Mashuri
Pernyataan “Sastra Tanpa Ideologi; Menelanjangi Perselingkuhan Sastra dan Budaya” menyimpan dua hal yang perlu diungkai. Pertama, ‘Sastra Tanpa Ideologi’, yang menyaran pada satu justifikasi bahwa ada sastra berideologi, yang tentu saja bersifat ideologis, sehingga ‘perlu dirumuskan’ sastra tanpa ideologi. Dalam satu sisi, ideologi sebagai sebuah disiplin memang telah merambah berbagai segi kehidupan dan sudah jauh berkembang, juga menyusut, dari penggagas awalnya Destutt de Tracy. Di sisi lain, sastra tanpa ideologi memberikan begitu banyak kemungkinan ancangan gagasan yang bisa menempatkan sastra sebagai sebuah produk kemanusiaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai humanitas.
Kedua, ‘Menelanjangi Perselingkuhan Sastra dan Budaya’, yang memiliki konotasi bahwa hubungan sastra dan budaya haruslah tak berhubungan dan tak saling terkait. Ini tentu memberikan satu pertanyaan tersendiri perihal sastra yang dianggap sebagai anak kandung kebudayaan. Pun seakan menangkal alam tradisi kita yang selalu melekatkan sastra pada tradisi. Sebab dalam sejarahnya, sastra dan budaya adalah dua hal yang saling bersirapat dan bersikarib dengan mesra, meskipun sastra dipandang sebagai ‘alat’ semata dan bukan sebuah dunia tersendiri yang terpisah dari alam budayanya.
Ada beberapa persoalan yang muncul seiring ancangan kedua tema tersebut. Kiranya perlu dipertanyakan: adakah gagasan yang ingin dijabarkan itu sebagai sebuah ruh modern dengan berusaha memisah sastra dari budaya dan menjadikan sastra sebagai sebuah dunia otonom, meskipun kita tahu, Modern ‘dibaca kembali’, juga keotonomian sastra ‘dikaji’ lagi seiring dengan politik identitas yang ditabalkan dalam arus global dan adanya kenyataan ‘patung modern’ keropos; dan masih banyak lagi.
Tarik Ulur Sastra dan Budaya
Sejarah sastra Indonesia adalah sejarah yang tidak bersih. Di antara puncak-puncak terjadinya kooptasi sastra dan seni itu adalah ketika kubu Manifes Kebudyaan (Manikebu) dan Lembaga Kebudyaan Rakyat (Lekra) terlibat polemik yang tidak hanya menyangkut perihal sastra ‘an sich’, tapi juga ideologi dan gerakan politik yang mendasarinya. Manikebu dengan dasar seni untuk seni, sedangkan Lekra dengan seni untuk masyarakat. Kubu Manikebu dengan dasar humanisme universal dan Lekra menggunakan aliran realisme sosial sebagai dasar kreasinya, meski ketika ditilik lebih jauh, bukan realisme sosial sebagaimana yang digagas oleh Maxim Gorki yang sering dijadikan rujukan bagi sastrawan Lekra.
Pada perkembangannya, sastra Indonesia modern yang dianggap mapan juga tidak steril dari ideologi. Katakanlah, apa yang telah digagas oleh HB Jassin, sebagai sebuah upaya untuk membalut sastra dalam sebuah dominasi ideologi tertentu. Lewat karya-karyanya yang sejalan dengan arus politik di Tanah Air, semisal Angkatan 45, Angkatan 66 dan beberapa karya lain, maka HB Jassin mendesakkan satu ideologi pula, yakni nasionalisme. Meski demikian, bukan berarti apa yang telah dirintis oleh Jassin tanpa menyumbangkan apa-apa dalam sejarah sastra kita, setidaknya Jassin telah menyentuh sastra dengan nilai-nilai manusiawi yang kental, juga dengan pendekatan empati yang tinggi. Di sisi lain, Ariel Heryanto dalam sebuah kajiannya menyebut adanya sastra mapan dan sub ordinat pada masa Orde Baru, dengan paradigma politik sastra yang menjadi latarnya.
Untuk masa sekarang, dengan maraknya wacana pluralisme juga bangkitnya kesadaran baru tentang identitas, bermunculan sastra yang memberi ruang ekspresi pada suara-suara yang selama ini ‘terbungkam’ dan ‘terpinggirkan’. Bisa dilihat pertumbuhan yang signifikan sastra yang berbasis etnis, sastra agamawi, sastra seksis, sastra kanan, sastra kiri, sastra berbasis gender dan label-label sastra lain, serta proyek ‘politik identitas’ lainnya, yang tentu saja, sangat sulit memandang sastra sebagai sebuah bangun yang steril dari kepentingan-kepentingan di luar sastra.
Dari sana, kita tahu bahwa realitas sejarah sastra kita adalah tarik ulur antara sastra sebagai bangun otonom dengan masyarakat dan kulturnya. Apalagi Teeuw pernah memberikan pernyataan bahwa sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Artinya, sastra selalu memilihi hubungan dengan budaya yang melahirkannya, baik itu langsung dan tak langsung. Pun ketika membaca karya sastra, seorang pembaca haruslah seorang yang menguasai sistem bahasa, sistem sastra dan sistem budaya karya/pengarang yang bersangkutan. Dari dua hal itu pun kita tahu, sastra masih ‘menyusu’ dan terkait pada budaya yang melahirkannya. Ternyata, hal itu tidak hanya berlaku dalam sastra kita saja.
Dalam sastra Barat, hal itu pun berlaku untuk beberapa karya, di antaranya adalah novel ‘Animal Farm’, karya George Orwell (1903-1950). Banyak pengkaji dan ahli sastra di Barat yang menjelaskan, bahwa karya itu merupakan simbolisme terhadap kehidupan politik di Eropa saat itu; sebuah fabel politik yang sarkastik. Kisah-kisah hewan itu merupakan personifikasi dari tokoh-tokoh barat dengan segala kebangkrutan moral dan etika mereka. Bisa dikatakan, fiksi merupakan modus penyiasatan untuk menghadapi realitas.
Jika kita merujuk lebih ke belakang, sebenarnya, konsepsi realitas dalam sastra (juga seni) mengalami tarik ulur sejak zaman Yunani Kuno. Plato dan Aristoteles sudah memperdebatkannya, terutama yang mengerucut pada konsep idea (Plato) dan creatio (Aristoteles). Pun demikian dalam tradisi sastra modern berkembang aliran sastra realisme, yang dalam tradisi sastra Perancis diwaliki oleh novel ‘Madame Bovary’, karya Gustave Flaubert (1821-1880). Detail yang diangkat dalam novel itu sangat realis. Hal yang sama juga terdapat dalam novel sesudah itu yaitu ‘Germinal’, karya Emile Zola (1840-1902). Bahkan realitas dalam karya sastra itu dianggap berparalel dengan realitas masyarakat saat itu. Dengan kata lain, karya-karya itu dianggap mampu mewakili zetgeist dan geliat zamannya.
Meski demikian, hubungan sastra dan realitas bukanlah hubungan yang mutlak. Hubungan sastra dengan masyarakat/realitas adalah hubungan yang tak stabil, terjadi tarik ulur yang tak kunjung habis. Apalagi dalam disiplin ilmu sastra hubungan antara sastra dan realitas hanya menempati satu cara pandang terhadap sastra, yakni mimesis, dan di luar itu, masih banyak cara pandang lainnya. Apalagi dalam disiplin sastra sendiri berkembang berbagai aliran yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur seberapa fasih imajinasi bisa membahasakan dunia ---dalam hal ini bisa berlaku rekonstruksi, dekonstruksi, mimesis, dan lain sebagainya. Ada realisme, simbolisme, naturalisme, surrealisme, absurdisme, yang masing-masing memiliki bentuk dan gaya tersendiri, juga cara pandang terhadap dunia. Meski demikian koridor yang harus tetap dipegang adalah sastra tetaplah berada pada wilayah fiksi. Dengan kata lain, sastra adalah dunia fiksi, meski kini pun mulai ada peleburan antara fakta-fiksi, juga fiksi dan sejarah. Jika ada yang menariknya ke wilayah lain, sekiranya tanpa menciderai sastra, pun tak masalah.
Kembali pada sejarah sastra Indonesia. Kiranya, selama ini, sastra Indonesia hadir dalam berbagai bingkai, ada yang hadir dengan ideologi, ada pula pula yang tanpa ideologi. Tapi cukup sulit menemukan sastra Indonesia tanpa mengindahkan latar kultur dan latar sosialnya. Pada beberapa sastra daerah yang biasa disebut sebagai sastra tradisional (?), sastra selalu melekat pada kebudayaan masing-masing daerah, dan membawa amanat. Sastra seakan tidak bisa dilepaskan dari perangkat kebudayaan yang melahirkannya. Kasus KRT Ronggowarsito dengan raja Jawa bisa dijadikan bukti. Pun nasib Syekh Hamzah Fansuri di Aceh bisa membuktikan itu. Keduanya mewakili kesusastraan lama kita. Belum lagi jika kita menilik sastra lisan kita yang memang memiliki kesenyawaan dengan bentuk kesenian lainnya dan menjadi penopang bangun kebudayaan yang ada. Pun ketika Indonesia berdiri, maka sastra pun menjadi bagian dari keindonesiaan. Pertautannya pun tidak hanya pada wilayah simbolis semata, tetapi juga bisa keluar dari kerangka karya itu. Untuk sastra Indonesia, maka ancangan pada nilai-nilai nasionalisme pun melekat pada karya sastra, sastra juga dianggap sebagai sebuah ‘shoft power’ yang turut membangun jiwa bangsa.
Namun demikian, sastra sebagai sebuah wilayah otonom juga pernah dijadikan satu pijakan yang menarik dan gagasan ke arah itu pernah dijadikan model pendidikan sastra kita, terutama di perguruan tinggi. Dengan kata lain, gagasan otonomi sastra merupakan gagasan brilian karena sastra menjadi sebuah disiplin tersendiri. Namun, apa yang digagas para ahli sastra dengan paradigma strukturalisme itu kadang hanya terdapat pada wilayah kajian. Perangkat teoritiknya juga ada, mulai dari formalisme Rusia, strukturalisme Perancis, naratologi dan lainnya. Sampai-sampai memunculkan satu ancangan ‘Pengarang Sudah Mati’. Namun kerapkali perangkat teoritik itu dianggap tidak mencukupi untuk menjelaskan berbagai hal dan kompleksitas masalah, sehingga banyak direduksi pada wilayah lain, serta meletakkan sastra pada bingkai kebudayaan yang lebih luas, sebagaimana munculnya gagasan tentang orentalisme, kritik sastra Marxis, cultur studies dan lainnya. Dengan demikian, maka campur tangan sesuatu di luar sastra pun tak terhindarkan. Apalagi ternyata ‘arus dunia’ ---termasuk materialisme, kapitalisme, dan industri budaya, memang selalu meletakkan ‘beban’ di pundak sastra, sehingga sastra tidak bisa mandiri sebagai sebuah dunia.
Semacam ‘Muara’
Pada kenyataannya, ‘selingkuh itu indah’ memang mengejawantah dalam hubungan sastra dan budaya, jika hubungan di antara keduanya memang dianggap sebagai ‘selingkuh’. Buktinya, semakin maraknya ragam ekspresi sastra di Indonesia yang bisa dimaknai sebagai sebuah politik identitas memang memposisikan sastra sebagai ruang ekspresi dan hasrat dalam pendakuan diri, perihal ‘kelas’ dan jati diri.
Para sastrawan perempuan kita yang sering menulis dunia perempuan dengan cita rasa metropolis dan seksis ---dan kerap menggambarkan perempuan sebagai ‘sontoloyo’ bisa pula dimaknai sebagai hal itu, seperti karya Ayu Utami, Djenar Mesa Ayu dan lain-lainnya. Meski demikian di luar itu, ada pula sastrawan perempuan yang sadar diri dan berwawasan gender menulis perempuan dengan semangat kesetaraan gender yang bergelora, semisal dalam ‘Geni Jora’ karya Abidah El Khalieqy.
Dari gambaran tersebut, maka sastra tanpa ideologi, mandiri dan otonom dalam dunianya sendiri menjadi sebuah angan-angan yang cukup mewah untuk arus dunia saat ini, meski itu bukanlah hal yang mustahil. Hanya saja, posisinya kini pun harus berjajar, bahkan bersaing, dengan berbagai mode ekspresi lainnya yang juga marak dan menghuni ruang baca kita. Keberadaannya bisa menjadi satu tawaran yang memungkinkan sastra bisa sebagai ‘pembanding’ dan penyeimbang, terhadap budaya massa bahkan budaya populer yang sungguh sangat meresahkan hati. Meski kita pun harus sadar diri, bahwa sastra bukanlah dunia sempurna dan menawarkan segalanya. Konsep ideal yang ditawarkan adalah konsep ‘menuju sempurna’, sehingga ‘proses’ menjadi kendaraannya.
Harus pula diakui, bahasa yang menjadi sarana sastra, tentu tak bisa memindahkan dunia ---baik fakta maupun fiksi—seutuhnya. Bahasa tidaklah bisa mewakili apa yang hendak diutarakan dengan segala kepenuhannya. Bukan hanya reduksi yang terjadi, tetapi juga salah tafsir dan sebagainya. Jika diibaratkan dengan orang yang menunjuk matahari, maka bahasa hanyalah yang menunjuk. Tentu penunjuk itu berbeda dengan mataharinya. Namun, yang terjadi salah kaprah, bahwa penunjuk itu dianggap sudah mewakili rembulan. Dalam konsep ini, apa yang digagas oleh Jacques Derrida perihal hubungan antara penanda dan petanda mendapatkan porsinya yang tepat dengan mengedepankan adanya keberjarakan, jejak, dan radikalisasi konsep arbitrer antara bahasa dan acuannya.
Ada dua fakta terkait dengan keterbatasan bahasa dalam mengkonstruksi dunia. Pertama, adanya bahasa universal yang tidak terkotak pada bahasa-bahasa manusia berdasarkan ras, negara dan lainnya. Bisa dilihat pada novel ‘The Alkemis’ karya Paulo Coelho dan ‘Leo The African’ karya Amin Maalouf. Kedua, ada sesuatu yang tidak bisa terbahasakan dengan bahasa-bahasa manusia. Ketakberhinggaan dan ketidakmampuan manusia membahasakannya. Hal ini meliputi masalah membahasakan Tuhan: logos yang tentu saja akan mengalami kesulitan untuk menembus theos.
Dengan melihat berbagai hal itu, maka dalam memahami sastra pun harus berlandas pada khittah sastra sebagai dunia mungkin, dunia yang bisa jadi tanpa solusi, tanpa kemutlakan dan menggugah, juga kompleks. Siapapun bisa memahami sastra sebagai sebuah teks, yang tentu mengandung sesuatu yang diandaikan obyektif. Ruang penciptaan yang menjadi basis bisa menjadi tumpuan terkait dengan sastra yang lepas dari idelogi atau sastra ideologis. Sastra juga tergantung pembaca. Dengan horison harapan pembaca, serta latar belakangnya, maka pembaca bisa menarik ke manapun sastra. Ia bisa menambah dan mengurangi nilai yang terkandung dalam karya sastra, sesuai dengan potensi dirinya.
Dalam kaitan ini, memahami sastrawan dari berbagai dimensi adalah sesuatu yang juga paling mungkin. Selain menulis karya-karya yang merespon dan tergugah oleh realitas yang terjadi, sastrawan juga membuat karya yang brillian yang menyangkut dunia sastra sendiri. Sebagaimana Chairil Anwar yang dianggap sebagai penyair yang bisa menerjemahkan gagasan modern yang diancangkan oleh Surat Kepercayaan Gelanggang dalam karyanya dan dianggap melakukan pembaharuan terhadap sastra Indonesia pada masa Pujangga Baru, juga pembaharuan bahasa Indonesia. Pun Sutarji Calzoum Bachri dianggap mampu melengkapi mata perpuisian Indonesia. Jika Chairil dianggap mata kanan, maka ia pun mata kirinya, yang ternyata mengambil basis lokal, dengan warna kultur Melayu, terutama mantra, sebagai penegas identitas perpuisiannya yang juga mampu melakukan pembaharuan terhadap corak perpuisian di Indonesia.
Selain itu, dalam sejarah sastra kita terbukti beberapa karya yang ditulis ‘demi sastra’ memang memiliki dimensi yang menarik dan berkualitas. Dalam prosa karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Budi Darma dan lainnya. Pun pada puisi, seperti puisi Sapardi Djoko Damono, Afrizal Malna, Goenawan Muhammad, Subagio Sastrowardoyo, Acep Zamzam Noer, D Zawawi Imron, Linus Suryadi Ag, Kriapur, Franz Nadjira, Herry Lamongan dan lain-lainnya. Karya-karya itu menyimpan jejak pengetahuan yang sublim, yang meski tanpa berpretensi apapun, termasuk ideologi, telah memberikan begitu banyak arti bagi manusia dan kehidupan. Hal itu karena banyak sastrawan yang tak bisa melepas ideologinya dalam berkarya, di antara yang paling kental adalah ‘ideologi’ kemanusiaan.
Wallahu muwafiq ila aqwamit thariq! (*)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Anzieb
A. Azis Masyhuri
A. Dahana
A. Mustofa Bisri
A. Muttaqin
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A. Zakky Zulhazmi
A.S Laksana
Aan Frimadona Roza
Aang Fatihul Islam
Abd. Rahman Mawazi
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Kirno Tanda
Abdul Wachid B.S.
Abdurrahman Wahid
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Sunjayadi
Adek Alwi
Adhy Rical
Adi Marsiela
Adian Husaini
Adin
Adzka Haniina Al Barri
AF. Tuasikal
Afnan Malay
AG. Alif
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan MN
Agung Poku
Agus Aris Munandar
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus Himawan
Agus R. Subagyo
Agus Salim
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Naufel
Ahmad Sahal
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Alang Khoiruddin
Alex R Nainggolan
Alfred Tuname
Ali Irwanto
Ali Syamsudin Arsi
Alunk Estohank
Alvi Puspita
Amandus Klau
Amel
Amien Kamil
Anam Rahus
Andaru Ratnasari
Andong Buku #3
Angela
Anggraini Lubis
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Ardus M Sawega
Ari Pahala Hutabarat
Arie MP Tamba
Arif Bagus Prasetyo
Arti Bumi Intaran
Arwan Tuti Artha
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Juanda
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asrama Mahasiswa Aceh Sabena
Astrid Reza
Atmakusumah
Awalludin GD Mualif
Awan Abdullah
Ayi Jufridar
Azyumardi Azra
B Sugiharto
Badrut Tamam
Bagja Hidayat
Bahrul Ulum A. Malik
Bakdi Soemanto
Balada
Bambang kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Baskara T Wardaya SJ
Bayu Agustari Adha
Bayu Ambuari
Beni Setia
Benny Arnas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Berto Tukan
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonnie Triyana
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiarto Shambazy
Buldanul Khuri
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chandra Iswinarno
Cover Buku
D. Zawawi Imron
Dadan Sutisna
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danang Probotanoyo
Danarto
Daniel Paranamesa
Dareen Tatour
Darju Prasetya
Darma Putra
Darwis Rifai Harahap
Dayat Hidayat
Dede Kurniawan
Deepe
Denny JA
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dhewi Susanti
Dian Hartati
Diana AV Sasa
Djasepudin
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djunaedi Tjunti Agus
Doan Widhiandono
Doddy Hidayatullah
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donatus Nador
Donny Anggoro
Dr Junaidi
Dr. Simuh
Dwi Cipta
Dwi Pranoto
Dwi Wahyu Handayani
Dwicipta
Dyah Ratna Meta Novi
Edeng Syamsul Ma’arif
Eduard Tambunan
Edy Firmansyah
Edy Sartimin
Eka Budianta
Eka Fendri Putra
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendri Saiful
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endah Imawati
Endhiq Anang P
Endi Biaro
Esai
Eva Dwi Kurniawan
Evan Ys
Evi Idawati
Evieta Fajar
F Rahardi
F. Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faisal Syahreza
Fanani Rahman
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatmin Prihatin Malau
Fauzan Al-Anzhari
Fenny Aprilia
Festival Gugur Gunung
Fikri. MS
Firdaus Muhammad
Fransiskus Nesten Marbun ST
Franz Kafka
Free Hearty
Furqon Abdi
Gde Artawan
Gerakan Literasi Nasional
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gugun El-Guyanie
Gunawan Budi Susanto
Gunoto Saparie
Gus Noy
H. Rosihan Anwar
Hadi Napster
Halim HD
Hamdy Salad
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Haris del Hakim
Haris Firdaus
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasanudin Abdurakhman
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hastho Suprapto
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendra Sugiantoro
Hendriyo Widi
Henry H Loupias
Heri CS
Heri Latief
Herman Hasyim
Herman RN
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Hesma Eryani
Hikmat Gumelar
Hilyatul Auliya
Hudan Hidayat
Hujuala Rika Ayu
Humam S Chudori
I Nyoman Suaka
I Nyoman Tingkat
IBM Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
Idha Saraswati
Idris Pasaribu
Igk Tribana
Ignas Kleden
Ilham Khoiri
Ilham Q. Moehiddin
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian koto
Inggit Putria Marga
Irman Syah
Isbedy Stiawan ZS
Ismi Wahid
Istiqomatul Hayati
Iswadi Pratama
Iwan Gunadi
Iwan Komindo
Iwan Kurniawan
J. Sumardianta
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jenny Ang
Jihan Fauziah
Jimmy Maruli Alfian
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Joni Lis Efendi
Jual Buku Paket Hemat
Jusuf A.N
Kalis Mardi Asih
Karkono
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Khawas Auskarni
Khoirur Rizal Umami
Komunitas Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kusno
Kuswaidi Syafi’ie
L.N. Idayanie
Laksmi Pamuntja
Lan Fang
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lies Susilowati
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
LP3M Universitas Jember
Lukman Asya
Lutfi Mardiansyah
M Arman AZ
M Hari Atmoko
M. Dhani Suheri
M. Faizi
M. Haninul Fuad
M. Ikhsan
M. Lubabun Ni’am Asshibbamal S.
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Marlin Bato
Martin Aleida
Marwanto
Maryati
Mas Ruscitadewi
Mashuri
Maya Azeezah
Media: Crayon on Paper
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Menggalang Dana Amal
Menggugat Tanggung Jawab Kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri
Mestika Zed
Michael Gunadi Widjaja
Michael Ondaatje
Mihar Harahap
Mikhael Dua
Mila Novita
Misbahus Surur
Misranto
Moch. Faisol
Moh. Asy'ari Muthhar
Muh Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Farhand Muzakki
Muhammad Ghufron
Muhammad Hidayat
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Yasir
Muhammad Yulius
Muhammadun A.S.
Muhibin AM
Muhidin M Dahlan
Mulyadi SA
Munawir Aziz
Mursai Esten
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Muslim Kasim
Musyafak
N Teguh Prasetyo
N. Mursidi
N. Syamsuddin CH. Haesy
Nanang Fahrudin
Nanang Suryadi
Naskah Monolog
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Nirwan Ahmad Arsuka
Nissa Rengganis
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel
Novelet
Novianti Setuningsih
Nu’man ’Zeus’ Anggara
Nunung Nurdiah
Nunuy Nurhayati
Nur Ahmad Salman H
Nur Cholish Zaein
Nur Faizah
Nur Hidayati
Nuraz Aji
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nuriel Imamah
Nurul Anam
Nuryana Asmaudi SA
Ode Barta Ananda
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pameran Lukisan
Pamusuk Eneste
Pandu Radea
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Penerbit dan Toko Buku PUstaka puJAngga
Pramoedya Ananta Toer
Pringadi AS
Priyambodo RH
Prosa
Pudyo Saptono
Puisi
Puji Santosa
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Dachroni
R. Timur Budi Raja
Rachmat H Cahyono
Radhar Panca Dahana
Rahmi Hattani
Rainer Maria Rilke
Rakai
Rakhmat Giryadi
Rama Prabu
Ramadhan Batubara
Rambuana
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Restoe Prawironegoro Ibrahim
Revolusi
RF. Dhonna
Ribut Wijoto
Rida Wahyuningrum
Ridwan Munawwar
Rilla Nugraheni
Rinto Andriono
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rosdiansyah
Rosidi
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rz. Subagyo
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Saripuddin Lubis
Sastra Pemberontak
SastraNESIA
Sastri Bakry
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Selo Soemardjan
Senggrutu Singomenggolo
Seni Rupa
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Si Burung Merak
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Sitor Situmorang
Siwi Dwi Saputro
Sjaiful Masri
Sjifa Amori
SLG STKIP PGRI Ponorogo
Soeharto
Sofian Dwi
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Fitri Ana
Sri Wintala Achmad
St Sularto
Suci Ayu Latifah
Sudarmoko
Sugeng Satya Dharma
Sujiwo Tejo
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Sunudyantoro
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Suseno
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutirman Eka Ardhana
Suwandi Adisuroso
Suyadi San
Switzy Sabandar
Syah A. Lathief
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syaiful Irba Tanpaka
Syarif Hidayatullah
Syifa Aulia
Sylvianita Widyawati
Tamrin Bey
Tan Malaka
TanahmeraH ArtSpace
Taofik Hidayat
Taufik Alwie
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh LR
Teguh Pamungkas
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Timur Sinar Suprabana
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Wahono
Triyanto triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Ulfatin Ch
Ulil Abshar-Abdalla
Umar Fauzi Ballah
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Utami Widowati
Veven Sp. Wardhana
W Haryanto
W.S. Rendra
Wandi Barboy Silaban
Wanitaku-wanitaku
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Wayan Supartha
Wendi
Wildan Nugraha
Wishnubroto Widarso
Wong Wing King
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanto le Honzo
Yasraf Amir Piliang
Yeni Mulyani
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yudhis M. Burhanudin
Yuli Akhmada
Yulia Sapthiani
Yuliarsa
Yunanto Sutyastomo
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Tidak ada komentar:
Posting Komentar