Ribut Wijoto
Seorang lelaki muda, selanjutnya kita panggil saja dengan sebutan Tardji, berkeinginan menulis puisi. Sebelumnya memang, ia pernah membaca puisi, sebuah puisi yang dianggapnya bagus. Yang tidak menggurui, tidak menyodorkan “seruan provokatif”, tidak menghardik. Tapi justru dengan itu, ia tergugah. Ia sependapat dengan kata-kata, terkesima dengan kalimat-kalimat, dan ia ingin menuliskannya kembali. Tentu saja, ia menulis dengan kata-kata yang lain, menyajikan dalam kalimat-kalimat yang berbeda. Di dalam anggapannya, menulis puisi adalah kerja yang unik, menantang, menggiurkan, sekaligus penuh kerahasiaan.
Seorang Tardji lalu lebih banyak lagi membaca puisi, tidak hanya puisi yang dikultuskan “berwibawa”. Dari sekian banyak puisi yang dibaca, memang ada yang benar-benar berwibawa, seperti yang pertama kali ia baca. Selebihnya, ia rasa sebaiknya dimasukkan dalam kumpulan puisi remaja. Kadangkala terlalu ngotot dengan keinginan, kadangkala terlalu manja dengan kata-kata, sepertinya kata-kata adalah batu bata yang dapat dipakai memebangun rumah model apa saja, kapan saja. Seorang Tardji sedemikian menghormati kata-kata, dan memang, ia meyakini, “penyair adalah orang yang hidup dalam dunia kata-kata”.
Meskipun kadangkala, ia berbeda pendapat dengan banyak orang tentang berwibawa tidaknya sebuah puisi, Tardji sepenuhnya sadar, ada hal-hal lain di luar puisi yang lebih menentukan penerimaan pembaca. Entah anggapan kritikus sastra, entah terlalu seringnya dibicarakan, entah terlalu seringnya dibacakan, entah alasan penciptaannya yang mencengangkan. Mungkin juga, disebabkan penyairnya menjalani hidup teramat puitis.
Misalnya gemar bertindak tidak sopan, melanggar aturan, jarang mandi -jarang makan, tidak beristri -beristri terlalu banyak, atau karena si penulis puisi telah “berhasil” dibidang lain, yang tidak berhubungan sama sekali dengan dunia kepenyairan. Tardji tetap yakin dengan aparat kritiknya sendiri. Puisi berwibawa karena kata-kata, karena kalimat-kalimat, karena teks yang utuh dan sekaligus memancar memasuki lorong-lorong imajinasi. Pernah Tardji mengenal seorang penulis puisi yang dengan getol mengkesankan bahwa puisinya adalah simbol pemberontakan terhadap kekuasaan yang korup, pelurusan terhadap nilai-nilai moral, pembelaan kepentingan kaum bawah… Tardji hanya tersenyum, setelah dibaca, puisi tersebut akan lebih berharga bila ditulis sebagai artikel kemanusiaan. Memang berapologi, memberi paradigma kepenyairan itu penting, tapi akan menjadi tidak penting/berharga bila tidak dibarengi kualitas puisi itu sendiri.
Puisi, bagaimanapun juga, adalah sebuah sikap. Dan sebuah sikap, tentu saja, memihak kaum tertentu, meminggirkan kaum yang lain. Karena itu, beban puisi tidaklah ringan. Puisi mesti menyelinap di antara sekian banyak kepentingan, sekaligus terbebas dari sekian banyak kegiatan penyingkiran. Puisi bukanlah tentara, yang katanya demi “negara boleh melenyapkan nyawa manusia”, dan puisi bukanlah pelacur, yang setelah dibayar, boleh tenteng kemana saja. Tapi, puisi mesti bersikap sebagai tentara, mesti loyal seperti halnya pelacur, atau puisi mesti cerdas sebagaimana cendekia, bahkan bijak seperti Budha.
Kesadaran Penciptaan
Tardji, karena sedemian ingin tidak hanya berpuisi, tapi juga “turut berpendapat” dalam lalu-lintas perpuisian. Maka, Tarji belajar kepada para penyair yang telah berhasil. Belajar kepada para penyair tanah air, dan dibantu sedikit kemampuan berbahasa asing, Tardji belajar kepada penyair luar tanah air.
Hasilnya, Tardji menyakini, setidaknya ada tiga kesadaraan yang dibutuhkan seorang penyair yang ingin berhasil. Pertama, kesadaran untuk membaca realitas/ masyarakat, kedua, membaca puisi (atau karya sastra bentuk lain) dari pengarang sebelumnya, ketiga, membaca puisi (atau karya sastra bentuk lain) dari pengarang sejaman.
Membaca realitas membawa pengertian turut menyelami persoalan yang menggelibat di masyarakat. Agar puisi tidak mengada-ada. Sejauh yang Tardji baca, puisi berwibawa senantiasa dekat dengan kondisi masyarakat. Dan, itu tidak mungkin terwujud bila tidak ada pemahaman terhadap persoalan masyarakat. Secara lebih lebar, masyarakat dapat diartikan sebagai tradisi, perilaku aktual, dan kebudayaan. Dari tanah air, Tardji melihat ada puisi yang lahir dari persilangan antara masyarakat bawah, kerajaan, dan penjajahan.
Puisi demikian berciri organis (rima dan bentuk yang ketat), mendayu-dayu seakan rindu kebebasan, gelisah yang terpendam, romantik disebabkan tidak setuju dengan yang terjadi pada kekinian. Juga semasa riuh-rendah kemerdekaan, puisi yang berhasil dan kebal jaman adalah yang berciri menggebu-gebu, menyeruak-sengak, merenggut perhatian, jujur, serta penuh kejutan. Puisi seperti itu, memang hanya milik jamannya, sehingga justru dapat dibaca sebagai pelajaran melihat jaman. Misalkan masyarakat berbentuk jam, maka puisi adalah ritmis tik-taknya.
Misalkan masyarakat adalah botol, puisi adalah perih lukanya. Yang patut dicermati, hubungan masyarakat dengan puisi bukanlah hubungan logis, misalnya antara perempuan di dunia nyata dengan perempuan di dalam cermin. Ada sublimasi dalam puisi.
Demikian juga yang terjadi di luar tanah air, kondisi masyarakat berpengaruh kuat dalam teks puisi. Mungkin tidak dalam kesengajaan penciptaan, sebab konon ada yang meyakini puisi adalah gerak bawah sadar, tapi seorang penyair berwibawa selalu peka dan responsif dengan masyarakat. Munculnya aliran-aliran dalam puisi, atau karya sastra, membuktikan kepekaan pengarang dalam menyelami realitas. Tahun 1914, Andre Breton mendeklarasikan Manifesto Surealisme yang pertama. Saat itu dunia barat, Eropa dan Amerika, sedang tekun-tekunnya mendewakan rasionalitas, surealisme menemukan bentuknya melalui karya sastra “dada”.
Yaitu, pemberontakan menyeluruh terhadap rasionalitas, tanpa kompromi. Teks puisi menjalin kode-kode bahasa estetiknya dengan logika yang “tak masuk akal”, misalnya pemakaian logika tumbuhan, hewan, atau juga kartu domino. Surealisme pertama, dada, dapat digambarkan sebagai perahu nelayan yang berlayar dari pasar ke pasar. Tahun 1936, Andre Breton mendeklarasikan Manifesto Surealisme yang ketiga. Saat itu dunia barat baru saja dilanda PD I, surealisme menemukan bentuk melalui psikoanalisa. Teks puisi mendistribusikan kode-kodenya memakai logika mimpi.
Tardji, pada dasarnya, memang seorang petualang. Gemar mengarung luas pengetahuan. Tardji menelusuri sejarah puisi hingga pada bentuk-bentuk yang paling primitif. Tardji menemukan mantera. Puisi anonim, tanpa pengarang tunggal, dan karenanya dekat dengan masyarakat, menjadi milik masyarakat. Kata-kata dalam mantera menyadarkan Tardji, bahwa kata dalam puisi tidak harus memiliki beban pengertian, yang lebih penting adalah bangunan teks yang mistis.
Lalu Tardji singgah pada Chairil, memperoleh pelajaran tentang puisi simbolis. Ke-aku-an yang utama. Sublimasi diri yang menukik dan menggema. Bahwa puisi tidak harus, kalau bisa jangan, berkompromi dengan bahasa masyarakat. Benar, bahasa puisi lahir dari masyarakat, tapi setelah jatuh ke tangan penyair, bahasa seakan direnggut dari realitas. Menjadi milik diri.
Selain itu, Tardji juga bergaul dengan puisi para penyair lain yang sempat tercatat. Mengakrapinya. Mencocok-cocokkan penilaiannya dengan penilaian kritikus. Kepada puisi yang dipuja, ia mencari sebab dipuja. Kepada puisi yang terhina, ia cari tahu kenapa terhina.
Terhadap puisi luar tanah air, Tardji amat terkesima dengan bentuk-bentuk puisi Perancis. Tardji kagum pada puisi Baudelaire yang tajam, berjiwa, tragik, dan memabukan. Kata-kata dalam puisi ibarat “hutan lambang” yang tak ‘kan selesai dirambahi. Tardji berdecak kagum pada puisi Mallarme yang hitam, hitam, dan hitam. Puisi, begitulah Tardji saksikan, sederajat dengan agama. Puisi hanya untuk diyakini. Tetapi, Tardji paling takjub pada puisi Rimbaud yang mistis, magis, terbebas dari segala ikatan. Puisi hadir untuk puisi itu sendiri. Puisi yang apabila dibaca seperti menyedot, membetot, memecah-mecah, menghamburkan jiwa ke “daerah tak dikenal”.
Tardji menemukan titik singgung antara puisi penyair Perancis dengan puisi penyair tanah air. Antara Chairil dengan Baudelaire, antara Mahatmanto dengan Mallarme, antara Rimbaud dengan masyarakat pemantera. Mungkin mereka tidak saling kenal, tidak saling membaca karya, tapi ekspresi estetik dan kejiwaan, mendekatkan puisi mereka.
Sebagai seorang yang ingin menjadi penyair, Tardji tidak sendirian. Ada banyak penyair dan calon penyair yang hidup sejaman. Mereka pesaing Tardji. Mereka dapat mengangkat dan menegakkan serta menjatuhkan Tardji.
Mereka dan Tardji sama-sama membaca sejarah puisi, hidup pada jaman yang sama, pada realitas dan persoalan masyarakat yang sama. Sangat mungkin, mereka dan Tardji melahirkan bentuk puisi yang sama. Dan, tentu saja, itu kejadian yang tidak diharapkan. Karenanya Tardji, mungkin juga mereka, membaca puisi dan kecenderungan puisi para penyair sejaman. Untuk meyakini diri, “saya berbeda” atau “puisi saya paling puitis”.
Naluri Kepenyairan
Membaca puisi, seberapa pun banyaknya, tentu saja, belum bisa diakui sebagai penyair. Syarat mutlak menjadi penyair adalah puisi. Memang, banyak orang menyebut seseorang penyair tapi belum pernah membaca puisi ciptaannya. Atau, ada seseorang yang sudah mengaku penyair padahal belum menulis lebih dari 50 puisi, bahkan mungkin baru menulis kurang dari 5 puisi. Tardji ingin, dan ini yang sedang diusahakannya, diakui sebagai penyair karena intens menulis puisi.
Berdasarkan yang Tardji baca, seorang penyair setidaknya dihinggapi dua sifat; peka dan bebal. Seorang penyair, Tardji tahu itu, menulis puisi karena kepekaannya. Panca indra penyair, yang ini Tardji juga tahu, tidak mudah tersentuh oleh gejala dan peristiwa yang ada. Penyair nyaris imun dari gerak realitas. Hanya saja pada momen-momen tertentu, ini yang Tardji belum bisa, penyair lebih peduli dari siapa pun.
Pada saat-saat seperti itu, penyair menyatakan bahwa setiap peristiwa, mekipun remeh, mewakili peristiwa yang lebih besar. Istilah Jawanya, kesatuan antara jagad cilik dengan jagad gedhe. Misalnya, suatu ketika seorang penyair melihat ada kuburan China yang diterangi cahaya bulan, sang penyair takjub dan berhenti lama. Ia lekas pulang dan menulis puisi,…bulan di atas kuburan.
Kepekaan penyair adalah keunikan yang terberi, ada dengan sendirinya. Tetapi Tardji, berdasarkan pada yang telah dibaca, meyakini bahwa kepekaan inspirasi puisi bisa dimiliki dangan cara dipelajari dan dibiasakan.
Maka sejak saat itu, Tardji menjalani kepenyairan. Pada mulanya ia pura-pura kurang nafsu makan karena belum dapat inspirasi, pura-pura belum mengantuk meski sudah pukul tiga pagi, pura-pura terkejut melihat daun jatuh, pura-pura cuek dalam menyeberangi jalan. Akhirnya, Tardji benar-benar sering kurang nafsu makan meski lapar, benar-benar tidak bisa tidur sampai pagi setiap hari, benar-benar sering terkejut tiap melihat daun jatuh, benar-benar sering terserempet kendaraan bila menyeberang.
Tardji pun menulis puisi. Tiap hari. Selagi masih bisa, kegiatan-kegiatan di luar menulis puisi dihindari. Setiap hari, hidup hanya menulis puisi. Satu, dua, tiga belas,…, berpuluh puisi Tardji tulis. Tiap beberapa puisi selesai, cepat ia kirim ke media massa. Demikian seterusnya. Tak henti-henti, sebab penyair adalah orang yang bebal.
Lima tahun sesudahnya, ada beberapa puisi Tardji dimuat. Bahkan, ada disertakan dalam antologi puisi regional. Tardji pun siap-siap mengeluarkan “kredo” bagi kepenyairannya. Kredo yang dapat menjembatani antara puisi dengan kritik, dapat membangun hubungan antara puisi dengan masyarakat. Maka pada suatu malam yang riang, pada suatu pesta perjamuan, diantara banyak wartawan, undangan, kerabat, dan teman dekat; Tardji berteriak “akulah penyair!”
________Surabaya
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar