Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/
“Tengah malam tuba. Angin berdesir. Beribu ular berdesir. Tanganku berdesir. Itu tubuh/mengucur darah/mengucur darah.” Itulah kalimat-kalimat pembuka “Solilokui Ungu,” sebuah cerpen yang mengawali antologi cerpen Bara Negeri Dongeng (Yogyakarta: Jalasutra, September 2002, 183 halaman) karya Maroeli Simbolon. Di sana ada penggalan-penggalan puisi “Isa” karya Chairil Anwar. Dan secara cerdas Maroeli berhasil memanfaatkannya menjadi bagian integral dari bangunan keseluruhan cerita yang disajikan. Tema cerita yang menggambarkan peristiwa pembunuhan itu –baik yang dilakukan atau yang dipikirkan tokohnya—kemudian seperti memancarkan suasana mencekam. Melalui penghadiran citraan-citraan berdarah, ketika diselusupkan puisi Chairil Anwar itu, terciptalah serangkaian teror yang mengasyikkan. Dan tiba-tiba saja kita dijerat pesona oleh jalinan narasi yang terasa begitu puitik.
Demikianlah, salah satu penyebab munculnya greget yang berjalin kelindan antara lakuan dan pikiran tokoh dalam cerpen itu, dimungkinkan oleh kehadiran puisi Chairil. Oleh karena itu, kutipan teks puisi di sana, bukanlah sekadar tempelan, artifisial atau hanya untuk gagah-gagahan, tetapi sudah mengalami transformasi makna mengikuti konvensi cerpen. Dan itu terjadi manakala ia lebur-menyatu dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tema cerita. Atau, masuk mengacaukan perasaan dan pikiran tokohnya yang lalu menjelma jadi gumpalan-gumpalan kegelisahan tokoh yang bersangkutan.
Memasukkan teks lain atau pesan tertentu dalam cerpen atau novel (: sastra) tentu saja bukan tanpa risiko. Paling tidak, Stendhal (1783—1841), novelis Prancis, pernah mengingatkan itu ketika politik memasuki wilayah sastra yang dikatakannya laksana “letusan pistol di tengah konser.” Ia akan terdengar khas, tak terduga dan menciptakan surprise, jika gelegarnya menyelusup dan pas mengisi bagian tertentu dalam komposisi musik konser itu. Sebaliknya, ia akan menciptakan hingar (noisy) dan mengganggu keseluruhan, jika suara letusan pistol itu terdengar nyeleneh sendiri dan gagal menjadi bagian estetika komposisi musik konser itu.
Meskipun contoh kasus yang dikemukakan Stendhal berkaitan dengan bahaya masuknya politik (ideologi) ke dalam wilayah novel (:sastra), setidaknya langkah yang dilakukan Maroeli Simbolon dalam “Solilokui Ungu” dan beberapa cerpennya yang lain, dapat dijadikan contoh kasus yang relevan dengan peringatan Stendhal. Dalam hal ini, pemilihan puisi “Isa” Chairil Anwar itu, justru untuk mendukung tema cerita dan menciptakan suasana peristiwa agar terasa intens dan lebih punya kedalaman maknawi.
Hal yang sama, dapat kita cermati pula dalam cerpen kedua “Waduk Luka” yang mengambil beberapa bagian puisi “Tanah Airmata” karya Sutardji Calzoum Bachri. Kembali, kutipan puisi itu tidak hanya memperkuat pesan tematisnya, tetapi juga menciptakan latar suasana yang penuh imaji. Dengan demikian, kehadiran puisi itu tidak sekadar kutipan an sich, melainkan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan cerita. Maka, jika kutipan-kutipan puisi itu dibuang, niscaya kita akan merasakan ada sesuatu yang hilang; cerita jadi berantakan, tema dan latar suasana yang dibangunnya akan terasa hambar.
Masih dengan teknik yang sama, Maroeli kembali melesapkan sepenggalan lagu Koes Plus, “Kolam Susu” menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan tema cerpen “Dongeng Pengamen di Belantara Kota”. Pola yang sama, dilakukannya lagi dalam “Nyiur Melambai Nyeri” yang mengutip sepenggalan lagu “Rayuan Pulau Kelapa” karya Ismail Marzuki. Dalam hal ini, kemahirannya menjalinpintal peristiwa dengan rujukan teks lain, bukanlah untuk menciptakan sebuah kolase, seperti yang pernah dilakukan Budi Darma dalam Orang-Orang Bloomington, melainkan untuk memberi efek yang lebih mendalam atas pilihan tema, latar, dan suasana peristiwa yang ditawarkannya. Jadi, teks lain itu melesap, menyatu dan berintegrasi, lalu memainkan peranannya secara fungsional dalam kepaduan intrinsikalitas cerpen bersangkutan.
Dengan cara itu, sesungguhnya Maroeli seperti sengaja membebaskan narasinya mengalir begitu saja. Dan itu dimungkinkan pula oleh usahanya menciptakan rangkaian citraan, idiom-idiom dan majas yang terasa segar, sebagaimana yang terjadi dalam puisi. Itulah sebabnya, sebagian besar cerpen dalam antologi ini memancarkan narasi yang terasa begitu puitik. Bahkan, kadangkala, narasinya itu condong mendekati puisi.
***
Bara Negeri Dongeng menghimpun 18 cerpen. Keseluruhannya, secara simbolik mengangkat tema kritik sosial. Di sana ada tragedi Mei, kerusuhan pascajajak pendapat, kemunafikan elite politik, kehancuran negeri dan keserakahan manusia kota, perebutan kekuasaan, pengaruh tokoh di belakang layar, dan berbagai macam peristiwa busuk yang terjadi di negeri ini. Semua itu dikemas Maroeli secara simbolik dan metaforis –dengan narasi puitik— meskipun kita masih dapat merasakan, ke mana sasaran tembak itu diarahkan. Dengan cara itu, di satu pihak, Maroeli dapat sangat leluasa menyampaikan kritik sosialnya, dan di pihak lain, ia dapat juga menyembunyikan dengan sangat rapi arah kritik yang ditujunya. Sebuah model yang sampai kini masih digunakan Danarto dan Putu Wijaya.
Lewat penyajian yang simbolik dan metaforis itulah, kritik sosial yang disajikan Maroeli tidaklah sebagaimana yang dilakukan Seno Gumira Ajidarma atau Hamsad Rangkuti. Ia juga tidak mengeksploitasi konflik batin dan aliran pikiran model Gus tf Sakai atau Hudan Hidayat. Maroeli mengangkat peristiwa yang terjadi di dunia entah-berantah, meskipun arahnya jelas dalam konteks problem multidimensi yang terjadi di negeri ini. Dengan begitu, mencermati antologi ini, kita seperti dibawa ke suasana dunia Danarto yang mengalir lembut, tetapi di beberapa bagian, metaforis dan simbolisasinya mengingatkan kita pada gaya Putu Wijaya. Dan ketika kita memasuki dunia entah berantah, tiba-tiba kita ingat cerpen-cerpen Pamusuk Eneste yang mengeksploitasi masalah alienasi dan keterasingan manusia modern. Sementara itu, dari sudut pengembaraan imajinasinya, Maroeli seperti sedang berhadap-hadapan secara kontras dengan murka dan sumpah-serapah Joni Ariadinata yang liar-lugas dan meledak-ledak atau dengan keberingasan Teguh Winarso.
Dengan menyebut nama-nama itu, jelas, Maroeli sudah punya kotaknya sendiri. Penghadiran suasana peristiwa dan model narasinya, terasa lembut menyerupai larik-larik puisi. Meskipun begitu, tentu saja kita tidak dapat menyebutnya sebagai puisi naratif semacam Pengakuan Pariyem, Linus Suryadi. Di situlah kehadiran Bara Negeri Dongeng menjadi penting dalam memperkaya style dan model narasi cerpen kita.
***
Bahwa cerpen “Solilokui Ungu” dan “Waduk Luka” bolehlah dikatakan berhasil memanfaatkan puisi Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri guna menciptakan suasana latar peristiwa dan mendalamkan tema ceritanya, tidaklah berarti cara tersebut tidak mengundang bahaya. Kesan nebeng popularitas dari karya dua penyair penting itu tentu saja perlu dihindarkan. Oleh karena itu, Maroeli sepatutnya melebarkan lahan garapannya itu dengan menengok pada kultur, tradisi leluhur, folklore, dan dongeng-dongeng –termasuk mitologi— jika pola itu hendak dipertahankan.
Dengan menjalinpintal narasinya yang sarat dengan majas dan citraan puitik, sesungguhnya Maroeli telah mempunyai modal dasar yang kokoh. Tinggal bagaimana ia mengejawantahkan kekuatannya itu dengan tema yang lebih beragam. Jika tetap berkutat pada pemanfaatan teks lain, ia tidak hanya akan terjerumus pada pola klise yang basi dan membosankan, tetapi juga akan sulit mengindarkan diri dari kesan nebeng popularitas itu.
Dalam hubungan itu, tidaklah keliru jika Maroeli mencermati juga karya-karya lain yang menggunakan pola semacam yang dilakukan cerpenis lain. Danarto, misalnya, masih punya napas panjang lantaran ia rajin bolak-balik membongkar mistisisme Jawa dan kisah-kisah kaum sufi. Joni Ariadinata dalam Air Kaldera, juga telah mencoba memanfaatkan cerita-cerita ajaib para aulia dan dongeng-dongeng dalam kehidupan di dunia entah-berantah. Tentu saja masih banyak nama lain yang masih tetap bertahan hanya lantaran ia tak terkungkung pada tema cerita yang sejenis. Taufik Ikram Jamil, misalnya, tak pernah berhenti menggali kekayaan kultur puaknya. Gus tf Sakai, juga terus mengejar kultur lain sebagai bahan dasarnya. Dengan cara ini, pola narasi yang menjadi modal dasarnya itu, tetap akan terasa segar, kaya, dan tidak jatuh pada bentuk klise.
***
Maroeli Simbolon dalam deretan nama cerpenis kita, barangkali masih agak asing. Dengan kehadiran Bara Negeri Dongeng, boleh jadi kita patut memperhitungkan keberadaannya dalam konstelasi kesusastraan Indonesia terkini. Mencermati cara bertuturnya yang jernih dan puitik –yang justru penting sebagai modal dasar bagi cerpenis—maka tidak berlebihan jika kita mengusung pengharapan kepadanya. Sebaliknya, jika ia asyik-masyuk dan puas diri dengan antologinya ini, bersiaplah kita mengirimkan karangan bunga. Bagaimanapun, beberapa cerpen dalam antologi ini di sana-sini masih terasa begitu cair. Gaya hiperbolanya juga kadang kala agak royal, meskipun lebih bersifat simbolik atau metaforis. Jadi, kecermatan diksi tentu saja perlu dipertimbangkan secara serius, agar karyanya itu benar-benar kental dan bernas.
Barangkali begitu. Horas!
(Maman S. Mahayana, Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar