Riau Pos, 27 Maret 2005
Marhalim Zaini
Saat itu, Hitler sudah mati. Bunuh diri. Beberapa menit setelah Eva Braun yang molek dinikahinya dalam ruang pengap udara. Goerge Orwell tak kisah sangat, kelelahan pasca perang, di negeri penuh paradoks, tak membuat ia lemah semangat untuk menemuinya, Siti Layla. Perempuan Melayu berdarah biru, keturunan raja-raja. Goerge menyukai Siti, tersebab Siti menyukai Einstein. Terutama saat bom atomnya menumbangkan keangkuhan totalitarianisme. Terlebih lagi, saat Siti mulai melayangkan responnya atas sejumlah fragmen novel Goerge terbaru, Nineteen Eighty-four (1984), atau terhadap novel sebelumnya berjudul Animal Farm.
Surat terakhir Siti berbunyi, ”Saat yang tepat untuk mengukur ketakutan-ketakutan kita, Goerge. Di negeri saya, ketakutan bergentayangan serupa burung-burung walet di atas bubung hotel tepian pantai, pada sebuah senja. Ketakutan yang sesungguhnya telah menjadi penghuni pribumi. Ketakutan yang lebih tua usianya dari hidup kami sendiri. Meski begitu Eropa, negerimu itu, tampak tetap tersenyum dalam baris-baris kalimat novelmu. Aku kagum. Sebab di negeriku, tanah yang bakal rekah ini, telah lama ditinggal raja-raja, didiami hantu-hantu. Tapi Goerge, akankah serpihan fasisme Eropa itu, juga akan berlayar menemui kami? Sebab kini, yang tampak di mataku, justru fasisme ala Melayu. Saya khawatir, Goerge…”
Dalam surat sebelumnya, Siti menulis, “Aku terkejut saat kaukirim novelmu Animal Farm. Membacanya, aku seperti berada dalam sebuah kandang yang tak berpintu. Aku adalah salah satu dari binatang-binatang yang menantang dan mengusir tuannya. Sebuah pemberontakan yang dahsyat dan memikat, Goerge. Tapi aku kecewa, kenapa kemudian binatang-binatang itu malah bertengkar sendiri. Tidak tenteram dengan dunia yang tanpa campur tangan manusia. Apakah menurutmu tanpa kehadiran manusia, binatangisme itu tak sempurna? Atau keduanya memang tak bisa dipisahkan, seperti sebuah jalinan keturunan, begitu? Ah, Goerge, kamu suka bercanda. Padahal ideologimu keras. Tapi, terus terang, aku tak suka Darwin..”
Surat-surat inilah yang membuat Goerge berkeinginan besar untuk bertemu Siti. Meski sebenarnya Siti tak berharap benar bertemu Goerge. Tak ada janji. Sebab Siti benci janji. Janji bagi Siti hanya memberi kesempatan orang mencari celah dusta. Tapi bagi Goerge kekhawatiran Siti yang aneh adalah alasan utama baginya untuk menyaksikan lebih dekat, berkunjung ke negeri Siti. Sebuah pulau di tepian Sumatera. “Pulau yang jauh dan (ter)asing,” begitu Siti pernah menyebut. Aneh, karena ketakutan pada fasisme justru hinggap pada seorang keturunan raja-raja macam Siti. Meski Goerge menduga, Siti adalah sosok perempuan pemberontak, macam Kartini, atau Cut Nyak Dien. Meski terkadang Goerge ragu terhadap pengetahuan sejarahnya tentang sistem monarki kerajaan. Tentu perempuan jarang timbul (dan cenderung tenggelam) dalam gelombang besar kekuasaan yang terpusat pada laki-laki. Tapi, “Ah, ini bukan fokus perjuangannya,” pikir Goerge.
Tapi dalam sebuah pembicaraan di telepon, acapkali Goerge menangkap ada ribuan kelebat kekecewaan yang mendekam dalam setiap kata-kata Siti.
“Berbincang denganmu, Goerge, membantu aku membunuh waktu. Aku takut. Waktu di sini beringas serupa srigala. Ia bisa dilihat lewat tatapan mata orang-orang. Merah menyala, Goerge…”
“Ah, Siti. Di mana-mana waktu memang begitu. Kalau saja kau dapat menatap mataku sekarang, aku yakin kau juga akan takut.”
“Aku percaya, matamu pasti dipenuhi sisa asap perang kan?”
“Ya, sesak, sumpek, dipenuhi bayangan yel-yel revolusi. Perang selalu menyisakan luka, bukan?”
“Ya. Luka. Luka masa lalu…”
Suara Siti tersendat. Waktu berhenti sejenak.
“Siti…halo...Siti…”
“Ah, maaf Goerge. Ada yang memanggilku. Bagaimana?”
“Bagaimana?”
“E…maksudku bagaimana dengan Winston, tokoh novelmu itu?”
“Bukankah kamu sudah membacanya. Menurutmu bagaimana?”
“Aku suka. Tapi aku tiba-tiba merasa diawasi Winston?”
“Ah, kamu. Ada-ada saja. Ia sebuah fiksi bukan?”
“Ya. Fiksi yang hidup, fiction became reality. Aku merasa Winston sedang mengawasi gerak-gerikku. Seperti sejarah bermata ganda. Ia tak benar-benar tiada. Sebenarnya, Goerge, Melayu punya banyak tokoh untuk itu. Tapi seolah padam. Belakangan, tampaknya sebagian orang di negeri ini meraba-rabanya. Konon, mereka merindukannya. Aku rasa, mereka hanya berpura-pura merindukannya, Goerge.”
“Terkadang perjuangan diawali dari kepura-puraan, Siti. Stalin atau Soeharto, aku kira juga demikian. Mereka seorang pejuang yang tangguh dan gigih, bukan? Yang tertipu saja yang merasa ditindas dan dikhianati. Selebihnya mereka menikmati. Tapi, omong-omong, kapan kita bisa ketemu?”
“Ketemu? Ah, Goerge. Apakah percakapan lewat surat dan telpon belum cukup?”
“Rasanya belum. Ada yang belum tuntas kalau belum ketemu.”
“Tuntas? Tidak harus tuntas kan?”
“Siti, aku ingin melewati sungai coklat yang kauceritakan dulu.”
“Ha…ha…sebenarnya, namanya bukan sungai Coklat. Tersebab airnya yang berwarna coklat, maka aku sebut ia sungai coklat.“
“O…”
“Nama sebenarnya sungai Siak.”
“Sungai Siak. Kau belum sepenuhnya bercerita tentangnya.”
“Tak usahlah. Aku malu.”
“Kenapa malu? Aku suka sungai. Salah satu sungai yang kusukai adalah sungai Yarra di Melbourne Australia.”
“O…sungai yang bersih dari limbah berbahaya itu kan?
“Ya. Kau pernah ke sana?”
“Belum. Cuma membaca.”
“Ya. Sungai itu juga menjadi pusat rekreasi dan olahraga dayung. Di sana juga dibangun kawasan pedestrian untuk warga berjalan dan mengayuh sepeda. Aku kira inilah etalasenya negeri Kangguru.”
“Ha…ha…ha…”
“Kenapa tertawa?”
“Goerge, inilah yang membuat aku malu. Kau tidak akan pernah menemukan hal serupa di negeriku. Sungai Siak itu, jika kaubandingkan dengan Yarra, jauh panggang dari api. Sudahlah Goerge, sebaiknya kauurungkan saja niatmu untuk mengunjungi negeriku, oke.”
“Tidak, aku mau menemuimu.”
“Sebaiknya jangan, Goerge.”
“Sebenarnya apa yang kautakutkan dari kehadiranku, Siti?”
“Aku takut kau mengalami ketakutan yang sama. Seperti aku. Ketakutan akan kehilangan.”
“Kehilangan?”
“Ya. Di sini kehilangan seolah telah menjadi milik semua orang. Orang-orang sungai telah kehilangan habitatnya. Pabrik-pabrik mengusirnya. Mereka menelan limbah. Atas nama industri mereka dikalahkan. Laut kehilangan pasir. Bumi kehilangan hutan dan minyak. Orang-orang hidup dalam gumpalan kabut asap, dalam genangan banjir, dan kelangkaan minyak berkepanjangan. Penyair, Goerge, kehilangan bahasa. Dan sekejap lagi, semua orang akan kehilangan pulau ini. Abrasi, Goerge. Serupa kue boulu dimakan semut, pulau ini berangsur susut. Aku kehilangan sejarah. Orang-orang kehilangan diri, dan bertanya, siapa aku? Mereka bingung. Lalu mereka bermusuhan sesama mereka. Humanisme universal di sini, kini ditelikung oleh ras. Euforia, Goerge. Sebuah kebangkitan baru yang tidak seimbang. Bagaimana? Apakah tetap mau menemuiku, Goerge?”
Telepon di seberang, sepi.
“Halo…Goerge. Halo…”
“E…sory Siti.”
“Kau pasti sedang berpikir dua-belas kali untuk menemuiku kan?”
“Oh tidak. Aku melamun. Imajinasiku tiba-tiba telah berlayar ke pulaumu. Ada sejumlah cerita telah terangkai di kepalaku. Aku justru semakin tertarik untuk menemuimu.”
“Terserahlah, Goerge. Yang jelas aku tidak melarang dan tidak juga menyuruh. Dan ini bukan janji, oke.”
“Di mana aku bisa menemuimu? Alamatmu?”
“Tidak sulit. Telusuri saja Sungai Siak. Sampai di ujung teluk, berlabuhlah di sebuah pulau. Lalu masuklah ke pusat Bandar. Temui aku hari Jumat, di kedai kopi Pak Ngah, di belakang kelenteng tua, samping gang sempit tempat pedagang kaki lima menjual akik…dan satu hal, ini bukan janji…”
“Tut…tut…tut.”
Telepon di seberang, terputus. Sepi.
***
Saat itu, Datuk Laksemana Raja Dilaut alias Encik Ibrahim, telah lama tiada. Tidak berapa lama setelah ia menyesali keputusannya mengizinkan Belanda untuk tinggal di Bengkalis. Goerge Orwell tak kisah sangat, kelelahan dalam perjalanan, menuju negeri penuh kehilangan, tak membuat ia menyesal dan berhenti di tengah jalan untuk menemui Siti Layla, perempuan Melayu berdarah biru, keturunan raja-raja. Goerge menyukai Siti, tersebab Siti menyukai novel-novelnya. Terutama saat Siti bertanya tentang sejumlah kalimat ganjil yang dicetak dalam huruf kapital dalam novelnya berjudul 1984, “KEBEBASAN IALAH PERBUDAKAN, TUHAN IALAH KEKUASAAN, PERANG IALAH DAMAI, KEBODOHAN IALAH KEKUATAN…” dan lantas Siti bertanya, “Inikah yang kaumaksud dengan negeri penuh paradoks, Goerge?”
Kini, kaki Goerge telah tegak berdiri kaku di atas tepian pelabuhan Bandar Sri Laksemana. Goerge menarik nafas panjang. Ada peluh yang mengering di bagian belakang kemejanya, membekas serupa peta buta yang terbakar. Rambut pirangnya kusut, serupa akar bakau yang saling berpaut. Dalam hatinya, Goerge berbisik, “Perjalanan panjang ini membuat aku lupa jalan pulang, Siti.” Dari kejauhan, lamat-lamat ia membaca sebuah tulisan berukuran besar, melintang di gerbang Bandar, “SELAMAT DATANG DI NEGERI PENUH KEHILANGAN.” Goerge tersenyum aneh.
Senja yang mulai memberat, mengajak Goerge bergerak. Suara burung-burung Walet yang mengitari bangunan tinggi, menyerupai musik yang aneh dan meruncing, berdentang di dinding-dinding Bandar. Kehilangan macam apakah gerangan yang membuat negeri ini mengeluarkan rintihan? Inikah yang Siti sebut sebagai dendang Lancang Kuning itu. Sebuah kapal yang berlayar menuju malam? Lagi-lagi Goerge tersenyum aneh.
Ini malam jumat. Goerge benar-benar lupa bertanya tentang jam. Pukul berapa ia harus menemui Siti di kedai kopi Pak Ngah itu. Sementara malam kian merajam. Dingin angin laut, terkadang membuat Goerge ingin bercinta. Bukankah DINGIN IALAH KEHANGATAN? Ah, Siti Layla, di manakah dikau. Aku telah sampai di negerimu. ..
Goerge terlelap. Setelah lelah membawanya ke sebuah penginapan sederhana. Setelah memutuskan untuk membiarkan malam berlalu, dan menantikan siang yang menjelang. “Kutemui kau, esok pagi, Siti,” kembali Goerge tersenyum aneh.
***
Jumat, pukul 07.30.
George menyusuri kaki lima yang dipadati para penjual akik, di belakang kelenteng tua. Tepat di samping sebuah gang sempit, sebuah kedai kopi tampak terbuka. Di atas pintu terbaca plang nama, “KEDAI KOPI PAK NGAH.” Tak salah lagi, inilah yang dicari.
Goerge masuk. Asap rokok memenuhi ruangan. Goerge hanya berdiri terpaku, memandang setiap meja-meja bulat yang telah dipenuhi orang-orang. Suara mereka serupa ribuan kepak sayap lebah yang mengamuk. Tapi Goerge tak melihat ada seorang perempuan Melayu pun di sana. Yang ada justru perempuan-perempuan berkulit putih. Goerge mulai heran. Goerge berjalan perlahan. Mengamati dengan seksama wajah-wajah mereka yang sedang sibuk berbual. Goerge terkejut. Goerge seperti pernah mengenal wajah-wajah mereka. Tiba-tiba, sebuah suara dari arah yang lain memanggil namanya.
“Goerge! Hei, Goerge Orwell sudah datang.”
Seketika ruangan senyap. Semua mata memandang Goerge yang berdiri bingung. Tak lama, mereka semua tersenyum. Menyambut kehadiran Goerge.
Seorang lelaki menghampirinya, “Hei, Goerge. Apa kabar. Aku mendengar kau hampir merampungkan novelmu yang baru?”
Goerge bertambah terkejut, ”Apakah benar… kau Albert Camus?”
“Ya, Goerge, aku belum berubah, bukan? Si pemberontak itu, si absurd itu, Goerge. Aku kira hari ini adalah hari yang paling menyenangkan. Tidak banyak kesempatan untuk kita bisa berkumpul begini, Goerge. Lihatlah, mereka semua adalah sahabat-sahabat kita, Goerge. Itu, yang sedang duduk di sudut sana menghisap cerutu. Kau pasti mengenalnya, Jean-Paul Sartre, sang pendekar eksistensialisme Perancis. Lalu itu, yang lebih muda darimu, Marquez. Gabriel Garcia Marquez. Kasihan dia Goerge, selama seratus tahun ia mengalami kesunyian. Itu, di sudut sana, (sambil berbisik) lelaki yang sedang mencari kutu di balik jenggotnya yang lebat, hik…hik…peraih Nobel Sastra pertama Sully Prudhomme. Sabar Goerge, (berbisik) sesungguhnya dia tidak lebih baik darimu. Nah, yang itu, Goerge, dia lebih muda darimu, seorang pengarang yang sering kelaparan, kau mengenalnya? Dia Knut Hamsun. Novelnya bolehlah. Dan kita mungkin harus berbesar hati, Goerge, saat dia menerima Novel Sastra. Sebuah penghargaan untuk perjuangan melawan kesulitan hidupnya… ”
Goerge semakin bingung. Kenapa mereka semua ikut berkumpul di sini? Lalu di mana Siti?
“Kenapa Goerge. Santailah. Duduk di sini Goerge. Di sini ada adik kita yang lucu, suka ketawa dan bikin kitab lupa, Milan Kundera. Aku kira dia ini masih komunis, Goerge. Lihatlah, tangannya masih kasar. Maklum, bekas buruh. Tapi, jelek-jelek begini, dia seorang profesor. Dan ini, kau pasti mengenalnya, temannya Gandhi, Rabindranath Tagore. Dia orang tua kita, Goerge. Tapi sayang Goerge, kita tak bisa bertemu dengan orang tua kita yang lain, seorang sastrawan Melayu ternama, Raja Ali Haji. Dengar kabar, ia tengah sibuk membangun negeri kata-kata, Goerge. Negeri Gurindam.”
Goerge menyalami mereka. Beruntung rasanya bisa bertemu pengarang-pengarang hebat dunia. Ini kesempatan langka. Tapi Goerge menyimpan kebingungan yang sangat. Ia kemudian duduk di samping Albert Camus. Dengan agak berbisik Goerge bertanya,
“Kenapa kau, dan mereka semua ada di sini?”
“Menemui seseorang. Aku yakin, kau juga.”
“Seorang perempuan?”
“Ya. Seorang perempuan bernama Siti Layla.”
“Ya, Tuhan. Kau, dan mereka..?”
“Ya. Saling berkomunikasi. Lewat surat atau telepon.”
Goerge seolah tak percaya. Tapi yang tampak di depan matanya, adalah nyata.
“Lalu, di mana Siti?”
“Tidak ada.”
“Tidak ada?”
“Ya. Dia menitipkan secerbis surat pada Pak Ngah. Untuk kita semua.”
Goerge beranjak dari tempat duduk. Mengambil surat pada Pak Ngah, dan membacanya:
“Sahabat-sahabatku yang baik.
Aku benci janji. Janji bagiku hanya memberi kesempatan orang mencari celah dusta. Dan aku tidak berdusta. Karena aku tak pernah berjanji.
Siapakah aku? Aku tidak ada. Aku hanya serpihan masa lalu yang sedang mengunjungi ruang imajinasi kalian. Aku adalah gang sempit, yang hanya bisa dilalui oleh seorang pejalan kaki. Aku adalah waktu yang molek, melenggangkan kecemasan, ketakutan, dan kehilangan-kehilangan.
Selamat datang di negeri yang dipenuhi kehilangan.
Salam
Siti Layla.”***
Pekanbaru, September 2004
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar