Minggu, 11 Januari 2009

Sastra Reformasi

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Orde Baru dikibarkan menggantikan Orde Lama sebagai sebuah pesta kemenangan. Para teknokrat bergabung membenah Indonesia yang dinilai sangat rawan kesejahteraan rakyatnya. Maka agenda pun dipalingkan ke perkembangan ekonomi.

Orde Baru mulai membentuk kelas menengah untuk membuat perubahan. Generasi muda didorong bangkit membangun masa depan dengan cara menjadi interprener. Rakyat diajak memusatkan perhatian pada kesibukan mengisi kemerdekaan. Mereka dibimbing menghadapi kenyataan dan mencintai uang.

Kelas menengah yang kemudian lahir, ternyata bukan memelopori penalaran, mereka malah sibuk mengukuhkan status kemapanannya. Rakyat memang menjadi sadar pada kemiskinannya lalu menjadi lapar pada kesuksesan tapi dalam bentuk materi. Orang mulai terbiasa memburu uang dengan menempuh segala macam cara. Kemajuan-kemajuan phisik tidak diimbangi oleh kesiapan batin.

Kesenian yang merupakan salah satu kanal yang bisa mengantarkan manusia ke arah perkembangan batin, amat terpojok. Tempatnya di luar pembangunan, bahkan nampak mengganggu. Karena dianggap tak berguna, kesenian tidak lagi dianggap sebagai aset bangsa, bahkan dinilai sebagai pemborosan. Digeletakkan begitu saja di sudut kecil sebagai pajangan parawisata.

Dan sastra hampir menjadi sampah yang hanya dilindungi oleh belas kasihan. Fungsinya sebagai pendidikan moral untuk menyempurnakan perkembangan batin manusia, menjadi hanya kelanggenan. Sastra berubah menjadi hiburan ringan.

Sastra mengkerut menjadi hanya budaya pop. Hiburan sesaat mengikuti kesemarakkan pasar. Hal ini ditopang lagi oleh budaya hidup enak yang dikampanyekan oleh majalah-majalah wanita yang gemerlapan dan menjual gaya hidup wah. Untuk bertahan sastra pun ikut menjadi alat propaganda hidup pop. Maka perlahan-lahan bangkrutlah sastra Indonesia.

Perjalanan kemanusiaan yang bisa ditempuh antara lain lewat sastra, sebagaimana yang pernah dicanangkan oleh kelompok Manikebu misalnya, kembali gagal. Kemanusiaan sendiri mendapatkan rangking nol di dalam kehidupan. Yang menjadi utama pada era tersebut adalah politik, ekonomi dan teknologi. Tapi itu pun politik kelas yang berkuasa, ekonomi kelas konglomerat dan teknologi mercu suar.

Reformasi mendadak memberikan kesempatan.

Reformasi semacam peluang untuk mereposisi sastra, di dalam kehidupan. Dapat diharapkan bahwa posisi sastra akan kembali. Segala keluhan di masa lalu, mendadak tidak lagi menjadi hambatan. Para penulis bisa leluasa untuk memilih tema dan mengekspresikan pendapatnya terhadap segala macam soal. Sensor yang dianggap sebagai biang kerok kebangkrutan sastra sudah lumpuh. Sastrawan memiliki kemungkinan.

Kita sedang memasuki proses pembebasan sekarang. Membuka pintu dan memulai kerja besar. Tapi benarkah sastra melangkah laju ke depan bila tanpa hambatan, tanpa ditolong oleh siapa-siapa. Beranikah, mampukah, dan berhasilkah sastra membuktikan keberadaannya yang istimewa penting di dalam kehidupan yang lebih bebas?

Di masa lalu, bukan hanya sastra, hampir seluruh sektor kesenian ikut mengeluh terhadap berbagai keterbatasan. Sensor yang garang dan sewenang-wenang merupakan alasan yang empuk untuk membenarkan bahwa layaklah tidak ada hasil besar yang lahir. Padahal pada zamannya, bukan sedikit hambatan yang dihadapi oleh Pramudya Ananta Toer, toh dia berhasil mencetak hasil-hasil monumental. Bahkan pada zaman kensengsaraan Manikebu, tidak sedikit halangan terhadap para Manikebuis karena mereka dilarang berkarya, toh lahir penyair-penyair besar seperti Goenawan Mohamad, misalnya. Sedangkan di era Orde Baru yang dianggap sebagai neraka bagi kebebasan berekspresi, tetap saja melambung karya-karya Rendra, Sutardji, Danarto, Budidharma dan sebagainya, seperti tak tersentuh oleh berbagai hambatan.

Kini, ketika pintu kebebasan sudah dibuka, akan lahirkah sastrawan besar dan karya besar yang lain? Harusnya lahir. Tanpa itu bagaimana mungkin sastra dapat mereposisi dirinya? Tetapi sayang, sudah setahun reformasi bergulir, yang lahir baru novel “Saman” dari tangan Ayu Utami, pengarang wanita yang dipujikan oleh para pengamat sebagai jenius yang membawa cakrawala baru bagi sastra Indonesia. “Malu Aku Jadi Orang Indonesia”, kumpulan sajak Taufiq Ismail. Novel dari Danarto, Remy Sylado, Titis Basino serta Dono Warkop. Ke mana para pengarang yang lain?

Sedang giat menulis atau ikut kampanye? (Apa karena krismon yang membuat harga kertas membumbung tinggi penerbitan jadi seret? Karena prioritas dikerahkan kepada pada pemulihan ekonomi dan kestabilan politik?) Atau karena tidak terbiasa oleh kebebasan? Apakah kebebasan justru membuat sastra jadi tak berdaya?

Di masa lalu, ketidakbebasan justru menstimulasi sastra menjadi lebih tajam dan produktif. Sementara kebebasan seringkali berakhir dengan kebingungan apabila memang jiwa sastrawannya memang tak bebas. Setelah tuntutannya tentang kebebasan terpenuhi, ia tidak tahu mau mengisi dengan apa?

Mungkin sekali bahwa kebebasan formal tidak hanya memberikan peluang, tetapi juga dapat membunuh. Karena dalam ketidakbebasan yang macam mana pun, selalu ada peluang bagi kreativitas untuk berkelit dan mengucur. Sehingga sastra tidak pernah tidak ada, kalau memang dia ada. Sebaliknya kalau memang tak ada, dibebaskan dengan cara bablas-bablasan pun dia tetap tak akan hadir.

Atau: menjadi bertambah jelas bahwa kebebasan bukan satu-satunya yang diperlukan sastra. Jauh lebih penting dari kebebasan adalah visi. Sastra harus menghidupkan visi. Para sastrawan adalah visoner-visioner yang akan membuat karya sastra menjadi input-input berharga bagi kehidupan dalam aspek masing-masing. Sehingga sastra tidak hanya berhenti sebagai sastra. Tetapi berawal dari sastra dan kemudian berserak ke seluruh sektor kehidupan. Dengan begitu sastra baru akan memiliki wibawa yang setara dengan pengetahuan. Karena ia memiliki akses ke segala arah. Sementara keindahan bahasa adalah bonusnya.

Era reformasi bagi sastra dalam pengamatan saya, bukan berarti “Pembebasan”, yang berarti: bahwa kini adalah saatnya sastra dapat berbuat apa saja. Bahwa kini adalah saatnya sastra dapat menuliskan apa saja. Tidak. Karena sastra selalu komplit. Sastra selalu mendua. Sejak adanya, sastra mengandung kebebasan dan ketidakbebasan. Kenapa? Sastra yang berpihak memang tidak pernah bebas. Dan sastra yang bebas, tidak pernah bisa ditahan oleh apa pun, karena dia memiliki kreativitas untuk mengelak. Keduanya bangga atas keadaannya. Dan suka tidak suka, ternyata saling melengkapi.

Sastra reformasi menurut hemat saya, bukan: “pesta kebebasan dan selamat tinggal ketidakbebasan”, tetapi masalah kesempatan dan agenda. Masalah prioritas apa yang seyogyanya harus dilakukan oleh sastra, baik sastra yang berpihak maupun sastra yang bebas, pada saat ini. Saat ketika Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun dicoba diganti dengan tatanan baru yang kita sendiri juga belum tahu seperti apa jadinya nanti, adalah kesempatan untuk mengembalikan sastra sebagai sembako jiwa.

Dalam bayangan saya, sastra reformasi adalah sastra yang menyadari benar artinya sebagai sembako batin. Namun dia juga mengerti di mana posisinya kini. Idealismenya mengandung strategi. Sastra mesti melakukan tindakan-tindakan yang tepat. Kalau tidak, tujuannya akan terganggu atau terjegal lagi, bukan karena tidak diterima oleh masyarakat, tetapi karena tidak dewasa menyikapi situasi.

Sastra adalah jembatan untuk masuk ke hati manusia di segala sektor kehidupan. Karenanya sastra tidak mungkin tidak, tetap akan menghadapi berbagai halangan. Kesulitan-kesulitan di masa lalu, bukan tidak akan mungkin akan terulang lagi. Kekurangan penerbit, jalinan distribusi tak lancar, aturan main yang tidak mendukung bahkan juga sensor dan sebagainya yang dulu dikeluhkan mungkin masih akan dihadapai lagi. Dan menjadi bertambah berat, karena itu terjadi dalam era reformasi.

Kesempatan sastra di dalam era reformasi adalah ikut campur dalam berbagai aspek kehidupan secara aktif. Membuktikan dirinya bukan hanya semata-mata hiburan. Bukan sekedar “sastra”. Untuk itu sastrawan sendiri harus berkemas, membenah diri, dan belajar. Karena penampilan yang rusak, citra yang kalangkabut, wawasan dan gagasan yang mgawur dan mabok, justru akan dengan cepat membalikkan kesempatan itu menjadi bukti bahwa sastra memang harus dikubur karena memang benar sampah.

Apa yang harus dilakukan oleh sastra? Banyak sekali. Dia harus menunjukkan kwalitas dan sekaligus kwantitasnya. Dia tidak boleh enak-enakan menuntut apalagi mengemis pengakuan. Sastra harus berjuang untuk merebut pengakuan, seperti partai-partai merebut kursi dalam pemilu. Kalau tak berhasil, jangan lagi menuding rakyat tak punya apresiasi, tetapi mungkin perjuangannya masih belum cukup teruji. Karena itu sastra perlu bisa membuktikan dirinya berkaliber, sehingga mau tak mau pantas diakui.

Sastra akan dituntut untuk lentur, lihai, cerdas dan barangkali juga harus bijaksana. Sastra harus mampu membangun imij bahwa ia adalah pekerja pendidikan jiwa yang setara dengan pekerja-pekerja kehidupan lain seperti sejarah, politik dan ekonomi atau teknologi, misalnya. Dalam sastra orang mendapatkan kearifan dan memperkaya pengalaman-pengalaman batinnya.

Sastra dituntut oleh keadaaan untuk bisa menunjukkan, tanpa sastra kehidupan akan berjalan timpang. Dan itu tidak cukup dengan sebuah slogan tetapi kerja nyata sehingga ada bukti. Dengan karya-karya yang berkesinambungan. Dengan usaha-usaha. Dengan percobaan-percobaan dan barangkali juga dengan berbagai penderitaan, frustasi, kegagalan-kegagalan. Walhasil kembali lagi: tekanan.

Sastra harus membebaskan dirinya dari menempatkan kesulitan-kesulitan sebagai pembenaran kemacatan sastra. Ancaman dan tekanan adalah sesuatu yang sudah terbiasa pada sastra. Sering itu menjadi kekuatan sastra sendiri. Kalau tidak berani menghadapi kesulitan, barangkali memang tidak perlu menjadi sastrawan.

Siapkah sastrawan Indonesia menerima sastra sebagai pekerjaan? Menumbuhkan ethos kerja yang lebih kerangsukan? Pertanyaan-pertanyaan itu pasti akan disusul dengan pertanyaan: siapkan pemerintah dan masyarakat menerima sastra sebagai sembako? Dan selanjutnya akan melahirkan pertanyaan: siapkah sastra menjadi sembako? Akhirnya akan kembali sebagai pertanyaan: siapkah satrawan menjadikan sastra itu sebagai sembako?

Era reformasi, nampaknya tidak akan menjamin kehidupan sastra Indonesia lebih baik, kalau sastrawannya sendiri tidak bangkit. Sastrawan sendiri harus mereformasi posisi dan perilakunya sebagai sastrawan. Tidak cukup dengan cara menuding, mengelak, memasang label reformasi di kepalanya atau bersilat argumentasi, tetapi dengan karya-karya. Dan itu mutlak memerlukan kerja.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae