Kamis, 27 November 2008

CERPEN-CERPEN PUITIK MAROELI

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

“Tengah malam tuba. Angin berdesir. Beribu ular berdesir. Tanganku berdesir. Itu tubuh/mengucur darah/mengucur darah.” Itulah kalimat-kalimat pembuka “Solilokui Ungu,” sebuah cerpen yang mengawali antologi cerpen Bara Negeri Dongeng (Yogyakarta: Jalasutra, September 2002, 183 halaman) karya Maroeli Simbolon. Di sana ada penggalan-penggalan puisi “Isa” karya Chairil Anwar. Dan secara cerdas Maroeli berhasil memanfaatkannya menjadi bagian integral dari bangunan keseluruhan cerita yang disajikan. Tema cerita yang menggambarkan peristiwa pembunuhan itu –baik yang dilakukan atau yang dipikirkan tokohnya—kemudian seperti memancarkan suasana mencekam. Melalui penghadiran citraan-citraan berdarah, ketika diselusupkan puisi Chairil Anwar itu, terciptalah serangkaian teror yang mengasyikkan. Dan tiba-tiba saja kita dijerat pesona oleh jalinan narasi yang terasa begitu puitik.

Demikianlah, salah satu penyebab munculnya greget yang berjalin kelindan antara lakuan dan pikiran tokoh dalam cerpen itu, dimungkinkan oleh kehadiran puisi Chairil. Oleh karena itu, kutipan teks puisi di sana, bukanlah sekadar tempelan, artifisial atau hanya untuk gagah-gagahan, tetapi sudah mengalami transformasi makna mengikuti konvensi cerpen. Dan itu terjadi manakala ia lebur-menyatu dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari tema cerita. Atau, masuk mengacaukan perasaan dan pikiran tokohnya yang lalu menjelma jadi gumpalan-gumpalan kegelisahan tokoh yang bersangkutan.

Memasukkan teks lain atau pesan tertentu dalam cerpen atau novel (: sastra) tentu saja bukan tanpa risiko. Paling tidak, Stendhal (1783—1841), novelis Prancis, pernah mengingatkan itu ketika politik memasuki wilayah sastra yang dikatakannya laksana “letusan pistol di tengah konser.” Ia akan terdengar khas, tak terduga dan menciptakan surprise, jika gelegarnya menyelusup dan pas mengisi bagian tertentu dalam komposisi musik konser itu. Sebaliknya, ia akan menciptakan hingar (noisy) dan mengganggu keseluruhan, jika suara letusan pistol itu terdengar nyeleneh sendiri dan gagal menjadi bagian estetika komposisi musik konser itu.

Meskipun contoh kasus yang dikemukakan Stendhal berkaitan dengan bahaya masuknya politik (ideologi) ke dalam wilayah novel (:sastra), setidaknya langkah yang dilakukan Maroeli Simbolon dalam “Solilokui Ungu” dan beberapa cerpennya yang lain, dapat dijadikan contoh kasus yang relevan dengan peringatan Stendhal. Dalam hal ini, pemilihan puisi “Isa” Chairil Anwar itu, justru untuk mendukung tema cerita dan menciptakan suasana peristiwa agar terasa intens dan lebih punya kedalaman maknawi.
Hal yang sama, dapat kita cermati pula dalam cerpen kedua “Waduk Luka” yang mengambil beberapa bagian puisi “Tanah Airmata” karya Sutardji Calzoum Bachri. Kembali, kutipan puisi itu tidak hanya memperkuat pesan tematisnya, tetapi juga menciptakan latar suasana yang penuh imaji. Dengan demikian, kehadiran puisi itu tidak sekadar kutipan an sich, melainkan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseluruhan cerita. Maka, jika kutipan-kutipan puisi itu dibuang, niscaya kita akan merasakan ada sesuatu yang hilang; cerita jadi berantakan, tema dan latar suasana yang dibangunnya akan terasa hambar.

Masih dengan teknik yang sama, Maroeli kembali melesapkan sepenggalan lagu Koes Plus, “Kolam Susu” menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan tema cerpen “Dongeng Pengamen di Belantara Kota”. Pola yang sama, dilakukannya lagi dalam “Nyiur Melambai Nyeri” yang mengutip sepenggalan lagu “Rayuan Pulau Kelapa” karya Ismail Marzuki. Dalam hal ini, kemahirannya menjalinpintal peristiwa dengan rujukan teks lain, bukanlah untuk menciptakan sebuah kolase, seperti yang pernah dilakukan Budi Darma dalam Orang-Orang Bloomington, melainkan untuk memberi efek yang lebih mendalam atas pilihan tema, latar, dan suasana peristiwa yang ditawarkannya. Jadi, teks lain itu melesap, menyatu dan berintegrasi, lalu memainkan peranannya secara fungsional dalam kepaduan intrinsikalitas cerpen bersangkutan.

Dengan cara itu, sesungguhnya Maroeli seperti sengaja membebaskan narasinya mengalir begitu saja. Dan itu dimungkinkan pula oleh usahanya menciptakan rangkaian citraan, idiom-idiom dan majas yang terasa segar, sebagaimana yang terjadi dalam puisi. Itulah sebabnya, sebagian besar cerpen dalam antologi ini memancarkan narasi yang terasa begitu puitik. Bahkan, kadangkala, narasinya itu condong mendekati puisi.
***

Bara Negeri Dongeng menghimpun 18 cerpen. Keseluruhannya, secara simbolik mengangkat tema kritik sosial. Di sana ada tragedi Mei, kerusuhan pascajajak pendapat, kemunafikan elite politik, kehancuran negeri dan keserakahan manusia kota, perebutan kekuasaan, pengaruh tokoh di belakang layar, dan berbagai macam peristiwa busuk yang terjadi di negeri ini. Semua itu dikemas Maroeli secara simbolik dan metaforis –dengan narasi puitik— meskipun kita masih dapat merasakan, ke mana sasaran tembak itu diarahkan. Dengan cara itu, di satu pihak, Maroeli dapat sangat leluasa menyampaikan kritik sosialnya, dan di pihak lain, ia dapat juga menyembunyikan dengan sangat rapi arah kritik yang ditujunya. Sebuah model yang sampai kini masih digunakan Danarto dan Putu Wijaya.

Lewat penyajian yang simbolik dan metaforis itulah, kritik sosial yang disajikan Maroeli tidaklah sebagaimana yang dilakukan Seno Gumira Ajidarma atau Hamsad Rangkuti. Ia juga tidak mengeksploitasi konflik batin dan aliran pikiran model Gus tf Sakai atau Hudan Hidayat. Maroeli mengangkat peristiwa yang terjadi di dunia entah-berantah, meskipun arahnya jelas dalam konteks problem multidimensi yang terjadi di negeri ini. Dengan begitu, mencermati antologi ini, kita seperti dibawa ke suasana dunia Danarto yang mengalir lembut, tetapi di beberapa bagian, metaforis dan simbolisasinya mengingatkan kita pada gaya Putu Wijaya. Dan ketika kita memasuki dunia entah berantah, tiba-tiba kita ingat cerpen-cerpen Pamusuk Eneste yang mengeksploitasi masalah alienasi dan keterasingan manusia modern. Sementara itu, dari sudut pengembaraan imajinasinya, Maroeli seperti sedang berhadap-hadapan secara kontras dengan murka dan sumpah-serapah Joni Ariadinata yang liar-lugas dan meledak-ledak atau dengan keberingasan Teguh Winarso.

Dengan menyebut nama-nama itu, jelas, Maroeli sudah punya kotaknya sendiri. Penghadiran suasana peristiwa dan model narasinya, terasa lembut menyerupai larik-larik puisi. Meskipun begitu, tentu saja kita tidak dapat menyebutnya sebagai puisi naratif semacam Pengakuan Pariyem, Linus Suryadi. Di situlah kehadiran Bara Negeri Dongeng menjadi penting dalam memperkaya style dan model narasi cerpen kita.
***

Bahwa cerpen “Solilokui Ungu” dan “Waduk Luka” bolehlah dikatakan berhasil memanfaatkan puisi Chairil Anwar dan Sutardji Calzoum Bachri guna menciptakan suasana latar peristiwa dan mendalamkan tema ceritanya, tidaklah berarti cara tersebut tidak mengundang bahaya. Kesan nebeng popularitas dari karya dua penyair penting itu tentu saja perlu dihindarkan. Oleh karena itu, Maroeli sepatutnya melebarkan lahan garapannya itu dengan menengok pada kultur, tradisi leluhur, folklore, dan dongeng-dongeng –termasuk mitologi— jika pola itu hendak dipertahankan.

Dengan menjalinpintal narasinya yang sarat dengan majas dan citraan puitik, sesungguhnya Maroeli telah mempunyai modal dasar yang kokoh. Tinggal bagaimana ia mengejawantahkan kekuatannya itu dengan tema yang lebih beragam. Jika tetap berkutat pada pemanfaatan teks lain, ia tidak hanya akan terjerumus pada pola klise yang basi dan membosankan, tetapi juga akan sulit mengindarkan diri dari kesan nebeng popularitas itu.

Dalam hubungan itu, tidaklah keliru jika Maroeli mencermati juga karya-karya lain yang menggunakan pola semacam yang dilakukan cerpenis lain. Danarto, misalnya, masih punya napas panjang lantaran ia rajin bolak-balik membongkar mistisisme Jawa dan kisah-kisah kaum sufi. Joni Ariadinata dalam Air Kaldera, juga telah mencoba memanfaatkan cerita-cerita ajaib para aulia dan dongeng-dongeng dalam kehidupan di dunia entah-berantah. Tentu saja masih banyak nama lain yang masih tetap bertahan hanya lantaran ia tak terkungkung pada tema cerita yang sejenis. Taufik Ikram Jamil, misalnya, tak pernah berhenti menggali kekayaan kultur puaknya. Gus tf Sakai, juga terus mengejar kultur lain sebagai bahan dasarnya. Dengan cara ini, pola narasi yang menjadi modal dasarnya itu, tetap akan terasa segar, kaya, dan tidak jatuh pada bentuk klise.
***

Maroeli Simbolon dalam deretan nama cerpenis kita, barangkali masih agak asing. Dengan kehadiran Bara Negeri Dongeng, boleh jadi kita patut memperhitungkan keberadaannya dalam konstelasi kesusastraan Indonesia terkini. Mencermati cara bertuturnya yang jernih dan puitik –yang justru penting sebagai modal dasar bagi cerpenis—maka tidak berlebihan jika kita mengusung pengharapan kepadanya. Sebaliknya, jika ia asyik-masyuk dan puas diri dengan antologinya ini, bersiaplah kita mengirimkan karangan bunga. Bagaimanapun, beberapa cerpen dalam antologi ini di sana-sini masih terasa begitu cair. Gaya hiperbolanya juga kadang kala agak royal, meskipun lebih bersifat simbolik atau metaforis. Jadi, kecermatan diksi tentu saja perlu dipertimbangkan secara serius, agar karyanya itu benar-benar kental dan bernas.
Barangkali begitu. Horas!

(Maman S. Mahayana, Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok).

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae