Jumat, 28 November 2008

Kemerdekaan di Tengah Kemiskinan

Catatan Pentas Monolog ''Merdeka'' Putu Wijaya
Ribut Wiyoto*
http://indopos.co.id/

Dengan sedikit tertatih, Putu Wijaya memasuki panggung dengan memanggul kursi. Ia lontarkan beberapa sindiran. ''Umur saya telah seratus tahun. Tapi saya masih kuat. Itu karena saya tidak memiliki apa-apa. Saya hanya memiliki satu kursi. Saya tak pernah korupsi.''

Di atas panggung sisi kiri, ada tiang berbendera merah putih. Ditancapkan sedikit miring. Di sisi kanan, dua buah sapu lidi berdiri tegak. Dan tepat di atas panggung, tergantung sangkar. Isinya bukan burung, tetapi kantong plastik tepung. Putu lantas meletakkan kursi tepat di bawah sangkar.

''Cucu saya, yang masih SD, bertanya. Kek, apakah kita telah merdeka? Tentu saya heran, ini anak SD apa kerasukan setan. Tiba-tiba mempertanyakan kemerdekaan," ujarnya setengah melompat ke belakang.

Adegan bermuatan sindiran tersebut mengawali pentas monolog Putu Wijaya di Gedung Serbaguna Unair, Rabu (19/11) malam. Pendiri Teater Mandiri itu kemudian memerankan dialog seorang kakek dengan cucunya. Sebuah dialog yang janggal.

Mengapa janggal? Ini terkait dengan logika tekstual. Seorang bocah SD, apalagi zaman sekarang, mempertanyakan kemerdekaan adalah sesuatu yang tidak lazim. Tidak logis. Terlebih, si cucu itu memaparkan makna kemerdekaan di tengah situasi politik yang tak jelas. Kemerdekaan dikontraskan dengan kemiskinan yang mendominasi kondisi rakyat Indonesia. ''Benarkah kita telah merdeka, Kek. Padahal kemiskinan kian merajalela.''

Si anak terlalu cerdas untuk ukuran kewajaran. Pertanyaan maupun pendapat seperti itu lebih layak keluar dari mulut mahasiswa. Setidaknya mulut pelajar SMA yang memiliki perhatian pada wacana nasionalisme. Seliar apa pun, tidak mungkin keluar dari mulut atau pikiran siswa SD.

Pembukaan dialog yang dimainkan Putu terkesan klise. Tanpa dasar. Dan, selebihnya omong kosong. Putu gagal menurunkan pemikirannya ke dalam tataran praktis. Padahal, lelaki kelahiran Tabanan Bali, 11 April 1944, itu tampaknya hendak mengungkapkan makna kemerdekaan melalui dialog keseharian dalam keluarga. Obrolan ringan yang memiliki makna mendalam.

Tapi, memang, kegagalan serupa kerap menghampiri tradisi tekstual di Indonesia. Itu seperti kefatalan yang menimpa tubuh teks Pengakuan Pariyem karya mendiang Linus Suryadi A.G. Prosa liris yang memaparkan dunia batin seorang babu kraton bernama Pariyem. Mana ada seorang babu mampu menguraikan pemikiran Jawa secara detail dan sublim. Merepresentasikan filosofi kehidupan secara mendalam, babu karangan Linus terlalu cerdas. Ia lebih mungkin sebagai mahasiswa filsafat daripada seorang babu, meskipun ia hidup di lingkungan kraton.

Bandingkan dengan penokohan yang digarap Iwan Simatupang dalam novel Merahnya Merah. Sang tokoh diberi identitas gelandangan. Namun sebelumnya, dia adalah bekas pejuang. Dia juga mantan siswa seminari yang gagal menjadi pastor. Sang tokoh mengelandang bukan karena tertimpa kemiskinan. Tetapi memang itulah pilihan hidupnya. Dia hendak mencari kebebasan.

Bersandar dari identitas tersebut, sang tokoh menjadi logis ketika memaparkan berbagai persoalan filsafat, nasionalisme, maupun teologi. Artinya, ada kesesuaian antara latar belakang tokoh dengan pembicaraan yang dilontarkan. Hasilnya adalah keutuhan penokohan. Tokoh berbicara sesuai dengan kapasitasnya.

Pada monolog Putu, kegagalan membangun logika tekstual itu diperparah dengan paparan-paparan sang kakek terhadap cucunya. Bagi ukuran keseharian, jawaban-jawaban sang kakek lebih mirip kuliah dosen mata kuliah Kewiraan di hadapan mahasiswa. Bayangkan saja, si kakek dengan penuh semangat mendeskripsikan kebobrokan yang melanda birokrasi Indonesia. Membedah beragam efek ketimpangan sosial. Mengolok-olok sikap pemerintah yang tidak menghargai pahlawan. Dan, oleh pertanyaan si cucu, sang kakek seperti tersadarkan bahwa Indonesia belum layak dianggap merdeka.

Ini sungguh tidak masuk akal. Bahkan, tokoh kritis sekelas Arif Budiman pun tidak akan melakukan hal konyol seperti dalam pentas Putu Wijaya. Untungnya, logika tekstual bukanlah satu-satunya ukuran keberhasilan sebuah pentas monolog. Ada aspek-aspek lain yang turut signifikan. Putu Wijaya memang gagal mengembangkan logika tekstual. Tapi, perlu banyak catatan, tokoh teater yang pernah 7 bulan berkeliling pelosok Jepang untuk bermain drama ini sukses menyuguhkan drama komikal yang menghipnotis pengunjung. Selama satu jam, pengunjung tak lepas dari sajian panggung Putu.

Putu Wijaya berhasil mengatur ritme emosi dan simpati penonton. Pada kriterium ini, Putu memamerkan kapasitasnya sebagai dramawan tangguh. Di usianya yang telah 64 tahun, Putu mampu memainkan monolog secara stabil. Staminanya tak pernah kendur. Mulai tengah babak, suara Putu memang terdengar serak. Tapi, suara serak itu tertutupi oleh olah vokalnya yang prima.

Putu kadang bersuara lirih. Kadang datar. Berteriak. Kadang malah berteriak lantang dengan ritme cepat. Apakah ada dramawan setangguh dia di Jawa Timur? Bisa jadi tak ada.

Putu juga melompat. Menghentak-hentakkan kakinya ke lantai kayu. Berlarian. Merentangkan tangan lebar-lebar. Kesemuanya dalam porsi yang tepat. Kesemuanya memperlihatkan ketangguhan seorang aktor kawakan. Menghasilkan artistik yang terukur. Terencana. Dan, selebihnya menghipnotis. Sama sekali tidak terlihat ia letih atau kedodoran.

Kesederhanaan properti di atas panggung mampu diisi dengan mobilitas pemeranan. Bloking yang mengisi seluruh ruang. Bahkan, pada bebeberapa momen, Putu turun dari panggung. Membawakan dialognya dekat dengan penonton terdepan. Putu tiba-tiba juga menubruk kain belakang panggung hingga menimbulkan kesan terjatuh. Saat-saat tertentu, Putu berdiri tegak di atas kursi. Pada saat yang lain, Putu melemparkan kursi ke udara. Pada batasan tertentu, Putu memang jagoan di ranah monolog.

Segala properti menjadi tidak sia-sia. Eksplorasi Putu melibatkan seluruh benda yang ada di atas panggung. Dia bergerak ke kiri untuk menciumi bendera, menarik-nariknya, mengibas-kibaskannya. Sekejap, dia berlari berlutut dan bersujud di lantai. Secara apik pula, dia juga mengekplorasi tongkat, sapu lidi, sangkar, dan kursi. Di bagian akhir adegan, Putu memukul-mukul sangkar dengan tongkat. Hingga sangkar tercerai berai. Berhamburan. Dan, kesemuanya menghasilkan efek artistik yang manis.

Dramawan yang juga menghasilkan lusinan cerpen, beberapa novel, naskah drama, dan rajin menulis ulasan seni pertunjukan ini juga berhasil membangun komunikasi interaktif dengan penonton. Beberapa kali dia melontarkan dialog yang seakan-akan improvisasi. Semisal memarahi bagian properti yang mengepulkan asap ke panggung. ''Asapnya jangan sampai terlambat, saya potong honor kamu nanti,'' katanya.

Dia juga menegur bagian properti yang tidak segera menurunkan dan menaikkan tali sangkar. ''Ini akibatnya kalau latihan hanya dua hari. Telat terus,'' ujarnya. Mendengar komentar Putu, tak ayal, penonton pun terbahak.

Tak berhenti sampai di situ. Putu beberapa kali juga menyapa penonton. Bahkan mengajak penonton menirukan suara burung perkutut. Oleh sebab sajian Putu yang menghipnotis, penonton pun serempak menirukan suara perkutut. Berkali-kali.

Hasilnya, hubungan antara panggung dengan penonton menjadi cair. Berbagai kritik sosial yang dilontarkan Putu bisa diterima penonton tanpa perlu mengerutkan dahi. Kritik sosial Putu memang dikemas dan diperankan secara komedian. Menuntun penonton untuk tertawa. Semisal, tiba-tiba Putu berceletuk. ''Asap jangan dikeluarkan terlalu banyak. Harus dihemat. BBM mahal," ujar Putu kepada bagian properti panggung.

Begitulah Putu Wijaya, sang dramawan yang tak henti berkarya. Tak mau tinggal diam melihat beragam ketimpangan sosial. Melihat kemacetan kinerja birokrasi. Melihat makna kemerdekaan yang terus dipangkas. Menyaksikan kemiskinan kian merajalela. Pemerintah yang tak bisa menyelesaikan persoalan kenegaraan. Justru sebaliknya, pemerintah kerap kali justru bertindak blunder dengan kebijakan-kebijakan non-progresif.

Tapi, apakah Putu Wijaya memberi solusi atas berbagai persoalan yang dia ungkap? Tidak. Putu sebatas memaparkan persoalan-persoalan di negeri Merah Putih ini. Dia hanya memakai ketimpangan sosial untuk menggambarkan kegalauan hati seorang kakek yang pernah berjuang memerdekakan negerinya. (*)

*)Anggota Forum Studi Sastra & Seni Luar Pagar Surabaya dan Komunitas Teater Gapus Surabaya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae