Sabtu, 20 Desember 2008

Adonis, 'Modernitas Loakan', Pembebasan

Damanhuri*
http://www.lampungpost.com/

SEBELUM para kritikus sastra berkali-kali mengelu-elukannya sebagai calon penerima Nobel Sastra, Adonis jelas bukan nama yang terlalu akrab di telinga kita. --lit

Sosok bernama asli Ali Ahmad Said Asbar itu barangkali baru mulai mencuri perhatian kita ketika salah satu karya terbaiknya, al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Dirasah fi al-Ibda' wa al-Itba 'Inda al-Arab--menyusul penerjemahan beberapa puisinya dan dibukukan menjadi Perubahan-Perubahan Sang Pencinta (Grasindo, 2005)--diterjemahkan menjadi Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam (LKiS, 2007).

Popularitas Adonis kian menanjak saat awal November lalu menyampaikan ceramah budaya bertajuk Kebenaran Puisi dan Kebenaran Agama di Teater Salihara, Jakarta. Padahal, jika kritikus sastra Adam Shatz bisa dipercaya, konon tidak pernah ada seorang pun dari sastrawan Arab modern yang dikagumi seperti Adonis.

Dalam sebuah esainya, An Arab Poet Who Dares to Differ (The New York Times, 13-7-02), Shatz bahkan menabalkan sosok kelahiran Qassabin, Suriah, 78 tahun yang lampau itu, sebagai penyair terbesar dunia Arab modern.

Dalam nada agak hiperbolik, penyair Samuel Hazo yang menerjemahkan puisi-puisi Adonis ke bahasa Inggris, malah menjadikan Adonis sebagai penanda utama dinamika puisi Arab. Karena dalam pandangan Hazo, hanya ada tiga tonggak puisi Arab modern: puisi Arab era pra-Adonis, era Adonis, dan era pasca-Adonis.

Dua tilikan yang terkesan berlebihan di atas sebenarnya jauh-jauh hari sudah didahului Edward Said saat menyebut Adonis sebagai "penyair Arab paling provokatif dan paling berani" sepanjang sejarah Arab modern. Dalam buku Kebudayaan dan Kekuasaan (1995: 408), perintis tradisi kritik pascakolonial itu menunjuk Adonis sebagai eksemplar par excellence penafsir warisan sastra Arab dan hampir sendirian menantang persistensi dari apa yang dianggapnya sebagai tradisi Arab yang membelenggu.

Masa-Lalu-isme dan Modernitas Loakan

Adonis adalah sastrawan cendekia yang menempuh karier sebagai seorang penyair, aktivis politik, penggiat sastra, dan budaya, penyunting berbagai antologi puisi Arab klasik, kemudian memantapkan diri menjadi penyair cum kritikus sastra-budaya yang masyhur karena selalu memunculkan pemikiran baru, ganjil, sekaligus menyegarkan.

Sebagai seorang penyair, eksperimen estetik Adonis setidaknya bisa kita tengok dalam antologi puisi Perubahan-Perubahan Sang Pencinta. Sedangkan pemikiran-pemikiran bernasnya dalam batas-batas tertentu terekam dalam buku Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam yang semula merupakan disertasinya di Universitas St. Joseph, Beirut.

Dalam buku empat jilid (baru diterjemahkan dua jilid) itu, kita bisa menerka apa yang dipotret Adonis dengan detail seputar pertarungan dua kekuatan yang terus bersitegang dalam sejarah kebudayaan Arab-Islam. Di satu sisi, menurut dia, ada kekuatan dominan yang berkeras terus merawat dan mengadiluhungkan tradisi serta mengandaikan seluruh warisan masa lalu itu sebagai panasea bagi segala. Kekuatan inilah yang disebut Adonis sebagai "yang mapan", al-tsabit. Dan, di sisi lain, muncul arus berbeda yang meneriakkan keharusan perubahan.

Sayang, suara terakhir yang disebut Adonis sebagai al-mutahawwil ("yang dinamis") itu selalu dianggap sebagai ancaman bagi kemapanan (al-tsubut) dan mengakibatkan perjumpaan antarkeduanya lebih bersifat kontradiktif dan represif ketimbang dialektis. Sehingga, setiap arus dinamis menuju perubahan selalu tenggelam ditelan gelombang pasang suara dominan yang lebih memilih kehangatan selimut warisan masa lalu--betapapun telah apaknya warisan yang terus dipuja itu.

Dengan begitu, apa yang disebut Adonis sebagai kecenderungan "masa-lalu-isme" (past-ism) akhirnya bersimaharajalela. Sementara itu, tiap upaya kritik atasnya disambut sebagai bidah yang dianggap anti-Arab dan bahkan anti-Islam. Padahal, menurut dia, tanpa "revolusi kesadaran" melepaskan diri dari belenggu tradisi sekaligus sikap kritis menyambut budaya asing, yang tumbuh subur dalam kebudayaan Arab tidak akan bergeser dari fenomena "modernitas loakan" (second-hand modernity) alih-alih sebuah pembebasan.

Kebudayaan Arab, menurut Adonis, memang telah menjadi "modern" dan bisa dibilang sepenuhnya ter-Barat-kan. Tapi cakupan makna kemodernan itu ironisnya belum beringsut dari tren konsumerisme yang mewujud dalam perayaan atas komoditas budaya apa pun yang datang dari Barat. Sementara itu, perkara-perkara krusial seperti kebebasan berpendapat atau etos pembaruan yang merupakan tulang punggung kemajuan dan kemodernan-sejati justru tidak kebagian tempat untuk diruangkan.

"Kami hidup dalam impitan budaya yang tidak memberikan sepetak pun ruang untuk bertanya," ujar Adonis dengan masygul. "Sebab, kebudayaan kami seolah telah mengetahui semua jawab atas pertanyaan apa pun yang akan dilontarkan. Bahkan, Tuhan pun seakan tidak berhak lagi untuk bersabda."

Yang menarik, sembari memekikkan "pemberontakan" atas tradisi yang dianggapnya meringkus kreativitas itu, Adonis bukanlah pencemooh tradisi yang teralienasi dari akar tradisinya. Penguasaannya atas khazanah sastra Arab klasik, seperti dicatat Kamal Abu-Deeb dalam Encyclopaedia of Arabic Literature (1998), adalah salah satu yang menonjol dan tak lain buah didikan sang ayah.

Sedangkan benih-benih pemikiran kritis serta warna baru dalam puisi-puisinya ditakik dari perjumpaan dengan, dan dipengaruhi oleh, Antun Sa'ada (aktivis Partai Sosialis Syiria) serta sensibilitas puisi baru yang dirintis para penyair seperti Jubran Khalil Jubran, Ilyas Abu Shabaka, Sa'id 'Aql, dan Salah Labaki.

Dari Antun Sa'ada pula, menurut Abu-Deeb, muasal kesadaran Adonis ihwal keharusan merawat mitos dan sejarah dalam ekspresi puitik--khususnya ketika puisi dipandang wajib berperan penting dalam merespons tantangan Barat. Tidak mengherankan jika pada dekade 50-an Adonis menunjukkan ikhtiar keras memintal serakan sumber-sumber klasik dalam rajutan eksperimen puitiknya yang menggemakan keyakinan sosial-politik.

Namun, sembari menggelorakan pentingnya komitmen sosial, dalam satu helaan napas yang sama Adonis pun tetap berkukuh memandang urgensi hadirnya ruang yang otonom dan bahasa yang indah bagi puisi sekaligus menampik memerosotkannya jadi bahasa sehari-hari. Dan, corak paling nyata dalam gerak kepenyairannya itu dilihat Abu-Deeb memuncak dalam Aghani Mihyar al-Dimashqi (1961), ketika ia telah sampai pada "sebuah keseimbangan yang begitu padu dalam menyandingan peran sosial-politik puisi dan bahasa simbolik ketakhadiran yang diyakininya sebagai sebuah keniscayaan dalam puisi".

Sebait puisi berjudul Bangsa dari analektanya itu menunjukkan kecenderungan estetik tersebut: untuk wajah bangsa yang merengut di bawah kepuasan impian-impian/ aku iba; pada tanah yang telah kulupakan tetesan airmata yang menggenanginya/…dan demi batu karang yang kucadaskan dengan rasa laparku/ dia adalah hujan yang tersimpan di balik kelopak mataku/ dan demi rumah yang kutinggalkan bersama debu yang sia-sia/ aku merasa iba—-semua itu adalah wajah bangsaku, bukan Damaskus.

Suara itu diulangi Adonis dalam Inilah Namaku saat ia menulis: telah kumasukkan selku ke dalam sebuah selat/ yang telah digali oleh jam-jam/ aku bertanya-tanya, apa bangsaku sungai tanpa muara?/ kunyanyikan bahasa mata belati/ kuberteriak, keabadian telah terlubangi/ dan dinding-dindingnya telah runtuh di antara usus-ususku/ aku muntah/ sejarah dan masa kini belum ada yang kembali padaku.

Puisi bagi Adonis adalah visi dalam menghadapi dan menciptakan masa depan. Penyair adalah "pendobrak kebudayaan" yang memosisikan diri sebagai penghancur aturan-aturan usang, pengubah kemapanan dan kebekuan, pemberontak serta penggugat aneka bentuk penindasan. Begitu simpul Issa J. Boullata dalam buku-esai Batu Cadas dan Segenggam Debu (2007).

Tapi sebagaimana buku Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam yang tidak ubahnya jejak dari ziarah intelektual Adonis ke dalam hampir semua lekuk khazanah pemikiran Arab-Islam yang paling jauh, eksperimen puitik Adonis pun begitu kompleks, subtil, dan berliku. Pada suatu ketika ia menyuguhkan warna anarki-revolusioner. Tapi di waktu lain tiba-tiba menyemburkan aroma mistik-sufistik. Atau melebur kedua kutub tersebut dalam sebuah harmoni yang menjadikan karyanya benar-benar menyuguhkan karakter khas.

Langkah dan pilihan dinamis (kadang-kadang eklektik) itu juga tampak dalam rambahan tematik puisi-puisinya. Tidak hanya berkutat dengan persoalan khusus menyangkut nasib bangsanya yang tidak kunjung usai dirundung rusuh itu, tema puisi Adonis pun sebenarnya menjamah tiap serpih pengalaman manusia yang bersifat universal: Penderitaan, kematian, cinta, dan seterusnya.

Nabi Pagan di Neraka Pengasingan

Itulah Ali Ahmad Said alias Adonis. Penyair yang dalam usia 16 tahun telah didapuk jadi redaktur sastra sebuah koran karena kecemerlangan puisi-puisinya. Kritikus sastra dan budaya Arab yang kerap bersuara lantang menggugat standar ganda politik Amerika, tapi juga tidak jarang dituding sebagai sang juru bidah perusak akhlak oleh bangsanya sendiri.

Begitulah kiprah Adonis. Penyair yang kerap diolok-olok rekan-rekannya sesama penyair--ia tidak begitu hirau dengan, dan bahkan menikmati, julukan--sebagai sang nabi pagan. Penyair yang terus dirundung gelisah karena melihat "segalanya telah menjadi lebih penting dari manusia. Segalanya, bahkan baju, bahkan sepatu". (Pembuka Akhir Abad, 1980). Gundah menyaksikan saudara sebangsanya yang masih bergeming dalam pseudo-modernitas, dimabuk oleh--meminjam frase Adonis sendiri--"hidangan konsumerisme-dangkal sarat bahaya" (a dangerous brew of hollow consumerism).

Boleh jadi, sengkarut soal di atas itu pula yang mendorongnya memilih tinggal di Paris dan mengajar di berbagai universitas sejak 1985. Pilihan yang suatu waktu diungkapkannya, dengan nada getir, sebagai simalakama: Tinggal di "neraka pengasingan" sekadar untuk menghindari "neraka kehidupan sehari-hari" di negeri sendiri yang telah papa secara kultural akibat invasi budaya Barat yang terus menohok ke tiap arah mata angin. Proses pem-Barat-an yang sialnya, kata Adonis lagi, cuma memampatkan budaya bangsa Arab dalam kubangan konsumtivisme yang menangkarkan kebanalan dan menggagalkan tiap ikhtiar pembebasan.

*)Penulis, tinggal di Bandar Lampung

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae