Ari Pahala Hutabarat*
http://www.lampungpost.com/
DI Lampung perbincangan mengenai lokalitas sering menjebak kita untuk membawa kembali tradisi dari masa lalu ke masa sekarang. Kita takut sekali dianggap sebagai anak tiri atau anak haram dari tradisi.
Pertanyaannya, apakah kita mempunyai ayah dan ibu kandung tradisi ini? Apakah pernah ada orisinalitas itu, sesuatu yang murni, dari tradisi Lampung? Jawabnya, tidak ada.
Ini bukan hanya berlaku bagi tradisi Lampung. Ini juga berlaku bagi seluruh tradisi di muka bumi ini. Tidak ada yang dapat mengaku tradisinya asli, orisinal. Cultural studies secara ilmiah mampu membuktikan hal tersebut–klaim orisinalitas merupakan sebentuk imajinasi buatan kaum modernis.
Secara genealogi tradisi Lampung merupakan anak dari tradisi Islam dan Hindu. Kita dapat menyatakan tradisi Islam sama dengan Arab, Hindu sama dengan India. Jadi, mana tradisi Lampung yang orisinal gitu loh…!
Jangankan tradisi, agama saja tidak ada yang orisinal. Setiap agama selalu menyerap unsur dari agama sebelumnya. Jadi, dapat saya katakan keinginan kita teguh terhadap tradisi adalah mimpi di siang bolong.
***
Seluruh seniman besar di dunia adalah orang yang mampu berpikir secara global dan bertindak secara lokal. Sebut saja Derek Walcott, Isaac Bashevis Singer, Naguib Mahfouz, Yasunari Kawabata, Yukio Mishima, Gao Xing Jian, Rabindranath Tagore, Octavio Paz, Gabriel Garcia Marquez, Salman Rusdhie, V.S. Naipaul, dan Toni Morrison.
Dramawan Ong Keng Sen, Peter Brook, Grotowsky, Barba, Tatsumi Hijikata, Sardono W. Kusumo, Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Yudi Ahmad Tajudin, contoh-contoh yang lain. Mereka mempunyai satu kesamaan, memberikan tafsir baru terhadap tradisi yang ada di muka bumi ini melalui sudut pandang universal atau global.
Yasunari Kawabata sosok manusia Jepang yang paham tradisinya, hidup sungguh-sungguh dalam tradisi itu. Tetapi, di lain sisi ia mempertanyakan tradisinya. Dengan tekun Kawabata menyadap daya ucap dan cara ucap tradisi bushido Jepang.
Dengan cerdik pula ia kawinkan daya ucap dan cara ucap itu dengan global–dalam hal ini cerpen dan novel modern. Dia dan banyak sastrawan lainnya tidak berkukuh dengan tradisi-tradisi yang beku. Karena mereka tahu kekukuhan yang konyol itu akan membawa kesumukan laiknya anak-anak ABG yang baru merambah dunia seni.
Di lain pihak, Peter Brook dan Ong Keng Seng dengan sangat cerdik mengangkat langsung tradisi yang hidup di berbagai negara. Ong Keng Seng dalam setiap produksi teaternya secara eksplisit membiarkan tradisi tersebut bermain di panggung. Tetapi, tradisi-tradisi tersebut tidak memainkan diri sendiri.
Mereka asyik bersenda-gurau dengan bentuk-bentuk tradisi lain, lalu bersama-sama membicarakan hal-hal yang universal. Ada tema universal yang dibicarakan di panggung itu karena kalau tidak, mereka sama saja mengangkat museum-museum ke panggung.
Kenyataan seperti di ataslah yang membedakan karya seni dengan benda-benda yang dipajang di museum. Di museum, tradisi masa lalu dibiarkan atau diawetkan apa adanya. Romantisme menjadi kekal. Waktu berhenti karena ruangnya pun berhenti. Sedangkan dalam karya seni, tradisi bisa saja menjadi spirit sudut pandang tertentu dengan mempertimbangkan kenyataan sekarang.
Atau, bisa juga tradisi digunakan bentuknya sebagai oposan terhadap bentuk-bentuk yang hidup dalam kenyataan sekarang. Dalam karya seni, kata “tradisi” menjadi kata kerja bukan kata benda.
Tradisi tidak perlu dilestarikan, karena memang dia belum mati. Tradisi tidak perlu diangkat karena dia memang selalu berdiri sejajar dalam kenyataan hidup.
Tetapi, kita dapat melakukan hal-hal seperti itu hanya jika kita mampu membaca peta secara universal. Tanpa wawasan universal, kita pasti akan mengatakan tradisi kitalah yang paling unggul atau tradisi kitalah yang paling orisinal. Tanpa wawasan universal kita akan terjebak romantisme, yang sama saja dengan menyepelekan tradisi tersebut.
Berarti di satu pihak kita harus berdiam dalam tradisi, tetapi di lain pihak harus bisa mengambil jarak secara dingin terhadap tradisi. Untuk Indonesia dan Lampung, sastrawan yang berpikir global dan bertindak secara lokal adalah kewajiban karena kita akan rugi kalau kita berkukuh kepada hal-hal yang global itu padahal kita sudah tahu pemetaannya.
Sesudah tinggal di New York selama sekian bulan Sardono W. Kusumo kembali ke Solo dan menggarap “Sagmita Pancasona” yang sangat lokal. Sesudah kuliah sekian bulan di New York barulah Rendra sadar realisme ala Stanilavsky bukanlah segalanya. Setelah melanglang buana ke Eropa dan Jepang barulah Putu Wijaya mendayagunakan tradisi Bali-nya. Sesudah lelah bertahun-tahun memainkan karya Shakespeare secara standar barulah Peter Brook menengok kembali tradisi bentuk-bentuk teater lokal yang ada di Asia.
Apa kesamaan yang ada pada diri mereka? Semuanya mempunyai wawasan seni yang kosmopolit, tetapi juga mampu mendayaucapkan tradisi asal untuk berdiri sejajar dengan kemapanan konvensi Eropa dan Amerika. Bahkan, mereka menciptakan mainstream baru yang turut memperkaya khazanah kebudayaan dunia. Bentuk baru yang sudah lolos berkelit dari klasifikasi lokal-global, tradisi-modern.
Peter Brook, Jerzy Grotowski, Rendra, dan sebagainya adalah contoh orang-orang yang seperti Nabi Muhammad saw. telah memproses mikraj untuk kemudian kembali mendayagunakan lokalitas masing-masing. Dengan cara seperti itu kita tidak menjadi sumuk dan mengatakan karya kita penuh muatan-muatan lokal.
Pertarungan karya selanjutnya adalah pertarungan strategi, sehingga kita mampu berargumentasi secara luas dan ilmiah dengan mengedepankan tradisi di pentas-pentas global dengan cara ucap yang universal.
Sebagaimana yang dilakukan sastrawan Amerika Latin yang cerdik menggunakan bahasa Inggris dan Spanyol–notabene merupakan bahasa asli Eropa–untuk menyampaikan visi dan misi tradisi Amerika Latin mereka. Modernisme yang tadinya sangat jumawa berperan sebagai tuan, ditarik dari tahtanya, dan hanya dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan spirit pemberontakan mereka.
Bahasa Inggris dan Spanyol menjadi senjata makan tuan bagi Eropa. Karya-karya mereka ditulis dalam bahasa Spanyol dan Inggris terjual jutaan eksemplar, tetapi isi karya-karya mereka secara eksplisit menggugat tradisi ke-Eropa-an.
Tak salah jika pernah seorang sastrawan Inggris berkata novel-novel terbaik yang berbahasa Inggris sekarang ini bukan diciptakan orang-orang Eropa tetapi ciptaan orang India, Amerika Latin, dan Cina peranakan, yang notabene merupakan anak tiri dari tradisi Eropa.
Eropa kecolongan. Bahasa yang tadinya merupakan alat imperialisme dan kolonialisme yang begitu penting sekarang ini berbalik menyerang mereka. Pengertian novel dan puisi modern disisipi, dipengaruhi, kemudian dijungkirbalikkan sastrawan-sastrawan Amerika Latin tersebut.
Via realisme mereka menciptakan realisme magis. Dan via realisme magis itulah sastrawan-sastrawan amerika latin menguasai dunia. Surealisme direbut dan diberdayakan mereka. Andre Breton dan Sigmund Freud menjadi seperti macan ompong jika dibandingkan kenyataan sehari-hari yang sangat surealistik di Amerika Latin.
Di Indonesia Danarto pun melakukan hal yang sama. Tanpa pernah berkoar ia mengangkat tradisi, ia langsung mendayagunakan tradisi dalam karya-karyanya yang universal dan kosmopolit itu. Dengan sangat piawai Danarto menggunakan tradisi Jawa yang tidak orisinal, langsung menukik pada inti tradisi yang ada di seluruh dunia, yang dengan sangat brilian diwakili tradisi Islam, yaitu wahdat al wujud atau manunggaling kawula gusti. Sebuah konsep yang universal yang ada pada setiap agama dan peradaban di dunia.
Sosok Danarto seharusnya kita tiru karena tidak berkoar dan tidak ge-er mengatakan tradisi harus diangkat dan lain sebagainya. Danarto secara praktis bermain menembus batas-batas semu ruang profan-profetik, ruang modern-tradisi, ruang ukhrawi-duniawi. Dengan sangat lincah Danarto “membadankan” visi-visi universalnya dalam tokoh-tokoh yang sangat Jawa dan Indonesia.
Batas-batas geografis menjadi panggung yang nisbi bagi tokoh-tokoh Danarto. Hamlet yang hidup di masa lalu dengan asyik saja masuk dan bermain di tanah Jawa. Ruang penciptaan adalah ruang yang netral. Kita seharusnya seperti anak-anak yang bermain, yang mudah saja beralih peran dari agama yang satu ke agama yang lain, dari ruang yang satu ke ruang yang lain tanpa rasa bersalah. Seorang sastrawan adalah seperti anak kecil dengan tubuh yang dewasa atau seperti para nabi dan waliullah yang dengan lincah bergerak menembus batas ruang dan waktu.
***
Saya sependapat dengan Oyos Saroso H.N. yang mengatakan seharusnya seorang sastrawan memberikan tafsir baru terus-menerus terhadap nilai atau bentuk dari lokalitas. Seorang sastrawan mestinya menjadikan nilai-nilai tersebut inheren, intrinsik dalam pikiran dan tubuhnya.
Dengan begitu, kata lokal, tradisi, etnisitas, dan lain sebagainya tak sekadar tempelan artistik dalam karya seni. Nilai lokal yang inheren itu akan ia olah dengan wawasan universal, buah pergaulannya terhadap dunia.
Ada persilangan, persetubuhan yang menarik di sini. Bertemunya dua arus besar yang membangun peradaban lokal/global. Hasilnya? Tentu akan sangat menarik.
*) Spiritualis di Komunitas Berkat Yakin (KoBER) Lampung.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar