KRT. Suryanto Sastroatmodjo
Baik, baik, lebih baik kita simak lebih lanjut, apakah pikir dan kegelisahan yang mencucuk-cucuk dada itu masih meninggalkan bekas, ataukah sudah sirna sama sekali. Jikalau sulit untuk dihapus, lebih baik kita sendiri yang menyembunyikan ke balik baju kaos, baju-dalam, ataupun sesuatu yang tersembunyi di sini.
Windarto yang kuhormati.
Kunjungan duabulan di desa, belumlah bisa dijadikan ukuran untuk mengenal betapa pepak dan nyamannya kehidupan di kawasan itu. Bersama dengan dua mahasiswa, Cuk dan Ririn, lampah kita memang seperti tertegun-tegun. Karena kita berdua tergolong sarjana ilmu sosial yang baru sebulan diwisuda (lagipula otak masih belum dingin dari penjejalan ilmu-ilmu yang kudu dihafalkan sampai ngelothok, terlebih teori-teori yang berdesing bagai baling-baling) – maka perjalanan ke Bukit Gumolong menjadi sesuatu nan agak sensasional. Cobalah pikirkan, Wien. Penelitian terhadap situs kesejarahan di kawasan itu adalah sebagai pelengap belaka. Karena tugas utama dari Prof. Sukahar adalah mengenai perkembangan pasar dalam masyarakat dusun terpencil itu.
Konon dalam liputan sebelumnya, pasar-pasar desa yang pernah ada di situ adalah milik seorang juragan berpengaruh, atau bahkan lurah yang bercokol turun-temurun. Keberadaan pasar hampir boleh dikatakan sebagai satu proyek klasika-tradisional yang mendukung ‘nilai wibawa utuh’ Sang Petinggi – istilah khas daerah itu untuk menyebut lurah – dan bukan didasarkan atas kepentingan ekonomi wargadesa bersangkutan. Orang berjual-beli seperti semacam basa-basi, karena bukan berpusat pada perputaran uang di lingkar kehidupan melainkan karena tuntutan budaya. Lebih bisa dikatakan, mereka masih saling bertukar barang dagangan dan bila terdapat selisih harga yang agak menyolok, barulah matauang bicara sebagai penambahnya, (seraya menebarkan keyakinan untuk ‘menyerbu’ benteng.)
Windarto yang penyabar.
“Selalu itu-itu saja yang diocehkan,” gerutumu bila aku berkata seperti yang barusan kusebut dalam surat ini. Mengapa kau enggan untuk mendengar tentang unikum suatu daerah, apalagi yang berkaitan dengan desa, obyek-studi yang kita pilih selama beberapa tahun ini? Wien, Bukit Gumolong telah menarik tangan kita, dan menyeret kita ke pelukannya. Katakanlah, aku membanyol. Tapi aku tegaskan, Wien, Ki Petinggi Jaladara sangat simpatik dan kendati usianya telah tujuhpuluhan, namun dia tergolong bersemangat, suka memberi kesempatan kerja kepada kaum muda, apalagi yang punya gagasan-gagasan segar. Tatkala masalah pasar itu kita pelajari, dari texbook milik Prof. Sukahar yang sampulnya birulangit itu, tertulis bahwa dua desa: Rejosari dan Rejowangi yang terletak di puncak bukit karang itu, dibangun oleh Ki Demang Wargatama, buyut dari Petinggi Jaladara. Untuk kedua desa yang dihuni kurang dari limaratus kepala keluarga. Demang mendudukkan kedua putranya, Jayengsari dan Jayengwangi sebagai pimpinan daerah diandalkan. Laku mendekatkan temali lonceng dalam wirama.
Peristiwa itu sudah tiga abad lewat, bahkan lebih. Waktu pelajaran anthropologi, pada kuliah senja-hari itu, mahaguru Sukahar mengatakan: “Suatu ketika, kalian harus melawat ke bekas Kademangan di atas bukit terjal yang berwarna coklat-muda itu. Niscaya kalian akan heran, bahwa sudah sekian puluh tahun, jaman seakan takpernah bergeser dari sirkelnya. Kedua petinggi itu telah lama tiada, wafat dalam sebuah pemberontakan kecil yang diletupkan oleh kawulanya sendiri, tersebab hanya oleh perkara kecil. Jayengsari mempersunting anak seorang petani miskin dari desa kulon sana, tapi dengan cara dilarikan, tanpa sepengetahuan ayahnya. Akibatnya terbit kekisruhan.
Paman dan saudara-saudara Gendhuk Sruni (nama wanita itu) menuntut bela. Mereka mengeroyok Petinggi Jayengsari, sewaktu beliau tengah berpesiar di atas keretanya yang bagus di Karangjati, arah tenggara dari Pasar Desa yang beriwayat. Beliau wafat, dan Petinggi Jayengwangi tak bisa menerima kenyataan ini. Beliau menghukum orang-orang desa yang melakukan aksi sepihak ini. Mereka yang dianggap terlibat dalam peristiwa itu ditangkap dan digiring beramai-ramai ke pasar. lalu hingga menjelang Maghrib, orang-orang kepercayaan lurah mendirikan dinding-dinding anyaman blarak yang disusupi ilalang kering, mengelilingi pasar itu, untuk kemudian dibakar. Hanya dalam tempo sejam, pasar telah rata dengan tanah. Yang aneh bin ajaib, Nak, wargadesa tak seorangpun yang keluar rumah untuk menyaksikan kobaran api. Malahan lebih mengherankan: tiada terdengar teriakan-teriakan kesakitan dari mereka yang di-pidana obong oleh petinggi yang kehilangan saudaranya itu. Tapi, Nak, tangan dendam takkan pernah merampungkan suatu ikhtiar.”
Prof. Sukahar berhenti sebentar, seperti mengumpulkan ingatannya. Keningnya berkerut, lalu dia berkata dengan suara datar: “Kalau Suryanto dan Windarto berniat ke Bukit Gumolong, aku akan gembira sekali. Karena kalian nampaknya sangat berbakat dalam penelitian-penelitian seputar anthropologi pedesaan. Setiap ujian yang kalian tempuh, baik lisan maupun tertulis dalam matakuliah yang bapak berikan, selalu memuaskan. Sungguh, saya berharap, Nak.” Ingatkah kau, Wien, bagaimana kita saling-pandang ketika itu? Ah, rasanya mongkog sekali diri ini. Belum pernah ada gurubesar memuji kita selantang itu. Lalu, pendekar ilmu yang tua itu mengelus sebentar rambut berombaknya yang telah beruban seluruhnya dan berkata lirih: “Kini, pasar itu mirip pekuburan yang sepi. Wargadesa turun-temurun takkan melupakan hal yang mengerikan itu. Petinggi Jaladara, sebagai keturunan Jayengsari, justru selalu berusaha, untuk menghapus dandam dan kebencian, sebudi-akalnya. Cerita-cerita rakyat seputar dusun, yang mengingatkan akan hikayat Gendhuk Sruni dan pembakaran dusun di ujung senjahari, dilarang untuk diceritakan kepada anakcucu. Tapi aku tetap bisa merasakan, bahwa perasaan-perasaan nan terpendam, sungguh pun telah tertutup debu zaman, sulit disirnakan. Dua desa itu, tak pernah bisa berdialog dalam tata-gaul wajar. Ada yang seperti mengganjal dalam batin, jikalau warga Rejosari dan Rejowangi ketemu di jalan.
Windarto, teman sekuliah dan seperjuangan.
Sore, sebulan, sebelum wisuda yang membahagiakan, kita sowan ke rumah Prof. Sukahar yang jauh di utara kota, pada kilometer sepuluh. Nampak sekali, sambutan hangat beliau. Rencana penelitian toh sudah dua minggu kusampaikan di Biro Penelitian, dan membuat sumringah wajah beliau. “Ananda,” ucapnya seraya mengisap pipa yang terbuat dari gading itu. “Jangan lupa, jika ananda ketemu dengan Ki Petinggi Jaladara, sampaikan salamku. Katakan pula padanya, bahwa aku tetap menjadi sebagian dari sejarahnya, Nak.” Dan semoga takkan lantak yang tertunda!
“Profesor, mengapa harus kami katakan demikian?” aku agak terkejut. Mungkin bukan kalimat itu sendiri, melainkan karena lagu kalimatnya yang bagai mendera sesuatu, bagai merobohkan batugunung laiknya. Kau mengerling hati-hati. Beliau membenahi kacamatanya yang melorot dan memperbaiki ucapannya. “Seperti dalam kitab Doctor Andrianus Rookluyv, yang mengadakan penelitian khusus seperempat abad silam, dengan rekomendasi dariku. Ia katakan, pergeseran nilai-nilai niscaya menyerbu dua-desa yang bertolak belakang itu, akhir-nantinya. Tapi memang dibutuhkan ujung-tombak yang lain, selain pimpinan tradisional yang beku dan tanpa inisiatif pembaharuan seperti itu. Paling tidak, seorang intelektual muda dan saguh merengkuh-rumengkuh lingkup dusun, dan berupaya membawanya pada kutub nan bebas, bukan tebing-tebing pertentangan yang membikin pertentangan antar-generasi dalam kurun waktu teramat panjang. Nah, ananda Suryanto dan Windarto! Pesanku, bila sampai di sana, ajaklah dua mahasiswa lain yang telah terbiasa hidup di desa kontraversial. Dengan menggunakan tenaga pemandu demikian, lancarlah tugasmu.”
“Sepatah lagi, Pak,” gumammu cepat. “Nampaknya Bapak memiliki keterkaitan emosional dengan lingkungan masyarakat Bukit Gumolong. Teori-teori yang Bapak sampaikan tentang desa tersebut, yang kami simak, menerbitkan kesimpulan bahwa titiktemu tak bisa dipautkan dalam waktu singkat. Kita musti memotivir desa kulon dan wetan terlebih dahulu, sebelum merukunkannya.”
Asap pipa Profesor melingkar melangit, dan dengan sedikit merenung, diucapkannya: “Ikatan emosional kapanpun, di manapun dan siapapun bisa tercipta, bila kita memiliki tanggapan tertentu tentang obyek nan digarap, Nak. Bukan sesuatu bayangan kabur yang tak menemukan bendungannya.” Maka, di kala kita berpamit malam itu, masih terasa oleh kita, bahwa Bukit Gumolong menyembunyikan misteri, tapi juga lebih tepat bila dikatakan: juga Profesor Sukahar tak menutup kemungkinan bertambahnya misteri di balik ini. Ah, Wien, belum pernah satu penelitian menjadi begini kompleks ramuan-reroncenya. Seolah antara obyek dan subyek hablur dalam adonan nan berbuih kental. (Andai pagi meraba perjalanan: Hidup pun tersapa.)
Sahabatku Windarto.
Aku sedikit heran, kenapa Cuk dan Ririn hanya setengah hati mengikuti proyek penelitian yang begini unik ini. Kalau benar dugaanku, bahwa keduanya memang berasal dari dusun Rejosari dan Rejowangi, yang justru ingin menyembunyikan segi-segi pertentangan abad-silam di kawasan tersebut, kenapa keduanya tak berterus-terang? Padahal, gurubesar kita telah mengikutkan keduanya dalam tugas ini, bahkan dengan uang-saku yang lumayan besarnya. Ririn menghilang, tatkala kita sampai pada susuran hutan bambu dekat Wijiluhur. Alasan yang dia katakan, hendak mencari Pakde-nya yang menjadi perabot desa di sana. Namun hingga Isya, tatkala kita berkumpul di rumah Kebayan Wulung untuk bershalat jamaah, dia belum juga kelihatan batang hidungnya. Cuk bikin alasan, hendak mandi di sungai Lingga! Penunggu warung di timur SD sana mengatakan, anak muda itu mandi-mandi di kali itu, untuk mengusir kegerahan tubuh. Tapi hanya sebentar. Setelah mandi (seperti belum pernah mandi sebebas itu sebelumnya) dia ngacir ke sebuah rumah penduduk, yang baru dikenalnya pagi itu. Entah Wien, apa yang akan kita temui di Bukit Gumolong, hingga begitu ganjil yang kita alami? Biarlah kita mematut-patut rasa kekinian.
“Tapi, aku telah menulis untuk Pak Sukahar, Sur. Hanya beberapa helai coretan tentang laporan perwatakan penduduk, dalam selayang-terbang. Kecurigaan yang tanpa alasan. Sikap mendua-hati. Keberingasan dan kurangnya sikap terbuka pada pendatang. Hmm, buku Dr. Andrianus Rookluyv belum lagi sampai pada senggolan detil. Wawasannya terlalu global.” Betapapun juga, suatu era baru berpanjikan musyawarah!
“Nanti dulu,” kataku seraya membuka tas yang telah menyimpan beberapa catatan selama sepuluh hari di Rejowangi. “Aku telah mewawancarai seorang Kebayan yang memiliki penambangan rakit di timur bengawan. Katanya, percuma untuk menciptakan titiktemu, bila diketahui, abad-abad berlangsung menikamkan belati persaingan, kebencian, gusar, terhadap desa tetangga. Lalu, dalam soal perkawinan. Pemuda desa Rejosari takkan diijinkan menikah dengan gadis Rejowangi, dan begitu pula sebaliknya. Pantangan ini jangan sampai dilanggar, bila tak ingin menerima kutukan dari langit. Ah, ah!” Kukira khasanah peradaban kesukuan adalah etis.
Giliranmu tertawa keras, Wien. Petinggi Jaladara adalah sesepuh kedua desa, dan pemilik pasar desa yang beriwayat itu. Anehnya, desa Rejowangi dan Rejosari punya Lurah-lurah cilik bergelar Kyai Bekel yang masih punya hubungan darah dengan Petinggi sesepuh itu. Tapi, kendati demikian, mereka jarang ber-sapa aruh satu sama lain. Pamali, katanya tegas.”
Kumasukkan kertas-kertas catatan berwarna merahjambu itu ke dalam tas. Malam itu, kita tak cepat tidur, di rumah Kebayan Rejowangi yang penuh nyamuk (karena dekat jendela benar, terdapat kolam-kolam ikan mujair dan ikan tambera, yang airnya tergenang dan penuh lumut. Sarungku terlalu pendek untuk bisa membungkus tubuh yang panjang ini). Untung, radio transistor yang diberi oleh Ita, pacarku, kendati cuma dua ban, ngiangnya cukup seru, siaran dari pemancar di ibukota kabupaten – tigapuluh kilo arah lorwetan perbukitan ini – sayup sampai ditangkapnya. Ngasolah, Wien.
Sahabatku yang periang.
Pak Wakijan, pensiunan penjaga Sekolah Dasar pertama Rejosari, pernah bercerita, sewaktu aku mencuci di sungai, selepas senam pagi. “Den Sur, mungkin anda lebih beruntung daripada peneliti-peneliti lainnya, sebelum ini. Soalnya dahulu, nyawa mereka sering jadi taruhannya. Sungguh, lho Den.” Aku tak begitu menanggapi kata-kata ganjil itu. Sambil terus mengucek celana jeans belel yang pudar warna birunya itu, aku berkata pelan: “Anu, Pak. Apa boleh buat. Kami hanya menjalankan amanat Pak Sukahar. Kami bagi-bagi tugas. Windarto di desa wetan, aku di desa kulon. Pekan berikutnya, bertukar lokasi. Tapi kami tak pernah membikin keributan apapun di desa-desa itu.” (Sungguh deraslah air merayapi setingkap kini.)
“Oya, ngomong-omong, siapa yang Den Dur sebut tadi?”
“Anu, Pak Sukahar. Lengkapnya Profesor Doktor Sukahar Danuwijoyo. Beliau gurubesar Anthropologi di Universitas kami. Pengabdi ilmu!” Ah, alangkah baiknya merangkul nyaman suri kebanggaan.
Pak Wakijan seperti mengingat-ingat sesuatu. Lalu, seperti pada dirisendiri, dia berbicara: “Den Sur. Aku pernah mengenal priyatun itu, berpuluh tahun silam. Ketika itu beliau masih remaja. Raden Mas Sukahar, putra bungsu dari Kanjeng Adipati Danuwijoyo di kabupaten Robayan.”
“Putra seorang bupati? Baru sekarang saya mendengar hal itu.” Tuhan mengurniai seorang pewaris ragam adat Jawa yang pertama, cekatan, dan cerdas. “Den Sur belum tahu agaknya. Waktu jaman revolusi dulu, keluarga Kanjeng itupun mengungsi ke Rejosari. Aneh juga, Den. Beliau, Kanjeng itu, adalah seorang yang berasal dari keturunan Gendhuk Sruni, walaupun dari pihak ibunya – artinya, dari perkawinan antara Jayengsari dengan perawan desa itu. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, ketika masih jaman penjajahan Belanda, soal seperti itu menjadi ‘duri dalam daging’. Mbah Kromorejo, kakekku sendiri dari desa Rejowangi, kurang menyukai keluarga Adipati itu. Kalau anak keturunannya menginjak kembali Bukit Gumolong, berarti tatu-tatu lawas akan kambuh, dan darah mengucur kembali. Aku khawatir, Den, hal itu berulang.” (Hulubalang menggapai selendang mimpi.)
“Bapak saksikan, pertumpahan darah berlangsung ulang?” tanyaku tak sabar. Aku waktu itu sudah biasa menyesuaikan diri dengan irama desa. Kalau mandi, aku telanjang bulat di Kali Pinjung sana. Kubiarkan mata gadis-gadis desa mengintipku dari sela-sela dedaunan pandanwangi di tebing tinggi sana. Kukira mereka tak salah intip, sahabat. Kulitku tergolong kuning langsat, bukan? Wargadesa sana menyukai jejaka-jejaka berkulit langsat. Ah, ini intermezzo, Bung. Seraya mendengarkan cerita Pak Wakijan, aku berenang-renang secara bebas (belum kuceritakan, aku sebenarnya nggak bisa berenang. Tak tahulah, kalau tiba-tiba tenggelam).
Berenang pura-pura, sembari beberapa kali merangkul batu, kusengaja memamerkan dada, punggung dan pantatku. Ah, ah, ah. Siapa tahu, jejaka ideal yang mereka impikan, mungkin aku termasuk di antaranya! Cihuuu! Nah, Pak Wakijan menyambung: “Den Mas Sukahar, tergolong berparas bagus, sering jadi bahan percakapan perawan-perawan sini, masa pengungsian dulu. Malahan, Pak Jagabaya hampir saja mengajukan permohonan ke hadapan Kanjeng Adipati Danuwijoyo, kalau boleh, izinkanlah anaknya, Wara Rukmini yang kebetulan ayu menik-menik itu, boleh “ngawula” sebagai isterinya. Wah, sampai begitu, Den!”
“Apakah Pak Sukahar sampai menikahi Rukmini itu, Pak?” (Sementara jelita makna kaulengkapkan mutakhir.)
“Sependengaran Bapak, nggak kelakon, Den. Lha wong kepriye, ta, sudah kedahuluan orang lain. Kalau tak salah, keluarga Juragan Marto-Glugu, putri sulungnya, Rara Inten, klakon dhaup dengan priyatun bagus dari kota itu. Kepriye maneh. Ia lebih ayu, lebih sugih, lebih luwes, dan rupanya, bisa mengambil hati keluarga Adipati yang sedang mengungsi di wilayah sini.” (Kala gumulun tetes-tetes perlawatan menemu perih.)
“Apa yang Bapak maksudkan dengan ‘pandai mengambil hati’?” (Sedang lakon yang kulakoni hendak menjulang jalang.)
Pak Wakijan melinting rokok kawung dan mengisapnya dalam-dalam. Baunya agak sengak bercampur ampeg. Aku terbatuk-batuk. Eh, baru teringat, aku masih telanjang bulat, persis bocah angon setempat, yang habis memandikan kerbaunya, lantas main wayangan suket teki sembari masih mbligung di sana. “Maaf saja, Den Sur, Bapak tak sanggup mengisahkannya untuk anda.” Dan dengan berkata demikian, dia meneruskan kerjanya, mencari rumput untuk ternak peliharaannya. Aku tertegun. Tak kuduga, Prof. Sukahar begitu dekat lelakon hidupnya dengan kawasan keramat di Bukit Gumolong. Tapi, sejauh manakah…? Karena, jalur-jalur menatap telapak matahari.
Sahabatku Windarto yang masih sabar membaca warkahku. Di pondok bambu, kita telah bisa mempertalikan dua-tiga dasar patron sebagai jejimat. Menginjak hari keduapuluh di Gumolong, kita menghadap Petinggi Jaladara. Dia sendiri menerima dalam busana kebesaran masasilam keluarganya. Baju hitam laken, dengan kancing-kancing emas yang membuat tubuhnya nan tinggi besar itu makin besus dan gagah. Kuyakin, dia masih berdarah ningrat. Matanya agak redup karena kelopaknya yang sering tertutup, di tengah suasana pembicaraan yang serius. Sikap hormatnya membuat kita temungkul hormat! Masa memandang himpit-hincit tandang.
“Cucu-cucuku tersayang dan terhormat. Kugembira dengan kedatangan kalian yang serba mendadak, tetapi telah berhasil menanamkan pengertian maha-dalam di kalangan orang-orang dusun sini. Tepatnya, kawula Rejosari dan Rejowangi, Nak.” Lalu dia menebarkan pandangan ke sekeliling. Setelah itu, melirik Bekel kedua dusun, yang masih muda-muda dan keduanya adalah tamatan STM di kota S., yang sepuluhtahun silam mencalonkan diri sebagai bekel, dan terpilih. Keduanya duduk bersila pada arah berlawanan, dan tak saling memandang. Tapi ketika mata Petinggi itu melihatnya, mereka sujud, hormat lugas, menyembahnya. “Bekel keduanya menceritakan, bahwa cucunda Suryanto telah melakonkan sebuah cerita kethoprak, yang malam Minggu lalu dipentaskan di Balaidesa Rejowangi. Lakonnya adalah “Roncen Adon-Adon”, semirip lakon alap-alap Surtikanthi. Penulisnya adalah ini, yang duduk di dekat kursi goyang di utara situ…” Berpasangpasang mata tertuju padaku. Beberapa gadis yang pernah menggodaku di dekat pasar ketika musim durian dulu, berbisik-bisik dengan temannya. Kukira ada yang menarik tentang diriku. Paling tidak, sewaktu mereka mengintip diriku yang lagi mandi telanjang di kali. Aku temungkul lagi. Malu, mongkog! Kendati sipongang kangen masih juga terpasang rakitan.
“Lakon seperti itu, suatu sindiran, anak-anakku sekalian. Kisah sahibulhikayat alhayat. Roncen masalalu yang bersambung dengan kisah-hidup anak manusia di manapun, di kolong langit. Semuanya bisa kelakon, kok…” Petinggi tua yang masih menyimpan ketampanan dan kegagahan masamudanya itu terdiam sejenak. Seorang abdi mempersembahkan talam pekinangan. Lalu dia mengambil dua lembar daun sirih, racikan kinang, dan segera mengunyahnya. Kami masih terdiam. Kami masih terkesan oleh gaya bicara penguasa abadi ini, yang ibaratnya telah memangku kawasan Bukit Gumolong selama lebih separuh abad, sebagai pengayom.
“Putra-wayah sekalian,” ucapnya kemudian, dengan sareh-kalem. “Kedua dusun kita menjadi ajang penelitian ilmiah, dan kedua sarjana ilmu sosial telah diterjunkan, yang tentangnya sudah cukup kalian kenal, karena telah dua bulan berlangsung. Yang wigati lagi, karena semua ini didasarkan atas perintah Mahaguru Universitasnya, Prof. Dr. Raden Mas Sukahar Danuwijoyo yang telah memiliki nama besar di mancanegara. Beliaupun masih tergolong kadang kerabatku sendiri. Putra Adipati itu, dari pihak ibunya, masih juga berdarah Gendhuk Sruni, yang pernah dikenal sebagai “sumber pertikaian antara kedua dusun” – tetapi yang sebetulnya tak pantas untuk diterus-teruskan.” Masihkah tambah jauh jabat-tangan yang terbuhul antar warga? Lalu, dia mengunyah kinangannya dan mengambil paidon kecil, untuk meludahkan dubang-nya alias ludah merah-tua di situ.
Suasana hening, dan Bekel Rejowangi melirik Bekel Rejosari, seperti hendak mengucapkan sesuatu. “Seratus tahun silam, Gupermen telah membuat peristiwa kuna itu lenyap sekejap, ke balik kabut. Inilah yang mengejutkan, tapi juga membuat dingin rasa. Asisten Residen Van Kauper, pernah mengutus seorang peneliti kulit putih, sepengetahuan Bupati, untuk mengadakan temu-wicara dengan para pembesar dusun jothakan itu. Kala itu, dirintis pertemuan-pertemuan yang menghendaki persatuan dan kesatuan. Sayang, orang-orang masih berkepala batu! Seorang Asisten Residen sudah pernah menunjukkan hatinya yang putih dan mulia, untuk kerukunan daerah Bukit Gumolong. Apalagi sekarang, setelah kita merdeka. Setiap bentuk pendekatan dan penghampiran dari pemimpin-pemimpin bangsa kita sendiri, hendaknya memperoleh sambutan hangat. Segalanya harus dirintis dari awal, menuju keterbukaan. Prof. Sukahar – pertemuan dua jalur yang pernah retak, merupakan contoh gemilang dari kesatu-paduan yang luhur. Mengapa kita kini tak mencoba kembali?” Puji Tuhan! Semoga kaujabat tanganku pagi ini.
Sahabatku seikhwan. Aku menghela nafas. Kalau Prof. Sukahar telah membingkiskan lagu-kasih yang wangi, bertahun lewat, apalagi bagi kita kini. Rejosari dan Rejowangi akan menjadi tonggak keberanian kita untuk berjuang…! Kukira, hanya Tradisi serumpun nan takgugur disapur uzur. Ada dari sekian jenis hati yang mungkin sanggup menjawil lengan kita, ataukah yang hanya melingkar-lingkar tanpa melukiskan siapa dan di mana jiwanya.
—
*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar