Jumat, 26 September 2008

Temui Aku Hari Jumat, di Belakang Kelenteng Tua

Riau Pos, 27 Maret 2005
Marhalim Zaini

Saat itu, Hitler sudah mati. Bunuh diri. Beberapa menit setelah Eva Braun yang molek dinikahinya dalam ruang pengap udara. Goerge Orwell tak kisah sangat, kelelahan pasca perang, di negeri penuh paradoks, tak membuat ia lemah semangat untuk menemuinya, Siti Layla. Perempuan Melayu berdarah biru, keturunan raja-raja. Goerge menyukai Siti, tersebab Siti menyukai Einstein. Terutama saat bom atomnya menumbangkan keangkuhan totalitarianisme. Terlebih lagi, saat Siti mulai melayangkan responnya atas sejumlah fragmen novel Goerge terbaru, Nineteen Eighty-four (1984), atau terhadap novel sebelumnya berjudul Animal Farm.

Surat terakhir Siti berbunyi, ”Saat yang tepat untuk mengukur ketakutan-ketakutan kita, Goerge. Di negeri saya, ketakutan bergentayangan serupa burung-burung walet di atas bubung hotel tepian pantai, pada sebuah senja. Ketakutan yang sesungguhnya telah menjadi penghuni pribumi. Ketakutan yang lebih tua usianya dari hidup kami sendiri. Meski begitu Eropa, negerimu itu, tampak tetap tersenyum dalam baris-baris kalimat novelmu. Aku kagum. Sebab di negeriku, tanah yang bakal rekah ini, telah lama ditinggal raja-raja, didiami hantu-hantu. Tapi Goerge, akankah serpihan fasisme Eropa itu, juga akan berlayar menemui kami? Sebab kini, yang tampak di mataku, justru fasisme ala Melayu. Saya khawatir, Goerge…”

Dalam surat sebelumnya, Siti menulis, “Aku terkejut saat kaukirim novelmu Animal Farm. Membacanya, aku seperti berada dalam sebuah kandang yang tak berpintu. Aku adalah salah satu dari binatang-binatang yang menantang dan mengusir tuannya. Sebuah pemberontakan yang dahsyat dan memikat, Goerge. Tapi aku kecewa, kenapa kemudian binatang-binatang itu malah bertengkar sendiri. Tidak tenteram dengan dunia yang tanpa campur tangan manusia. Apakah menurutmu tanpa kehadiran manusia, binatangisme itu tak sempurna? Atau keduanya memang tak bisa dipisahkan, seperti sebuah jalinan keturunan, begitu? Ah, Goerge, kamu suka bercanda. Padahal ideologimu keras. Tapi, terus terang, aku tak suka Darwin..”

Surat-surat inilah yang membuat Goerge berkeinginan besar untuk bertemu Siti. Meski sebenarnya Siti tak berharap benar bertemu Goerge. Tak ada janji. Sebab Siti benci janji. Janji bagi Siti hanya memberi kesempatan orang mencari celah dusta. Tapi bagi Goerge kekhawatiran Siti yang aneh adalah alasan utama baginya untuk menyaksikan lebih dekat, berkunjung ke negeri Siti. Sebuah pulau di tepian Sumatera. “Pulau yang jauh dan (ter)asing,” begitu Siti pernah menyebut. Aneh, karena ketakutan pada fasisme justru hinggap pada seorang keturunan raja-raja macam Siti. Meski Goerge menduga, Siti adalah sosok perempuan pemberontak, macam Kartini, atau Cut Nyak Dien. Meski terkadang Goerge ragu terhadap pengetahuan sejarahnya tentang sistem monarki kerajaan. Tentu perempuan jarang timbul (dan cenderung tenggelam) dalam gelombang besar kekuasaan yang terpusat pada laki-laki. Tapi, “Ah, ini bukan fokus perjuangannya,” pikir Goerge.

Tapi dalam sebuah pembicaraan di telepon, acapkali Goerge menangkap ada ribuan kelebat kekecewaan yang mendekam dalam setiap kata-kata Siti.
“Berbincang denganmu, Goerge, membantu aku membunuh waktu. Aku takut. Waktu di sini beringas serupa srigala. Ia bisa dilihat lewat tatapan mata orang-orang. Merah menyala, Goerge…”

“Ah, Siti. Di mana-mana waktu memang begitu. Kalau saja kau dapat menatap mataku sekarang, aku yakin kau juga akan takut.”
“Aku percaya, matamu pasti dipenuhi sisa asap perang kan?”
“Ya, sesak, sumpek, dipenuhi bayangan yel-yel revolusi. Perang selalu menyisakan luka, bukan?”
“Ya. Luka. Luka masa lalu…”
Suara Siti tersendat. Waktu berhenti sejenak.
“Siti…halo...Siti…”
“Ah, maaf Goerge. Ada yang memanggilku. Bagaimana?”
“Bagaimana?”
“E…maksudku bagaimana dengan Winston, tokoh novelmu itu?”
“Bukankah kamu sudah membacanya. Menurutmu bagaimana?”
“Aku suka. Tapi aku tiba-tiba merasa diawasi Winston?”
“Ah, kamu. Ada-ada saja. Ia sebuah fiksi bukan?”

“Ya. Fiksi yang hidup, fiction became reality. Aku merasa Winston sedang mengawasi gerak-gerikku. Seperti sejarah bermata ganda. Ia tak benar-benar tiada. Sebenarnya, Goerge, Melayu punya banyak tokoh untuk itu. Tapi seolah padam. Belakangan, tampaknya sebagian orang di negeri ini meraba-rabanya. Konon, mereka merindukannya. Aku rasa, mereka hanya berpura-pura merindukannya, Goerge.”

“Terkadang perjuangan diawali dari kepura-puraan, Siti. Stalin atau Soeharto, aku kira juga demikian. Mereka seorang pejuang yang tangguh dan gigih, bukan? Yang tertipu saja yang merasa ditindas dan dikhianati. Selebihnya mereka menikmati. Tapi, omong-omong, kapan kita bisa ketemu?”

“Ketemu? Ah, Goerge. Apakah percakapan lewat surat dan telpon belum cukup?”
“Rasanya belum. Ada yang belum tuntas kalau belum ketemu.”
“Tuntas? Tidak harus tuntas kan?”
“Siti, aku ingin melewati sungai coklat yang kauceritakan dulu.”
“Ha…ha…sebenarnya, namanya bukan sungai Coklat. Tersebab airnya yang berwarna coklat, maka aku sebut ia sungai coklat.“
“O…”
“Nama sebenarnya sungai Siak.”
“Sungai Siak. Kau belum sepenuhnya bercerita tentangnya.”
“Tak usahlah. Aku malu.”
“Kenapa malu? Aku suka sungai. Salah satu sungai yang kusukai adalah sungai Yarra di Melbourne Australia.”
“O…sungai yang bersih dari limbah berbahaya itu kan?
“Ya. Kau pernah ke sana?”
“Belum. Cuma membaca.”

“Ya. Sungai itu juga menjadi pusat rekreasi dan olahraga dayung. Di sana juga dibangun kawasan pedestrian untuk warga berjalan dan mengayuh sepeda. Aku kira inilah etalasenya negeri Kangguru.”

“Ha…ha…ha…”
“Kenapa tertawa?”
“Goerge, inilah yang membuat aku malu. Kau tidak akan pernah menemukan hal serupa di negeriku. Sungai Siak itu, jika kaubandingkan dengan Yarra, jauh panggang dari api. Sudahlah Goerge, sebaiknya kauurungkan saja niatmu untuk mengunjungi negeriku, oke.”

“Tidak, aku mau menemuimu.”
“Sebaiknya jangan, Goerge.”
“Sebenarnya apa yang kautakutkan dari kehadiranku, Siti?”
“Aku takut kau mengalami ketakutan yang sama. Seperti aku. Ketakutan akan kehilangan.”

“Kehilangan?”
“Ya. Di sini kehilangan seolah telah menjadi milik semua orang. Orang-orang sungai telah kehilangan habitatnya. Pabrik-pabrik mengusirnya. Mereka menelan limbah. Atas nama industri mereka dikalahkan. Laut kehilangan pasir. Bumi kehilangan hutan dan minyak. Orang-orang hidup dalam gumpalan kabut asap, dalam genangan banjir, dan kelangkaan minyak berkepanjangan. Penyair, Goerge, kehilangan bahasa. Dan sekejap lagi, semua orang akan kehilangan pulau ini. Abrasi, Goerge. Serupa kue boulu dimakan semut, pulau ini berangsur susut. Aku kehilangan sejarah. Orang-orang kehilangan diri, dan bertanya, siapa aku? Mereka bingung. Lalu mereka bermusuhan sesama mereka. Humanisme universal di sini, kini ditelikung oleh ras. Euforia, Goerge. Sebuah kebangkitan baru yang tidak seimbang. Bagaimana? Apakah tetap mau menemuiku, Goerge?”

Telepon di seberang, sepi.
“Halo…Goerge. Halo…”
“E…sory Siti.”
“Kau pasti sedang berpikir dua-belas kali untuk menemuiku kan?”
“Oh tidak. Aku melamun. Imajinasiku tiba-tiba telah berlayar ke pulaumu. Ada sejumlah cerita telah terangkai di kepalaku. Aku justru semakin tertarik untuk menemuimu.”
“Terserahlah, Goerge. Yang jelas aku tidak melarang dan tidak juga menyuruh. Dan ini bukan janji, oke.”
“Di mana aku bisa menemuimu? Alamatmu?”

“Tidak sulit. Telusuri saja Sungai Siak. Sampai di ujung teluk, berlabuhlah di sebuah pulau. Lalu masuklah ke pusat Bandar. Temui aku hari Jumat, di kedai kopi Pak Ngah, di belakang kelenteng tua, samping gang sempit tempat pedagang kaki lima menjual akik…dan satu hal, ini bukan janji…”

“Tut…tut…tut.”
Telepon di seberang, terputus. Sepi.
***

Saat itu, Datuk Laksemana Raja Dilaut alias Encik Ibrahim, telah lama tiada. Tidak berapa lama setelah ia menyesali keputusannya mengizinkan Belanda untuk tinggal di Bengkalis. Goerge Orwell tak kisah sangat, kelelahan dalam perjalanan, menuju negeri penuh kehilangan, tak membuat ia menyesal dan berhenti di tengah jalan untuk menemui Siti Layla, perempuan Melayu berdarah biru, keturunan raja-raja. Goerge menyukai Siti, tersebab Siti menyukai novel-novelnya. Terutama saat Siti bertanya tentang sejumlah kalimat ganjil yang dicetak dalam huruf kapital dalam novelnya berjudul 1984, “KEBEBASAN IALAH PERBUDAKAN, TUHAN IALAH KEKUASAAN, PERANG IALAH DAMAI, KEBODOHAN IALAH KEKUATAN…” dan lantas Siti bertanya, “Inikah yang kaumaksud dengan negeri penuh paradoks, Goerge?”

Kini, kaki Goerge telah tegak berdiri kaku di atas tepian pelabuhan Bandar Sri Laksemana. Goerge menarik nafas panjang. Ada peluh yang mengering di bagian belakang kemejanya, membekas serupa peta buta yang terbakar. Rambut pirangnya kusut, serupa akar bakau yang saling berpaut. Dalam hatinya, Goerge berbisik, “Perjalanan panjang ini membuat aku lupa jalan pulang, Siti.” Dari kejauhan, lamat-lamat ia membaca sebuah tulisan berukuran besar, melintang di gerbang Bandar, “SELAMAT DATANG DI NEGERI PENUH KEHILANGAN.” Goerge tersenyum aneh.

Senja yang mulai memberat, mengajak Goerge bergerak. Suara burung-burung Walet yang mengitari bangunan tinggi, menyerupai musik yang aneh dan meruncing, berdentang di dinding-dinding Bandar. Kehilangan macam apakah gerangan yang membuat negeri ini mengeluarkan rintihan? Inikah yang Siti sebut sebagai dendang Lancang Kuning itu. Sebuah kapal yang berlayar menuju malam? Lagi-lagi Goerge tersenyum aneh.

Ini malam jumat. Goerge benar-benar lupa bertanya tentang jam. Pukul berapa ia harus menemui Siti di kedai kopi Pak Ngah itu. Sementara malam kian merajam. Dingin angin laut, terkadang membuat Goerge ingin bercinta. Bukankah DINGIN IALAH KEHANGATAN? Ah, Siti Layla, di manakah dikau. Aku telah sampai di negerimu. ..

Goerge terlelap. Setelah lelah membawanya ke sebuah penginapan sederhana. Setelah memutuskan untuk membiarkan malam berlalu, dan menantikan siang yang menjelang. “Kutemui kau, esok pagi, Siti,” kembali Goerge tersenyum aneh.
***

Jumat, pukul 07.30.
George menyusuri kaki lima yang dipadati para penjual akik, di belakang kelenteng tua. Tepat di samping sebuah gang sempit, sebuah kedai kopi tampak terbuka. Di atas pintu terbaca plang nama, “KEDAI KOPI PAK NGAH.” Tak salah lagi, inilah yang dicari.

Goerge masuk. Asap rokok memenuhi ruangan. Goerge hanya berdiri terpaku, memandang setiap meja-meja bulat yang telah dipenuhi orang-orang. Suara mereka serupa ribuan kepak sayap lebah yang mengamuk. Tapi Goerge tak melihat ada seorang perempuan Melayu pun di sana. Yang ada justru perempuan-perempuan berkulit putih. Goerge mulai heran. Goerge berjalan perlahan. Mengamati dengan seksama wajah-wajah mereka yang sedang sibuk berbual. Goerge terkejut. Goerge seperti pernah mengenal wajah-wajah mereka. Tiba-tiba, sebuah suara dari arah yang lain memanggil namanya.

“Goerge! Hei, Goerge Orwell sudah datang.”
Seketika ruangan senyap. Semua mata memandang Goerge yang berdiri bingung. Tak lama, mereka semua tersenyum. Menyambut kehadiran Goerge.

Seorang lelaki menghampirinya, “Hei, Goerge. Apa kabar. Aku mendengar kau hampir merampungkan novelmu yang baru?”
Goerge bertambah terkejut, ”Apakah benar… kau Albert Camus?”

“Ya, Goerge, aku belum berubah, bukan? Si pemberontak itu, si absurd itu, Goerge. Aku kira hari ini adalah hari yang paling menyenangkan. Tidak banyak kesempatan untuk kita bisa berkumpul begini, Goerge. Lihatlah, mereka semua adalah sahabat-sahabat kita, Goerge. Itu, yang sedang duduk di sudut sana menghisap cerutu. Kau pasti mengenalnya, Jean-Paul Sartre, sang pendekar eksistensialisme Perancis. Lalu itu, yang lebih muda darimu, Marquez. Gabriel Garcia Marquez. Kasihan dia Goerge, selama seratus tahun ia mengalami kesunyian. Itu, di sudut sana, (sambil berbisik) lelaki yang sedang mencari kutu di balik jenggotnya yang lebat, hik…hik…peraih Nobel Sastra pertama Sully Prudhomme. Sabar Goerge, (berbisik) sesungguhnya dia tidak lebih baik darimu. Nah, yang itu, Goerge, dia lebih muda darimu, seorang pengarang yang sering kelaparan, kau mengenalnya? Dia Knut Hamsun. Novelnya bolehlah. Dan kita mungkin harus berbesar hati, Goerge, saat dia menerima Novel Sastra. Sebuah penghargaan untuk perjuangan melawan kesulitan hidupnya… ”

Goerge semakin bingung. Kenapa mereka semua ikut berkumpul di sini? Lalu di mana Siti?
“Kenapa Goerge. Santailah. Duduk di sini Goerge. Di sini ada adik kita yang lucu, suka ketawa dan bikin kitab lupa, Milan Kundera. Aku kira dia ini masih komunis, Goerge. Lihatlah, tangannya masih kasar. Maklum, bekas buruh. Tapi, jelek-jelek begini, dia seorang profesor. Dan ini, kau pasti mengenalnya, temannya Gandhi, Rabindranath Tagore. Dia orang tua kita, Goerge. Tapi sayang Goerge, kita tak bisa bertemu dengan orang tua kita yang lain, seorang sastrawan Melayu ternama, Raja Ali Haji. Dengar kabar, ia tengah sibuk membangun negeri kata-kata, Goerge. Negeri Gurindam.”

Goerge menyalami mereka. Beruntung rasanya bisa bertemu pengarang-pengarang hebat dunia. Ini kesempatan langka. Tapi Goerge menyimpan kebingungan yang sangat. Ia kemudian duduk di samping Albert Camus. Dengan agak berbisik Goerge bertanya,

“Kenapa kau, dan mereka semua ada di sini?”
“Menemui seseorang. Aku yakin, kau juga.”
“Seorang perempuan?”
“Ya. Seorang perempuan bernama Siti Layla.”
“Ya, Tuhan. Kau, dan mereka..?”
“Ya. Saling berkomunikasi. Lewat surat atau telepon.”

Goerge seolah tak percaya. Tapi yang tampak di depan matanya, adalah nyata.
“Lalu, di mana Siti?”
“Tidak ada.”
“Tidak ada?”
“Ya. Dia menitipkan secerbis surat pada Pak Ngah. Untuk kita semua.”
Goerge beranjak dari tempat duduk. Mengambil surat pada Pak Ngah, dan membacanya:

“Sahabat-sahabatku yang baik.
Aku benci janji. Janji bagiku hanya memberi kesempatan orang mencari celah dusta. Dan aku tidak berdusta. Karena aku tak pernah berjanji.

Siapakah aku? Aku tidak ada. Aku hanya serpihan masa lalu yang sedang mengunjungi ruang imajinasi kalian. Aku adalah gang sempit, yang hanya bisa dilalui oleh seorang pejalan kaki. Aku adalah waktu yang molek, melenggangkan kecemasan, ketakutan, dan kehilangan-kehilangan.

Selamat datang di negeri yang dipenuhi kehilangan.

Salam
Siti Layla.”***

Pekanbaru, September 2004

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae