Fahrudin Nasrulloh*
Konon, pada 1943, Cak Durasim mati ditembak tentara Jepang saat suatu malam dia mentas ludruk di Peterongan, Jombang. Demikianlah salah satu versi cerita. Pasalnya sepele, malam itu dia berkidungan begini: Pegupon omahe doro/Melok Nipon tambah sengsoro (Pegupon rumahnya burung dara/Ikut Nipon tambah bikin menderita). Sudah lama Nipon telah dibikin geram oleh kidungan Cak Durasim yang nylekit itu. Ternyata, kata-kata, pada momen itu, menggoreskan luka dalam ingatan kolektif. Menjadi subversif, saat kekuasaan bertakhta.
Beberapa tahun sebelum peristiwa berdarah itu, sejarah mencatat bahwa keberadaan ludruk muncul 1932 sebagai suatu bentuk pemberontakan kaum petani (atau rakyat jelata) terhadap hegemoni tiranik juragan penindas, penjajah dan antek-anteknya. Hal demikian sudah terjadi sejak penjajahan bercokol di negeri ini. Pasca 1945 ludruk semakin berkembang pesat. Ironisnya, masa itu ludruk dimanfaatkan parpol sebagai kendaraan politik. Pada 1965 banyak group ludruk menjadi onderbouw-nya LEKRA. Setelah Gestapu surut, ludruk mengalami kemerosotan fatal. Dan pada 1967, atas gagasan TNI dan POLRI, ludruk dibangkitkan kembali.
Selanjutnya, kenyataan ini pula yang menggerakkan James L. Peacock untuk melakukan riset serius terhadap 82 kelompok ludruk di Surabaya pada era 60-an. Dan baru 2005, buku karya jebolan Universitas Nort Caroline yang berumbul Ritus Modernisasi: Aspek Sosial dan Simbolik Teater Rakyat Indonesia (Desantara: Jakarta) ini terbit. Dalam buku tersebut Peacock mengapresiasi ludruk sebagai klasifikasi secara simbolik dalam aras tindakan-tindakan sosial dan sebagai ajang-tawar bagi penonton untuk “terlibat” secara emosional. Karya Peacock ini telah dijadikan kajian penting terhadap seni pertunjukan Indonesia, disamping karya James R. Brandon (Theatre in Southeast Asia), Claire Holt, R.M. Soedarsono, Jennifer Lindsay, dan lain-lain. Melalui buku ini Peacock menunjukkan seproletar apa pun, seperti halnya komunitas ludruk, komunitas-komunitas yang tak pernah dinyana dari kacamata modernitas, ternyata mujarab memerankan diri dalam menjembatani dan mengawal suatu nilai urgensif dalam perubahan sosial.
Namun kini apa terjadi dalam jagat ludruk kita? Memang perlu studi baru pasca penelitian Peacock itu. Yang terang, spirit kesenian ini begitu menggugah kesadaran saya ketika semalam suntuk saya menyaksikan pergelaran ludruk Mustika Jaya dari Jombang berlakon Geger Pabrik Kedawung di Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) pada 12 April 2007. Sebelumnya, di tempat yang sama, juga dipentaskan lakon Sawunggaling dari group Karya Budaya Mojokerto pada 8 Maret 2007.
Pergelaran ludruk ini akan berlangsung hingga 2008, yang akan disemarakkan oleh sejumlah group ludruk terkemuka mulai dari lakon Pak Sakerah (Timbul Jaya, Probolingga: 24 Mei 2007); Babad Suroboyo (Warna Jaya, Sidoarjo: 14 Juni 2007); Joko Sambang (Bangun Tresna, Lumajang: 12 Juli 2007); R.M. Branjang Kawat (Taruna Budaya, Malang: 9 Agustus 2007); Sogol Pendekar Sumur Gumuling (Irama Budaya, Surabaya: 8 September 2007); Maling Caluring (Orkanda, Malang: 29 November 2007); Sarip Tambak Oso (Budhi Wijaya, Jombang: 6 Desember 2007); Untung Suropati (Perdana, Pasuruan: 10 Januari 2008).
Alangkah menarik untuk disimak, ketika sehabis pementasan tersebut diadakan semacam ‘bedah ludruk’ secara dialogis antara penonton dan pemain ludruk. Dialog yang cukup debatable itu dipandu oleh Pak Sinarto dari TBJT. Banyak tokoh dan pemain ludruk yang urun-rembuk malam itu seperti Pak Edi (pimpinan ludruk Karya Budaya, Mojokerto), Cak Supali, Cak Agus Kuprit, Cak Bawong, dan lain-lain. Perhelatan tersebut menyoal seputar nasib masa depan ludruk; ihwal regenerasi aktor, manajemen pengelolaan, inovasi cerita, revitalisasi berupa adanya museum ludruk untuk pengembangan riset dari pelbagai sudut pandang (seperti riset yang cukup berbobot dari Sindhunata berjudul Ilmu Gletek Prabu Minohek [Galang Press, 2005, Yogyakarta]: tentang makna sosial dalam kidungan dan jula-juli group ludruk Kartolo; juga buku Gendhakan: Visualisasi Parikan Ludruk [Bentara Budaya, 2007]). Di sini pula peran pemerintah diperhitungkan untuk menakar seberapa jauh ludruk masih menjadi hiburan unggulan masyarakat.
Sehubungan dengan itu, jika seksama dicermati, penelitian Peacock puluhan tahun silam tersebut sebenarnya cuma berkutat pada “isi” dan “bentuk”. Dan tentu saja dia bukan ahli nujum yang dapat meramalkan keberlangsungan ludruk yang di zaman ini tengah diserbu hiburan yang menggiurkan yang semata-mata hanya menawarkan “leviathan” dunia modern yang instan, hedonistik, mewah tapi murah, tontonan TV yang menyihir di mana klimaksnya segala hasrat serentak terpuaskan. Dalam kubangan ironik tersebut, sepertinya secara sadar dan tidak, spirit kreatif ludruk betul-betul telah didaur-ulang dan dibongkar-pasang oleh industri hiburan kapitalistik dengan menyulapnya (dengan ragam acara) menjadi semisal tayangan Bajaj Bajuri, OB, Empat Mata, Extravaganza, atau Ketoprak Humor, dan seabrek metamorfosa produk lawakan lainnya. Ludruk, dengan begitu, telah dikloning sedemikian rupa menjadi jejaring kapitalisme yang niscaya dan mustahil dibendung. Ludruk tidak lagi sebagai media pemberontakan kaum proletar terhadap kekuatan penguasa yang hegemonik sebagaimana dicerminkan dalam tragedi Cak Durasim.
Sampai kapan ludruk sebagai citra seni rakyat yang adiluhung dapat bertahan di bawah bayang-bayang membanjirnya hiburan TV misalnya? Apa yang terjadi dengan ludruk, katakanlah, 20 hingga 30 tahun ke depan? Sementara warisan seni rakyat yang lain seperti “jaran-kepangan”, “jatilan”, “bantengan”, perlahan-lahan juga mulai sekarat di tengah arus deras hiburan zaman sekarang.
Sementara, di ranah perludrukan, sebenarnya kita cukup salut dan bertabik atas sejumlah seniman ludruk yang tetap konsisten menjalani dan mendedikasikan seluruh hidupnya demi keberlangsungan warisan kesenian ini. Lepas dari desakan tuntutan ekonomi, kendati perkara itu juga patut dijadikan catatan penting. Sederet tokoh ludruk seperti Kartolo, Basman, Sapari, Sidik, Markeso, Markuat, Munawar, Kecik, Kirun, Supali, hingga Trubus dan Sulabi tetap terus berjuang menghidupkan tradisi ludruk ini. Bahkan peran pelawak perempuan tidaklah bisa dikesampingkan begitu saja kontribusinya semisal Umi Kalsum (di ludruk RRI Jatim), Kastini, Surya Dewi, Lasiana, Sutatik, hingga Marliyah (grup ludruk Karya Baru, Mojokerto). Konsistensi mereka-mereka ini sepatutnya mendapatkan perhatian dan penghargaan yang layak dari pemerintah. Sebab jarang orang sekarang memilih hidup berprofesi di dunia ludruk yang dianggap tak menjanjikan masa depan yang cerah.
Terkait dengan itu, saya yakin, jika di antara generasi muda sekarang ditanya apakah ada yang mau memilih hidup berkesenian di ludruk? Saya kira hanya orang putus harap yang memilihnya, untuk tidak mengatakan mustahil. “Perempuan mana yang mau main ludruk seperti saya? Apalagi generasi muda sekarang. Bahkan di group saya, saya sering mendorong mereka yang muda-muda untuk melawak. Tapi sungguh sulit melawak, apalagi ‘ngidung’ dan jula-juli, kata mereka,” demikian cerita Marliyah kepada saya pada 15 April 2007, di rumahnya di Girang, Bakalan, Krian. “Penari remo sekarang jarang. Sebenarnya jika dipelajari dengan telaten, semua orang bisa. Sampai saat ini saya tidak menemukan siapa yang dapat meneruskan ilmu ‘ngremo’ saya ini,” tambah Hadi Wijaya, suami Marliyah.
Di sisi lain, memang jumlah kelompok ludruk sekarang terbilang banyak. Di Jombang misalnya ada sekitar 38 grup ludruk. Dan biasanya setiap group mengklaim punya anggota kisaran 50 sampai 70 orang. Jika dihitung secara matematis, katakanlah per-group ada 50 personil. Maka 38 x 50 = 1900 orang. Tapi kenyataan di lapangan semua seniman ludruk di Jombang kira-kira hanya 400-an orang. Sebab yang banjir tanggapan hanya sekitar 3 group ludruk. Dan itu mungkin juga terjadi di daerah lain. Ini satu kondisi yang tidak sehat, terkait dengan manajemen dan mutu kerja kreatif, lebih-lebih minimnya minat generasi muda untuk menekuni bidang ini.
Dan yang paling memprihatinkan adalah kelompok ludruk model tobong yang berpentas keliling dari kampung ke kampung dengan penghasilan sekali gelar sekitar 300-an ribu. Lalu hasil dari penjualan karcis (2000/orang) dibagi seluruh kru yang rata-rata jumlahnya 40-60 personil. Group tobong memang hampir sudah tidak ada. Hanya beberapa gelintir yang tersisa. Menurut pengakuan Cak Yusuf Hidayat (ketua grup ludruk tobong Mandala dari Ngusikan, Jombang), bahwa dia akan tetap menjalani profesinya tersebut sampai kapanpun, karena ludruk tobong adalah warisan dari kakek buyutnya. Namun dia juga merasa diserbu kekhawatiran bahwa masyarakat mulai tak tertarik lagi menikmati model ludrukan ini. Memang banyak kasus yang telanjur jadi benang kusut dalam dunia perludrukan kita. Gambaran di atas hanyalah sebagian kecil contoh.
Walhasil kini dan mendatang ludruk seolah di ambang senjakala kesirnaannya. Tersebab jika pelestariannya tidak diupayakan dengan kesadaran kolektif untuk nguri-nguri dan ngopeni secara bersama dengan kesungguhan yang penuh-seluruh (atau justru malah diabaikan?). Barangkali benar, secara perlahan-lahan, ludruk mulai terkikis oleh keniscayaan perubahan dan, akhirnya menjadi situs sejarah yang mengenaskan. Bisa jadi Peacock akan mengamini ramalan Schiller ini: Yang lama musnah. Masa pun berubah. Dan di atas puing-puing reruntuhan. Mekarlah kehidupan baru.
Tampaknya di sinilah ujian bagi seniman ludruk agar lebih getol dan sungguh-sungguh dalam menekuni bidang ini sebagai jalan hidup berkesenian. Tapi sejauh mana mereka dapat bertahan dalam arus hiburan yang kian menderas saat ini?
*)Redaksi tamu pada Jurnal Kebudayaan The Sandour
Kompas, 19 Agustus 2007.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar