Senin, 01 September 2008

Cak Durasim, Peacock, dan Senjakala Ludruk

Fahrudin Nasrulloh*

Konon, pada 1943, Cak Durasim mati ditembak tentara Jepang saat suatu malam dia mentas ludruk di Peterongan, Jombang. Demikianlah salah satu versi cerita. Pasalnya sepele, malam itu dia berkidungan begini: Pegupon omahe doro/Melok Nipon tambah sengsoro (Pegupon rumahnya burung dara/Ikut Nipon tambah bikin menderita). Sudah lama Nipon telah dibikin geram oleh kidungan Cak Durasim yang nylekit itu. Ternyata, kata-kata, pada momen itu, menggoreskan luka dalam ingatan kolektif. Menjadi subversif, saat kekuasaan bertakhta.

Beberapa tahun sebelum peristiwa berdarah itu, sejarah mencatat bahwa keberadaan ludruk muncul 1932 sebagai suatu bentuk pemberontakan kaum petani (atau rakyat jelata) terhadap hegemoni tiranik juragan penindas, penjajah dan antek-anteknya. Hal demikian sudah terjadi sejak penjajahan bercokol di negeri ini. Pasca 1945 ludruk semakin berkembang pesat. Ironisnya, masa itu ludruk dimanfaatkan parpol sebagai kendaraan politik. Pada 1965 banyak group ludruk menjadi onderbouw-nya LEKRA. Setelah Gestapu surut, ludruk mengalami kemerosotan fatal. Dan pada 1967, atas gagasan TNI dan POLRI, ludruk dibangkitkan kembali.

Selanjutnya, kenyataan ini pula yang menggerakkan James L. Peacock untuk melakukan riset serius terhadap 82 kelompok ludruk di Surabaya pada era 60-an. Dan baru 2005, buku karya jebolan Universitas Nort Caroline yang berumbul Ritus Modernisasi: Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia (Desantara: Jakarta) ini terbit. Dalam buku tersebut Peacock mengapresiasi ludruk sebagai klasifikasi secara simbolik dalam aras tindakan-tindakan sosial dan sebagai ajang-tawar bagi penonton untuk “terlibat” secara emosional. Karya Peacock ini telah dijadikan kajian penting terhadap seni pertunjukan Indonesia, disamping karya James R. Brandon (Theatre in Southeast Asia), Claire Holt, R.M. Soedarsono, Jennifer Lindsay, dan lain-lain. Melalui buku ini Peacock menunjukkan seproletar apa pun, seperti halnya komunitas ludruk, komunitas-komunitas yang tak pernah dinyana dari kacamata modernitas, ternyata mujarab memerankan diri dalam menjembatani dan mengawal suatu nilai urgensif dalam perubahan sosial.

Namun kini apa terjadi dalam jagat ludruk kita? Memang perlu studi baru pasca penelitian Peacock itu. Yang terang, spirit kesenian ini begitu menggugah kesadaran saya ketika semalam suntuk saya menyaksikan pergelaran ludruk Mustika Jaya dari Jombang berlakon Geger Pabrik Kedawung di Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) pada 12 April 2007. Sebelumnya, di tempat yang sama, juga dipentaskan lakon Sawunggaling dari group Karya Budaya Mojokerto pada 8 Maret 2007.

Pergelaran ludruk ini akan berlangsung hingga 2008, yang akan disemarakkan oleh sejumlah group ludruk terkemuka mulai dari lakon Pak Sakerah (Timbul Jaya, Probolingga: 24 Mei 2007); Babad Suroboyo (Warna Jaya, Sidoarjo: 14 Juni 2007); Joko Sambang (Bangun Tresna, Lumajang: 12 Juli 2007); R.M. Branjang Kawat (Taruna Budaya, Malang: 9 Agustus 2007); Sogol Pendekar Sumur Gumuling (Irama Budaya, Surabaya: 8 September 2007); Maling Caluring (Orkanda, Malang: 29 November 2007); Sarip Tambak Oso (Budhi Wijaya, Jombang: 6 Desember 2007); Untung Suropati (Perdana, Pasuruan: 10 Januari 2008).

Alangkah menarik untuk disimak, ketika sehabis pementasan tersebut diadakan semacam ‘bedah ludruk’ secara dialogis antara penonton dan pemain ludruk. Dialog yang cukup debatable itu dipandu oleh Pak Sinarto dari TBJT. Banyak tokoh dan pemain ludruk yang urun-rembuk malam itu seperti Pak Edi (pimpinan ludruk Karya Budaya, Mojokerto), Cak Supali, Cak Agus Kuprit, Cak Bawong, dan lain-lain. Perhelatan tersebut menyoal seputar nasib masa depan ludruk; ihwal regenerasi aktor, manajemen pengelolaan, inovasi cerita, revitalisasi berupa adanya museum ludruk untuk pengembangan riset dari pelbagai sudut pandang (seperti riset yang cukup berbobot dari Sindhunata berjudul Ilmu Gletek Prabu Minohek [Galang Press, 2005, Yogyakarta]: tentang makna sosial dalam kidungan dan jula-juli group ludruk Kartolo; juga buku Gendhakan: Visualisasi Parikan Ludruk [Bentara Budaya, 2007]). Di sini pula peran pemerintah diperhitungkan untuk menakar seberapa jauh ludruk masih menjadi hiburan unggulan masyarakat.

Sehubungan dengan itu, jika seksama dicermati, penelitian Peacock puluhan tahun silam tersebut sebenarnya cuma berkutat pada “isi” dan “bentuk”. Dan tentu saja dia bukan ahli nujum yang dapat meramalkan keberlangsungan ludruk yang di zaman ini tengah diserbu hiburan yang menggiurkan yang semata-mata hanya menawarkan “leviathan” dunia modern yang instan, hedonistik, mewah tapi murah, tontonan TV yang menyihir di mana klimaksnya segala hasrat serentak terpuaskan. Dalam kubangan ironik tersebut, sepertinya secara sadar dan tidak, spirit kreatif ludruk betul-betul telah didaur-ulang dan dibongkar-pasang oleh industri hiburan kapitalistik dengan menyulapnya (dengan ragam acara) menjadi semisal tayangan Bajaj Bajuri, OB, Empat Mata, Extravaganza, atau Ketoprak Humor, dan seabrek metamorfosa produk lawakan lainnya. Ludruk, dengan begitu, telah dikloning sedemikian rupa menjadi jejaring kapitalisme yang niscaya dan mustahil dibendung. Ludruk tidak lagi sebagai media pemberontakan kaum proletar terhadap kekuatan penguasa yang hegemonik sebagaimana dicerminkan dalam tragedi Cak Durasim.

Sampai kapan ludruk sebagai citra seni rakyat yang adiluhung dapat bertahan di bawah bayang-bayang membanjirnya hiburan TV misalnya? Apa yang terjadi dengan ludruk, katakanlah, 20 hingga 30 tahun ke depan? Sementara warisan seni rakyat yang lain seperti “jaran-kepangan”, “jatilan”, “bantengan”, perlahan-lahan juga mulai sekarat di tengah arus deras hiburan zaman sekarang.

Sementara, di ranah perludrukan, sebenarnya kita cukup salut dan bertabik atas sejumlah seniman ludruk yang tetap konsisten menjalani dan mendedikasikan seluruh hidupnya demi keberlangsungan warisan kesenian ini. Lepas dari desakan tuntutan ekonomi, kendati perkara itu juga patut dijadikan catatan penting. Sederet tokoh ludruk seperti Kartolo, Basman, Sapari, Sidik, Markeso, Markuat, Munawar, Kecik, Kirun, Supali, hingga Trubus dan Sulabi tetap terus berjuang menghidupkan tradisi ludruk ini. Bahkan peran pelawak perempuan tidaklah bisa dikesampingkan begitu saja kontribusinya semisal Umi Kalsum (di ludruk RRI Jatim), Kastini, Surya Dewi, Lasiana, Sutatik, hingga Marliyah (grup ludruk Karya Baru, Mojokerto). Konsistensi mereka-mereka ini sepatutnya mendapatkan perhatian dan penghargaan yang layak dari pemerintah. Sebab jarang orang sekarang memilih hidup berprofesi di dunia ludruk yang dianggap tak menjanjikan masa depan yang cerah.

Terkait dengan itu, saya yakin, jika di antara generasi muda sekarang ditanya apakah ada yang mau memilih hidup berkesenian di ludruk? Saya kira hanya orang putus harap yang memilihnya, untuk tidak mengatakan mustahil. “Perempuan mana yang mau main ludruk seperti saya? Apalagi generasi muda sekarang. Bahkan di group saya, saya sering mendorong mereka yang muda-muda untuk melawak. Tapi sungguh sulit melawak, apalagi ‘ngidung’ dan jula-juli, kata mereka,” demikian cerita Marliyah kepada saya pada 15 April 2007, di rumahnya di Girang, Bakalan, Krian. “Penari remo sekarang jarang. Sebenarnya jika dipelajari dengan telaten, semua orang bisa. Sampai saat ini saya tidak menemukan siapa yang dapat meneruskan ilmu ‘ngremo’ saya ini,” tambah Hadi Wijaya, suami Marliyah.

Di sisi lain, memang jumlah kelompok ludruk sekarang terbilang banyak. Di Jombang misalnya ada sekitar 38 grup ludruk. Dan biasanya setiap group mengklaim punya anggota kisaran 50 sampai 70 orang. Jika dihitung secara matematis, katakanlah per-group ada 50 personil. Maka 38 x 50 = 1900 orang. Tapi kenyataan di lapangan semua seniman ludruk di Jombang kira-kira hanya 400-an orang. Sebab yang banjir tanggapan hanya sekitar 3 group ludruk. Dan itu mungkin juga terjadi di daerah lain. Ini satu kondisi yang tidak sehat, terkait dengan manajemen dan mutu kerja kreatif, lebih-lebih minimnya minat generasi muda untuk menekuni bidang ini.

Dan yang paling memprihatinkan adalah kelompok ludruk model tobong yang berpentas keliling dari kampung ke kampung dengan penghasilan sekali gelar sekitar 300-an ribu. Lalu hasil dari penjualan karcis (2000/orang) dibagi seluruh kru yang rata-rata jumlahnya 40-60 personil. Group tobong memang hampir sudah tidak ada. Hanya beberapa gelintir yang tersisa. Menurut pengakuan Cak Yusuf Hidayat (ketua grup ludruk tobong Mandala dari Ngusikan, Jombang), bahwa dia akan tetap menjalani profesinya tersebut sampai kapanpun, karena ludruk tobong adalah warisan dari kakek buyutnya. Namun dia juga merasa diserbu kekhawatiran bahwa masyarakat mulai tak tertarik lagi menikmati model ludrukan ini. Memang banyak kasus yang telanjur jadi benang kusut dalam dunia perludrukan kita. Gambaran di atas hanyalah sebagian kecil contoh.

Walhasil kini dan mendatang ludruk seolah di ambang senjakala kesirnaannya. Tersebab jika pelestariannya tidak diupayakan dengan kesadaran kolektif untuk nguri-nguri dan ngopeni secara bersama dengan kesungguhan yang penuh-seluruh (atau justru malah diabaikan?). Barangkali benar, secara perlahan-lahan, ludruk mulai terkikis oleh keniscayaan perubahan dan, akhirnya menjadi situs sejarah yang mengenaskan. Bisa jadi Peacock akan mengamini ramalan Schiller ini: Yang lama musnah. Masa pun berubah. Dan di atas puing-puing reruntuhan. Mekarlah kehidupan baru.

Tampaknya di sinilah ujian bagi seniman ludruk agar lebih getol dan sungguh-sungguh dalam menekuni bidang ini sebagai jalan hidup berkesenian. Tapi sejauh mana mereka dapat bertahan dalam arus hiburan yang kian menderas saat ini?

*)Redaksi tamu pada Jurnal Kebudayaan The Sandour
Kompas, 19 Agustus 2007.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Anzieb A. Azis Masyhuri A. Dahana A. Mustofa Bisri A. Muttaqin A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A. Zakky Zulhazmi A.S Laksana Aan Frimadona Roza Aang Fatihul Islam Abd. Rahman Mawazi Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Kirno Tanda Abdul Wachid B.S. Abdurrahman Wahid Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Sunjayadi Adek Alwi Adhy Rical Adi Marsiela Adian Husaini Adin Adzka Haniina Al Barri AF. Tuasikal Afnan Malay AG. Alif Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan MN Agung Poku Agus Aris Munandar Agus B. Harianto Agus Buchori Agus Himawan Agus R. Subagyo Agus Salim Agus Sri Danardana Agus Sulton AH J Khuzaini Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Naufel Ahmad Sahal Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Alang Khoiruddin Alex R Nainggolan Alfred Tuname Ali Irwanto Ali Syamsudin Arsi Alunk Estohank Alvi Puspita Amandus Klau Amel Amien Kamil Anam Rahus Andaru Ratnasari Andong Buku #3 Angela Anggraini Lubis Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anwar Siswadi Aprinus Salam Ardus M Sawega Ari Pahala Hutabarat Arie MP Tamba Arif Bagus Prasetyo Arti Bumi Intaran Arwan Tuti Artha AS Sumbawi Asarpin Asep Juanda Asep Salahudin Asep Sambodja Asrama Mahasiswa Aceh Sabena Astrid Reza Atmakusumah Awalludin GD Mualif Awan Abdullah Ayi Jufridar Azyumardi Azra B Sugiharto Badrut Tamam Bagja Hidayat Bahrul Ulum A. Malik Bakdi Soemanto Balada Bambang kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Baskara T Wardaya SJ Bayu Agustari Adha Bayu Ambuari Beni Setia Benny Arnas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Berto Tukan BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonnie Triyana Brunel University London Budaya Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiarto Shambazy Buldanul Khuri Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chandra Iswinarno Cover Buku D. Zawawi Imron Dadan Sutisna Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danang Probotanoyo Danarto Daniel Paranamesa Dareen Tatour Darju Prasetya Darma Putra Darwis Rifai Harahap Dayat Hidayat Dede Kurniawan Deepe Denny JA Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dhewi Susanti Dian Hartati Diana AV Sasa Djasepudin Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Djunaedi Tjunti Agus Doan Widhiandono Doddy Hidayatullah Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donatus Nador Donny Anggoro Dr Junaidi Dr. Simuh Dwi Cipta Dwi Pranoto Dwi Wahyu Handayani Dwicipta Dyah Ratna Meta Novi Edeng Syamsul Ma’arif Eduard Tambunan Edy Firmansyah Edy Sartimin Eka Budianta Eka Fendri Putra Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendri Saiful Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endah Imawati Endhiq Anang P Endi Biaro Esai Eva Dwi Kurniawan Evan Ys Evi Idawati Evieta Fajar F Rahardi F. Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faisal Syahreza Fanani Rahman Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatmin Prihatin Malau Fauzan Al-Anzhari Fenny Aprilia Festival Gugur Gunung Fikri. MS Firdaus Muhammad Fransiskus Nesten Marbun ST Franz Kafka Free Hearty Furqon Abdi Gde Artawan Gerakan Literasi Nasional Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gugun El-Guyanie Gunawan Budi Susanto Gunoto Saparie Gus Noy H. Rosihan Anwar Hadi Napster Halim HD Hamdy Salad Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Haris del Hakim Haris Firdaus Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Junus Hasanudin Abdurakhman Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hastho Suprapto Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendra Sugiantoro Hendriyo Widi Henry H Loupias Heri CS Heri Latief Herman Hasyim Herman RN Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Hesma Eryani Hikmat Gumelar Hilyatul Auliya Hudan Hidayat Hujuala Rika Ayu Humam S Chudori I Nyoman Suaka I Nyoman Tingkat IBM Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi Idha Saraswati Idris Pasaribu Igk Tribana Ignas Kleden Ilham Khoiri Ilham Q. Moehiddin Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian koto Inggit Putria Marga Irman Syah Isbedy Stiawan ZS Ismi Wahid Istiqomatul Hayati Iswadi Pratama Iwan Gunadi Iwan Komindo Iwan Kurniawan J. Sumardianta Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jenny Ang Jihan Fauziah Jimmy Maruli Alfian Joko Sandur Joni Ariadinata Joni Lis Efendi Jual Buku Paket Hemat Jusuf A.N Kalis Mardi Asih Karkono Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Khawas Auskarni Khoirur Rizal Umami Komunitas Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kusno Kuswaidi Syafi’ie L.N. Idayanie Laksmi Pamuntja Lan Fang Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lies Susilowati Lily Yulianti Farid Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto LP3M Universitas Jember Lukman Asya Lutfi Mardiansyah M Arman AZ M Hari Atmoko M. Dhani Suheri M. Faizi M. Haninul Fuad M. Ikhsan M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S. M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Marlin Bato Martin Aleida Marwanto Maryati Mas Ruscitadewi Mashuri Maya Azeezah Media: Crayon on Paper Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Menggalang Dana Amal Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri Mestika Zed Michael Gunadi Widjaja Michael Ondaatje Mihar Harahap Mikhael Dua Mila Novita Misbahus Surur Misranto Moch. Faisol Moh. Asy'ari Muthhar Muh Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Farhand Muzakki Muhammad Ghufron Muhammad Hidayat Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Yasir Muhammad Yulius Muhammadun A.S. Muhibin AM Muhidin M Dahlan Mulyadi SA Munawir Aziz Mursai Esten Musa Ismail Musfi Efrizal Muslim Kasim Musyafak N Teguh Prasetyo N. Mursidi N. Syamsuddin CH. Haesy Nanang Fahrudin Nanang Suryadi Naskah Monolog Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Nirwan Ahmad Arsuka Nissa Rengganis Noor H. Dee Noval Jubbek Novel Novelet Novianti Setuningsih Nu’man ’Zeus’ Anggara Nunung Nurdiah Nunuy Nurhayati Nur Ahmad Salman H Nur Cholish Zaein Nur Faizah Nur Hidayati Nuraz Aji Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nuriel Imamah Nurul Anam Nuryana Asmaudi SA Ode Barta Ananda Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pameran Lukisan Pamusuk Eneste Pandu Radea Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga Pramoedya Ananta Toer Pringadi AS Priyambodo RH Prosa Pudyo Saptono Puisi Puji Santosa PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Dachroni R. Timur Budi Raja Rachmat H Cahyono Radhar Panca Dahana Rahmi Hattani Rainer Maria Rilke Rakai Rakhmat Giryadi Rama Prabu Ramadhan Batubara Rambuana Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Restoe Prawironegoro Ibrahim Revolusi RF. Dhonna Ribut Wijoto Rida Wahyuningrum Ridwan Munawwar Rilla Nugraheni Rinto Andriono Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rosdiansyah Rosidi Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rz. Subagyo S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Saripuddin Lubis Sastra Pemberontak SastraNESIA Sastri Bakry Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sekolah Literasi Gratis (SLG) Selo Soemardjan Senggrutu Singomenggolo Seni Rupa Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Si Burung Merak Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Sitor Situmorang Siwi Dwi Saputro Sjaiful Masri Sjifa Amori SLG STKIP PGRI Ponorogo Soeharto Sofian Dwi Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Fitri Ana Sri Wintala Achmad St Sularto Suci Ayu Latifah Sudarmoko Sugeng Satya Dharma Sujiwo Tejo Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Sunudyantoro Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Suseno Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutirman Eka Ardhana Suwandi Adisuroso Suyadi San Switzy Sabandar Syah A. Lathief Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syaiful Irba Tanpaka Syarif Hidayatullah Syifa Aulia Sylvianita Widyawati Tamrin Bey Tan Malaka TanahmeraH ArtSpace Taofik Hidayat Taufik Alwie Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh LR Teguh Pamungkas Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Th. Sumartana Theresia Purbandini Timur Sinar Suprabana Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Wahono Triyanto triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Ulfatin Ch Ulil Abshar-Abdalla Umar Fauzi Ballah Universitas Indonesia Universitas Jember Utami Widowati Veven Sp. Wardhana W Haryanto W.S. Rendra Wandi Barboy Silaban Wanitaku-wanitaku Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Wayan Supartha Wendi Wildan Nugraha Wishnubroto Widarso Wong Wing King Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanto le Honzo Yasraf Amir Piliang Yeni Mulyani Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yudhis M. Burhanudin Yuli Akhmada Yulia Sapthiani Yuliarsa Yunanto Sutyastomo Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae