Minggu, 22 Februari 2009

Gurita

Lily Yulianti Farid
http://www.korantempo.com/

SAAT ayah masuk penjara, ibu bilang, aku harus pulang ke Makassar. Ibu menyodorkan jabatan wakil manajer di apotik miliknya yang dibuka setahun lalu. Selamat tinggal Jakarta! Aku melambai pada pacar, apartemen mungil, kampus, dan seribu rencana di ibukota.

"Tak usah kau lanjutkan dulu kuliahmu. Lagi pula kalau selesai kau mau jadi apa?"

"Ya membuat film animasi."

"Apa? Pasti butuh banyak biaya. Sudah, kau urus saja apotik ini. Ini usaha bagus. Sangat bagus."

Aku turuti kehendak ibu. Aku ikuti naluri bisnisnya. Ia menjemputku dengan rencana-rencana baru. Dalam perjalanan ke rumah, kubuang rencana hidupku. Ia tergilas truk gandeng, motor dan angkutan kota. Dari kaca belakang mobil, kulihat ia rata di aspal berdebu.

Mengurus apotik. Tugasku: mengawasi dua apoteker muda yang kuperhatikan gemar membaca tabloid gosip dan menonton tayangan infotainment bila tak sibuk meracik obat. Pekerjaan yang sebenarnya tak sulit. Aku duduk-duduk saja, melihat mereka bekerja, sesekali membantu menerima resep dan memanggil nama pasien, mengobrol ini-itu yang serba remeh temeh, dan, yang terpenting, menghitung pemasukan dan pengeluaran harian sebelum apotik tutup.

Mengurus apotik. Rasanya: huh, membosankan! Membuatku terpenjara. Tapi ibu bilang, keluarga kami dilanda musibah, tak ada orang yang bisa diajak kerja sama. "Coba lihat, orang-orang menjauhi kita setelah ayahmu kena jerat. Siapa yang peduli? Sekarang kita berdua harus berusaha keras memperbaiki nama dan mencari uang. Huh!" (Ibu mengucapkan "huh" yang selalu lebih keras dari "huh" milikku.)

Beberapa tahun terakhir, kota kami memang penuh papan praktik dokter, apotik dan toko obat. Praktik dokter berkelompok muncul di sana-sini, mengingatkanku pada gerombolan anak muda yang duduk-duduk di ujung lorong sehabis magrib, main gitar dan bersiul menggoda orang lewat. Bedanya, para dokter ini berjubah putih, dan dari tubuh mereka tercium bau parfum bercampur larutan suci hama, penanda betapa terawat, wangi sekaligus sterilnya mereka. Mereka datang dengan mobil mewah, berkumpul sore-sore, mengobati?(tapi lebih sering hanya mendengarkan keluhan pasien lalu menulis resep) hingga tengah malam. Dan, beberapa meter dari praktik dokter itu, pasti ada apotik atau toko obat.

Ibu sigap menangkap peluang. Om Yan, adik ibu, seorang dokter ahli penyakit dalam, punya usaha praktik berkelompok di pusat kota, tak jauh dari rumah jabatan gubernur. Apotik milik ibu ada di dalam gedung gerombolan dokter itu. Di bagian bawah resep obat yang ditulis Om Yan tertera stempel: Diskon 5 persen bila membeli obat di apotik Sriani Farma. Istri Om Yan, seorang dokter ahli kandungan juga membubuhkan stempel yang sama di ujung setiap resep yang ditulisnya, ditambah sedikit variasi: Diskon 10 persen untuk pembelian multivitamin dan susu bagi ibu hamil. Dokter spesialis lainnya, ahli jantung, ahli kulit dan kelamin, dokter anak, ahli tenggorokan, hidung dan telinga memiliki stempel yang sama dengan variasi di sana-sini, dan tentu saja mereka mengucapkan kalimat berpisah yang seragam kepada setiap pasien, yang bunyinya kurang lebih: "Ini resepnya dan bisa ditebus di apotik sebelah."

Berkat stempel dan anjuran para dokter itulah, apotik kami maju, laris dan sibuk.

Tapi omong-omong, ayah di penjara bagaimana kabarnya?

Ibu menyemburkan angin puting beliung dari mulut, hidung dan telinganya menjawab pertanyaanku ini. Celaka, aku membuat rumah porak poranda kena hantam amarah ibu. Dua kali kuutarakan keinginan menjenguk ayah, kubayangkan membawa rantang, buah, buku atau majalah, dan bercakap-cakap di bawah pengawasan sipir penjara yang mengisyaratkan minta sogok. Dua kali juga ibu menabur badai kemarahan sambil membawa tanda larangan besar. Ibu seperti polisi dengan rambu lalu lintas bulat bergambar wajah ayah yang diberi tanda silang merah. Tak cukup dengan itu, ia juga memasang portal, digembok, lalu dilapisi pagar kawat berduri. Pesannya jelas: aku tidak boleh bicara atau tanya-tanya soal ayah.

Tapi beberapa bulan kemudian ayah mati dan langsung jadi bintang televisi. Beritanya berendengan dengan kabar tentang banjir di Jakarta, kapal sarat muatan yang tenggelam di perairan Sulawesi Barat dan harga BBM yang diturunkan pemerintah. "Katanya ayahmu mati diracun." Ibu memberi penekanan pada kata "mu" di belakang kata "ayah".

Televisi menjelma sosok yang merasa paling mengenal ayah. Dari kotak persegi itu memancar-mancar semua berita tentang ayah. Aku mengutuk benda ini. Di layar muncul acara bertajuk "investigasi korupsi pembangunan pelabuhan dan bandara". Ayah hadir dengan berbagai pose dan busana. Berkopiah, berbaju safari, berbaju takwa, berbaju partai, kemeja putih lengan panjang selama sidang serta satu rekaman yang kabur menayangkan ayah menutup wajahnya dari serbuan kamera. Yang terakhir, tentu gambar jasadnya yang disemayamkan di ruang tamu kami dilatari suara yang menyebut angka, nama proyek dan sejumlah nama pejabat.

AKU jarang bertemu ayah. Terakhir, kira-kira satu setengah tahun lalu saat pamit hendak kuliah di Jakarta, ia mengirim SMS, "Jadi anak baik. Jauhi narkoba. Perusak generasi bangsa." Lucu juga. Di gerbang bandara, pesan "jauhi narkoba" tercantum besar-besar di samping iklan rokok dan telepon seluler. Wah, jangan-jangan ayah sebenarnya sedang di bandara yang sama, barusan mendarat (entah dari kota mana), meluncur ke ruang VIP, yang hanya bisa dilalui presiden, menteri, gubernur dan pejabat tinggi, lalu iseng menyalin isi iklan itu untukku.

Sempat kucoba menelepon ayah. Suara ajudan yang menjawab telepon, membuatku kehilangan selera. "Kata Bapak, nanti ketemu di Jakarta. Beliau sedang mendampingi Pak Menteri."

Kini ayah mati. Aku berusaha keras mengingat-ingat kenangan paling gres tentangnya. Yang paling baru, ya pesan SMS itu. Ah, kenapa ibu melarangku ke penjara? Kusesali ibu, si polisi yang gemar memasang tanda larangan itu membuatku sia-sia mengais-ngais lubang kenangan tentang ayah, yang sebenarnya hampa.

Kami berduka. Dokter-dokter dari praktik berkelompok milik Om Yan memesan bunga duka cita yang sangat besar, mengalahkan deretan karangan bunga lainnya. Ibu menyembunyikan wajahnya di balik kaca mata hitam yang sangat besar, yang tidak hanya menutupi matanya, tapi juga sebagian pipinya. Dior. Inisial "D" berkilau-kilau di dua gagang kaca mata itu. Pelayat yang memberi ciuman pipi pasti merasakan bingkai dingin kacamata hitam ibu itu menempel di kulit mereka. Ibu menerima ciuman, pelukan, jabat erat, dan kata-kata baik yang dari mulut ratusan orang. Aku berdiri di sampingnya, mengenakan gaun hitam terusan hingga mata kaki yang berbau kapur barus. Koleksi lama dari lemari ibu. Yves Saint Laurent. Inisial "YSL" menonjol di dua kancing emas di ujung lengan baju yang agak kedodoran di tubuhku.

Jasad ayah datang seusai magrib, disambut listrik yang byar pet, byar pet, berpijar sebentar menimbulkan harapan lalu selebihnya hitam. Aku ingat sekali peristiwa itu: ayah, si Riang kucing kami, dan listrik, ketiganya mati bersamaan. Aku mendengar tetangga berteriak marah mengutuki pemadaman bergilir dan krisis listrik. Mereka seakan memasang petasan injak lidah mereka. Bukan main bisingnya bila mereka menyalak. "Masak kompleks kelas atas di kota ini juga kena pemadaman bergilir? Yang benar saja. Anjing!" Pak Jaropi, tetangga kami, seorang pensiunan jenderal mencak-mencak di halaman depan.

Kami berduka di rumah yang kacau balau. Jenazah ayah terbaring dalam gelap, tampak remang-remang. Orang-orang sibuk mencari lilin atau lampu darurat. (Kenapa tidak ada lilin? Kalau lampu berbaterei? Hah? Tidak ada juga? Ya, tidak adalah, bukankah kompleks ini jarang mati lampu. Bodoh!)

Para pelayat berbaju hitam tampak semakin hitam. Dalam gelap, hanya kilau gelang, cincin, anting perempuan-perempuan wangi teman arisan ibu serta pajangan kristal di ruang tamu yang berkerjap seperti lentera-lentera kecil.

Aku melirik ke halaman belakang. Ternyata, diam-diam Mak Tun mengubur Si Riang, di sana. Kucing itu mati tergilas mobil sore tadi. Beruntung ia menjalani pemakaman sederhana, berlangsung lancar tanpa huru hara. Setelah Riang dikubur, Mak Tun kembali ke dalam rumah. Ia ikut menggotong ibu yang pingsan lunglai di samping jasad ayah. Makin banyak pelayat datang. Di halaman depan, polisi berkumpul, disusul serombongan wartawan. Gaduh sekali.

Terbujur di sel dengan mulut berbusa. Katanya, almarhum minum Baygon.

Orang-orang berbisik setelah berdoa.

Bukannya diracun?

Ada juga orang-orang yang berdoa dulu, baru berbisik-bisik.

Aku menanam bisik-bisik dan doa-doa itu di dalam dadaku. Membuat jantungku berdegup lebih kencang. Aku teringat pelajaran biologi di SMA, tentang sekresi yang dihasilkan organ tubuh manusia. Di tengah kemalangan ini aku mengalami proses sekresi yang sempurna: tangis pada mata, keringat pada telapak tangan dan kaki, air kencing yang membasahi celana dalam. Aku menangis, gemetaran dan pipis sekaligus. Sedih dan takut melihat ayah yang terbujur; panik dan bingung menyaksikan ibu yang setelah menerima kedatangan pelayat akhirnya pingsan; geram dan ngilu mendengar orang-orang yang berdoa sekaligus berbisik-bisik.

Mak Tun, pembantu setia itu satu-satunya tiang kokoh di rumah ini. Ia memelukku sepanjang prahara. Om Yan, dokter yang baik itu memesan ambulans. Mungkin khawatir, aku atau ibu memerlukannya.

Listrik menyala, ibu siuman. Doa-doa berdengung lagi. Lalu bisik-bisik lagi. Ibu pingsan lagi. Wajah-wajah pelayat yang tadi gelap dan samara, kini berpijar seperti bulan, bibir-bibir mereka komat-kamit, menggulum doa dan bisik-bisik. Aku yang entah kenapa merasa lebih kuat dan tabah dari ibu, bermaksud memapah tubuh perempuan yang doyong itu. Sial. Ujung gaun kedodoran terinjak, membuatku tersandung, jatuh. Aku dan ibu sempoyongan, berhimpit seperti roti tangkup di atas jasad ayah. Orang-orang merubung kami. Doa-doa lagi. Bisik-bisik lagi. Semakin gaduh. Lalu gelap.

JUDUL film animasi pertamaku adalah Gurita. Baru sebatas rencana. Baru berkelebat di kepala. Aku ingin bercerita tentang gurita berkepala perempuan. Wajah, perangai dan segala tindak tanduknya mirip ibu. Mungkin kunamakan ia Bu Gur. Atau Bu Rita.

Kusampaikan rencana melanjutkan kuliah. Kupikir, ini saat yang tepat. Semua sudah tampak baik. Ayah mati di penjara. Kami menangis, malu, bingung dan akhirnya pingsan. Berminggu-minggu, hanya Mak Tun yang menjadi tiang kokoh yang menyokong kami berdua. Aku percaya, setidaknya ada dua atau tiga malaikat yang bersemayam di dalam tubuh pembantu tua itu. Ia yang menolong ibu bangun, hingga kuat dan percaya diri membuka pintu dan bertemu kenyataan di jalan. Setelah ibu menolak permohonan otopsi jenazah ayah dan tak ingin memperpanjang dugaan siapa yang meracunnya atau apa yang mendorongnya minum Baygon, kehidupan kami tidak lagi diguncang berbagai kabar buruk.

Ibu bangkit. Ibu telah kembali!

Menjual obat, menjual obat, menjual obat. Memperluas usaha, memperluas usaha, memperluas usaha. Tiga kali sehari aku bertemu mantra ini. Saat sarapan, makan siang di apotik dan sebelum tidur. Tukang mantranya adalah ibuku, perempuan perkasa itu.

Inilah kesimpulan baru dalam perjalanan hidupku: ibu jadi matahari, jadi bulan, jadi tukang mantra, jadi perempuan terhebat dalam kehidupanku.

DI SUATU pagi yang tak terlalu cerah, kubilang pada ibu ingin kuliah lagi, ingin membuat film animasi. Wajah ibu langsung sekusut sutra yang diremas penuh amarah. Pertama, ia menyemprotkan angin puting beliung dan memaki-maki rencanaku. Kedua, ia mengenakan seragam polisi, langsung memasang rambu peringatan besar-besar: Dilarang melanjutkan kuliah ke Jakarta. Di sana ada gambar gedung kuliahku dengan tanda silang merah besar. Lalu rambu berikutnya: Jangan berpikir Macam-macam. Apalagi berpikir membuat film! Ketiga, tak puas menjadi polisi, ibu berganti busana: stelan perempuan karir dengan jabatan Presiden Direktur Sriani Medika Utama, usaha yang dirintisnya bersama Om Yan. Ia menjabarkan prospek bisnis di depan hidungku.

"Dari jaringan apotik di Makassar, kita akan memperluas usaha pengadaan alat kesehatan dan obat-obatan di rumah sakit se-Indonesia Timur. Proyek besar ini ada di tangan ibu! Kita akan memasok cairan infus, jarum suntik, obat generik dan segala macam kebutuhan rumah sakit. Ini bisnis luar biasa dan ibu ingin kau membantu membesarkan usaha ini."

Aku sebenarnya ingin berterus terang pada ibu, bahwa rencana hidup yang sudah kubuang di jalan saat kembali ke kota ini, ternyata tak mati-mati. Ia bangkit dan menemuiku dalam mimpi. Dari satu malam ke malam berikutnya, aku bermimpi membuat film animasi berjudul Gurita. Ceritanya tentang gurita perempuan yang muncul dari dasar laut, dengan delapan tangannya ia meraup dengan rakus semua kekayaan samudra. Gurita bersekongkol dengan hiu bertaring tajam dan sejumlah ikan ganas lainnya menindas mahluk lainnya. Lalu....

"Berhenti melamun, anak bodoh!"

Memperluas usaha, memperluas usaha, memperluas usaha, memperluas usaha, memperluas usaha. (Di pagi nan celaka ini, ibu mengulang mantra itu lima kali. Ia kesal mendengarku berceloteh tentang film animasi yang dianggapnya tak masuk akal.)

Ah aku perlu merevisi kesimpulanku: Ibu jadi matahari, jadi bulan, jadi tukang mantra, jadi perempuan terhebat dan tentu saja menjadi polisi yang melarangku ini itu! Huh!

DI SEBUAH restoran hotel mewah di Jakarta, ibu menggandengku penuh percaya diri. Agenda kami: menghadiri makan malam dengan Om Jumadil, sepupu ibu yang disebut orang penting di kementrian bersama sejumlah pejabat lainnya. Agenda khusus ibu: membicarakan tender obat-obatan untuk rumah sakit di Indonesia Timur. Agenda khusus untukku: belajar bisnis dan kenal lebih dekat dengan Om Jumadil itu, yang disebut ibu sebagai orang Makassar yang paling melejit di ibukota saat ini.

"Mereka sudah di lobi. Sebentar lagi ke sini...."

Ibu membetulkan duduk, merapikan ujung gaun, menatapku meminta konfirmasi tentang penampilannya. Ia bekerja keras sejak pagi untuk tampil cantik malam ini. Kuberi anggukan dengan pesan benderang: ia adalah makhluk tercantik sejagat raya, tak terkalahkan, bahkan oleh Miss Universe sekalipun! (Lihatlah, aku kadang bertugas sebagai si cermin ajaib dalam dongeng Putri Salju untuk ibuku tercinta.)

"Itu mereka!"

Ibu berdiri dengan gerak seanggun mungkin. Ibu tersenyum dengan tarikan bibir semanis mungkin. Di pintu restoran beberapa orang berjas melambai ke arah kami.

"Yang di depan itu Om Jumadil. Masih ingat kan?" Ibu berbisik. Suaranya lebih mirip wanti-wanti agar aku menyapa laki-laki itu seolah sangat akrab.

Mereka mendekat ke meja kami. Dan kini, di hadapanku hadir seekor hiu besar dan serombongan ikan ganas bertaring tajam lainnya.

Kulirik ibu. Ia menjelma gurita berbulu mata lentik.

Tokyo-Jakarta, Januari 2009

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae