Nurel Javissyarqi*
http://pustakapujangga.com/?p=195
Memahat lembaran kertas dengan pena yang tumpul, sengaja
dibiarkan batu-batu waktu berguguran di kaki-kaki pilu (XX: I).
Sebentar terseka keringat, lantas bayu mengobarkan rasa, menjilati langit
memanggang sang surya, dan putri bulan mengamati penuh gusar (XX: II).
Adakah kau masih ragu babak kedua? Sedangkan masa-masa ini
semakin terkepal padat, bak cairan darah kental mengeras (XX: III).
Lahar menukik di celah-celah batu, lainnya mengendap menjelma
telaga senjamu, itulah dada kemerah, dan revolusi terasa biasa (XX: IV).
Gunung, awan-gemawan memelototiku bagaikan anak haram ditinggal
nasib kemanusiaan, namun masih adakah cadarmu berkebimbangan? (XX: V).
Padahal masa menjemput bersegala kemegahan, berruapan harum
mayang nenek moyang, dan bayu mengantarkan berita kemenjadian
; diri ini terpanggang, dalam semangat tak berkesudahan (XX: VI).
Ya tuhan, jalankan jemari melangkah di jalur manis nantinya,
seruan darinya; sekuat perjuanganmu sebaik ketentuan-Nya (XX: VII).
Ialah berat berkata demi kebaikan telah tampak di depan mata,
sedang kata-kata itu, jelmaan deburan ombak paling rahasia (XX: VIII).
Darimu gairah kasih buih centang-perenang terlunta ke pantai,
lelangkah tersapu meninggalkan teluk kenangan percumbuan putih (XX: IX).
Ya Rabby, jemari kaku, lidah keluh akan mengatakan apa,
melukis warna bagaimana, atas suasana malam dicipta apa (XX: X).
Sedingin kalbu tenggelam di kebimbangan, menyapa langit tiada lintang,
menegur laut telah jauh telapak tangan menggaram berkepal keyakinan (XX: XI).
Membaca kembali telapak tangan nasib, jikalau tergurat takdir di ingatan,
teramat payah menyusuri, sebab perjalanan tak seculas menghentikan kisah (XX: XII).
Kalau saja kiranya sulit merangkai makna dari kalimah menghilir
sedari awal hingga akhir, rasakan degup kejujuran dalam dada (XX: XIII).
Terus, agar dari kedalaman tersembul cahaya kesungguhan,
sebelum terungkap kehendak semesta alam (XX: XIV).
Jika masih meragu, angkat penamu demi sobekan bibir sulit terkatup
bicarakan kelembutan, sebab waktu menanti berkeheningan murni (XX: XV).
Kesungguhan nafasmu menyatukan deburan ombak laut bergulungan
mencapai batas pasir nadimu, gemuruh bebatu karang dioyak rindu (XX: XVI).
Menelisik ceruk jauh, terbuka lelembaran masa berpandangan takdirmu
tak ragu menapaki janji mencipta rindu, selaguan abadi kaki kembara (XX: XVII).
Onak duri krikil menghalangi ingatan, masih mekarkan bunga ketulusan,
menanjaki kesungguhan batu, dibopong mimpi ke pelaminan kabut (XX: XVIII).
Ada sedikit ragu mengumpulkan masa, sedangkan hari-hari kian memberi jawab,
tidakkah harus percepat, sebab pantai memanggil pertemuan kembali (XX: XIX).
Telah dikoyak batas takut sungguh, cemburu rindu bertalu, mari menaiki
tangga awan menghujati kotabumi berkesungguhan kasih, biar terfahami (XX: XX).
Yakinlah dilamun itu, alunan terasa tumpah, di segenap masa bersapa mentari
yang singgah di hadapan, kau mengambili taburan cahaya rasa sayang (XX: XXI).
Duhai waktu, kecuplah selembar kasih terlayang di hati sebrang, tuntunlah
di jalan tempuh, agar jiwa menyatu hangat mataair pegunungan kapur, bersimpan
segala kerinduan, basah segerai rambut semalam yang tak berujung itu (XX: XXII).
Percayalah terlaksana di setingkap bengi paling letih, jemari mendoa restu,
lalu terdengar suara tak jelas datangnya asal mana, sejenis himpunan keraguan batu,
kesungguhan peluh, atas kebisingan gemuruh guruh dalam kalbumu (XX: XXIII).
Ketabahan bukan dendam, tapi merawat kangen ilalang, bunga liar, rumput
menjalar, ini bangkitnya kesadaran yang membelenggu kaum pribumi (XX: XXIV).
Terbangun penghancuran pandang, dimulainya putaran angan pada angin
kencang, kekerasan kuasa, hutang moyang, kuda korupsi dan revolusi (XX: XXV).
Kekuatan terjang menyerang, cahaya matahari membebani gedung megah
lewat janji tiada selesai, riang-senang meski berbalik lemas pada mimpi (XX: XXVI).
Ku sambangi anak-anak hilang dengan membawa bunga musim semi
dari tanah kelahiran mereka yang terbengkelai, tergantikan kuda besi (XX: XXVII).
Namun dianggapnya tukang mimpi, lalu diri berbicara pada benda peristiwa,
kepada ibunda pertiwi; siapa pemimpi di antara kami? (XX: XXVIII).
Bunda telah sakit hati atau sekarat,
lantas kaki ini dituntun menuju perkampungan nurani (XX: XXIX).
Maafkan, ia tak bisa menyapamu berkeindahan di terminal itu,
sebab tidak tahu lewat cara apa jika sepertimu, pun sebaliknya (XX: XXX).
Lantas teringat sewaktu menjadi petani berpindah belajar seni,
mencuri ruang pun bisa mewujudkan cita-cita paling tinggi (XX: XXXI).
Kalau kata-katamu tidak sanggup merobohkan gedung-gedung,
menumbangkan kesenjangan, buat apa menunggu keajaiban? (XX: XXXII).
Ketika orang-orang pedalaman menerjang pelabuhan, duri tajam kelembutan
jantung karang, rimba angin-pohon-ombak berpadu pada getaran (XX: XXXIII).
Ingin mengangkat misteri hayat sepanjang peta dibentangkan,
sejiwa kembara menghantarkan cukul keringat berfaedah (XX: XXXIV).
Penyair tidak mendapati, kecuali memunguti tetesan keringat pekerja,
sebab telah berbicara, kemampuan bukan pada nalar perasaan semata,
namun kesungguhan mencipta, dari himpitan realita (XX: XXXV).
Bukan bayang semu dibesarkan lalu dianggap kemampuan,
ini pagutan nasib anak-anak keluar gelanggang (XX: XXXVI).
Yang tak sabar menemui kembang kotabumi, adakah sisa kecurigaan,
sedang jiwa-jiwa kian menghampar, layaknya awan menutupi langitan (XX: XXXVII).
Digenangi kasih sayang selaksa hujan deras ternikmati,
awan terbawa jauh sedari timur kelahiran (XX: XXXVIII).
Kapal melaju kalem digoyang ombak tiada bosan,
hawa kepurbaan menyetiai pelayar menciumi perubahan,
lelaguan alam berdecak kagumi kehidupan (XX: XXXIX).
Kuasa tuhan, nyanyian lama terawat dalam telinga
menuju kesantausaan tak terfikir di tengah kota (XX: XL).
Ia renungkan sejenak lantas terbersitlah kata-kata;
kecintaan alam laksana ibunda pada anak-anaknya (XX: XLI).
Ialah saudara tiri, jikalau tiada kasih pertajam singgung di hati,
sedangkan ombak terus memanggil-manggil kidungan permai (XX: XLII).
Pun bagaimana, mesranya memiliki rindu sebrang,
entah di Jawa, Cina atau India (XX: XLIII).
Kudunya terjalin bersama, jikalau ingin merasakan mesranya ombak samudra,
lebur menyatu tiada pertajam asal bengawan dari kepulauan mana (XX: XLIV).
Saat kasih bersemi, deburan ombak menggergaji karang menjadi relief-relief saksi,
penambahan gerak sungguhlah mendung memayungi lautan,
tersebut lempengan baja ditempa, demi keris di mata empu mencipta (XX: XLV).
Hari penuh teka-teki sejenis langkah kehati-hatian,
tegur menyisakan awal langkah deru dimulai (XX: XLVI).
Segera yang tertinggal menemukan cara bergerak mengejar,
menggesek di mana pun debur mencapai artian terlaksana (XX: XLVII).
Bukit lama krikil manusia, warna canda birunya ombak langitan putih,
awan merindu gunung menghempaskan kayungyung ke kampung (XX: XLVIII).
Semakin lama, wajah langit samudra terang berbinar, berdecak corak naluri
mengejawantah, segaris tengah terlihat kapal, sentuhan halus memanjakan
pelaut; inilah ruang kosong berisi ikan-ikan menoreh lubuk (XX: XLIX).
Ternyata kebercahayaan itu irama sejati rasa pernah terduga,
yang harmoninya menuju kehakikian kerja (XX: L)
; ombak bercanda kini menggeliat kebersamaan hebat,
selaksa awan menawan gema satuan nyata di lembah (XX: LI).
Laguan harap berkumambang bagi anak-anak kehidupan,
ombak berkendara bayu langitan mengapung ke sebrang (XX: LII).
Negeri mimpi di bawah bulan, fajar kemerah di beranda,
lantas sebuah kemampuan terpastikan (XX: LIII).
Jalur terlacak menguras segala ingatan sebelum bertemu aroma kembang,
tulang sumsum merasakan keyakinan tertahan, menelusup ceruk terdalam (XX: LIV).
Telah dijilati debu-debu demi mengampuh, agar jiwa jenak tidak sejenak,
ditaruhnya debu pada kening, bagi permintaan restu (XX: LV).
Pulau baru, keluasan angan menjelajahi aroma ingatan pertemuan
pada kelopakan kembang bermunculan, semerbak kabar kemenjadian (XX: LVI).
Gubuk mungil senyum rapi, atas rintihan sawah ladang petani di pinggir kota (XX: LVII).
Ia memalingkan muka dengan segenap mata kembali berirama,
mengikuti melodi jiwa yang teremban nilai hikmah (XX: LVIII).
Inilah kereta bebas merokok, tiada konstruksi alam (XX: LIX).
Saat menyebrangi lautan, alamat-alamat betebaran di muka,
wajah-wajah terpampang, lamunannya menunggu (XX: LX).
Buah-buah pisang berjajar memadati pinggiran jalan berliku,
bertujuan menyatukan keinginan mendayu restu bertemu (XX: LXI).
Ini sempat terfikir, mengidam perasaan mendalam,
mencuri kemungkinan takdir pagi nan elok tak bisa dikatakan,
selaksa semburat cahaya dinanti pengharapan baik (XX: LXII).
Adakah saat itu pertanyaan, nikmat tengah kau teguk, maka
usahakan sebagai jawaban awal kesakitan semalam (XX: LXIII).
Cepat-lambat yang setia tentu berjumpa, membangkitkan nalar tanah air,
kaki-kaki melangkah seayunan palu menghujami makna (XX: LXIV).
Itu lengan tembaga tubuh berdiri, tiang-tiang besi, anak-anak berlari,
membekasi malammu menunggu datangku berlama tatap bersemi (XX: LXV).
Serupa dulu bayangan hari-hari terlewati pohon bakau, gunung berkabut
lautan lepas, kapal berlayar, bayu berkabar, negeri suwong dalam masa perubahan (XX: LXVI).
Ialah perjalanan tidak tersangka, meski jauh telah mengidam rasa,
pergi ke pulau sebrang, manakala kelana menginjakkan kaki pertama
demi langkah agung selanjutnya (XX: LXVII).
Belum terasa jauh, kembara kehausan diantar angin kemenjadian,
membuai tidak tertahan, dipetik kapan pun ke ujung juntrung (XX: LXVIII).
Apalah hebat kata-kata, jikalau tidak terlaksana, dan apalah pelaksanaan kata
tanpa penerimaan dalam, menghakiki di jantung nyawa perjodohan (XX: LXIX).
Keharusan menggelinjak senyummu membahana ke segenap relung sejati rasa,
letak pedusunan terpencil, menimbang suara di antariksa keyakinan (XX: LXX).
Kuperkarakan pada sidang pembaca, kiranya kau guyup menterjemah,
lantaran jauhnya pertanyaan, selepas bangun dari tidur panjang (XX: LXXI).
Bergelayutan misteri hayat mengundang perhatiaan,
kau menyetujui sebagai saksi datangnya suara (XX: LXXII).
Dan kesungguhan menterjemahkan alam,
manakala para penyair di meja penciptaan (XX: LXXIII).
Dirinya takkan koreksi lama, kalau alunannya masih utuh
dalam pemahaman (XX: LXXIV).
Kesetiaan demi merajut impian,
telah jauh mengamini bukti kebenaran, menyelami alam beredar (XX: LXXV).
Kehadiran mayang menambah hangat segenap kidungan merayu
menyungguhi keadaan, esok bakal menjemput kepastian (XX: LXXVI).
Bertumpuk ragumu membayang, di getaran air kali digoyang jatuh dahan,
seberapa terpelanting? Sejauh hasrat kabarkan pada kehidupan (XX: LXXVII).
Kau menyetujui pemahaman terpaparkan, ini mengajakmu menjauh
melampaui ras kelahiran mayang nenek moyang (XX: LXXVIII).
Menjadi masalah, menjawab atau tidaknya; bukankah kau
terbebani jawaban, kiranya menanggung meski keraguan (XX: LXXIX).
Kesungguhan debur ombak memecah pantai di teluk malam itu
kabarkan kidungan permai, kau di pulau sebrang penerimaan (XX: LXXX).
Merogok jantung persiapkan lantunan kata, tinta tersebar selumatan
ruang paling ranum, bagai semesta kasih berpelukan sayang (XX: LXXXI).
Kau jauh ke jantung permasalahan, sampai memahami perkara diri
yang tengah dipergemulan nasib, seyogyanya sama ke pulau sebrang,
letak kejayaan mentari, kampungmu mengenal kasih (XX: LXXXII).
Hendaknya tarian lincah dapat dimengerti atas endapan panjang,
kesaksikanmu menyendiri pada irisan tangis nurani (XX: LXXXIII).
Hati bersaksi sepenuh haru berdecak kagum maksudmu,
saat tergambar mataair menuju pipi kemerah jambu (XX: LXXXIV).
Sampailah menyingkirkan duri ragu mempelajari kebeningan keyakinan,
membumbung jaman meninggalkan prasangka buruk sejarah (XX: LXXXV).
Di sini tak menawarkan manisan, semua berasal kelembutan penalaran,
setujulah meski tak berbekal, selain secarik kertas sebilah pena (XX: LXXXVI).
Hendaknya mempercepat, menyuarakan yang tertulis dalam hati pertimbangan,
atas laku kebajikan,
kesabaran ibunda menyapih anak-anaknya melenturkan perbuatan (XX: LXXXVII).
Kau tidak meminta, selain mengajak menciptakan temali tambang kesetiaan
demi mematoki kapal, disandarkan pada pelabuhan (XX: LXXXVIII).
Cerecah burung camar, menyapa kabar berita kemenjadian fajar,
kepakan sayapnya lincak, mencapai ujung pengharapan (XX: LXXXIX).
Desauan ombak nafasku-nafasmu sekumpulan rindu tak tertahan
menyisiri rambut bidadari bermandikan cahaya mentari, warna senja dan fajar
kebertemuan jiwa, dari penantian hangat malam-siang berdekatan (XX: XC).
Mendung ditarik hujan berwaktu tepat kelahiran, dan kenangan
semakin terngiang, meski tiada kesaksian lainnya (XX: XCI).
Sapaanmu dalam segenap puisi dedaun terjatuh di pucuk bibirmu,
gemetaran meragu di kedalaman sungguh bermata bening tegap sebatu,
menunggui masa meleburkan diri, dalam keinginan wengi (XX: XCII).
Terkumpul decak kagum dilipat akrab membahana,
menanjaki perjuangan terpatri, di setingkap ondakan nasibmu (XX: XCIII).
Berkumandang deburan laut menghampiri sentuhan permai masa lalu,
dari seberang bersinggah, lantas menetap di jantung hidupmu (XX: XCIV).
Kembang kepasrahan menimang persembahan petikan abadi,
tari-tarian jemari menggelinjak sayang memusari keheningan malam,
terjemahkan tubuh di matamu, berharap hangat unggun masa itu (XX: XCV).
Tiada pudar belaian halus tersentuh melewati perasaan lelaki yang
ditinggal gemerlap kota, masa menumpuk batuan kenangan menyungguhi
perubahan, menetapkan pualam kalbumu merasai perempuan (XX: XCVI).
Bacalah lewat sentuhan perawan, dan tataplah kebaharuan pikiran,
walau bukan bengi pertama, demi panggilan kemenjadian cermin jiwa (XX: XCVII).
Hendaknya dipentaskan ini, tarian panjang masa silam,
di panggungmu tiada tahu muasal waktu, berkendara keyakinan (XX: XCVIII).
Kuatkan rindu tiada kesudahan,
ia menunggui segenap waktumu, hingga selarik cela mengintip seluruh (XX: XCIX)
; melewati mata bathin, mengapungnya elang tebarkan kabar kepulauan,
ia tarik, agar kau mengerti betapa rindu lama membatu,
sedingin salju beku di tangan wengi kutukan ibu (XX: C).
Masa mengajak bercanda sampai lupa di kedinginan pilu pesona,
halusnya benang rajutan waktu, serapi pekerja di hadapan majikan (XX: CI).
Tetapi kenapa hendak melayu?
Siramannya mengenai daun dipancarkan mentari kerja masa depan,
atau sagking bersemangatnya, menimba sumur sampai keruh meragu (XX: CII).
Padahal ketika masa-masa ditarik, menjelma kosong hampa,
maka turutilah laguan ini sedurung semua melerai (XX: CIII)
; di kedalaman rindu-cemburu bertalu-talu, dinanti-nanti semua bangsa
di setingkap puisi dijanjikan, bagi jiwa-jiwa penunggu pertemuan (XX: CIV).
Mengenang kidungan rambutmu, sulur rimba raya nusantara, buah jantungmu
kotabumi, menanti lelaki dari pulau sebrang, di antara ombak-bayu lautan (XX: CV).
Selalu ingin menemuimu pebukitan rindu, tidakkah dada lelaki itu
kian naik menghampiri matahari dari pendakian jauh, bebatuan
berlumut, pada rumah-rumah mungil menyimpan harapan (XX: CVI).
Daun-daunmu rimba raya kenangan, bunga di kepulauan, hendak dipersunting
di tengah wengi, sewaktu kapal mengantarkan nasib kemanusiaan (XX: CVII).
Harus berapa kali didendangkan, agar kau tancapkan keyakinan dalam-dalam,
menyaksikan kapal melaju, di atas ombak di bawah biru langitan (XX: CVIII).
Ketentuan laku dijalankan, bersegala rasa menderu rupa, bukankah
sayap jauh merentang, mendapati butiran hikmah mencapai pebukitan,
langkah mendaki pegunungan citamu, merasakan hamparan kabut kasih (XX: CIX).
Sulur bayu mengikuti guguran mayang, yang tersentuh lapisan waktu menyatu,
dalam pergumulan bathin rimbamu, yang ditempa daya rindu merengkuh (XX: CX)
; kejayaan mentari, kejujuran jantung terdalam, berderu-decak di tengah malam,
lajuan kapal ke pantai, menghadap gulungan ombak senyuman badai (XX: CXI).
Kalbu kuat pesisir, memekarkan guyu rindu di setingkap waktu, putaran musim
ditarik bayu pengembaraan jiwamu-jiwaku bergandengan erat menyatu (XX: CXII).
Daun apa kau pendam, deru ombak apa ke kapal?
Ketulusan, setingkat pebukitan karang di tepi lautan, menyapa diri paling dalam,
hingga segala rasa terangkat di awang-uwung pencerah (XX: CXIII).
Helaian nafas menguatkan pesawahan rindu terjaga dakian sukma,
lekukan ombak jemari laut bertangan maut, menebar di bibir pantai selatan,
segenap kangen, tiada ingin lepas pelukan karang timbunan awan (XX: CXIV).
Ia tarik kesemangatan jauh, mengangkat pena mencapai kesegaran jiwa,
sedang ketulusan rasa, menterjemah asa menjadi melodi asmara (XX: CXV).
Memberi jawab guratan, mengiris berselimutkan kebijakan,
kelupaan sakit terlepas diri di tengah lautan menguap (XX: CXVI).
Serentak awan kehendak menyentuh tanah, menggulingkan nasib berdetak,
menggelombang menghampiri pantai kuasa manusia (XX: CXVII)
; menyepuh perjuangan ke tingkatan cahaya, jeritan mengombak membuka
cakrawala kerja, berpijakkan keringat gemintang di ubun-ubun malam (XX: CXVIII).
Ada saatnya perjalanan musti dihentikan, kala menemui pantai doa ibunda,
dan terus melayarkan pertanyaan, menuju kampung pedalaman jiwa (XX: CXIX).
Dan ia jatuhkan kalimah ketinggian, lengking suara rindu dari kedalaman kalbu,
terendam pasir waktu, terkubur dalam hamparan debur nadi lehermu (XX: CXX).
Ombak menghantam mata bathin mengeraskan tulang,
berasa getir cadas di setingkap masa semedi (XX: CXXI).
Ini dikatakan, agar kau tak segan mengambil haknya,
jikalau ada diperuntukkan bagi tercinta (XX: CXXII).
Peribadatan ini demi hilangkah merasa bagi merenggut
sejati rasa, rasanya sejati di kedalaman jiwa (XX: CXXIII).
Jika ada kesombongan, tinggal tiup lilin padam api,
tentu kau tahu hasratnya berpeluk rindu segemuruh guruh,
sehantam kepiluan di kesendirian membatu (XX: CXXIV).
Kelahiran kali ini bersama kalimah kau mengerti,
bagi jembatan layang tersebrangi, yang lama penciptaannya menuju langitan;
batu-batu di sana terbulatkan tekat, dihempaskan ribuan ular besi (XX: CXXV).
Ini babak peleburan, mengulum bibir rindumu, serupa kematian berulang,
nikmatnya terus terberi, sedang energinya tak pernah habis selesai (XX: CXXVI).
---------------------------------
*) Pengelana asal Lamongan, JaTim.
14 Syawal 1940 (Jawa) 1428 Hijriyah, hari Jumat Legi, 26 Oktober 2007 Masehi.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar