Senin, 04 Mei 2009

Sastra & Lokalitas, ‘So What Gitu Loh’…!

Ari Pahala Hutabarat*
http://www.lampungpost.com/

DI Lampung perbincangan mengenai lokalitas sering menjebak kita untuk membawa kembali tradisi dari masa lalu ke masa sekarang. Kita takut sekali dianggap sebagai anak tiri atau anak haram dari tradisi.

Pertanyaannya, apakah kita mempunyai ayah dan ibu kandung tradisi ini? Apakah pernah ada orisinalitas itu, sesuatu yang murni, dari tradisi Lampung? Jawabnya, tidak ada.

Ini bukan hanya berlaku bagi tradisi Lampung. Ini juga berlaku bagi seluruh tradisi di muka bumi ini. Tidak ada yang dapat mengaku tradisinya asli, orisinal. Cultural studies secara ilmiah mampu membuktikan hal tersebut–klaim orisinalitas merupakan sebentuk imajinasi buatan kaum modernis.

Secara genealogi tradisi Lampung merupakan anak dari tradisi Islam dan Hindu. Kita dapat menyatakan tradisi Islam sama dengan Arab, Hindu sama dengan India. Jadi, mana tradisi Lampung yang orisinal gitu loh…!

Jangankan tradisi, agama saja tidak ada yang orisinal. Setiap agama selalu menyerap unsur dari agama sebelumnya. Jadi, dapat saya katakan keinginan kita teguh terhadap tradisi adalah mimpi di siang bolong.
***

Seluruh seniman besar di dunia adalah orang yang mampu berpikir secara global dan bertindak secara lokal. Sebut saja Derek Walcott, Isaac Bashevis Singer, Naguib Mahfouz, Yasunari Kawabata, Yukio Mishima, Gao Xing Jian, Rabindranath Tagore, Octavio Paz, Gabriel Garcia Marquez, Salman Rusdhie, V.S. Naipaul, dan Toni Morrison.

Dramawan Ong Keng Sen, Peter Brook, Grotowsky, Barba, Tatsumi Hijikata, Sardono W. Kusumo, Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Yudi Ahmad Tajudin, contoh-contoh yang lain. Mereka mempunyai satu kesamaan, memberikan tafsir baru terhadap tradisi yang ada di muka bumi ini melalui sudut pandang universal atau global.

Yasunari Kawabata sosok manusia Jepang yang paham tradisinya, hidup sungguh-sungguh dalam tradisi itu. Tetapi, di lain sisi ia mempertanyakan tradisinya. Dengan tekun Kawabata menyadap daya ucap dan cara ucap tradisi bushido Jepang.

Dengan cerdik pula ia kawinkan daya ucap dan cara ucap itu dengan global–dalam hal ini cerpen dan novel modern. Dia dan banyak sastrawan lainnya tidak berkukuh dengan tradisi-tradisi yang beku. Karena mereka tahu kekukuhan yang konyol itu akan membawa kesumukan laiknya anak-anak ABG yang baru merambah dunia seni.

Di lain pihak, Peter Brook dan Ong Keng Seng dengan sangat cerdik mengangkat langsung tradisi yang hidup di berbagai negara. Ong Keng Seng dalam setiap produksi teaternya secara eksplisit membiarkan tradisi tersebut bermain di panggung. Tetapi, tradisi-tradisi tersebut tidak memainkan diri sendiri.

Mereka asyik bersenda-gurau dengan bentuk-bentuk tradisi lain, lalu bersama-sama membicarakan hal-hal yang universal. Ada tema universal yang dibicarakan di panggung itu karena kalau tidak, mereka sama saja mengangkat museum-museum ke panggung.

Kenyataan seperti di ataslah yang membedakan karya seni dengan benda-benda yang dipajang di museum. Di museum, tradisi masa lalu dibiarkan atau diawetkan apa adanya. Romantisme menjadi kekal. Waktu berhenti karena ruangnya pun berhenti. Sedangkan dalam karya seni, tradisi bisa saja menjadi spirit sudut pandang tertentu dengan mempertimbangkan kenyataan sekarang.

Atau, bisa juga tradisi digunakan bentuknya sebagai oposan terhadap bentuk-bentuk yang hidup dalam kenyataan sekarang. Dalam karya seni, kata “tradisi” menjadi kata kerja bukan kata benda.

Tradisi tidak perlu dilestarikan, karena memang dia belum mati. Tradisi tidak perlu diangkat karena dia memang selalu berdiri sejajar dalam kenyataan hidup.

Tetapi, kita dapat melakukan hal-hal seperti itu hanya jika kita mampu membaca peta secara universal. Tanpa wawasan universal, kita pasti akan mengatakan tradisi kitalah yang paling unggul atau tradisi kitalah yang paling orisinal. Tanpa wawasan universal kita akan terjebak romantisme, yang sama saja dengan menyepelekan tradisi tersebut.

Berarti di satu pihak kita harus berdiam dalam tradisi, tetapi di lain pihak harus bisa mengambil jarak secara dingin terhadap tradisi. Untuk Indonesia dan Lampung, sastrawan yang berpikir global dan bertindak secara lokal adalah kewajiban karena kita akan rugi kalau kita berkukuh kepada hal-hal yang global itu padahal kita sudah tahu pemetaannya.

Sesudah tinggal di New York selama sekian bulan Sardono W. Kusumo kembali ke Solo dan menggarap “Sagmita Pancasona” yang sangat lokal. Sesudah kuliah sekian bulan di New York barulah Rendra sadar realisme ala Stanilavsky bukanlah segalanya. Setelah melanglang buana ke Eropa dan Jepang barulah Putu Wijaya mendayagunakan tradisi Bali-nya. Sesudah lelah bertahun-tahun memainkan karya Shakespeare secara standar barulah Peter Brook menengok kembali tradisi bentuk-bentuk teater lokal yang ada di Asia.

Apa kesamaan yang ada pada diri mereka? Semuanya mempunyai wawasan seni yang kosmopolit, tetapi juga mampu mendayaucapkan tradisi asal untuk berdiri sejajar dengan kemapanan konvensi Eropa dan Amerika. Bahkan, mereka menciptakan mainstream baru yang turut memperkaya khazanah kebudayaan dunia. Bentuk baru yang sudah lolos berkelit dari klasifikasi lokal-global, tradisi-modern.

Peter Brook, Jerzy Grotowski, Rendra, dan sebagainya adalah contoh orang-orang yang seperti Nabi Muhammad saw. telah memproses mikraj untuk kemudian kembali mendayagunakan lokalitas masing-masing. Dengan cara seperti itu kita tidak menjadi sumuk dan mengatakan karya kita penuh muatan-muatan lokal.

Pertarungan karya selanjutnya adalah pertarungan strategi, sehingga kita mampu berargumentasi secara luas dan ilmiah dengan mengedepankan tradisi di pentas-pentas global dengan cara ucap yang universal.

Sebagaimana yang dilakukan sastrawan Amerika Latin yang cerdik menggunakan bahasa Inggris dan Spanyol–notabene merupakan bahasa asli Eropa–untuk menyampaikan visi dan misi tradisi Amerika Latin mereka. Modernisme yang tadinya sangat jumawa berperan sebagai tuan, ditarik dari tahtanya, dan hanya dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan spirit pemberontakan mereka.

Bahasa Inggris dan Spanyol menjadi senjata makan tuan bagi Eropa. Karya-karya mereka ditulis dalam bahasa Spanyol dan Inggris terjual jutaan eksemplar, tetapi isi karya-karya mereka secara eksplisit menggugat tradisi ke-Eropa-an.

Tak salah jika pernah seorang sastrawan Inggris berkata novel-novel terbaik yang berbahasa Inggris sekarang ini bukan diciptakan orang-orang Eropa tetapi ciptaan orang India, Amerika Latin, dan Cina peranakan, yang notabene merupakan anak tiri dari tradisi Eropa.

Eropa kecolongan. Bahasa yang tadinya merupakan alat imperialisme dan kolonialisme yang begitu penting sekarang ini berbalik menyerang mereka. Pengertian novel dan puisi modern disisipi, dipengaruhi, kemudian dijungkirbalikkan sastrawan-sastrawan Amerika Latin tersebut.

Via realisme mereka menciptakan realisme magis. Dan via realisme magis itulah sastrawan-sastrawan amerika latin menguasai dunia. Surealisme direbut dan diberdayakan mereka. Andre Breton dan Sigmund Freud menjadi seperti macan ompong jika dibandingkan kenyataan sehari-hari yang sangat surealistik di Amerika Latin.

Di Indonesia Danarto pun melakukan hal yang sama. Tanpa pernah berkoar ia mengangkat tradisi, ia langsung mendayagunakan tradisi dalam karya-karyanya yang universal dan kosmopolit itu. Dengan sangat piawai Danarto menggunakan tradisi Jawa yang tidak orisinal, langsung menukik pada inti tradisi yang ada di seluruh dunia, yang dengan sangat brilian diwakili tradisi Islam, yaitu wahdat al wujud atau manunggaling kawula gusti. Sebuah konsep yang universal yang ada pada setiap agama dan peradaban di dunia.

Sosok Danarto seharusnya kita tiru karena tidak berkoar dan tidak ge-er mengatakan tradisi harus diangkat dan lain sebagainya. Danarto secara praktis bermain menembus batas-batas semu ruang profan-profetik, ruang modern-tradisi, ruang ukhrawi-duniawi. Dengan sangat lincah Danarto “membadankan” visi-visi universalnya dalam tokoh-tokoh yang sangat Jawa dan Indonesia.

Batas-batas geografis menjadi panggung yang nisbi bagi tokoh-tokoh Danarto. Hamlet yang hidup di masa lalu dengan asyik saja masuk dan bermain di tanah Jawa. Ruang penciptaan adalah ruang yang netral. Kita seharusnya seperti anak-anak yang bermain, yang mudah saja beralih peran dari agama yang satu ke agama yang lain, dari ruang yang satu ke ruang yang lain tanpa rasa bersalah. Seorang sastrawan adalah seperti anak kecil dengan tubuh yang dewasa atau seperti para nabi dan waliullah yang dengan lincah bergerak menembus batas ruang dan waktu.
***

Saya sependapat dengan Oyos Saroso H.N. yang mengatakan seharusnya seorang sastrawan memberikan tafsir baru terus-menerus terhadap nilai atau bentuk dari lokalitas. Seorang sastrawan mestinya menjadikan nilai-nilai tersebut inheren, intrinsik dalam pikiran dan tubuhnya.

Dengan begitu, kata lokal, tradisi, etnisitas, dan lain sebagainya tak sekadar tempelan artistik dalam karya seni. Nilai lokal yang inheren itu akan ia olah dengan wawasan universal, buah pergaulannya terhadap dunia.

Ada persilangan, persetubuhan yang menarik di sini. Bertemunya dua arus besar yang membangun peradaban lokal/global. Hasilnya? Tentu akan sangat menarik.

*) Spiritualis di Komunitas Berkat Yakin (KoBER) Lampung.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae