Senin, 20 Oktober 2008

SENYUM PUN BERKEMBANG

KRT. Suryanto Sastroatmodjo

Baik, baik, lebih baik kita simak lebih lanjut, apakah pikir dan kegelisahan yang mencucuk-cucuk dada itu masih meninggalkan bekas, ataukah sudah sirna sama sekali. Jikalau sulit untuk dihapus, lebih baik kita sendiri yang menyembunyikan ke balik baju kaos, baju-dalam, ataupun sesuatu yang tersembunyi di sini.

Windarto yang kuhormati.
Kunjungan duabulan di desa, belumlah bisa dijadikan ukuran untuk mengenal betapa pepak dan nyamannya kehidupan di kawasan itu. Bersama dengan dua mahasiswa, Cuk dan Ririn, lampah kita memang seperti tertegun-tegun. Karena kita berdua tergolong sarjana ilmu sosial yang baru sebulan diwisuda (lagipula otak masih belum dingin dari penjejalan ilmu-ilmu yang kudu dihafalkan sampai ngelothok, terlebih teori-teori yang berdesing bagai baling-baling) – maka perjalanan ke Bukit Gumolong menjadi sesuatu nan agak sensasional. Cobalah pikirkan, Wien. Penelitian terhadap situs kesejarahan di kawasan itu adalah sebagai pelengap belaka. Karena tugas utama dari Prof. Sukahar adalah mengenai perkembangan pasar dalam masyarakat dusun terpencil itu.

Konon dalam liputan sebelumnya, pasar-pasar desa yang pernah ada di situ adalah milik seorang juragan berpengaruh, atau bahkan lurah yang bercokol turun-temurun. Keberadaan pasar hampir boleh dikatakan sebagai satu proyek klasika-tradisional yang mendukung ‘nilai wibawa utuh’ Sang Petinggi – istilah khas daerah itu untuk menyebut lurah – dan bukan didasarkan atas kepentingan ekonomi wargadesa bersangkutan. Orang berjual-beli seperti semacam basa-basi, karena bukan berpusat pada perputaran uang di lingkar kehidupan melainkan karena tuntutan budaya. Lebih bisa dikatakan, mereka masih saling bertukar barang dagangan dan bila terdapat selisih harga yang agak menyolok, barulah matauang bicara sebagai penambahnya, (seraya menebarkan keyakinan untuk ‘menyerbu’ benteng.)

Windarto yang penyabar.
“Selalu itu-itu saja yang diocehkan,” gerutumu bila aku berkata seperti yang barusan kusebut dalam surat ini. Mengapa kau enggan untuk mendengar tentang unikum suatu daerah, apalagi yang berkaitan dengan desa, obyek-studi yang kita pilih selama beberapa tahun ini? Wien, Bukit Gumolong telah menarik tangan kita, dan menyeret kita ke pelukannya. Katakanlah, aku membanyol. Tapi aku tegaskan, Wien, Ki Petinggi Jaladara sangat simpatik dan kendati usianya telah tujuhpuluhan, namun dia tergolong bersemangat, suka memberi kesempatan kerja kepada kaum muda, apalagi yang punya gagasan-gagasan segar. Tatkala masalah pasar itu kita pelajari, dari texbook milik Prof. Sukahar yang sampulnya birulangit itu, tertulis bahwa dua desa: Rejosari dan Rejowangi yang terletak di puncak bukit karang itu, dibangun oleh Ki Demang Wargatama, buyut dari Petinggi Jaladara. Untuk kedua desa yang dihuni kurang dari limaratus kepala keluarga. Demang mendudukkan kedua putranya, Jayengsari dan Jayengwangi sebagai pimpinan daerah diandalkan. Laku mendekatkan temali lonceng dalam wirama.

Peristiwa itu sudah tiga abad lewat, bahkan lebih. Waktu pelajaran anthropologi, pada kuliah senja-hari itu, mahaguru Sukahar mengatakan: “Suatu ketika, kalian harus melawat ke bekas Kademangan di atas bukit terjal yang berwarna coklat-muda itu. Niscaya kalian akan heran, bahwa sudah sekian puluh tahun, jaman seakan takpernah bergeser dari sirkelnya. Kedua petinggi itu telah lama tiada, wafat dalam sebuah pemberontakan kecil yang diletupkan oleh kawulanya sendiri, tersebab hanya oleh perkara kecil. Jayengsari mempersunting anak seorang petani miskin dari desa kulon sana, tapi dengan cara dilarikan, tanpa sepengetahuan ayahnya. Akibatnya terbit kekisruhan.

Paman dan saudara-saudara Gendhuk Sruni (nama wanita itu) menuntut bela. Mereka mengeroyok Petinggi Jayengsari, sewaktu beliau tengah berpesiar di atas keretanya yang bagus di Karangjati, arah tenggara dari Pasar Desa yang beriwayat. Beliau wafat, dan Petinggi Jayengwangi tak bisa menerima kenyataan ini. Beliau menghukum orang-orang desa yang melakukan aksi sepihak ini. Mereka yang dianggap terlibat dalam peristiwa itu ditangkap dan digiring beramai-ramai ke pasar. lalu hingga menjelang Maghrib, orang-orang kepercayaan lurah mendirikan dinding-dinding anyaman blarak yang disusupi ilalang kering, mengelilingi pasar itu, untuk kemudian dibakar. Hanya dalam tempo sejam, pasar telah rata dengan tanah. Yang aneh bin ajaib, Nak, wargadesa tak seorangpun yang keluar rumah untuk menyaksikan kobaran api. Malahan lebih mengherankan: tiada terdengar teriakan-teriakan kesakitan dari mereka yang di-pidana obong oleh petinggi yang kehilangan saudaranya itu. Tapi, Nak, tangan dendam takkan pernah merampungkan suatu ikhtiar.”

Prof. Sukahar berhenti sebentar, seperti mengumpulkan ingatannya. Keningnya berkerut, lalu dia berkata dengan suara datar: “Kalau Suryanto dan Windarto berniat ke Bukit Gumolong, aku akan gembira sekali. Karena kalian nampaknya sangat berbakat dalam penelitian-penelitian seputar anthropologi pedesaan. Setiap ujian yang kalian tempuh, baik lisan maupun tertulis dalam matakuliah yang bapak berikan, selalu memuaskan. Sungguh, saya berharap, Nak.” Ingatkah kau, Wien, bagaimana kita saling-pandang ketika itu? Ah, rasanya mongkog sekali diri ini. Belum pernah ada gurubesar memuji kita selantang itu. Lalu, pendekar ilmu yang tua itu mengelus sebentar rambut berombaknya yang telah beruban seluruhnya dan berkata lirih: “Kini, pasar itu mirip pekuburan yang sepi. Wargadesa turun-temurun takkan melupakan hal yang mengerikan itu. Petinggi Jaladara, sebagai keturunan Jayengsari, justru selalu berusaha, untuk menghapus dandam dan kebencian, sebudi-akalnya. Cerita-cerita rakyat seputar dusun, yang mengingatkan akan hikayat Gendhuk Sruni dan pembakaran dusun di ujung senjahari, dilarang untuk diceritakan kepada anakcucu. Tapi aku tetap bisa merasakan, bahwa perasaan-perasaan nan terpendam, sungguh pun telah tertutup debu zaman, sulit disirnakan. Dua desa itu, tak pernah bisa berdialog dalam tata-gaul wajar. Ada yang seperti mengganjal dalam batin, jikalau warga Rejosari dan Rejowangi ketemu di jalan.

Windarto, teman sekuliah dan seperjuangan.
Sore, sebulan, sebelum wisuda yang membahagiakan, kita sowan ke rumah Prof. Sukahar yang jauh di utara kota, pada kilometer sepuluh. Nampak sekali, sambutan hangat beliau. Rencana penelitian toh sudah dua minggu kusampaikan di Biro Penelitian, dan membuat sumringah wajah beliau. “Ananda,” ucapnya seraya mengisap pipa yang terbuat dari gading itu. “Jangan lupa, jika ananda ketemu dengan Ki Petinggi Jaladara, sampaikan salamku. Katakan pula padanya, bahwa aku tetap menjadi sebagian dari sejarahnya, Nak.” Dan semoga takkan lantak yang tertunda!

“Profesor, mengapa harus kami katakan demikian?” aku agak terkejut. Mungkin bukan kalimat itu sendiri, melainkan karena lagu kalimatnya yang bagai mendera sesuatu, bagai merobohkan batugunung laiknya. Kau mengerling hati-hati. Beliau membenahi kacamatanya yang melorot dan memperbaiki ucapannya. “Seperti dalam kitab Doctor Andrianus Rookluyv, yang mengadakan penelitian khusus seperempat abad silam, dengan rekomendasi dariku. Ia katakan, pergeseran nilai-nilai niscaya menyerbu dua-desa yang bertolak belakang itu, akhir-nantinya. Tapi memang dibutuhkan ujung-tombak yang lain, selain pimpinan tradisional yang beku dan tanpa inisiatif pembaharuan seperti itu. Paling tidak, seorang intelektual muda dan saguh merengkuh-rumengkuh lingkup dusun, dan berupaya membawanya pada kutub nan bebas, bukan tebing-tebing pertentangan yang membikin pertentangan antar-generasi dalam kurun waktu teramat panjang. Nah, ananda Suryanto dan Windarto! Pesanku, bila sampai di sana, ajaklah dua mahasiswa lain yang telah terbiasa hidup di desa kontraversial. Dengan menggunakan tenaga pemandu demikian, lancarlah tugasmu.”

“Sepatah lagi, Pak,” gumammu cepat. “Nampaknya Bapak memiliki keterkaitan emosional dengan lingkungan masyarakat Bukit Gumolong. Teori-teori yang Bapak sampaikan tentang desa tersebut, yang kami simak, menerbitkan kesimpulan bahwa titiktemu tak bisa dipautkan dalam waktu singkat. Kita musti memotivir desa kulon dan wetan terlebih dahulu, sebelum merukunkannya.”

Asap pipa Profesor melingkar melangit, dan dengan sedikit merenung, diucapkannya: “Ikatan emosional kapanpun, di manapun dan siapapun bisa tercipta, bila kita memiliki tanggapan tertentu tentang obyek nan digarap, Nak. Bukan sesuatu bayangan kabur yang tak menemukan bendungannya.” Maka, di kala kita berpamit malam itu, masih terasa oleh kita, bahwa Bukit Gumolong menyembunyikan misteri, tapi juga lebih tepat bila dikatakan: juga Profesor Sukahar tak menutup kemungkinan bertambahnya misteri di balik ini. Ah, Wien, belum pernah satu penelitian menjadi begini kompleks ramuan-reroncenya. Seolah antara obyek dan subyek hablur dalam adonan nan berbuih kental. (Andai pagi meraba perjalanan: Hidup pun tersapa.)

Sahabatku Windarto.
Aku sedikit heran, kenapa Cuk dan Ririn hanya setengah hati mengikuti proyek penelitian yang begini unik ini. Kalau benar dugaanku, bahwa keduanya memang berasal dari dusun Rejosari dan Rejowangi, yang justru ingin menyembunyikan segi-segi pertentangan abad-silam di kawasan tersebut, kenapa keduanya tak berterus-terang? Padahal, gurubesar kita telah mengikutkan keduanya dalam tugas ini, bahkan dengan uang-saku yang lumayan besarnya. Ririn menghilang, tatkala kita sampai pada susuran hutan bambu dekat Wijiluhur. Alasan yang dia katakan, hendak mencari Pakde-nya yang menjadi perabot desa di sana. Namun hingga Isya, tatkala kita berkumpul di rumah Kebayan Wulung untuk bershalat jamaah, dia belum juga kelihatan batang hidungnya. Cuk bikin alasan, hendak mandi di sungai Lingga! Penunggu warung di timur SD sana mengatakan, anak muda itu mandi-mandi di kali itu, untuk mengusir kegerahan tubuh. Tapi hanya sebentar. Setelah mandi (seperti belum pernah mandi sebebas itu sebelumnya) dia ngacir ke sebuah rumah penduduk, yang baru dikenalnya pagi itu. Entah Wien, apa yang akan kita temui di Bukit Gumolong, hingga begitu ganjil yang kita alami? Biarlah kita mematut-patut rasa kekinian.

“Tapi, aku telah menulis untuk Pak Sukahar, Sur. Hanya beberapa helai coretan tentang laporan perwatakan penduduk, dalam selayang-terbang. Kecurigaan yang tanpa alasan. Sikap mendua-hati. Keberingasan dan kurangnya sikap terbuka pada pendatang. Hmm, buku Dr. Andrianus Rookluyv belum lagi sampai pada senggolan detil. Wawasannya terlalu global.” Betapapun juga, suatu era baru berpanjikan musyawarah!

“Nanti dulu,” kataku seraya membuka tas yang telah menyimpan beberapa catatan selama sepuluh hari di Rejowangi. “Aku telah mewawancarai seorang Kebayan yang memiliki penambangan rakit di timur bengawan. Katanya, percuma untuk menciptakan titiktemu, bila diketahui, abad-abad berlangsung menikamkan belati persaingan, kebencian, gusar, terhadap desa tetangga. Lalu, dalam soal perkawinan. Pemuda desa Rejosari takkan diijinkan menikah dengan gadis Rejowangi, dan begitu pula sebaliknya. Pantangan ini jangan sampai dilanggar, bila tak ingin menerima kutukan dari langit. Ah, ah!” Kukira khasanah peradaban kesukuan adalah etis.

Giliranmu tertawa keras, Wien. Petinggi Jaladara adalah sesepuh kedua desa, dan pemilik pasar desa yang beriwayat itu. Anehnya, desa Rejowangi dan Rejosari punya Lurah-lurah cilik bergelar Kyai Bekel yang masih punya hubungan darah dengan Petinggi sesepuh itu. Tapi, kendati demikian, mereka jarang ber-sapa aruh satu sama lain. Pamali, katanya tegas.”

Kumasukkan kertas-kertas catatan berwarna merahjambu itu ke dalam tas. Malam itu, kita tak cepat tidur, di rumah Kebayan Rejowangi yang penuh nyamuk (karena dekat jendela benar, terdapat kolam-kolam ikan mujair dan ikan tambera, yang airnya tergenang dan penuh lumut. Sarungku terlalu pendek untuk bisa membungkus tubuh yang panjang ini). Untung, radio transistor yang diberi oleh Ita, pacarku, kendati cuma dua ban, ngiangnya cukup seru, siaran dari pemancar di ibukota kabupaten – tigapuluh kilo arah lorwetan perbukitan ini – sayup sampai ditangkapnya. Ngasolah, Wien.

Sahabatku yang periang.
Pak Wakijan, pensiunan penjaga Sekolah Dasar pertama Rejosari, pernah bercerita, sewaktu aku mencuci di sungai, selepas senam pagi. “Den Sur, mungkin anda lebih beruntung daripada peneliti-peneliti lainnya, sebelum ini. Soalnya dahulu, nyawa mereka sering jadi taruhannya. Sungguh, lho Den.” Aku tak begitu menanggapi kata-kata ganjil itu. Sambil terus mengucek celana jeans belel yang pudar warna birunya itu, aku berkata pelan: “Anu, Pak. Apa boleh buat. Kami hanya menjalankan amanat Pak Sukahar. Kami bagi-bagi tugas. Windarto di desa wetan, aku di desa kulon. Pekan berikutnya, bertukar lokasi. Tapi kami tak pernah membikin keributan apapun di desa-desa itu.” (Sungguh deraslah air merayapi setingkap kini.)

“Oya, ngomong-omong, siapa yang Den Dur sebut tadi?”
“Anu, Pak Sukahar. Lengkapnya Profesor Doktor Sukahar Danuwijoyo. Beliau gurubesar Anthropologi di Universitas kami. Pengabdi ilmu!” Ah, alangkah baiknya merangkul nyaman suri kebanggaan.

Pak Wakijan seperti mengingat-ingat sesuatu. Lalu, seperti pada dirisendiri, dia berbicara: “Den Sur. Aku pernah mengenal priyatun itu, berpuluh tahun silam. Ketika itu beliau masih remaja. Raden Mas Sukahar, putra bungsu dari Kanjeng Adipati Danuwijoyo di kabupaten Robayan.”

“Putra seorang bupati? Baru sekarang saya mendengar hal itu.” Tuhan mengurniai seorang pewaris ragam adat Jawa yang pertama, cekatan, dan cerdas. “Den Sur belum tahu agaknya. Waktu jaman revolusi dulu, keluarga Kanjeng itupun mengungsi ke Rejosari. Aneh juga, Den. Beliau, Kanjeng itu, adalah seorang yang berasal dari keturunan Gendhuk Sruni, walaupun dari pihak ibunya – artinya, dari perkawinan antara Jayengsari dengan perawan desa itu. Padahal, tahun-tahun sebelumnya, ketika masih jaman penjajahan Belanda, soal seperti itu menjadi ‘duri dalam daging’. Mbah Kromorejo, kakekku sendiri dari desa Rejowangi, kurang menyukai keluarga Adipati itu. Kalau anak keturunannya menginjak kembali Bukit Gumolong, berarti tatu-tatu lawas akan kambuh, dan darah mengucur kembali. Aku khawatir, Den, hal itu berulang.” (Hulubalang menggapai selendang mimpi.)

“Bapak saksikan, pertumpahan darah berlangsung ulang?” tanyaku tak sabar. Aku waktu itu sudah biasa menyesuaikan diri dengan irama desa. Kalau mandi, aku telanjang bulat di Kali Pinjung sana. Kubiarkan mata gadis-gadis desa mengintipku dari sela-sela dedaunan pandanwangi di tebing tinggi sana. Kukira mereka tak salah intip, sahabat. Kulitku tergolong kuning langsat, bukan? Wargadesa sana menyukai jejaka-jejaka berkulit langsat. Ah, ini intermezzo, Bung. Seraya mendengarkan cerita Pak Wakijan, aku berenang-renang secara bebas (belum kuceritakan, aku sebenarnya nggak bisa berenang. Tak tahulah, kalau tiba-tiba tenggelam).

Berenang pura-pura, sembari beberapa kali merangkul batu, kusengaja memamerkan dada, punggung dan pantatku. Ah, ah, ah. Siapa tahu, jejaka ideal yang mereka impikan, mungkin aku termasuk di antaranya! Cihuuu! Nah, Pak Wakijan menyambung: “Den Mas Sukahar, tergolong berparas bagus, sering jadi bahan percakapan perawan-perawan sini, masa pengungsian dulu. Malahan, Pak Jagabaya hampir saja mengajukan permohonan ke hadapan Kanjeng Adipati Danuwijoyo, kalau boleh, izinkanlah anaknya, Wara Rukmini yang kebetulan ayu menik-menik itu, boleh “ngawula” sebagai isterinya. Wah, sampai begitu, Den!”

“Apakah Pak Sukahar sampai menikahi Rukmini itu, Pak?” (Sementara jelita makna kaulengkapkan mutakhir.)

“Sependengaran Bapak, nggak kelakon, Den. Lha wong kepriye, ta, sudah kedahuluan orang lain. Kalau tak salah, keluarga Juragan Marto-Glugu, putri sulungnya, Rara Inten, klakon dhaup dengan priyatun bagus dari kota itu. Kepriye maneh. Ia lebih ayu, lebih sugih, lebih luwes, dan rupanya, bisa mengambil hati keluarga Adipati yang sedang mengungsi di wilayah sini.” (Kala gumulun tetes-tetes perlawatan menemu perih.)

“Apa yang Bapak maksudkan dengan ‘pandai mengambil hati’?” (Sedang lakon yang kulakoni hendak menjulang jalang.)

Pak Wakijan melinting rokok kawung dan mengisapnya dalam-dalam. Baunya agak sengak bercampur ampeg. Aku terbatuk-batuk. Eh, baru teringat, aku masih telanjang bulat, persis bocah angon setempat, yang habis memandikan kerbaunya, lantas main wayangan suket teki sembari masih mbligung di sana. “Maaf saja, Den Sur, Bapak tak sanggup mengisahkannya untuk anda.” Dan dengan berkata demikian, dia meneruskan kerjanya, mencari rumput untuk ternak peliharaannya. Aku tertegun. Tak kuduga, Prof. Sukahar begitu dekat lelakon hidupnya dengan kawasan keramat di Bukit Gumolong. Tapi, sejauh manakah…? Karena, jalur-jalur menatap telapak matahari.

Sahabatku Windarto yang masih sabar membaca warkahku. Di pondok bambu, kita telah bisa mempertalikan dua-tiga dasar patron sebagai jejimat. Menginjak hari keduapuluh di Gumolong, kita menghadap Petinggi Jaladara. Dia sendiri menerima dalam busana kebesaran masasilam keluarganya. Baju hitam laken, dengan kancing-kancing emas yang membuat tubuhnya nan tinggi besar itu makin besus dan gagah. Kuyakin, dia masih berdarah ningrat. Matanya agak redup karena kelopaknya yang sering tertutup, di tengah suasana pembicaraan yang serius. Sikap hormatnya membuat kita temungkul hormat! Masa memandang himpit-hincit tandang.

“Cucu-cucuku tersayang dan terhormat. Kugembira dengan kedatangan kalian yang serba mendadak, tetapi telah berhasil menanamkan pengertian maha-dalam di kalangan orang-orang dusun sini. Tepatnya, kawula Rejosari dan Rejowangi, Nak.” Lalu dia menebarkan pandangan ke sekeliling. Setelah itu, melirik Bekel kedua dusun, yang masih muda-muda dan keduanya adalah tamatan STM di kota S., yang sepuluhtahun silam mencalonkan diri sebagai bekel, dan terpilih. Keduanya duduk bersila pada arah berlawanan, dan tak saling memandang. Tapi ketika mata Petinggi itu melihatnya, mereka sujud, hormat lugas, menyembahnya. “Bekel keduanya menceritakan, bahwa cucunda Suryanto telah melakonkan sebuah cerita kethoprak, yang malam Minggu lalu dipentaskan di Balaidesa Rejowangi. Lakonnya adalah “Roncen Adon-Adon”, semirip lakon alap-alap Surtikanthi. Penulisnya adalah ini, yang duduk di dekat kursi goyang di utara situ…” Berpasangpasang mata tertuju padaku. Beberapa gadis yang pernah menggodaku di dekat pasar ketika musim durian dulu, berbisik-bisik dengan temannya. Kukira ada yang menarik tentang diriku. Paling tidak, sewaktu mereka mengintip diriku yang lagi mandi telanjang di kali. Aku temungkul lagi. Malu, mongkog! Kendati sipongang kangen masih juga terpasang rakitan.

“Lakon seperti itu, suatu sindiran, anak-anakku sekalian. Kisah sahibulhikayat alhayat. Roncen masalalu yang bersambung dengan kisah-hidup anak manusia di manapun, di kolong langit. Semuanya bisa kelakon, kok…” Petinggi tua yang masih menyimpan ketampanan dan kegagahan masamudanya itu terdiam sejenak. Seorang abdi mempersembahkan talam pekinangan. Lalu dia mengambil dua lembar daun sirih, racikan kinang, dan segera mengunyahnya. Kami masih terdiam. Kami masih terkesan oleh gaya bicara penguasa abadi ini, yang ibaratnya telah memangku kawasan Bukit Gumolong selama lebih separuh abad, sebagai pengayom.

“Putra-wayah sekalian,” ucapnya kemudian, dengan sareh-kalem. “Kedua dusun kita menjadi ajang penelitian ilmiah, dan kedua sarjana ilmu sosial telah diterjunkan, yang tentangnya sudah cukup kalian kenal, karena telah dua bulan berlangsung. Yang wigati lagi, karena semua ini didasarkan atas perintah Mahaguru Universitasnya, Prof. Dr. Raden Mas Sukahar Danuwijoyo yang telah memiliki nama besar di mancanegara. Beliaupun masih tergolong kadang kerabatku sendiri. Putra Adipati itu, dari pihak ibunya, masih juga berdarah Gendhuk Sruni, yang pernah dikenal sebagai “sumber pertikaian antara kedua dusun” – tetapi yang sebetulnya tak pantas untuk diterus-teruskan.” Masihkah tambah jauh jabat-tangan yang terbuhul antar warga? Lalu, dia mengunyah kinangannya dan mengambil paidon kecil, untuk meludahkan dubang-nya alias ludah merah-tua di situ.

Suasana hening, dan Bekel Rejowangi melirik Bekel Rejosari, seperti hendak mengucapkan sesuatu. “Seratus tahun silam, Gupermen telah membuat peristiwa kuna itu lenyap sekejap, ke balik kabut. Inilah yang mengejutkan, tapi juga membuat dingin rasa. Asisten Residen Van Kauper, pernah mengutus seorang peneliti kulit putih, sepengetahuan Bupati, untuk mengadakan temu-wicara dengan para pembesar dusun jothakan itu. Kala itu, dirintis pertemuan-pertemuan yang menghendaki persatuan dan kesatuan. Sayang, orang-orang masih berkepala batu! Seorang Asisten Residen sudah pernah menunjukkan hatinya yang putih dan mulia, untuk kerukunan daerah Bukit Gumolong. Apalagi sekarang, setelah kita merdeka. Setiap bentuk pendekatan dan penghampiran dari pemimpin-pemimpin bangsa kita sendiri, hendaknya memperoleh sambutan hangat. Segalanya harus dirintis dari awal, menuju keterbukaan. Prof. Sukahar – pertemuan dua jalur yang pernah retak, merupakan contoh gemilang dari kesatu-paduan yang luhur. Mengapa kita kini tak mencoba kembali?” Puji Tuhan! Semoga kaujabat tanganku pagi ini.

Sahabatku seikhwan. Aku menghela nafas. Kalau Prof. Sukahar telah membingkiskan lagu-kasih yang wangi, bertahun lewat, apalagi bagi kita kini. Rejosari dan Rejowangi akan menjadi tonggak keberanian kita untuk berjuang…! Kukira, hanya Tradisi serumpun nan takgugur disapur uzur. Ada dari sekian jenis hati yang mungkin sanggup menjawil lengan kita, ataukah yang hanya melingkar-lingkar tanpa melukiskan siapa dan di mana jiwanya.

*) Tanggung jawab penulisan pada PuJa

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae