh, dikasihtahu kok.” Ia mengisap rokoknya. “Sana. Aku mau membaca cerpen tadi. Barangkali ada yang perlu direvisi,” katanya kemudian menyalakan printer.
“Ehm, enaknya judul apa, ya?!”
“Saya Bosan Sama Tuan, judul yang bagus.”
“Diam. Awas, kubunuh kau?!” ancamnya.*

Seminggu sudah penulis itu tidak menyapa Saya. Maklumlah, ia akhir-akhir ini kerap bepergian dengan vespa tuanya. Akan tetapi, seminggu tak menyapa Saya masih cukup sebentar dibandingkan beberapa waktu yang telah berlalu. Ia pernah tak menyapa Saya selama tiga bulanan. Meskipun, ia sudah beberapa kali mencoba dan bertemu Saya. Saya tenang dengan keadaan Saya.

Sementara rumah kecil di sebuah perumahan yang dibelinya dengan kredit itu kerap kosong. Ia belum beristri dan tinggal sendiri, meskipun menurut rencana dua bulan lagi ia akan menikah dengan teman kuliahnya dulu. Ia pun jarang berkunjung ke rumah orangtuanya di luar kota. Hanya lebaran saja.
Tiba-tiba pagi itu dia pulang dan mengagetkan Saya.

“Hei, bangun! Aku punya sesuatu,” katanya menghidupkan komputer.
“Apa tuan?!
“Lho, dasar pikun.”
“Benarkah?!”
Kemudian ia membeberkan idenya. Ceritanya tentang lelaki tampan dari Timur Tengah yang menjalin cinta dengan seorang gadis yang cantik dan kaya. Berprofesi sebagai novelis muda yang cukup ternama. Ia seorang yang megalomania, yang melakukan bunuh diri hanya karena kecewa dengan karyanya. Ia menganggap karya-karyanya yang terakhir mengalami penurunan kualitas. Tidak sedahsyat karya-karyanya yang sebelumnya. Sementara kekasihnya, gadis cantik dan kaya itu masuk rumah sakit jiwa karena kenyataan itu.

Penulis itu tampak berpikir dan belum mulai menulis.
“Tuan penulis.”
“Hem, mengganggu saja. Apa?”
“Saya bosan. Saya ingin dijadikan seperti apa adanya.”
“Gila apa?!” katanya dengan melompat. “Itu sama saja bunuh diri.” Saya merinding.
“Kau tahu. Kalau aku menjadikan dirimu apa adanya, lantas apa yang akan terjadi. Kau itu murni. Tidak ada apa-apanya jika tidak dijadikan sebagai yang lain. Makanya, harus difitnah agar menjadi ada,” katanya dengan mimik serius.
“Terserah tuan, deh. Saya pasrah. Memang sudah nasib Saya menjadi korban fitnah.”*

Memang, ini bukan pertama kalinya. Bahkan sampai sekarang ini, sejak berabad-abad yang lalu, entah sudah berapa jutaan, milyaran, triliunan kali Saya dijadikan korban. Difitnah oleh para penulis yang pernah ada dan yang masih ada di dunia. Akhirnya, Saya tahu. Dan langkah terbaik bagi Saya selanjutnya adalah masa bodoh.

Saya masa bodoh dengan apa yang akan ditulis oleh penulis dengan tiga buah tahi lalat di pipi sebelah kiri yang membentuk segitiga kecil sama sisi itu. Terserah. Akan tetapi, sungguh Saya masih beruntung. Karena anda bisa baca-tulis. Dengan begitu, anda tentu saja bisa menjadi saksi bahwa Saya telah difitnah. Karena ngomong-ngomong, dua kakek dan dua nenek dari penulis yang tengah kita hadapi ini, buta dalam bahasa Indonesia. Ia hanya bisa membaca huruf arab dan pegon saja.

Dan kertas-kertas yang menampung huruf-huruf dalam cerpen yang akan ditulis oleh penulis ini, akan membantu Saya. Begitu juga dengan buku-buku dan media massa. Menjadi bukti pada pengadilan nanti.
“Bagaimana tuan penulis?”
“Diam! Sudah bosan hidup, ya. Minta dibunuh?! (*)

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae